Menjelang tengah hari, rumah beroda milik Ren Hui mulai bergerak meninggalkan Air Terjun Jiwa Tersembunyi. Junjie berkali-kali bertanya memastikan Ren Hui benar-benar ingin meninggalkan bukit itu."Kau tidak menyesal? tanyanya untuk kesekian kalinya. Ren Hui hanya melirik sinis sekilas. "Kemana tujuanmu setelah ini?" Dia justru balik bertanya pada pria yang tengah mengendalikan kuda."Aku tidak punya tujuan," sahut Junjie dengan santai. Song Mingyu tertawa pelan mendengar jawabannya. Dia tahu, Ren Hui sudah meminta mereka berdua untuk meninggalkan rumah berodanya dan berpisah dengannya di perbatasan Kota Yueliang."Dan kau?" Ren Hui bertanya pada Song Mingyu seraya memukul kepala pemuda itu dengan kipasnya. "Aiyo, aku juga tidak punya tujuan. Aku tidak tahu harus pergi kemana," keluh Song Mingyu seperti biasanya, tentu saja disertai gaya memelas yang memilukan hati. Sayangnya Ren Hui tidak mudah untuk tertipu air mata bua
Ren Hui menoleh, melongokkan kepalanya melalui jendela dapur. Meski dahulu tempat ini merupakan salah satu tempat yang kerap dikunjunginya, tetapi dia selalu meragukan keamanan tempat yang termasuk dalam salah satu wilayah tak bertuan.Pasar hantu merupakan julukan untuk sebuah tempat yang berada di antara Kota Yueliang dan Kota Yinyue. Secara administratif tempat ini tidak termasuk ke dalam salah satu dari kota-kota itu. Karena itu segala sesuatu di tempat ini memiliki peraturan dan hukum sendiri yang kemudian mengakar kuat di tempat ini."Kita parkir di tepi sungai willow saja!" Serunya menjawab pertanyaan Junjie."Baiklah!" Junjie menyahut dengan santai. Dia menyentak pelan tali kekang kuda, berdecak pelan dan membelokkan kuda-kuda yang menarik rumah beroda itu ke sebuah jalur sepi sebelum tiba di persimpangan.Song Mingyu memperhatikannya dengan kening yang berkerut. Dia mengira Junjie akan membelok di persimpangan jalan. Karena di sanalah jal
Perahu melaju pelan mengikuti arus sungai yang cukup tenang. Sungai itu diapit bebatuan yang menjulang tinggi di sisi kanan kirinya setelah berbelok arah menjauhi Kota Yinyue. Perahu melaju terus hingga tiba di sebuah tempat di mana bagian atas bebatuan tinggi itu bertemu dan membentuk lorong yang memayungi sungai.Ren Hui sebelumnya telah menyalakan lentera yang selalu tersedia di setiap perahu yang hendak memasuki pasar hantu. Lorong itu cukup gelap karena tidak ada celah tempat cahaya matahari menerobos masuk.Setelah beberapa saat, lorong gelap itu pun berakhir dan perahu muncul di alam bebas, di mana sungai kembali berbelok. Pak Tua, pengayuh perahu, menepikan perahunya kemudian menambatkannya pada pohon wisteria di tepi sungai.Ren Hui diikuti Baihua melompat ke tepi sungai. Setelah berterima kasih, dia berjalan melewati jalanan menurun yang bertangga batu. Tangga itu bermuara dari pokok pohon wisteria tua yang berl
Ren Hui tersenyum menatap Pak Tua yang tergopoh-gopoh berlari menyambutnya. Begitu jaraknya sudah semakin dekat, pria tua itu berhenti dan menatap Ren Hui lekat-lekat."Kau siapa?" tanyanya kebingungan. Ren Hui hanya mendesah pelan mendengar pertanyaan pria tua yang dikenal dengan sifat pelupanya. Dia jarang bisa mengenali orang dalam sekejap. Membutuhkan sebuah cerita yang panjang untuk mengingatkannya pada seseorang."Paman Lan Feng, sepuluh tahun lalu ada seseorang yang memesan untuk dibuatkan sebuah benda padamu bukan?" Ren Hui bertanya dengan lembut.Pak tua itu tertegun kemudian menggaruk-garuk kepala. Seperti tengah berpikir. "Sepuluh tahun lalu? Aku lupa," sahutnya tanpa merasa bersalah sama sekali setelah cukup lama mencoba mengingat.Ren Hui tersenyum tipis dan mendekatinya. Dia menyentuh lengan pria tua itu dan menggandengnya. "Kalau begitu mari kita mengingatnya sembari menikmati arak," ajak
Ren Hui membuka payung yang baru saja diambilnya dari Pondok Darah Besi. Dengan santai dia memakainya kemudian bersama Baihua kembali berkeliling di Pasar Hantu.Malam yang semakin larut tidak membuat pasar gelap ini menjadi semakin sepi. Pengunjung justru terus berdatangan. Seakan-akan mereka diburu waktu untuk secepat mungkin mendapatkan barang-barang yang mereka inginkan sebelum matahari terbit."Baihua bagaimana jika kita mencicipi semangka dingin? Kau tahu, semangka di sini adalah yang paling manis dan segar." Ren Hui mengajak berbicara Baihua seperti seorang teman. Tentu saja Baihua hanya menguik saja, tidak menjawab ajakannya.Sesuai dengan ucapannya, Ren Hui mengajak rubah putih itu mampir ke sebuah kedai yang berada di tepi sungai. Dia memesan semangka dingin, semangkuk mi polos dengan sayuran, teh dan beberapa kudapan manis. Tak lupa juga semangkok tulang dan daging untuk Baihua.Mereka berdua menikmati hidangan yang mereka pesan dalam d
Ren Hui menatap payung yang berada dalam kondisi terbuka di atas meja. Jari jemarinya menyentuh bagian atas payung dengan hati-hati."Kain sutra berlapis bahan sejenis lilin," gumamnya pelan. "Tahan air dan api. Cukup awet," gumamnya lagi. Kini dia menyentuh bagian gagang payung itu. Teringat akan ucapan Pak Tua Lan Feng saat menyerahkan payung, yang merupakan benda yang dipesannya dulu, padanya."Aku membuat payung ini dengan bahan yang tidak biasa. Gagangnya terbuat dari logam yang tidak ada di Kekaisaran Shenguang dan memiliki teknik penguncian yang istimewa. Kau bisa menyimpan pedangmu di sini." Pak Tua Lan Feng menjelaskan dan menunjukkan bagaimana cara mengaktifkan teknik penguncian itu."Sungguh cerdas!" Ren Hui tersenyum kemudian dengan hati-hati menyentuh tombol kecil di gagang payung yang berukir bunga bi'an. Seketika bagian gagang dan ujungnya terpisah, meninggalkan sebuah rongga yang cukup untuk menyimpan sesu
Pasar HantuPasar Hantu di siang hari seperti kota mati. Suasana sepi tanpa banyak orang beraktivitas. Pondok, toko dan kedai semuanya tutup. Para pemilik atau penghuninya semua terlelap dalam mimpi. Sebuah ritme kehidupan yang tidak biasa bagi orang awam.Junjie dan Song Mingyu berjalan menelusuri jalanan yang sepi. Hanya ada satu dua toko yang buka. Dan beberapa cerobong asap pondok tampak mengeluarkan asap yang menandakan ada kehidupan atau aktivitas."Sepi," gumam Song Mingyu seraya memperhatikan sekelilingnya. Junjie hanya menganggukkan kepalanya. Meski sebenarnya tidak terlalu sering berkeliaran di tempat ini, tetapi dia cukup akrab dengan situasi Pasar Hantu baik siang ataupun malam hari.Pasar Hantu terletak di tempat yang terkurung bebatuan yang menjulang tinggi. Seperti terkurung dalam dinding benteng yang kokoh. Beberapa pohon-pohon tua seperti wisteria, plum dan willow yang berderet di sepanjang sungai yang mengitari tempat itu, semaki
Junjie menatap sekelilingnya. Bersama Song Mingyu, dia duduk menemani Pak Tua Lan Feng menikmati arak yang dibawakannya tadi. Pak Tua Lan Feng dikenal sangat pelupa. Dia baru ingat jika ada arak yang bagus dan lezat. Meski dia juga tidak akan sepenuhnya mengingat hal-hal yang telah berlalu."Tadi kau bertanya mengenai bocah tengik itu?" Pak Tua Lan Feng bertanya setelah meminum beberapa teguk arak. "Ah arak ini sungguh sangat lezat! Sama lezatnya dengan arak musim gugur semalam!" Dia berseru riang seraya memandangi guci arak di tangannya."Arak musim gugur?" Junjie bergumam, menoleh dan menatap Song Mingyu dari balik doupengnya. Song Mingyu pun rupanya juga tengah menatapnya. Pemuda itu menggelengkan kepalanya."Apakah semalam ada yang mengunjungimu?" Junjie bertanya dengan lembut dan santai, seakan-akan hanya sekadar bertanya sambil lalu saja."Bocah tengik itu mengunjungimu semalam. Dia membawakan arak musim gugur yang sangat lezat. Dia mengambi
Rumah beroda itu berderak pelan meninggalkan Oasis Merah, sebuah tempat peristirahatan yang sunyi di tengah bentangan pasir. Mentari pagi baru saja menyembul di cakrawala, menyapu gurun dengan semburat jingga. Para penghuni tenda-tenda dan karavan masih terlelap, terlindung dari dinginnya pagi. Hanya derak roda dan deru angin gurun yang menemani perjalanan itu.Song Mingyu mengendalikan rumah beroda dengan hati-hati, ditemani Baihua, rubah putih yang setia menempel di sisinya. Di samping mereka, keledai hitam bernama Lobak berjalan perlahan, menggerutu dengan dengusan-dengusan kecil."Sudahlah, Lobak! Kau jangan merajuk lagi," tegur Song Mingyu dengan nada geli sambil melirik keledai yang tampak cemberut. Dia terkekeh, seakan keledai itu mengerti.Meski pasir merah yang bergulung-gulung di bawah roda kerap membuat perjalanan terseok-seok, rumah beroda itu terus melaju. Lobak, meski tak puas, tetap setia mengikuti di sisi, tanpa ada niat sedikit pun untuk m
Ibukota Kekaisaran Shenguang dalam beberapa hari ini terasa sunyi. Hanya derap langkah prajurit berpatroli yang memecah keheningan lorong-lorong kota di jam-jam tertentu. Udara pagi menghembuskan hawa dingin, membawa serta aroma lembab dari batu-batu jalanan yang jarang terinjak. Para penduduk menjalani hidup penuh tekanan, tak berani beraktivitas seperti biasanya. Lorong-lorong yang dulu ramai kini tampak lengang, bagaikan labirin batu yang kosong.Namun, sesekali ada sedikit kelonggaran. Penduduk diizinkan membuka toko atau berdagang, meski hanya dalam waktu dan ruang yang terbatas. Di bawah pengawasan ketat para prajurit. Suasana tetap terkendali, langkah-langkah mereka terasa berat seolah takut menimbulkan gema yang bisa mengundang bahaya."Masih terkendali, bukan, Tuan Han Jin?" Mo Yuan, orang kepercayaan Chu Wang, menatap lurus pria yang berkuda di sampingnya. Sorot matanya dingin, seperti batu giok tanpa cela, mengamati situasi kota dengan kewaspadaan tinggi
Malam di Oasis Merah terasa seperti sebuah kanvas gelap yang dilukis dengan ketegangan. Setelah pertempuran sengit di perbatasan, keheningan menggantikan gemuruh perang, namun bukan kedamaian yang hadir—melainkan bayangan ancaman yang membekap udara. Kedua belah pihak mundur dengan luka masing-masing, menyisakan jejak pertempuran yang masih menguar di antara angin padang pasir.Pasukan Jenderal Miu Yue kembali ke Oasis Merah, diikuti oleh Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu. Di sisi lain, Pangeran Luo membawa pasukannya ke perbatasan, sementara Pasukan Hantu Kematian menghilang tanpa jejak, terkubur dalam badai pasir yang diciptakan Zhu Ling.Di dalam rumah beroda, api lentera yang bergoyang lembut diterpa angin malam menghangatkan suasana yang sedikit muram. Song Mingyu menatap Junjie dengan pandangan penuh tanya. Hening malam diselingi bunyiangin yang terasa lebih nyaring dari biasanya. "Apakah ini hasil yang kau inginkan?" tanyanya akhirnya, memecah kehen
Junjie menjadi sasaran utama serangan Liuxing. Pedang Bintang Jatuh milik Liuxing menderu, menghunus udara dengan kilatan seperti sambaran petir. Tanpa ragu, Junjie menarik tubuh Ren Hui, memindahkannya dari lintasan maut itu. Pada saat yang sama, Dongfang Yu bergerak bagaikan bayangan. Serulingnya terangkat, dan dengan satu sapuan cepat, dia menangkis serangan Liuxing. Gerakannya yang lincah menyerupai tarian musim semi, menyapu langkah Liuxing hingga pria itu terpaksa mundur. "Wah! Ini curang, Nona Dongfang Yu!" Sebuah suara keras memecah ketegangan. Zhu Ling, diikuti Xuan Yu serta Pasukan Hantu Kematian, telah mengepung Dongfang Yu. "Oh, curang, ya?" Dongfang Yu terkekeh kecil, suaranya seperti lonceng perak di malam gelap. "Tadi memang aku berniat curang. Tapi sekarang, rasanya kalian yang mencurangiku." Senyumnya menggantung dingin, dan dia kembali meniup serulingnya. Nada seruling itu melengking tajam, menghunjam tel
Ren Hui mengangkat Pedang Bintang Ilusi tinggi-tinggi, mata pedang itu bersinar dingin, siap menyambar lawannya dengan kekuatan tak terbayangkan. Liuxing, tak kalah sigap, memposisikan Pedang Bintang Jatuhnya. Dengan setiap gerakan tubuhnya, pedang itu memancarkan aura seperti sebuah bintang yang siap runtuh ke bumi.Junjie, yang telah beberapa saat menghindar dari serangan Xuan Yu, merasa gelisah. Meski tidak berniat membalas serangan, tatapannya terarah penuh kecemasan pada pertarungan Ren Hui dan Liuxing. "Celaka! Jika keduanya mengeluarkan serangan meteor, gurun ini akan hancur lebur," gumamnya dalam hati, menatap badai pasir yang semakin mengganas."Menyingkir!" Tanpa berpikir panjang, Junjie berteriak, suaranya menggema di tengah hutan pasir yang bergulung. "Semua, cepat menjauh!"Kekhawatiran Junjie berubah menjadi kenyataan. Pedang Ren Hui berkelebat cepat, seakan-akan meteorit yang meluncur dari langit, menembus keheningan udara yang kian mencekam
“Badai pasir,” gumam Miu Yue, suaranya bergetar di antara desau angin yang menderu-deru. Kekhawatiran terpancar jelas dari sorot matanya yang sempat melirik horizon yang perlahan memerah. Tanpa sadar, dia menggenggam erat lengan Song Mingyu, seperti mencari kekuatan dalam kegentingan. Sentuhan dingin jemarinya segera disambut kehangatan tangan pemuda itu, yang diam-diam berusaha menenangkan ketakutannya.Gemuruh angin yang membawa pasir merah bergulung-gulung laksana naga yang menari liar di cakrawala. Ini bukan sekadar ancaman sepele, tetapi fenomena alam yang mampu melahap seluruh kehidupan yang berdiri di hadapannya. Bukit pasir berguguran, lalu terbentuk kembali dengan wujud yang baru—seolah gurun ini hidup, berubah dengan setiap hempasan badai.“Berlindung di balik kereta!” Miu Yue dan Kasim Ong berteriak bersamaan.Tanpa membuang waktu, para prajurit berlarian ke balik kereta-kereta berat yang penuh dengan barang bawaan. Kereta-kereta itu,
Ren Hui dan Liuxing kini benar-benar berhadapan di tengah hamparan gurun pasir merah yang menderu diterpa angin. Matahari menggantung rendah di langit, menciptakan kilauan tembaga di atas pasir yang seolah menyala. Kedua pria itu berdiri diam sejenak, ketegangan melingkupi mereka seperti senar busur yang ditarik hingga hampir putus.Liuxing, dengan tatapan dinginnya, tak ingin membuang waktu. Tanpa sepatah kata, dia melancarkan serangan pertama. Pedang Bintang Jatuh di tangannya menyambar seperti badai musim gugur, menciptakan gelombang energi yang menghantam gurun. Pasir berhamburan ke udara, berputar seperti topan kecil yang melenyapkan batas antara langit dan bumi. Tanah bergemuruh seolah naga kuno bangkit dari tidurnya.Ren Hui bergerak cepat, tubuhnya melompat dengan kelincahan seekor kijang yang melintasi jurang.Pasir merah beterbangan, menciptakan kabut yang menutupi pertarungan. Di kejauhan, para saksi hanya bisa menyipitkan mata, berusaha menembus tirai debu."Junjie! Menjau
Junjie dan Ren Hui saling berpandangan, diam dalam kerangka waktu yang terasa membeku. Ini bukan pertama kalinya mereka harus menghadapi pertarungan bersama, meskipun momen seperti ini jarang terjadi. Hidup mereka, seperti dua sungai berbeda, mengalir di jalur yang tak pernah bersinggungan kecuali saat menghadapi musuh-musuh mereka.Junjie lebih sering bergulat dengan dunia politik dan pertempuran besar di medan perang, tempat strategi dan kekuatan militer saling bertaut. Sebaliknya, Ren Hui hidup di bawah bayang-bayang duel maut, bertarung satu lawan satu dengan ahli beladiri atau murid-murid sekte lain. Dunia mereka bertolak belakang, tetapi hari ini garis nasib mempertemukan mereka kembali.“Bertarung atau kabur?” Ren Hui bertanya santai, memutar payung di tangannya dengan gerakan malas, seakan badai pasir yang mengancam itu hanyalah angin musim semi.“Menurutmu?” Junjie balas bertanya, suaranya serupa desau angin dingin yang menggugurkan daun-daun terakhir. Dia mengibaskan lengan
Junjie dan Ren Hui menatap pria di belakang Liuxing. Tanpa topeng hantu, pria itu memancarkan daya tarik yang tak terduga. Wajahnya muda, tampan, seperti pualam yang dipahat sempurna oleh tangan seorang seniman."Ah, kau Yu!" seru Ren Hui tiba-tiba, suaranya melengking, penuh keterkejutan. Jarinya terulur lurus, seolah ingin memastikan bahwa yang dilihatnya nyata. Xuan Yu, asisten Peramal Ilahi yang mereka temui di tenda beberapa hari lalu, kini berdiri di barisan Pasukan Hantu Kematian.Ren Hui terkekeh kecil, menarik lengan mantel biru Junjie. "Aiyo! Kau sungguh tak pantas menjadi anggota Pasukan Hantu Kematian. Kau terlalu tampan untuk menjadi hantu." Nada bercandanya ringan, tapi matanya memancarkan kewaspadaan, seperti mata elang mengawasi mangsa.Ucapan Ren Hui memicu tawa kecil dari Zhu Ling, A Xian, Song Mingyu, bahkan Pangeran Luo. Namun, Junjie tetap diam, wajahnya seperti biasa, tanpa ekspresi berarti."Wah, pedagang arak," balas Xuan Y