Ren Hui berjalan perlahan ditemani Baihua. Dengan berpayungan, dia menelusuri jalan setapak yang membawanya masuk lebih jauh ke dalam hutan bambu. Hujan masih turun rintik-rintik, membasahi permukaan bumi.
Perlahan dia mendongakkan kepalanya, menatap langit yang tertutup mendung. Menadahkan tangan kirinya, membiarkan air hujan membasahi telapak tangannya. Ingatannya kembali melayang ke masa lalu, masa-masa yang sangat ingin diulanginya meski hanya sekejap.Di suatu masa, di suatu tempat yang dia sendiri tidak pernah ingat namanya, pertama kalinya dia bertemu dengan Guru Liuxing. Dia yang hidup sendiri di jalanan. Seorang bocah cilik berusia empat atau lima tahun, meringkuk di sudut bangunan kosong terlantar."Siapa namamu, Nak?" Seorang pria berjubah putih sederhana berjongkok di dekatnya. Menatapnya lekat-lekat dengan tatapan iba.Ren Hui menggelengkan kepalanya. Dia tidak ingat namanya sendiri. Bahkan mengapa dia ada di jalanan pun dia tak pernaHujan masih turun dengan deras, menciptakan simfoni alam yang menenangkan. Suasana di hutan bambu semakin sepi, seolah-olah seluruh dunia terhenti. Tidak ada seorang pun, bahkan hewan, yang berkeliaran di cuaca seperti ini. Hanya ada Ren Hui yang masih berdiri terpaku, ditemani oleh Baihua yang setia. Rubah putih itu berteduh di bawah sebongkah batu besar yang menaunginya, melindunginya dari air hujan yang deras.Ren Hui perlahan menurunkan payungnya, memutar payung yang terbuka. Awalnya pelan, tetapi semakin lama semakin cepat. Tubuhnya juga berputar cepat, bak tengah memutar pedangnya yang tajam. Air hujan yang tercurah membasahi payung itu turut berputar, menciptakan gelombang air yang semakin lama semakin membesar. Serpihan air berhamburan bak ujung pisau yang tajam, mencipratkan kilauan di udara.Akibatnya, sebuah gelombang berkekuatan besar menghantam pohon-pohon bambu, membuatnya tumbang bak terpotong pedang yang tajam. Suaranya bergemuruh hingga terdengar k
Suasana malam di Pondok Bambu Hijau begitu sunyi. Hanya gemericik hujan disertai desau angin yang terdengar. Hujan sedari siang tidak berhenti. Hanya sesekali mereda kemudian turun deras lagi.Song Mingyu duduk di kursi di dekat tempat tidur. Menjaga Ren Hui yang masih terbaring pulas. Begitu juga dengan Junjie. Sepertinya obat yang mereka minum mengandung bahan yang membuat mereka tertidur begitu pulas."Aku tidak mengerti. Mengapa mereka berdua seperti orang yang putus asa. Junjie seharian ini bungkam dan tidak mau berbicara. Sedangkan Ren Hui jatuh sakit." Song Mingyu mengeluh di dalam hati."Eh, sebenarnya apa yang dilakukannya di hutan bambu tadi? Apakah dia hendak mengambil batang bambu saat sakitnya tiba-tiba kambuh?" Song Mingyu teringat akan batang-batang bambu yang berserakan di sekitar tempat Ren Hui ditemukannya.Song Mingyu berdiri karena mendengar sesuatu di luar kamarnya. Bergegas dia mengintip melalui celah di pintu kamarnya. Rupan
Song Mingyu meluncur turun dari atap, memilih memasuki kamar melalui jendela. Dengan cekatan, ia mencongkel jendela tanpa kesulitan. Begitu masuk, ia segera menemukan benda yang dicarinya.Peti mati itu terletak di tengah kamar. Suasana kamar yang cukup terang, berkat lentera dan lilin yang menyala di beberapa sudut, memudahkannya untuk menyelidiki.Dengan hati-hati, ia mendekati peti mati yang diletakkan dalam peti kayu. Dengan sekali dorong, ia membuka tutup peti kayu itu. Song Mingyu tertegun menatap benda di dalamnya."Peti mati giok lavender," gumamnya pelan. Ia menyentuh permukaan peti mati yang terbuat dari giok langka dan berharga itu. "Bagaimana cara membuka peti ini?" pikirnya, mencoba mengingat apa yang pernah didengarnya tentang Ren Jie."Ada dua cara untuk membuka peti itu. Yang pertama dengan mekanisme yang hanya bisa dioperasikan oleh Guru Liuxing serta dua muridnya, Ye Hun dan aku. Cara kedua dengan kunci giok milik Ren Jie." Demik
Song Mingyu menghabiskan tehnya dengan tergesa-gesa. Hatinya masih berdebar kencang. Meskipun, orang-orang Biro Kupu-kupu Emas tidak menyadari mereka berdua telah menyelinap ke dalam kamar tempat peti mati giok lavender disimpan, tetapi dia tidak dapat menahan gejolak di dalam hatinya."Ren Hui, wanita itu masih hidup bukan?" tanyanya pada pedagang arak yang tengah duduk terpekur di depannya. Pria itu sama sekali tidak merespon pertanyaannya.Song Mingyu tertegun. Ren Hui sepertinya juga masih syok dengan apa yang dilihatnya di dalam peti mati giok lavender tadi. Bagaimana pun juga, bukan hal yang wajar jika menemukan sosok manusia yang terbaring dalam peti mati, entah itu hidup atau mati."Dia masih hidup," gumam Ren Hui pelan. Lebih pada dirinya sendiri, bukan jawaban untuk pertanyaan Song Mingyu barusan."Apakah kita bisa meminta pertolongan Yue Yingying untuk mengobatinya?" Song Mingyu bertanya dengan hati-hati. Ren Hui seperti tersa
"Sampai kapan hujan ini akan berhenti?" keluh Song Mingyu seraya menatap hujan yang turun dengan derasnya. Tetesan air yang jatuh dari langit seolah tak pernah berhenti, menciptakan suasana dingin yang menggigit nan sendu.Ini hari ketiga mereka berada di desa Yuhua. Cuaca belum juga bersahabat. Hampir setiap hari hujan turun, membuat siapapun enggan untuk melakukan apapun. Udara dingin menyelimuti desa, menambah kesan suram pada suasana."Semakin lama bunga Yuhua mekar, itu semakin bagus untuk rencana kita. Bukankah begitu?" Ren Hui tersenyum melirik Junjie. Pria itu sedari tadi duduk dengan memegang cangkir berisi arak panas, uapnya mengepul tipis di udara.Di sisinya, tungku pemanas menyala untuk menghangatkan tubuhnya. Dia yang paling menderita dengan cuaca di desa Yuhua ini. Penyakit dinginnya tak kunjung mereda, justru semakin bertambah parah. Bibirnya sampai begitu pucat, jauh dari rona merah seperti biasanya."Aku sudah berkirim kabar pada
Beberapa hari berlalu dan hujan masih turun meski sudah tidak sesering seperti saat pertama kali bunga Yuhua bermekaran. Bunga-bunga cantik berwarna putih dan beraroma harum itu kini mulai berguguran, menutupi tanah dengan kelopak-kelopak lembut yang mengingatkan pada salju musim semi.Perlahan-lahan suasana menjadi lebih ceria. Setidaknya matahari bersinar lebih lama hingga tengah hari, menghangatkan suasana di pedesaan yang sepi itu. Namun, meski begitu, para tamu di Pondok Bambu Hijau belum berani melanjutkan perjalanan karena hujan masih sering turun di malam hari, menciptakan simfoni tetesan air yang menenangkan sekaligus mengkhawatirkan.Perbatasan Kota Chunyu masih termasuk dalam wilayah Desa Yuhua, sehingga hujan masih akan turun hingga di perbatasan. Tidak ada yang berani mengambil risiko dengan melanjutkan perjalanan dalam cuaca seperti itu, khawatir terjebak hujan deras di tengah hutan bambu yang merupakan satu-satunya jalur menuju Kota Chunyu. Hutan bam
Song Mingyu menatap benda yang kini berada di tengah-tengah rumah beroda. Sementara itu, Ren Hui dan Junjie duduk santai, menikmati teh dan aneka kudapan ditemani Nyonya Gao. Aroma teh bunga krisan yang harum memenuhi ruangan, menciptakan suasana tenang dan damai."Apakah Tuan Muda Song cukup puas dengan hasil kerja orang-orang Pondok Bambu Hijau?" tanya Nyonya Gao sambil menuangkan teh untuk dua pria di hadapannya. Matanya melirik pemuda yang berdiri berkacak pinggang di tengah ruangan itu."Nyonya Gao, Anda memang hebat!" puji Song Mingyu dengan tulus. Kekaguman terpancar dari wajahnya atas tindakan cepat pemilik penginapan Pondok Bambu Hijau itu."Lilin adalah salah satu hasil kerajinan yang jarang diketahui oleh orang-orang dari luar desa Yuhua. Mereka tidak pernah tahu desa ini memproduksi lilin. Bagiku, menyiapkannya dalam jumlah banyak dan waktu singkat sama sekali tidak sulit," ujar Nyonya Gao sambil tersenyum anggun, menyesap tehnya dengan elegan.
Perjalanan menuju Kota Chunyu tidak mengalami masalah yang berarti. Hanya sesekali mereka bertemu rombongan pedagang atau pengelana. Namun, tidak ada yang terjadi selain hanya sekadar berpapasan dan saling menyapa ala kadarnya.Menjelang festival musim gugur yang biasanya dirayakan di pertengahan musim, mereka tiba di Kota Chunyu. Song Mingyu sangat antusias dengan suasana kota yang jauh berbeda dengan Kota Lingyun atau kota-kota yang telah dilewatinya selama perjalanan bersama Ren Hui dan Junjie.Kota Chunyu, sesuai dengan namanya yang kurang lebih bermakna hujan musim semi, kota ini akan begitu meriah di musim semi. Bunga-bunga bermekaran di setiap sudut kota, memberikan warna-warni cerah. Hujan musim semi yang lembut sering turun, menciptakan genangan air kecil yang memantulkan langit biru dan awan putih. Burung-burung berkicau riang, dan udara dipenuhi dengan aroma bunga yang segar.Di musim gugur seperti sekarang ini, kota Chunyu diselimuti
Miu Yue berdiri perlahan, melangkah menuju Baihua yang berhenti di ambang pintu, seolah sedang menunggu seseorang. Rubah berbulu putih itu memandangi padang pasir di luar dengan tatapan tajam, angin gurun yang dingin menerobos masuk, membawa aroma pasir dan sedikit kelembaban dari oasis. Wanita itu berjongkok di hadapannya, tangan lembutnya mengusap kepala rubah itu. Namun, Baihua memalingkan wajah, menatapnya dengan mata penuh kewaspadaan—tatapan dingin yang selalu ia tunjukkan pada orang asing yang belum sepenuhnya ia percaya.“Baihua! Kemari!” Suara Junjie memecah keheningan, panggilannya lembut tetapi tegas, memaksa Baihua mengalihkan perhatian dari pintu. Rubah itu melompat ringan, berlari mendekatinya. Junjie, yang saat itu sedang bersandar santai di kursi, membungkuk, matanya meneliti sesuatu yang dijepit di moncong Baihua.“Apa yang kau bawa kali ini?” tanyanya penasaran. Baihua meletakkan benda itu di lantai kayu, lalu menatap Junjie, seakan menunggu tangg
Seperti yang dikatakan Ren Hui, keesokan harinya semua kembali seperti biasa. Pria itu telah meninggalkan rumah beroda untuk berburu, ditemani Baihua, sejak fajar menyingsing. Tanpa berpamitan pada Junjie, langkahnya yang diam-diam menyisakan ruang sunyi di rumah itu. Saat Junjie terbangun dan tak menemukan Ren Hui di mana pun, kebingungan segera menyergapnya.Junjie berdiri di teras, menatap hamparan oasis merah yang membentang di hadapannya. Udara pagi yang dingin menyusup hingga ke tulang, namun tidak mengusir kecemasannya. Meski dikenal santai dan malas, kali ini kerutan di dahinya mengkhianati perasaannya."Kemana dia?" gumamnya pelan, matanya bergerak gelisah, menyapu setiap sudut horizon. Bubur hangat dan teh yang telah disiapkan Ren Hui sejak pagi masih tertata rapi, namun sama sekali tak disentuh.Sebuah suara ragu-ragu memecah kesunyian. "Tuan! Apa Anda menunggu Tuan Ren?" Seorang gadis muda dengan gentong di tangannya menatapnya dari jauh, nada
Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"