Beberapa hari berlalu dan hujan masih turun meski sudah tidak sesering seperti saat pertama kali bunga Yuhua bermekaran. Bunga-bunga cantik berwarna putih dan beraroma harum itu kini mulai berguguran, menutupi tanah dengan kelopak-kelopak lembut yang mengingatkan pada salju musim semi.
Perlahan-lahan suasana menjadi lebih ceria. Setidaknya matahari bersinar lebih lama hingga tengah hari, menghangatkan suasana di pedesaan yang sepi itu. Namun, meski begitu, para tamu di Pondok Bambu Hijau belum berani melanjutkan perjalanan karena hujan masih sering turun di malam hari, menciptakan simfoni tetesan air yang menenangkan sekaligus mengkhawatirkan.Perbatasan Kota Chunyu masih termasuk dalam wilayah Desa Yuhua, sehingga hujan masih akan turun hingga di perbatasan. Tidak ada yang berani mengambil risiko dengan melanjutkan perjalanan dalam cuaca seperti itu, khawatir terjebak hujan deras di tengah hutan bambu yang merupakan satu-satunya jalur menuju Kota Chunyu. Hutan bamSong Mingyu menatap benda yang kini berada di tengah-tengah rumah beroda. Sementara itu, Ren Hui dan Junjie duduk santai, menikmati teh dan aneka kudapan ditemani Nyonya Gao. Aroma teh bunga krisan yang harum memenuhi ruangan, menciptakan suasana tenang dan damai."Apakah Tuan Muda Song cukup puas dengan hasil kerja orang-orang Pondok Bambu Hijau?" tanya Nyonya Gao sambil menuangkan teh untuk dua pria di hadapannya. Matanya melirik pemuda yang berdiri berkacak pinggang di tengah ruangan itu."Nyonya Gao, Anda memang hebat!" puji Song Mingyu dengan tulus. Kekaguman terpancar dari wajahnya atas tindakan cepat pemilik penginapan Pondok Bambu Hijau itu."Lilin adalah salah satu hasil kerajinan yang jarang diketahui oleh orang-orang dari luar desa Yuhua. Mereka tidak pernah tahu desa ini memproduksi lilin. Bagiku, menyiapkannya dalam jumlah banyak dan waktu singkat sama sekali tidak sulit," ujar Nyonya Gao sambil tersenyum anggun, menyesap tehnya dengan elegan.
Perjalanan menuju Kota Chunyu tidak mengalami masalah yang berarti. Hanya sesekali mereka bertemu rombongan pedagang atau pengelana. Namun, tidak ada yang terjadi selain hanya sekadar berpapasan dan saling menyapa ala kadarnya.Menjelang festival musim gugur yang biasanya dirayakan di pertengahan musim, mereka tiba di Kota Chunyu. Song Mingyu sangat antusias dengan suasana kota yang jauh berbeda dengan Kota Lingyun atau kota-kota yang telah dilewatinya selama perjalanan bersama Ren Hui dan Junjie.Kota Chunyu, sesuai dengan namanya yang kurang lebih bermakna hujan musim semi, kota ini akan begitu meriah di musim semi. Bunga-bunga bermekaran di setiap sudut kota, memberikan warna-warni cerah. Hujan musim semi yang lembut sering turun, menciptakan genangan air kecil yang memantulkan langit biru dan awan putih. Burung-burung berkicau riang, dan udara dipenuhi dengan aroma bunga yang segar.Di musim gugur seperti sekarang ini, kota Chunyu diselimuti
Ren Hui tersenyum mendengar Junjie menceritakan pertarungan mereka di menara kota Chunyu beberapa tahun lalu kepada Song Mingyu. Tanpa sadar, dia pun terhanyut dalam kenangan musim semi tiga belas tahun lalu.Kala itu, dia baru berusia tujuh belas tahun, sama halnya dengan Pangeran Yongle, putra ketujuh Kaisar Shengguan. Mereka masih begitu muda, penuh dengan ambisi dan gairah.Bertarung untuk menentukan siapa yang terkuat menjadi salah satu cara mereka menggapai mimpi dan ambisi. Bukan pertarungan hidup atau mati, hanya adu kekuatan semata.Musim semi tahun itu, festival musim di Kota Chunyu memasuki puncaknya. Saat turnamen mencapai babak akhir dan mempertemukan dua pemegang pedang empat musim, perhatian seluruh penduduk dan pengunjung kota tertuju pada pertarungan itu.Wang Jiang, putra penguasa Kota Tianxia sekaligus pemegang pedang musim semi, akan menghadapi Pangeran Yongle, putra mahkota sekaligus pemegang pedang musim panas. Pertarungan me
Ren Jie sang Dewa Pedang, berdiri tegak di puncak Menara Pengawas Langit. Hanfu berwarna biru keunguan yang dikenakannya berkibar tertiup angin musim semi yang semilir. Begitupun dengan rambut hitam panjangnya yang tergerai dan hanya dijepit dengan penjepit kayu sederhana.Sosoknya begitu tenang, seakan-akan tidak terganggu dengan pertarungan yang baru saja dihentikannya. Tahun ini, di turnamen musim semi Kota Chunyu, dia hanya menonton saja tanpa bermaksud untuk turut serta bertarung bersama para pendekar hebat di Jiang Hu."Ren Jie!" Wang Jiang berseru memanggilnya. Pemuda tampan itu sangat senang dengan kedatangannya. Mereka berdua memang bersahabat sejak lama."Kalian ini bertarung atau mau menghancurkan kota?" Ren Jie bertanya seraya menoleh. Dari tempatnya berdiri, dia dapat melihat seluruh suasana kota Chunyu yang menjadi sedikit kacau akibat pertarungan dua pendekar pedang empat musim."Kami tidak bermaksud seperti itu," sahut Pangeran Yon
Song Mingyu mendengarkan Junjie bercerita dengan penuh perhatian. Sekali lagi dia menatap Menara Pengawas Langit, membayangkan pertarungan yang berakhir dengan indah dan selalu dikenang penduduk Kota Chunyu."Aku juga pernah mendengar kisah ini. Karena itu aku selalu ingin mengunjungi Kota Chunyu. Sayangnya ibuku menentang keras keinginanku itu." Song Mingyu berdecak kesal.Sang ibunda memang tidak pernah mengijinkannya berkelana di Jiang Hu. Wanita itu sangat mengkhawatirkan dirinya dengan alasan dia adalah putra satu-satunya keluarga Song. Meski sebenarnya dia memiliki beberapa sepupu, tetapi mereka jauh lebih dewasa dan semuanya para wanita yang bawel dan merepotkan. Setidaknya itu menurut Song Mingyu."Eh, Junjie! Apa saat itu kau ada di sini juga?" Song Mingyu bertanya setelah terdiam beberapa saat."Tentu saja aku ada di sini. Bukankah begitu, Ren Hui?" Junjie tersenyum dan menyentuh bahu pria yang tengah bertopang dagu, entah apa yang tenga
Hutan bambu emas berbisik, merupakan sebuah wilayah di pinggiran kota Chunyu. Disebut demikian, karena wilayah ini didominasi pepohonan bambu. Hutan ini terkenal dengan batang-batang bambu keemasan saat tertimpa sinar matahari sore. Dan gemerisik dedaunan bambu yang tertiup angin bak bisikan-bisikan lembut para peri.Ren Hui meminta Song Mingyu untuk berhenti di dekat sungai seperti biasanya. Setelah menambatkan para kuda di batang pohon persik yang tumbuh di tepi sungai, Song Mingyu mengambil air untuk persediaan. Sedangkan Ren Hui seperti biasa, sibuk di dapur, memasak sesuatu untuk makan malam mereka.Junjie ditemani Baihua, merapikan barang-barang yang dibawa Ren Hui dari toko obat. Dia melipat selimut-selimut tebal, mantel, beberapa helai pakaian dan juga sepatu. Semua itu merupakan persiapan untuk musim dingin nanti."Kau simpan saja di lemari sebelah sana!" Ren Hui menunjuk pada lemari obat di ujung selasar. Junjie tidak menjawab dan hanya bekerja
Junjie dan Song Mingyu menatap Ren Hui. Mereka tidak mengerti ucapannya barusan. Rasanya mustahil, Junjie mengalami masalah dengan indra pengecapnya. Meski kondisi tubuhnya memang belum membaik, tetapi rasanya tidak separah itu."Tidak apa, itu hanya sementara saja. Besok Yue Yingying akan mengobatimu lagi sekalian memeriksa dia." Ren Hui menenangkannya seraya melirik peti mati yang mereka simpan di sudut selasar dan ditutupi kain.Junjie dan Song Mingyu serentak mengikuti tatapannya. Beberapa hari ini, mereka belum berani membuka peti mati yang mereka curi dari Biro Kupu-kupu Emas. Menurut Nyonya Gao, kondisi Ye Hun tidak seperti kondisi orang-orang sakit pada umumnya.Dia telah berada di dalam peti mati itu kurang lebih selama dua tahun. Rasanya tidak mungkin tidak terjadi sesuatu yang harus diwaspadai. Karena itu dia menyarankan mereka untuk menunggu Dewa Obat dan muridnya, Tabib Ilahi Yue Yingying. Mereka berdua pasti lebih paham bagaimana harus menang
Junjie duduk di kursi di luar rumah beroda, berjemur di bawah sinar matahari. Meski di musim gugur, sinar matahari tak sehangat di musim panas, tetapi itu cukup menghangatkan tubuhnya yang semakin sering menggigil kedinginan."Minumlah tehmu!" Ren Hui menuangkan teh krisan yang direbusnya dengan jahe dan sedikit gula merah, agar terasa lebih nikmat. Meski indra pengecap Junjie belum membaik seperti semula."Apa kau baik-baik saja setelah semalam berlatih jurus Pedang Surgawi?" Junjie mengambil cangkir tehnya dan bertanya pada Ren Hui tanpa menatapnya. Dia justru berpura-pura meniup teh panasnya."Selama aku tidak menggunakan tenaga dalam, maka semuanya baik-baik saja," sahut Ren Hui pelan. Dia melirik Song Mingyu yang tengah mengajak Baihua bermain. Mereka berkejaran di sekitar hutan bambu yang sunyi."Apakah tidak ada cara untuk menetralisir racun dalam tubuhmu?" Junjie kembali bertanya. Pria itu menatapnya dengan kekhawatiran tergambar jelas di