“Kenapa kau tak memindahkannya di sini saja, Ethan. Aku tahu sejak awal kau berniat memindahkan si kembar di tempat ini, kan?” Cara mengamati wajah Ethan dengan hati-hati sebelum melanjutkan. “Jika tidak, kau tak mungkin mempersiapkan kamar untuk mereka di lantai dua.” Ethan memberikan senyum tipis. Tak akan menyangkal. “Kenapa tiba-tiba kau berubah pikiran?” “Kau lupa, aku selalu melakukan apa pun yang kusuka.” Jawaban klasik khas Ethan, Cara membatin. “Lalu apa yang harus kulakukan agar kau berubah pikiran?” “Kau tahu apa yang kuinginkan Cara.” Ethan memutar wajah menghadap Cara. Wanita itu bersandar miring di kepala ranjang dengan tangan memegang selimut di dada. Menghalangi pandangannya dari ketelanjangan tubuh wanita itu. Tangannya terulur, menarik turun selimut tersebut. “Berhenti berselingkuh di belakangku.” Cara menelan ludah. Ketegangan bercampur wajahnya yang merah padam akan tatapan intens Ethan yang mengamati dadanya. Ethan mengucapkannya dengan penuh ketenangan, t
“Ada apa dengan malam ini?” Cara menurunkan gaun pesta yang baru saja dibawa Ethan masuk. Lengkap dengan sepatu dan penata rias yang akan datang beberapa saat lagi. “Kita perlu memberikan selamat untuk pertunangan Emma dan Zevan, kan? Bagaimana pun dia adalah saudaraku.” Cara baru teringat. Zevan sempat memberitahunya tentang kesepakatan dalam pernikahan tersebut ketika keduanya tak sengaja bertemu di lobi dua hari yang lalu. Pria itu baru saja mengunjungi butik yang kebetulan berada di sekitar gedung Ethan. “Kau lupa?” Ethan meletakkan kedua tangannya di pinggang Cara, membawa tubuh wanita itu menempel di tubuhnya. Tak ada lagi penolakan dari wanita itu, bahkan wanita itu sudah mulai terbiasa dengan sentuhan-sentuhan ringannya. Pun begitu, masih saja ada jarak jika itu pembicaraan tentang Zevan. Cara menggeleng pelan. “Aku terlalu sibuk. Aku tak ingat kalau acaranya malam ini. Dan aku tak yakin keberadaanku dibutuhkan di tempat itu. Itu acara yang ….” “Aku membutuhkanmu
Cara menatap punggung Ethan dan Zaheer yang menghilang di antara kerumunan para tamu. Acara sudah berubah menjadi lebih santai. Para undangan membentuk kerumunan. Saling mengobrol antara keluarga, teman lama, atau sekedar kolega. Hanya dirinyalah yang tak memiliki siapa pun untuk diajak bicara, apalagi mengobrol dan bercanda tawa.Tak ingin terlihat lebih tolol, Cara mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mencari-cari sesuatu yang bisa dikerjakannya di tengah keramaian pesta ini. Dan rasa lapar yang mendadak datang membawa kakinya menuju meja prasmanan di seberang ruangan. menemukan pie telur di tepi meja. Tangannya terulur, tetapi pemilik tangan lain yang terulur seketika membuatnya membeku.“Kau memiliki keberanian yang besar datang ke tempat ini?” Irina meletakkan pie telur di tangannya ke piring milik Cara. Tatapannya dingin, begitu pun ujung bibirnya yang membentuk senyum datar. Seperti yang selalu dimiliki Ethan ketika tak menyukai keputusannya untuk tidak membalas perasaan pria i
“Aku berhasil menemukannya. Setelah satu atau dua minggu menyelam di sana.”Cara masih membeku dalam keterkejutannya. Untuk waktu yang cukup lama. Menatap benda dengan hiasan permata tersebut. Ia sudah lupa bagaimana bentuk cincin yang Ethan selipkan di jari manisnya dengan penuh pemaksaan tersebut.“Apakah itu artinya pernikahan kalian juga …”“Ya, aku menggunakan pistol yang menempel di kepalanya untuk memaksanya mengucapka sumpah pernikahan.” Ethan menatap lurus kedua mata Cara. “Matanya yang jernih dipenuhi air mata. Bibirnya bergetar karena ketakutan dan wajahnya yang sepucat mayat tampak begitu cantik di mataku. Tapi …” Ethan sengaja mengulur kalimatnya, mengamati lebih lekat wajah Cara sebelum kemudian menyambar satu ciuman singkat di bibir wanita itu. “Dia memang selalu terlihat cantik. Tepat seperti yang dikatakan oleh Mano. Kau setuju?”Bianca menatap Cara dengan senyum yang lebih lebar. Menyembunyikan ribuan tanya yang mendadak muncul di benaknya. “Kau menyelam?”Ethan meng
“Dia yang memaksa masuk menggunakan kartu aksesku, Ethan.” Emma mengulurkan kartu hitam mengkilat yang ada di tangannya. “Sepertinya aku harus mengembalikannya padamu, kan? Pengawalmu baru saja membawa barang-barangku ke mobil.” Ethan terdiam. Menatap kartu tersebut tetapi ada hal lain yang memenuhi pikirannya. Alis Emma menyatu melihat Ethan yang tampak lebih diam dari biasanya, dan yang satu ini pasti ada hubungannya dengan kemunculan Bianca yang begitu tiba-tiba tersebut. “Kenapa? Kau baik-baik saja?” Ethan melirik dengan ujung matanya. “Keluarlah. Urusan kita sudah selesai.” Emma terdiam sejenak. “Tidak. Belum, Ethan.” Ethan menghela napas sambil mengambil kartu yang diberikan Emma dan memasukkannya ke dalam laci. “Jika itu tentang perasaanmu. Lupakan, Emma. Aku tak butuh mendengar hal konyol semacam ini lagi.” Wajah Emma memerah, kecewa sekaligus malu. “Kau tak perlu memikirkan apa yang pernah Bianca lakukan untuk hidupmu, Ethan. Saat itu kau masih anak-anak dan dia meman
Ponsel Ethan yang berdering menyela di tengah kesibukan dokter yang memeriksa Cara. Pria itu mengabaikannya, tak melepaskan pengamatannya dari sang dokter. Namun, deringan yang tak kunjung berhenti tersebut tampak mengganggu, Ethan terpaksa mengurus panggilan terebut. Berjalan keluar menjauh. “Ada apa lagi, Bianca?” Cara masih bisa mendengar nada kesal yang diucapkan Ethan sebelum pria itu benar-benar menjauh. Hingga perhatiannya dialihkan oleh pertanyaan dokter tentang apa saja yang ia rasakan. “Mual dan pusing. Sepertinya saya hanya kecapekan, Dok.” “Riwayat penyakit maag?” “Tidak ada. Tapi beberapa hari ini saya kurang berselera makan. Mungkin karena itu.” “Hubungan dengan suami?” Cara menatap sang dokter, tak mengerti. “Ya, hubungan suami istri.” Cara semakin tak mengerti kenapa itu ada hubungannya dengan sakintnya. Dokter wanita itu tersenyum. “Apakah Anda melewatkan tamu bulanan Anda?” Wajah Cara yang sudah pucat tiba-tiba membeku. Menatap kedua mata sang dokter denga
Cara merasa lega –sedikit- menemukan Zaheerlah yang berdiri di balik pintu bilik. Menyambar alat tes kehamilan yang masih diamati oleh pria itu. “Apa yang kau lakukan di toilet wanita, Zaheer?”“Kau hamil?”“Bukan.”“Bukan? Kau pikir aku bekerja di rumah sakit tidak menggunakan otakku, ya?” dengus Zaheer. “Jangan membodohiku, Cara. Aku tahu benda apa itu.”“Itu bukan milikku.”“Dan untuk apa kau menyimpan alat tes kehamilan yang bukan milikmu.”“Dan untuk apa aku melakukan tes kehamilan jika aku melakukan kontrasepsi.” Suara Cara berhasil keluar dengan tanpa getaran sedikit pun. “Kalau kau tak percaya, kau bisa tanya pada Ethan sendiri.”Kedua alis Zaheer bertaut penuh curiga. “Lalu milik siapa itu?”Cara menela ludahnya sambil berpaling. Berjalan mendekati tempat sampah sekaligus menghindari tatapan menelisik Zaheer yang belum sepenuhnya percaya. “Ada seseorang mengirimkannya padaku.”“Apa?”“Pasti milik salah satu wanita Ethan, kan? Semua menginginkan menjadi teman tidur, kekasih da
Cara pulang lebih lambat pun, Ethan masih belum sampai di apartemen. Ia berusaha tak peduli dengan pengabaian Ethan. Walaupun ada kecemasan yang menyelinap ke dalam hatinya. Kedua kakinya langsung melangkah menuju kamar utama. Merasa begitu penat dan lelah hingga sangat malas hanya untuk sekedar ke kamar mandi. Ia pun hanya berbaring di sofa. Menunggu rasa lelahnya mereda sebelum membersihkan diri. Toh Ethan juga tak akan segera kembali.Kehamilannya kali ini tidak seberat yang pertama. Mungkin karena kali ini bukan anak kembar? Atau …mungkin memang anak kembar. Rasa bersalah menyusup ke dalam hatinya atas ketidak tahuannya. Seharusnya ia segera pergi ke dokter kandungan untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Namun bagaimana jika Ethan tahu? Apa yang harus dikatakannya? Apakah pria itu akan terkejut?Cara menggelengkan kepala. Kenapa sekarang ia harus peduli pada reaksi Ethan? Ia tak pernah mengharapkan kehamilan ini. Tak pernah membayangkan dirinya akan kembali dihamili oleh Ethan
‘Cara, bisakah kau membantuku? Aku membutuhkanmu. Sekarang.’ ‘Nighty Club.’ Cara menunjukkan pesan singkat yang dikirim oleh Zevan. Yang langsung mengambil ponsel miliknya. Tetapi tak ada pesan tersebut di ponselnya. “Aku memang ada urusan di sini, tapi aku tak mengirim pesan tersebut padamu.” “Apa?” “Seseorang pasti mengirimnya untuk menjebakmu.” Keduanya saling pandang. Tak lain dan tak bukan pasti. “Emma,” gumam keduanya bersamaan. “Sebelum berangkat ke sini, dia mengunjungi apartemenku. Aku tak tahu dia akan melakukan trik semacam ini dan entah apa tujuannya.” Cara menghela napas rendah. “Setidaknya sekarang kau baik-baik saja.” Zevan mengangguk. “Apakah itu artinya kau memang akan datang jika terjadi sesuatu padaku?” “Tentu saja aku akan membantumu.” Keduanya tertawa bersama. “Bukankah kau harus pergi?” “Aku akan membatalkannya. Aku tak mungkin meninggalkanmu di tempat ini sendirian. Tunggu sebentar.” Zevan mengangkat panggilan yang tiba-tiba masuk. Sedikit menjauh
“Ini akan menjadi terakhir kalinya aku membantumu, Bianca.” Ethan menurunkan gulungan bajunya. Melirik tajam pada sang mama yang berada di ujung ranjang. “Apa pun itu trik yang sedang kalian mainkan, tak akan bekerja padaku. Jadi hentikan rencana yang coba kalian susun. Aku sudah muak dengan permainan keluarga ini.” “Apa maksudmu permainan, Ethan?” Senyum kepuasan yang tersemat di bibir Irina seketika membeku. Menatap Bianca dan Ethan dengan kebengongan. Ethan mendengus tipis. Menatap mamanya yang terlihat konyol dengan kebengongan tersebut. “Tidak bisakah kalian menyembunyikan perasaan kalian dengan lebih baik?” “Kami benar-benar tak mengerti apa yang kau maksud, Ethan. Permainan? Apakah semua ini terlihat seperti permainan di matamu? Aku baru saja mengalami kecelakaan dan membutuhkanmu?” Bianca menunjukkan perban yang membebat tangan kiri dan keningnya. “Kau pikir aku bercanda?” Ethan sama sekali tak tertarik mengamati semua perban dan plester yang terpasang tersebut. Saat mene
Cara pulang lebih lambat pun, Ethan masih belum sampai di apartemen. Ia berusaha tak peduli dengan pengabaian Ethan. Walaupun ada kecemasan yang menyelinap ke dalam hatinya. Kedua kakinya langsung melangkah menuju kamar utama. Merasa begitu penat dan lelah hingga sangat malas hanya untuk sekedar ke kamar mandi. Ia pun hanya berbaring di sofa. Menunggu rasa lelahnya mereda sebelum membersihkan diri. Toh Ethan juga tak akan segera kembali.Kehamilannya kali ini tidak seberat yang pertama. Mungkin karena kali ini bukan anak kembar? Atau …mungkin memang anak kembar. Rasa bersalah menyusup ke dalam hatinya atas ketidak tahuannya. Seharusnya ia segera pergi ke dokter kandungan untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Namun bagaimana jika Ethan tahu? Apa yang harus dikatakannya? Apakah pria itu akan terkejut?Cara menggelengkan kepala. Kenapa sekarang ia harus peduli pada reaksi Ethan? Ia tak pernah mengharapkan kehamilan ini. Tak pernah membayangkan dirinya akan kembali dihamili oleh Ethan
Cara merasa lega –sedikit- menemukan Zaheerlah yang berdiri di balik pintu bilik. Menyambar alat tes kehamilan yang masih diamati oleh pria itu. “Apa yang kau lakukan di toilet wanita, Zaheer?”“Kau hamil?”“Bukan.”“Bukan? Kau pikir aku bekerja di rumah sakit tidak menggunakan otakku, ya?” dengus Zaheer. “Jangan membodohiku, Cara. Aku tahu benda apa itu.”“Itu bukan milikku.”“Dan untuk apa kau menyimpan alat tes kehamilan yang bukan milikmu.”“Dan untuk apa aku melakukan tes kehamilan jika aku melakukan kontrasepsi.” Suara Cara berhasil keluar dengan tanpa getaran sedikit pun. “Kalau kau tak percaya, kau bisa tanya pada Ethan sendiri.”Kedua alis Zaheer bertaut penuh curiga. “Lalu milik siapa itu?”Cara menela ludahnya sambil berpaling. Berjalan mendekati tempat sampah sekaligus menghindari tatapan menelisik Zaheer yang belum sepenuhnya percaya. “Ada seseorang mengirimkannya padaku.”“Apa?”“Pasti milik salah satu wanita Ethan, kan? Semua menginginkan menjadi teman tidur, kekasih da
Ponsel Ethan yang berdering menyela di tengah kesibukan dokter yang memeriksa Cara. Pria itu mengabaikannya, tak melepaskan pengamatannya dari sang dokter. Namun, deringan yang tak kunjung berhenti tersebut tampak mengganggu, Ethan terpaksa mengurus panggilan terebut. Berjalan keluar menjauh. “Ada apa lagi, Bianca?” Cara masih bisa mendengar nada kesal yang diucapkan Ethan sebelum pria itu benar-benar menjauh. Hingga perhatiannya dialihkan oleh pertanyaan dokter tentang apa saja yang ia rasakan. “Mual dan pusing. Sepertinya saya hanya kecapekan, Dok.” “Riwayat penyakit maag?” “Tidak ada. Tapi beberapa hari ini saya kurang berselera makan. Mungkin karena itu.” “Hubungan dengan suami?” Cara menatap sang dokter, tak mengerti. “Ya, hubungan suami istri.” Cara semakin tak mengerti kenapa itu ada hubungannya dengan sakintnya. Dokter wanita itu tersenyum. “Apakah Anda melewatkan tamu bulanan Anda?” Wajah Cara yang sudah pucat tiba-tiba membeku. Menatap kedua mata sang dokter denga
“Dia yang memaksa masuk menggunakan kartu aksesku, Ethan.” Emma mengulurkan kartu hitam mengkilat yang ada di tangannya. “Sepertinya aku harus mengembalikannya padamu, kan? Pengawalmu baru saja membawa barang-barangku ke mobil.” Ethan terdiam. Menatap kartu tersebut tetapi ada hal lain yang memenuhi pikirannya. Alis Emma menyatu melihat Ethan yang tampak lebih diam dari biasanya, dan yang satu ini pasti ada hubungannya dengan kemunculan Bianca yang begitu tiba-tiba tersebut. “Kenapa? Kau baik-baik saja?” Ethan melirik dengan ujung matanya. “Keluarlah. Urusan kita sudah selesai.” Emma terdiam sejenak. “Tidak. Belum, Ethan.” Ethan menghela napas sambil mengambil kartu yang diberikan Emma dan memasukkannya ke dalam laci. “Jika itu tentang perasaanmu. Lupakan, Emma. Aku tak butuh mendengar hal konyol semacam ini lagi.” Wajah Emma memerah, kecewa sekaligus malu. “Kau tak perlu memikirkan apa yang pernah Bianca lakukan untuk hidupmu, Ethan. Saat itu kau masih anak-anak dan dia meman
“Aku berhasil menemukannya. Setelah satu atau dua minggu menyelam di sana.”Cara masih membeku dalam keterkejutannya. Untuk waktu yang cukup lama. Menatap benda dengan hiasan permata tersebut. Ia sudah lupa bagaimana bentuk cincin yang Ethan selipkan di jari manisnya dengan penuh pemaksaan tersebut.“Apakah itu artinya pernikahan kalian juga …”“Ya, aku menggunakan pistol yang menempel di kepalanya untuk memaksanya mengucapka sumpah pernikahan.” Ethan menatap lurus kedua mata Cara. “Matanya yang jernih dipenuhi air mata. Bibirnya bergetar karena ketakutan dan wajahnya yang sepucat mayat tampak begitu cantik di mataku. Tapi …” Ethan sengaja mengulur kalimatnya, mengamati lebih lekat wajah Cara sebelum kemudian menyambar satu ciuman singkat di bibir wanita itu. “Dia memang selalu terlihat cantik. Tepat seperti yang dikatakan oleh Mano. Kau setuju?”Bianca menatap Cara dengan senyum yang lebih lebar. Menyembunyikan ribuan tanya yang mendadak muncul di benaknya. “Kau menyelam?”Ethan meng
Cara menatap punggung Ethan dan Zaheer yang menghilang di antara kerumunan para tamu. Acara sudah berubah menjadi lebih santai. Para undangan membentuk kerumunan. Saling mengobrol antara keluarga, teman lama, atau sekedar kolega. Hanya dirinyalah yang tak memiliki siapa pun untuk diajak bicara, apalagi mengobrol dan bercanda tawa.Tak ingin terlihat lebih tolol, Cara mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mencari-cari sesuatu yang bisa dikerjakannya di tengah keramaian pesta ini. Dan rasa lapar yang mendadak datang membawa kakinya menuju meja prasmanan di seberang ruangan. menemukan pie telur di tepi meja. Tangannya terulur, tetapi pemilik tangan lain yang terulur seketika membuatnya membeku.“Kau memiliki keberanian yang besar datang ke tempat ini?” Irina meletakkan pie telur di tangannya ke piring milik Cara. Tatapannya dingin, begitu pun ujung bibirnya yang membentuk senyum datar. Seperti yang selalu dimiliki Ethan ketika tak menyukai keputusannya untuk tidak membalas perasaan pria i
“Ada apa dengan malam ini?” Cara menurunkan gaun pesta yang baru saja dibawa Ethan masuk. Lengkap dengan sepatu dan penata rias yang akan datang beberapa saat lagi. “Kita perlu memberikan selamat untuk pertunangan Emma dan Zevan, kan? Bagaimana pun dia adalah saudaraku.” Cara baru teringat. Zevan sempat memberitahunya tentang kesepakatan dalam pernikahan tersebut ketika keduanya tak sengaja bertemu di lobi dua hari yang lalu. Pria itu baru saja mengunjungi butik yang kebetulan berada di sekitar gedung Ethan. “Kau lupa?” Ethan meletakkan kedua tangannya di pinggang Cara, membawa tubuh wanita itu menempel di tubuhnya. Tak ada lagi penolakan dari wanita itu, bahkan wanita itu sudah mulai terbiasa dengan sentuhan-sentuhan ringannya. Pun begitu, masih saja ada jarak jika itu pembicaraan tentang Zevan. Cara menggeleng pelan. “Aku terlalu sibuk. Aku tak ingat kalau acaranya malam ini. Dan aku tak yakin keberadaanku dibutuhkan di tempat itu. Itu acara yang ….” “Aku membutuhkanmu