Song Mingyu menatap benda yang kini berada di tengah-tengah rumah beroda. Sementara itu, Ren Hui dan Junjie duduk santai, menikmati teh dan aneka kudapan ditemani Nyonya Gao. Aroma teh bunga krisan yang harum memenuhi ruangan, menciptakan suasana tenang dan damai.
"Apakah Tuan Muda Song cukup puas dengan hasil kerja orang-orang Pondok Bambu Hijau?" tanya Nyonya Gao sambil menuangkan teh untuk dua pria di hadapannya. Matanya melirik pemuda yang berdiri berkacak pinggang di tengah ruangan itu."Nyonya Gao, Anda memang hebat!" puji Song Mingyu dengan tulus. Kekaguman terpancar dari wajahnya atas tindakan cepat pemilik penginapan Pondok Bambu Hijau itu."Lilin adalah salah satu hasil kerajinan yang jarang diketahui oleh orang-orang dari luar desa Yuhua. Mereka tidak pernah tahu desa ini memproduksi lilin. Bagiku, menyiapkannya dalam jumlah banyak dan waktu singkat sama sekali tidak sulit," ujar Nyonya Gao sambil tersenyum anggun, menyesap tehnya dengan elegan.Perjalanan menuju Kota Chunyu tidak mengalami masalah yang berarti. Hanya sesekali mereka bertemu rombongan pedagang atau pengelana. Namun, tidak ada yang terjadi selain hanya sekadar berpapasan dan saling menyapa ala kadarnya.Menjelang festival musim gugur yang biasanya dirayakan di pertengahan musim, mereka tiba di Kota Chunyu. Song Mingyu sangat antusias dengan suasana kota yang jauh berbeda dengan Kota Lingyun atau kota-kota yang telah dilewatinya selama perjalanan bersama Ren Hui dan Junjie.Kota Chunyu, sesuai dengan namanya yang kurang lebih bermakna hujan musim semi, kota ini akan begitu meriah di musim semi. Bunga-bunga bermekaran di setiap sudut kota, memberikan warna-warni cerah. Hujan musim semi yang lembut sering turun, menciptakan genangan air kecil yang memantulkan langit biru dan awan putih. Burung-burung berkicau riang, dan udara dipenuhi dengan aroma bunga yang segar.Di musim gugur seperti sekarang ini, kota Chunyu diselimuti
Ren Hui tersenyum mendengar Junjie menceritakan pertarungan mereka di menara kota Chunyu beberapa tahun lalu kepada Song Mingyu. Tanpa sadar, dia pun terhanyut dalam kenangan musim semi tiga belas tahun lalu.Kala itu, dia baru berusia tujuh belas tahun, sama halnya dengan Pangeran Yongle, putra ketujuh Kaisar Shengguan. Mereka masih begitu muda, penuh dengan ambisi dan gairah.Bertarung untuk menentukan siapa yang terkuat menjadi salah satu cara mereka menggapai mimpi dan ambisi. Bukan pertarungan hidup atau mati, hanya adu kekuatan semata.Musim semi tahun itu, festival musim di Kota Chunyu memasuki puncaknya. Saat turnamen mencapai babak akhir dan mempertemukan dua pemegang pedang empat musim, perhatian seluruh penduduk dan pengunjung kota tertuju pada pertarungan itu.Wang Jiang, putra penguasa Kota Tianxia sekaligus pemegang pedang musim semi, akan menghadapi Pangeran Yongle, putra mahkota sekaligus pemegang pedang musim panas. Pertarungan me
Ren Jie sang Dewa Pedang, berdiri tegak di puncak Menara Pengawas Langit. Hanfu berwarna biru keunguan yang dikenakannya berkibar tertiup angin musim semi yang semilir. Begitupun dengan rambut hitam panjangnya yang tergerai dan hanya dijepit dengan penjepit kayu sederhana.Sosoknya begitu tenang, seakan-akan tidak terganggu dengan pertarungan yang baru saja dihentikannya. Tahun ini, di turnamen musim semi Kota Chunyu, dia hanya menonton saja tanpa bermaksud untuk turut serta bertarung bersama para pendekar hebat di Jiang Hu."Ren Jie!" Wang Jiang berseru memanggilnya. Pemuda tampan itu sangat senang dengan kedatangannya. Mereka berdua memang bersahabat sejak lama."Kalian ini bertarung atau mau menghancurkan kota?" Ren Jie bertanya seraya menoleh. Dari tempatnya berdiri, dia dapat melihat seluruh suasana kota Chunyu yang menjadi sedikit kacau akibat pertarungan dua pendekar pedang empat musim."Kami tidak bermaksud seperti itu," sahut Pangeran Yon
Song Mingyu mendengarkan Junjie bercerita dengan penuh perhatian. Sekali lagi dia menatap Menara Pengawas Langit, membayangkan pertarungan yang berakhir dengan indah dan selalu dikenang penduduk Kota Chunyu."Aku juga pernah mendengar kisah ini. Karena itu aku selalu ingin mengunjungi Kota Chunyu. Sayangnya ibuku menentang keras keinginanku itu." Song Mingyu berdecak kesal.Sang ibunda memang tidak pernah mengijinkannya berkelana di Jiang Hu. Wanita itu sangat mengkhawatirkan dirinya dengan alasan dia adalah putra satu-satunya keluarga Song. Meski sebenarnya dia memiliki beberapa sepupu, tetapi mereka jauh lebih dewasa dan semuanya para wanita yang bawel dan merepotkan. Setidaknya itu menurut Song Mingyu."Eh, Junjie! Apa saat itu kau ada di sini juga?" Song Mingyu bertanya setelah terdiam beberapa saat."Tentu saja aku ada di sini. Bukankah begitu, Ren Hui?" Junjie tersenyum dan menyentuh bahu pria yang tengah bertopang dagu, entah apa yang tenga
Hutan bambu emas berbisik, merupakan sebuah wilayah di pinggiran kota Chunyu. Disebut demikian, karena wilayah ini didominasi pepohonan bambu. Hutan ini terkenal dengan batang-batang bambu keemasan saat tertimpa sinar matahari sore. Dan gemerisik dedaunan bambu yang tertiup angin bak bisikan-bisikan lembut para peri.Ren Hui meminta Song Mingyu untuk berhenti di dekat sungai seperti biasanya. Setelah menambatkan para kuda di batang pohon persik yang tumbuh di tepi sungai, Song Mingyu mengambil air untuk persediaan. Sedangkan Ren Hui seperti biasa, sibuk di dapur, memasak sesuatu untuk makan malam mereka.Junjie ditemani Baihua, merapikan barang-barang yang dibawa Ren Hui dari toko obat. Dia melipat selimut-selimut tebal, mantel, beberapa helai pakaian dan juga sepatu. Semua itu merupakan persiapan untuk musim dingin nanti."Kau simpan saja di lemari sebelah sana!" Ren Hui menunjuk pada lemari obat di ujung selasar. Junjie tidak menjawab dan hanya bekerja
Junjie dan Song Mingyu menatap Ren Hui. Mereka tidak mengerti ucapannya barusan. Rasanya mustahil, Junjie mengalami masalah dengan indra pengecapnya. Meski kondisi tubuhnya memang belum membaik, tetapi rasanya tidak separah itu."Tidak apa, itu hanya sementara saja. Besok Yue Yingying akan mengobatimu lagi sekalian memeriksa dia." Ren Hui menenangkannya seraya melirik peti mati yang mereka simpan di sudut selasar dan ditutupi kain.Junjie dan Song Mingyu serentak mengikuti tatapannya. Beberapa hari ini, mereka belum berani membuka peti mati yang mereka curi dari Biro Kupu-kupu Emas. Menurut Nyonya Gao, kondisi Ye Hun tidak seperti kondisi orang-orang sakit pada umumnya.Dia telah berada di dalam peti mati itu kurang lebih selama dua tahun. Rasanya tidak mungkin tidak terjadi sesuatu yang harus diwaspadai. Karena itu dia menyarankan mereka untuk menunggu Dewa Obat dan muridnya, Tabib Ilahi Yue Yingying. Mereka berdua pasti lebih paham bagaimana harus menang
Junjie duduk di kursi di luar rumah beroda, berjemur di bawah sinar matahari. Meski di musim gugur, sinar matahari tak sehangat di musim panas, tetapi itu cukup menghangatkan tubuhnya yang semakin sering menggigil kedinginan."Minumlah tehmu!" Ren Hui menuangkan teh krisan yang direbusnya dengan jahe dan sedikit gula merah, agar terasa lebih nikmat. Meski indra pengecap Junjie belum membaik seperti semula."Apa kau baik-baik saja setelah semalam berlatih jurus Pedang Surgawi?" Junjie mengambil cangkir tehnya dan bertanya pada Ren Hui tanpa menatapnya. Dia justru berpura-pura meniup teh panasnya."Selama aku tidak menggunakan tenaga dalam, maka semuanya baik-baik saja," sahut Ren Hui pelan. Dia melirik Song Mingyu yang tengah mengajak Baihua bermain. Mereka berkejaran di sekitar hutan bambu yang sunyi."Apakah tidak ada cara untuk menetralisir racun dalam tubuhmu?" Junjie kembali bertanya. Pria itu menatapnya dengan kekhawatiran tergambar jelas di
Ucapan pria tua itu membuat Ren Hui hampir tersedak tehnya. Begitu pula dengan Junjie yang ternganga dan tidak jadi menyesap tehnya. Dia menoleh dan menatap Song Mingyu lekat-lekat."Aku pernah bertemu dengan Zhu Zijing. Beberapa kali. Terakhir kali sesaat sebelum turnamen di ibukota. Dia sangat mirip denganmu, anak muda," pria itu melanjutkan ucapannya, tidak mempedulikan reaksi Ren Hui dan Junjie."Dia berasal dari Manor Song. Tidak ada hubungannya dengan mendiang ketua sekte Pedang Langit," Ren Hui menyahut setelah menguasai diri, kembali tenang seperti biasanya."Manor Song? Kau putra Song yang mana?" Pria itu mencondongkan tubuhnya ke depan Song Mingyu dan bertanya dengan serius."Dia putra Tuan Song Yanzhu," kali ini Junjie yang menyahut ucapannya. Setelah hilang keterkejutannya atas ucapan pria tua itu, dia kembali bersikap seperti biasanya. Duduk santai bak pemalas dengan bersedekap tangan."Song Yanzhu? Berarti ibumu adalah Su Ya
Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil
Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk
Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan
Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.
Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny
Baihua mendengking lebih keras, ekornya yang lebat melambai gelisah. Rubah putih itu duduk tegak di tengah jalan, tepat di depan Ren Hui, seolah menjadi penghalang agar tuannya tidak melangkah lebih jauh."Ada apa, Baihua?" Ren Hui berjongkok di sisinya, menepuk lembut kepala rubah itu. Bulu putihnya terasa dingin di telapak tangan. "Kalau tidak bergegas, kita akan kemalaman," lanjutnya, mendongak menatap langit. Sinar matahari kian memudar, membiaskan rona jingga samar di cakrawala yang mulai dilingkupi bayangan senja.Baihua kembali mendengking, suaranya menggema lirih di antara desir angin musim dingin. Matanya yang bening berkilau menatap Ren Hui, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucapkan. Ren Hui hanya tersenyum, mengusap kepala rubah itu dengan lebih lembut, lalu mengangkatnya ke dalam pelukan."Apa kau takut?" bisiknya, suaranya selembut bisikan angin. "Jangan khawatir, bukankah kita selalu bersama? Selamanya?"Rubah itu tidak
Ren Hui menapaki jalan setapak berbatu dengan hati-hati. Angin dingin berembus perlahan, membawa aroma salju yang menggantung di udara. Di depan, Baihua berlari kecil mendahuluinya, meninggalkan jejak-jejak samar di atas salju tipis yang menutupi bebatuan. Rubah putih itu seharusnya tetap berada di tepi sungai bersama Yingying, tetapi ketika Ren Hui melangkah menyeberangi jembatan kayu tua, Baihua justru menyusulnya tanpa ragu."Baihua, setelah tiba di atas, kau harus kembali ke sungai. Temani Yingying!" seru Ren Hui.Baihua berhenti berlari, mendengking pelan seolah memprotes perintah itu. Ren Hui terkekeh. Sudah terbiasa dengan tingkah rubah putihnya yang keras kepala. Mereka kembali berjalan, melewati jalan setapak yang mulai menanjak. Batu-batu di bawah kaki mereka terasa licin, tersembunyi di balik lapisan es tipis yang nyaris tak terlihat. Ren Hui menghela napas, memusatkan perhatian pada setiap pijakannya."Baihua, tempat ini tidak banyak berubah,"
Mentari musim dingin baru saja menyembul dari balik awan-awan putih, menyinari lembut permukaan sungai yang mulai membeku. Kabut tipis masih melayang, menyelimuti tanah dengan hawa dingin yang menggigit.Di tepi sungai, Ren Hui duduk santai di atas batang kayu tua, meniup uap tipis dari cangkir teh jahe di tangannya. Aroma hangat jahe bercampur dengan wangi samar goji berry, lavender, madu dan chamomile, menenangkan pikirannya. Baihua, rubah putih berbulu lembut, meringkuk di dekat kakinya. Sesekali mengibaskan ekor, tampak menikmati kedamaian pagi itu.Tak jauh dari tempatnya duduk, sebuah keranjang bambu berisi bekal tertata rapi di atas rerumputan yang mulai tertutup embun beku. Hari ini, dia akan memulai perjalanannya menuju Kota Es, tempat yang hingga kini hanya dianggap legenda oleh penduduk setempat.Suara nyaring memecah ketenangan pagi, menggema di antara dahan pohon yang tertutup salju. "Ren Hui!" Dari teras rumah beroda, Yingying memanggilnya de
Musim berlalu seakan berkejaran dengan waktu. Guguran daun kemerahan musim gugur telah lama tertiup angin, menyertai perjalanan rumah beroda yang bergerak perlahan menuju Báiyuè Shān. Kini, saat salju tipis turun menutupi tanah, musim dingin hampir merampungkan masanya. Rumah beroda milik Ren Hui tetap berjalan tertatih-tatih, menembus rintik salju hingga mencapai kaki pegunungan.Di tengah perjalanan panjang ini, berbagai kabar besar telah berlalu begitu saja—termasuk eksekusi Liuxing dan bahkan mangkatnya Ibu Suri. Namun, roda nasib terus berputar, membawa mereka semakin jauh dari masa lalu.Di Kota Yanyang, kota terakhir sebelum pendakian ke Báiyuè Shān, rumah beroda melaju pelan. Langit kelabu menaungi kota yang namanya memiliki makna "embun beku," membingkai perhentian terakhir sebelum mereka menapaki jalur menuju Kota Es, tempat yang konon hanya ada dalam legenda.Di depan rumah beroda, seorang pria bermantel putih duduk mengemudikan kendaraan sederh