Suasana malam di Pondok Bambu Hijau begitu sunyi. Hanya gemericik hujan disertai desau angin yang terdengar. Hujan sedari siang tidak berhenti. Hanya sesekali mereda kemudian turun deras lagi.
Song Mingyu duduk di kursi di dekat tempat tidur. Menjaga Ren Hui yang masih terbaring pulas. Begitu juga dengan Junjie. Sepertinya obat yang mereka minum mengandung bahan yang membuat mereka tertidur begitu pulas."Aku tidak mengerti. Mengapa mereka berdua seperti orang yang putus asa. Junjie seharian ini bungkam dan tidak mau berbicara. Sedangkan Ren Hui jatuh sakit." Song Mingyu mengeluh di dalam hati."Eh, sebenarnya apa yang dilakukannya di hutan bambu tadi? Apakah dia hendak mengambil batang bambu saat sakitnya tiba-tiba kambuh?" Song Mingyu teringat akan batang-batang bambu yang berserakan di sekitar tempat Ren Hui ditemukannya.Song Mingyu berdiri karena mendengar sesuatu di luar kamarnya. Bergegas dia mengintip melalui celah di pintu kamarnya. RupanSong Mingyu meluncur turun dari atap, memilih memasuki kamar melalui jendela. Dengan cekatan, ia mencongkel jendela tanpa kesulitan. Begitu masuk, ia segera menemukan benda yang dicarinya.Peti mati itu terletak di tengah kamar. Suasana kamar yang cukup terang, berkat lentera dan lilin yang menyala di beberapa sudut, memudahkannya untuk menyelidiki.Dengan hati-hati, ia mendekati peti mati yang diletakkan dalam peti kayu. Dengan sekali dorong, ia membuka tutup peti kayu itu. Song Mingyu tertegun menatap benda di dalamnya."Peti mati giok lavender," gumamnya pelan. Ia menyentuh permukaan peti mati yang terbuat dari giok langka dan berharga itu. "Bagaimana cara membuka peti ini?" pikirnya, mencoba mengingat apa yang pernah didengarnya tentang Ren Jie."Ada dua cara untuk membuka peti itu. Yang pertama dengan mekanisme yang hanya bisa dioperasikan oleh Guru Liuxing serta dua muridnya, Ye Hun dan aku. Cara kedua dengan kunci giok milik Ren Jie." Demik
Song Mingyu menghabiskan tehnya dengan tergesa-gesa. Hatinya masih berdebar kencang. Meskipun, orang-orang Biro Kupu-kupu Emas tidak menyadari mereka berdua telah menyelinap ke dalam kamar tempat peti mati giok lavender disimpan, tetapi dia tidak dapat menahan gejolak di dalam hatinya."Ren Hui, wanita itu masih hidup bukan?" tanyanya pada pedagang arak yang tengah duduk terpekur di depannya. Pria itu sama sekali tidak merespon pertanyaannya.Song Mingyu tertegun. Ren Hui sepertinya juga masih syok dengan apa yang dilihatnya di dalam peti mati giok lavender tadi. Bagaimana pun juga, bukan hal yang wajar jika menemukan sosok manusia yang terbaring dalam peti mati, entah itu hidup atau mati."Dia masih hidup," gumam Ren Hui pelan. Lebih pada dirinya sendiri, bukan jawaban untuk pertanyaan Song Mingyu barusan."Apakah kita bisa meminta pertolongan Yue Yingying untuk mengobatinya?" Song Mingyu bertanya dengan hati-hati. Ren Hui seperti tersa
"Sampai kapan hujan ini akan berhenti?" keluh Song Mingyu seraya menatap hujan yang turun dengan derasnya. Tetesan air yang jatuh dari langit seolah tak pernah berhenti, menciptakan suasana dingin yang menggigit nan sendu.Ini hari ketiga mereka berada di desa Yuhua. Cuaca belum juga bersahabat. Hampir setiap hari hujan turun, membuat siapapun enggan untuk melakukan apapun. Udara dingin menyelimuti desa, menambah kesan suram pada suasana."Semakin lama bunga Yuhua mekar, itu semakin bagus untuk rencana kita. Bukankah begitu?" Ren Hui tersenyum melirik Junjie. Pria itu sedari tadi duduk dengan memegang cangkir berisi arak panas, uapnya mengepul tipis di udara.Di sisinya, tungku pemanas menyala untuk menghangatkan tubuhnya. Dia yang paling menderita dengan cuaca di desa Yuhua ini. Penyakit dinginnya tak kunjung mereda, justru semakin bertambah parah. Bibirnya sampai begitu pucat, jauh dari rona merah seperti biasanya."Aku sudah berkirim kabar pada
Beberapa hari berlalu dan hujan masih turun meski sudah tidak sesering seperti saat pertama kali bunga Yuhua bermekaran. Bunga-bunga cantik berwarna putih dan beraroma harum itu kini mulai berguguran, menutupi tanah dengan kelopak-kelopak lembut yang mengingatkan pada salju musim semi.Perlahan-lahan suasana menjadi lebih ceria. Setidaknya matahari bersinar lebih lama hingga tengah hari, menghangatkan suasana di pedesaan yang sepi itu. Namun, meski begitu, para tamu di Pondok Bambu Hijau belum berani melanjutkan perjalanan karena hujan masih sering turun di malam hari, menciptakan simfoni tetesan air yang menenangkan sekaligus mengkhawatirkan.Perbatasan Kota Chunyu masih termasuk dalam wilayah Desa Yuhua, sehingga hujan masih akan turun hingga di perbatasan. Tidak ada yang berani mengambil risiko dengan melanjutkan perjalanan dalam cuaca seperti itu, khawatir terjebak hujan deras di tengah hutan bambu yang merupakan satu-satunya jalur menuju Kota Chunyu. Hutan bam
Song Mingyu menatap benda yang kini berada di tengah-tengah rumah beroda. Sementara itu, Ren Hui dan Junjie duduk santai, menikmati teh dan aneka kudapan ditemani Nyonya Gao. Aroma teh bunga krisan yang harum memenuhi ruangan, menciptakan suasana tenang dan damai."Apakah Tuan Muda Song cukup puas dengan hasil kerja orang-orang Pondok Bambu Hijau?" tanya Nyonya Gao sambil menuangkan teh untuk dua pria di hadapannya. Matanya melirik pemuda yang berdiri berkacak pinggang di tengah ruangan itu."Nyonya Gao, Anda memang hebat!" puji Song Mingyu dengan tulus. Kekaguman terpancar dari wajahnya atas tindakan cepat pemilik penginapan Pondok Bambu Hijau itu."Lilin adalah salah satu hasil kerajinan yang jarang diketahui oleh orang-orang dari luar desa Yuhua. Mereka tidak pernah tahu desa ini memproduksi lilin. Bagiku, menyiapkannya dalam jumlah banyak dan waktu singkat sama sekali tidak sulit," ujar Nyonya Gao sambil tersenyum anggun, menyesap tehnya dengan elegan.
Perjalanan menuju Kota Chunyu tidak mengalami masalah yang berarti. Hanya sesekali mereka bertemu rombongan pedagang atau pengelana. Namun, tidak ada yang terjadi selain hanya sekadar berpapasan dan saling menyapa ala kadarnya.Menjelang festival musim gugur yang biasanya dirayakan di pertengahan musim, mereka tiba di Kota Chunyu. Song Mingyu sangat antusias dengan suasana kota yang jauh berbeda dengan Kota Lingyun atau kota-kota yang telah dilewatinya selama perjalanan bersama Ren Hui dan Junjie.Kota Chunyu, sesuai dengan namanya yang kurang lebih bermakna hujan musim semi, kota ini akan begitu meriah di musim semi. Bunga-bunga bermekaran di setiap sudut kota, memberikan warna-warni cerah. Hujan musim semi yang lembut sering turun, menciptakan genangan air kecil yang memantulkan langit biru dan awan putih. Burung-burung berkicau riang, dan udara dipenuhi dengan aroma bunga yang segar.Di musim gugur seperti sekarang ini, kota Chunyu diselimuti
Ren Hui tersenyum mendengar Junjie menceritakan pertarungan mereka di menara kota Chunyu beberapa tahun lalu kepada Song Mingyu. Tanpa sadar, dia pun terhanyut dalam kenangan musim semi tiga belas tahun lalu.Kala itu, dia baru berusia tujuh belas tahun, sama halnya dengan Pangeran Yongle, putra ketujuh Kaisar Shengguan. Mereka masih begitu muda, penuh dengan ambisi dan gairah.Bertarung untuk menentukan siapa yang terkuat menjadi salah satu cara mereka menggapai mimpi dan ambisi. Bukan pertarungan hidup atau mati, hanya adu kekuatan semata.Musim semi tahun itu, festival musim di Kota Chunyu memasuki puncaknya. Saat turnamen mencapai babak akhir dan mempertemukan dua pemegang pedang empat musim, perhatian seluruh penduduk dan pengunjung kota tertuju pada pertarungan itu.Wang Jiang, putra penguasa Kota Tianxia sekaligus pemegang pedang musim semi, akan menghadapi Pangeran Yongle, putra mahkota sekaligus pemegang pedang musim panas. Pertarungan me
Ren Jie sang Dewa Pedang, berdiri tegak di puncak Menara Pengawas Langit. Hanfu berwarna biru keunguan yang dikenakannya berkibar tertiup angin musim semi yang semilir. Begitupun dengan rambut hitam panjangnya yang tergerai dan hanya dijepit dengan penjepit kayu sederhana.Sosoknya begitu tenang, seakan-akan tidak terganggu dengan pertarungan yang baru saja dihentikannya. Tahun ini, di turnamen musim semi Kota Chunyu, dia hanya menonton saja tanpa bermaksud untuk turut serta bertarung bersama para pendekar hebat di Jiang Hu."Ren Jie!" Wang Jiang berseru memanggilnya. Pemuda tampan itu sangat senang dengan kedatangannya. Mereka berdua memang bersahabat sejak lama."Kalian ini bertarung atau mau menghancurkan kota?" Ren Jie bertanya seraya menoleh. Dari tempatnya berdiri, dia dapat melihat seluruh suasana kota Chunyu yang menjadi sedikit kacau akibat pertarungan dua pendekar pedang empat musim."Kami tidak bermaksud seperti itu," sahut Pangeran Yon