Ren Hui menatap Junjie lekat-lekat. Amarah dalam dirinya kembali menggelegak. Dia maupun gurunya tidak memiliki ambisi berlebihan. Apalagi hingga perihal kenegaraan dan politik. Itu bukan ranah mereka. Namun, pada akhirnya hal itu juga yang menyeret guru dan adik seperguruannya pada kematian."Ayahmu di bawah kendali Permaisuri Wu dan merasa ketakutan akan kehilangan posisinya sehingga mencurigai setiap orang, tidak terkecuali dirimu." Ren Hui kembali bergumam pelan.Junjie hanya terdiam. Dia tidak membantah atau mengiyakan pernyataan Ren Hui. Jauh di lubuk hatinya dia mengakui ucapan Ren Hui tidak sepenuhnya salah. Namun, juga tidak sepenuhnya benar. Dia pun memiliki pendapat sendiri mengenai ayahnya, Kaisar Tianjian."Bagaimana pun juga dia tetaplah ayahku," gumamnya lirih. Meski memiliki banyak hal yang membebani hatinya, dia tidak dapat memungkiri garis darah yang mengaliri tubuhnya."Aku tahu" Ren
Ren Hui kembali menatap lukisan dirinya. Meski hatinya juga diliputi beberapa pertanyaan mengenai Song Mingyu, tetapi perasaan meluap-luap dalam hatinya saat menatap lukisan itu lebih kuat dan menyeretnya untuk mengenang kembali masa lalunya."Jurus Pedang Surgawi terdiri atas dua puluh delapan langkah yang harus kau kuasai dengan sempurna pada level tertinggi. Kau tidak boleh gagal dan berhenti di tengah jalan karena akan berakibat fatal pada kultivasimu." Gurunya, Liuxing memperingatkannya sebelum memulai mengajarinya jurus itu."Aku mengerti!" Ren Jie mengangguk dengan tegas dan mantap. Sedari kecil dia memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi Dewa Pedang terhebat di Kekaisaran Shenguang.Ambisinya itu bukan karena dendam atau keserakahan. Namun, hanya sebuah ambisi pribadi selain tentunya untuk mengelak dari kewajiban memasuki istana dan juga menjadi ketua sekte. Dia melakukan semua itu untuk Zhu Zijing, adik seperguruannya."Kakak, coba pik
Keesokan paginya, Ren Hui terbangun seperti biasa. Bersama Baihua, pagi-pagi buta, dia pergi ke air terjun. Mengumpulkan embun pagi dan memetik bunga-bunga serta buah-buahan yang mekar dan berbuah di musim panas.Tak jauh dari air terjun ada hutan bambu yang teduh dan sebuah kolam yang ditumbuhi lotus aneka warna. Bersama Baihua, dia memetik bunga-bunga lotus dan juga mengambil akarnya. Setelah itu dia berkeliaran di hutan sekitar untuk memetik bunga persik, mawar liar dan Peony.Dia juga mengambil beberapa buah-buahan seperti buah persik, aprikot, loquat dan jujube yang pohonnya tumbuh liar di sekitar hutan. Dalam sekejap saja keranjang bambu dan kendi yang dibawanya sudah penuh."Baihua!" Ren Hui berseru memanggil rubahnya. Hewan berbulu putih bersih itu berlarian mendatanginya. Sepertinya dia baru saja mengejar seekor kelinci. "Ayo kita pulang! Semoga saja para pengangguran itu sudah membersihkan rumah." Ren Hui tertaw
Menjelang tengah hari, rumah beroda milik Ren Hui mulai bergerak meninggalkan Air Terjun Jiwa Tersembunyi. Junjie berkali-kali bertanya memastikan Ren Hui benar-benar ingin meninggalkan bukit itu."Kau tidak menyesal? tanyanya untuk kesekian kalinya. Ren Hui hanya melirik sinis sekilas. "Kemana tujuanmu setelah ini?" Dia justru balik bertanya pada pria yang tengah mengendalikan kuda."Aku tidak punya tujuan," sahut Junjie dengan santai. Song Mingyu tertawa pelan mendengar jawabannya. Dia tahu, Ren Hui sudah meminta mereka berdua untuk meninggalkan rumah berodanya dan berpisah dengannya di perbatasan Kota Yueliang."Dan kau?" Ren Hui bertanya pada Song Mingyu seraya memukul kepala pemuda itu dengan kipasnya. "Aiyo, aku juga tidak punya tujuan. Aku tidak tahu harus pergi kemana," keluh Song Mingyu seperti biasanya, tentu saja disertai gaya memelas yang memilukan hati. Sayangnya Ren Hui tidak mudah untuk tertipu air mata bua
Ren Hui menoleh, melongokkan kepalanya melalui jendela dapur. Meski dahulu tempat ini merupakan salah satu tempat yang kerap dikunjunginya, tetapi dia selalu meragukan keamanan tempat yang termasuk dalam salah satu wilayah tak bertuan.Pasar hantu merupakan julukan untuk sebuah tempat yang berada di antara Kota Yueliang dan Kota Yinyue. Secara administratif tempat ini tidak termasuk ke dalam salah satu dari kota-kota itu. Karena itu segala sesuatu di tempat ini memiliki peraturan dan hukum sendiri yang kemudian mengakar kuat di tempat ini."Kita parkir di tepi sungai willow saja!" Serunya menjawab pertanyaan Junjie."Baiklah!" Junjie menyahut dengan santai. Dia menyentak pelan tali kekang kuda, berdecak pelan dan membelokkan kuda-kuda yang menarik rumah beroda itu ke sebuah jalur sepi sebelum tiba di persimpangan.Song Mingyu memperhatikannya dengan kening yang berkerut. Dia mengira Junjie akan membelok di persimpangan jalan. Karena di sanalah jal
Perahu melaju pelan mengikuti arus sungai yang cukup tenang. Sungai itu diapit bebatuan yang menjulang tinggi di sisi kanan kirinya setelah berbelok arah menjauhi Kota Yinyue. Perahu melaju terus hingga tiba di sebuah tempat di mana bagian atas bebatuan tinggi itu bertemu dan membentuk lorong yang memayungi sungai.Ren Hui sebelumnya telah menyalakan lentera yang selalu tersedia di setiap perahu yang hendak memasuki pasar hantu. Lorong itu cukup gelap karena tidak ada celah tempat cahaya matahari menerobos masuk.Setelah beberapa saat, lorong gelap itu pun berakhir dan perahu muncul di alam bebas, di mana sungai kembali berbelok. Pak Tua, pengayuh perahu, menepikan perahunya kemudian menambatkannya pada pohon wisteria di tepi sungai.Ren Hui diikuti Baihua melompat ke tepi sungai. Setelah berterima kasih, dia berjalan melewati jalanan menurun yang bertangga batu. Tangga itu bermuara dari pokok pohon wisteria tua yang berl
Ren Hui tersenyum menatap Pak Tua yang tergopoh-gopoh berlari menyambutnya. Begitu jaraknya sudah semakin dekat, pria tua itu berhenti dan menatap Ren Hui lekat-lekat."Kau siapa?" tanyanya kebingungan. Ren Hui hanya mendesah pelan mendengar pertanyaan pria tua yang dikenal dengan sifat pelupanya. Dia jarang bisa mengenali orang dalam sekejap. Membutuhkan sebuah cerita yang panjang untuk mengingatkannya pada seseorang."Paman Lan Feng, sepuluh tahun lalu ada seseorang yang memesan untuk dibuatkan sebuah benda padamu bukan?" Ren Hui bertanya dengan lembut.Pak tua itu tertegun kemudian menggaruk-garuk kepala. Seperti tengah berpikir. "Sepuluh tahun lalu? Aku lupa," sahutnya tanpa merasa bersalah sama sekali setelah cukup lama mencoba mengingat.Ren Hui tersenyum tipis dan mendekatinya. Dia menyentuh lengan pria tua itu dan menggandengnya. "Kalau begitu mari kita mengingatnya sembari menikmati arak," ajak
Ren Hui membuka payung yang baru saja diambilnya dari Pondok Darah Besi. Dengan santai dia memakainya kemudian bersama Baihua kembali berkeliling di Pasar Hantu.Malam yang semakin larut tidak membuat pasar gelap ini menjadi semakin sepi. Pengunjung justru terus berdatangan. Seakan-akan mereka diburu waktu untuk secepat mungkin mendapatkan barang-barang yang mereka inginkan sebelum matahari terbit."Baihua bagaimana jika kita mencicipi semangka dingin? Kau tahu, semangka di sini adalah yang paling manis dan segar." Ren Hui mengajak berbicara Baihua seperti seorang teman. Tentu saja Baihua hanya menguik saja, tidak menjawab ajakannya.Sesuai dengan ucapannya, Ren Hui mengajak rubah putih itu mampir ke sebuah kedai yang berada di tepi sungai. Dia memesan semangka dingin, semangkuk mi polos dengan sayuran, teh dan beberapa kudapan manis. Tak lupa juga semangkok tulang dan daging untuk Baihua.Mereka berdua menikmati hidangan yang mereka pesan dalam d