Ren Hui kembali menatap lukisan dirinya. Meski hatinya juga diliputi beberapa pertanyaan mengenai Song Mingyu, tetapi perasaan meluap-luap dalam hatinya saat menatap lukisan itu lebih kuat dan menyeretnya untuk mengenang kembali masa lalunya."Jurus Pedang Surgawi terdiri atas dua puluh delapan langkah yang harus kau kuasai dengan sempurna pada level tertinggi. Kau tidak boleh gagal dan berhenti di tengah jalan karena akan berakibat fatal pada kultivasimu." Gurunya, Liuxing memperingatkannya sebelum memulai mengajarinya jurus itu."Aku mengerti!" Ren Jie mengangguk dengan tegas dan mantap. Sedari kecil dia memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi Dewa Pedang terhebat di Kekaisaran Shenguang.Ambisinya itu bukan karena dendam atau keserakahan. Namun, hanya sebuah ambisi pribadi selain tentunya untuk mengelak dari kewajiban memasuki istana dan juga menjadi ketua sekte. Dia melakukan semua itu untuk Zhu Zijing, adik seperguruannya."Kakak, coba pik
Keesokan paginya, Ren Hui terbangun seperti biasa. Bersama Baihua, pagi-pagi buta, dia pergi ke air terjun. Mengumpulkan embun pagi dan memetik bunga-bunga serta buah-buahan yang mekar dan berbuah di musim panas.Tak jauh dari air terjun ada hutan bambu yang teduh dan sebuah kolam yang ditumbuhi lotus aneka warna. Bersama Baihua, dia memetik bunga-bunga lotus dan juga mengambil akarnya. Setelah itu dia berkeliaran di hutan sekitar untuk memetik bunga persik, mawar liar dan Peony.Dia juga mengambil beberapa buah-buahan seperti buah persik, aprikot, loquat dan jujube yang pohonnya tumbuh liar di sekitar hutan. Dalam sekejap saja keranjang bambu dan kendi yang dibawanya sudah penuh."Baihua!" Ren Hui berseru memanggil rubahnya. Hewan berbulu putih bersih itu berlarian mendatanginya. Sepertinya dia baru saja mengejar seekor kelinci. "Ayo kita pulang! Semoga saja para pengangguran itu sudah membersihkan rumah." Ren Hui tertaw
Menjelang tengah hari, rumah beroda milik Ren Hui mulai bergerak meninggalkan Air Terjun Jiwa Tersembunyi. Junjie berkali-kali bertanya memastikan Ren Hui benar-benar ingin meninggalkan bukit itu."Kau tidak menyesal? tanyanya untuk kesekian kalinya. Ren Hui hanya melirik sinis sekilas. "Kemana tujuanmu setelah ini?" Dia justru balik bertanya pada pria yang tengah mengendalikan kuda."Aku tidak punya tujuan," sahut Junjie dengan santai. Song Mingyu tertawa pelan mendengar jawabannya. Dia tahu, Ren Hui sudah meminta mereka berdua untuk meninggalkan rumah berodanya dan berpisah dengannya di perbatasan Kota Yueliang."Dan kau?" Ren Hui bertanya pada Song Mingyu seraya memukul kepala pemuda itu dengan kipasnya. "Aiyo, aku juga tidak punya tujuan. Aku tidak tahu harus pergi kemana," keluh Song Mingyu seperti biasanya, tentu saja disertai gaya memelas yang memilukan hati. Sayangnya Ren Hui tidak mudah untuk tertipu air mata bua
Ren Hui menoleh, melongokkan kepalanya melalui jendela dapur. Meski dahulu tempat ini merupakan salah satu tempat yang kerap dikunjunginya, tetapi dia selalu meragukan keamanan tempat yang termasuk dalam salah satu wilayah tak bertuan.Pasar hantu merupakan julukan untuk sebuah tempat yang berada di antara Kota Yueliang dan Kota Yinyue. Secara administratif tempat ini tidak termasuk ke dalam salah satu dari kota-kota itu. Karena itu segala sesuatu di tempat ini memiliki peraturan dan hukum sendiri yang kemudian mengakar kuat di tempat ini."Kita parkir di tepi sungai willow saja!" Serunya menjawab pertanyaan Junjie."Baiklah!" Junjie menyahut dengan santai. Dia menyentak pelan tali kekang kuda, berdecak pelan dan membelokkan kuda-kuda yang menarik rumah beroda itu ke sebuah jalur sepi sebelum tiba di persimpangan.Song Mingyu memperhatikannya dengan kening yang berkerut. Dia mengira Junjie akan membelok di persimpangan jalan. Karena di sanalah jal
Perahu melaju pelan mengikuti arus sungai yang cukup tenang. Sungai itu diapit bebatuan yang menjulang tinggi di sisi kanan kirinya setelah berbelok arah menjauhi Kota Yinyue. Perahu melaju terus hingga tiba di sebuah tempat di mana bagian atas bebatuan tinggi itu bertemu dan membentuk lorong yang memayungi sungai.Ren Hui sebelumnya telah menyalakan lentera yang selalu tersedia di setiap perahu yang hendak memasuki pasar hantu. Lorong itu cukup gelap karena tidak ada celah tempat cahaya matahari menerobos masuk.Setelah beberapa saat, lorong gelap itu pun berakhir dan perahu muncul di alam bebas, di mana sungai kembali berbelok. Pak Tua, pengayuh perahu, menepikan perahunya kemudian menambatkannya pada pohon wisteria di tepi sungai.Ren Hui diikuti Baihua melompat ke tepi sungai. Setelah berterima kasih, dia berjalan melewati jalanan menurun yang bertangga batu. Tangga itu bermuara dari pokok pohon wisteria tua yang berl
Ren Hui tersenyum menatap Pak Tua yang tergopoh-gopoh berlari menyambutnya. Begitu jaraknya sudah semakin dekat, pria tua itu berhenti dan menatap Ren Hui lekat-lekat."Kau siapa?" tanyanya kebingungan. Ren Hui hanya mendesah pelan mendengar pertanyaan pria tua yang dikenal dengan sifat pelupanya. Dia jarang bisa mengenali orang dalam sekejap. Membutuhkan sebuah cerita yang panjang untuk mengingatkannya pada seseorang."Paman Lan Feng, sepuluh tahun lalu ada seseorang yang memesan untuk dibuatkan sebuah benda padamu bukan?" Ren Hui bertanya dengan lembut.Pak tua itu tertegun kemudian menggaruk-garuk kepala. Seperti tengah berpikir. "Sepuluh tahun lalu? Aku lupa," sahutnya tanpa merasa bersalah sama sekali setelah cukup lama mencoba mengingat.Ren Hui tersenyum tipis dan mendekatinya. Dia menyentuh lengan pria tua itu dan menggandengnya. "Kalau begitu mari kita mengingatnya sembari menikmati arak," ajak
Ren Hui membuka payung yang baru saja diambilnya dari Pondok Darah Besi. Dengan santai dia memakainya kemudian bersama Baihua kembali berkeliling di Pasar Hantu.Malam yang semakin larut tidak membuat pasar gelap ini menjadi semakin sepi. Pengunjung justru terus berdatangan. Seakan-akan mereka diburu waktu untuk secepat mungkin mendapatkan barang-barang yang mereka inginkan sebelum matahari terbit."Baihua bagaimana jika kita mencicipi semangka dingin? Kau tahu, semangka di sini adalah yang paling manis dan segar." Ren Hui mengajak berbicara Baihua seperti seorang teman. Tentu saja Baihua hanya menguik saja, tidak menjawab ajakannya.Sesuai dengan ucapannya, Ren Hui mengajak rubah putih itu mampir ke sebuah kedai yang berada di tepi sungai. Dia memesan semangka dingin, semangkuk mi polos dengan sayuran, teh dan beberapa kudapan manis. Tak lupa juga semangkok tulang dan daging untuk Baihua.Mereka berdua menikmati hidangan yang mereka pesan dalam d
Ren Hui menatap payung yang berada dalam kondisi terbuka di atas meja. Jari jemarinya menyentuh bagian atas payung dengan hati-hati."Kain sutra berlapis bahan sejenis lilin," gumamnya pelan. "Tahan air dan api. Cukup awet," gumamnya lagi. Kini dia menyentuh bagian gagang payung itu. Teringat akan ucapan Pak Tua Lan Feng saat menyerahkan payung, yang merupakan benda yang dipesannya dulu, padanya."Aku membuat payung ini dengan bahan yang tidak biasa. Gagangnya terbuat dari logam yang tidak ada di Kekaisaran Shenguang dan memiliki teknik penguncian yang istimewa. Kau bisa menyimpan pedangmu di sini." Pak Tua Lan Feng menjelaskan dan menunjukkan bagaimana cara mengaktifkan teknik penguncian itu."Sungguh cerdas!" Ren Hui tersenyum kemudian dengan hati-hati menyentuh tombol kecil di gagang payung yang berukir bunga bi'an. Seketika bagian gagang dan ujungnya terpisah, meninggalkan sebuah rongga yang cukup untuk menyimpan sesu
Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga
Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija
Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi
Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel
Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam