Junjie menatap sekelilingnya. Bersama Song Mingyu, dia duduk menemani Pak Tua Lan Feng menikmati arak yang dibawakannya tadi. Pak Tua Lan Feng dikenal sangat pelupa. Dia baru ingat jika ada arak yang bagus dan lezat. Meski dia juga tidak akan sepenuhnya mengingat hal-hal yang telah berlalu.
"Tadi kau bertanya mengenai bocah tengik itu?" Pak Tua Lan Feng bertanya setelah meminum beberapa teguk arak. "Ah arak ini sungguh sangat lezat! Sama lezatnya dengan arak musim gugur semalam!" Dia berseru riang seraya memandangi guci arak di tangannya."Arak musim gugur?" Junjie bergumam, menoleh dan menatap Song Mingyu dari balik doupengnya. Song Mingyu pun rupanya juga tengah menatapnya. Pemuda itu menggelengkan kepalanya."Apakah semalam ada yang mengunjungimu?" Junjie bertanya dengan lembut dan santai, seakan-akan hanya sekadar bertanya sambil lalu saja."Bocah tengik itu mengunjungimu semalam. Dia membawakan arak musim gugur yang sangat lezat. Dia mengambiPasar desa, perbatasan Kota Yueliang Ren Hui sibuk mengeluarkan sebuah guci dari ruang penyimpanan di lantai dasar rumah berodanya. Dia berencana untuk membawanya kepada salah satu pelanggannya. "Hei kau!" Tiba-tiba saja seseorang berseru di belakangnya. Ren Hui menoleh untuk memastikan siapa yang dipanggil orang itu. "Kau Ren Hui bukan? Pedagang arak dewa?" Seorang pria bertanya padanya. Ren Hui tertegun memperhatikan pria yang berdiri di hadapannya, juga tengah menatapnya, menanti jawaban. Ada beberapa pria lain di belakangnya. Menilik penampilannya, para pria ini mungkin berasal dari sebuah sekte, klan atau keluarga yang cukup terhormat di kota itu. Dia tidak ingin berurusan dengan mereka, tetapi juga tidak mau mendapatkan masalah karenanya. "Aku memang pedagang arak, Tuan. Tetapi, aku tidak menjual arak dewa. Hanya arak biasa." Ren Hui menyahut dengan ramah seraya tersenyum kikuk. Dia pun menunjuk guci ya
Rombongan pria itu serentak maju hendak menyerang pemuda yang melindungi Ren Hui. Mereka dengan beringas menyerbunya. Ren Hui segera menghindar dengan mundur beberapa langkah dan mendekap guci araknya erat-erat."Kalian berani berurusan dengan Keluarga Song?" Tiba-tiba pria berdoupeng putih yang masih duduk dan menikmati tehnya bertanya pada rombongan pria itu.Seketika pemimpin rombongan itu mengangkat tangan. Anak buahnya pun kembali mundur. Pria itu berjalan mendekati meja. Menatap pemuda di hadapannya dengan seksama."Apa maksudmu?" tanyanya pada pria yang berbicara tadi. Dia menatap mereka bertiga silih berganti.Dia merasa heran, karena sepengetahuannya pedagang arak itu hanyalah seorang pengelana dan hanya sesekali datang ke pasar desa di perbatasan kota Yueliang. Dia bukan jenis orang dengan latar belakang yang istimewa. Meski beredar desas-desus dia adalah Dewa Arak dan mampu membuat arak yang bukan hanya lezat dan berkualitas tinggi teta
Junjie mengambil dua buah cangkir dan salah satunya diberikan pada pria dari Keluarga He itu. Junjie mengendus aroma arak dengan serius. "Harum," gumamnya seraya menunjukkan cangkirnya pada Song Mingyu.Pemuda itu kemudian mengambil cangkir yang sudah diisi arak, dari atas meja. Dia pun mengendus aromanya dan mencium aroma harum yang sangat khas. Aroma arak berkualitas tinggi dan telah disimpan sangat lama."Itu arak seribu tahun." Ren Hui menjelaskan dengan nada lesu. "Itu terbuat dari buah plum, anggur, ceri dan delima merah darah. Disuling dengan embun musim semi murni dan disimpan hampir sepuluh tahun lamanya," lanjutnya lagi menjelaskan arak yang dibawanya.Song Mingyu tersenyum kemudian tanpa ragu meneguk arak di cangkirnya hingga habis. Begitu juga dengan Junjie. Diikuti para pria dari Keluarga He."Memang arak yang bagus. Sesuai dengan namanya, arak seribu tahun. Aroma dan rasanya sangat kompleks dan istimewa seperti telah tersimpan ribuan
"Akhirnya kau datang," gumamnya pelan. Dia berjalan pelan mendekati wanita itu dan mengambil sebuah cangkir di atas meja yang dilewatinya.Dengan hati-hati diambilnya lagi guci arak miliknya di tangan wanita itu. Kemudian menuangkannya ke dalam cangkir."Minumlah!" Diserahkannya cangkir berisi arak pada wanita berhanfu biru itu. Wanita itu menerima cangkir darinya dan segera meminum arak dan menghabiskannya dalam sekali teguk."Arak yang bagus," puji wanita itu seperti tadi Junjie memuji.Ren Hui tersenyum puas. Dia berbalik kemudian membantu pria dari Keluarga He untuk berdiri. "Tuan, kau dengar apa yang dikatakan wanita itu bukan? Tidak ada arak dewa di dunia ini. Itu hanyalah mitos belaka." Ren Hui menjelaskan sekali lagi padanya. Dia bukanlah penyuling arak dewa seperti yang dirumorkan."Pulanglah! Jika tuan mudamu beruntung, mungkin guruku bersedia mengobatinya. Tidak ada gunanya lagi mempersulit pedagang arak miskin seperti dirinya.
Suasana malam di perbatasan Kota Yueliang menjelang musim gugur menjadi lebih dingin dan suram. Angin bertiup lebih kencang membawa aroma musim panas pergi. Datang kembali membawa aroma dedaunan yang mulai berguguran."Beberapa hari lagi memasuki musim gugur," gumam Song Mingyu sembari mendongakkan kepala menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang berkilauan.Dia duduk di lantai bersama Junjie dengan sebuah meja di antara mereka. Guci arak dan cangkir-cangkir serta aneka kudapan terhidang atas meja. Memeriahkan malam mereka di akhir musim panas di Kota Yueliang."Karena itu besok kita harus segera berangkat. Agar mencapai kota Chunyu sebelum musim dingin." Ren Hui meliriknya sekilas. Hanya dia yang duduk di pagar kayu teras.Mereka bertiga tengah duduk di teras di atap rumah beroda. Tidak seperti biasanya, Ren Hui memarkirkan rumah berodanya di dekat pasar desa. Meski sekarang sudah sepi, tetap saja tidak senyaman biasanya. Karena itu mereka be
Junjie dan Song Mingyu saling berpandangan. Keduanya kemudian menatap Ren Hui lekat-lekat. Mungkin saja pedagang arak itu hanya bercanda. Karena, Ren Hui tidak pernah memberikan segala sesuatu dengan percuma."Kenapa?" Ren Hui bertanya. Dia tertawa kecil melihat mereka berdua. "Aku tidak meminta bayaran, anggap saja sebagai perayaan karena kita kembali bersama." Ucapannya begitu santai.Namun, tidak serta merta membuat Junjie dan Song Mingyu mempercayai ucapannya. Ren Hui telah berkali-kali memperdaya mereka dengan gaya tak berdayanya. Rasanya sulit untuk mempercayai dia bisa berbaik hati memberikan arak mahal dan langka secara cuma-cuma."Sebentar." Ren Hui mengibaskan lengan jubahnya, kemudian pergi ke gudang penyimpanan arak yang juga berada di atap rumah beroda itu.Dia kembali lagi dengan sebuah guci berukuran sedang. Ren Hui duduk di depan mereka berdua, meletakkan guci yang diambilnya dari dalam gudang. Dengan hati-hati dibukanya guci itu d
Song Mingyu terbangun karena merasa tempat tidurnya berguncang pelan. Dia duduk di tepi tempat tidur dan memijit keningnya. Kepalanya terasa berat dan pusing."Aku benar-benar mabuk hingga rasanya bumi bergoyang dan melihat wanita cantik di rumah beroda pedagang arak pelit, Ren Hui," gumamnya meracau seorang diri.Dari tempatnya duduk, dia dapat melihat seorang wanita berhanfu putih tengah duduk di tempat biasanya mereka duduk dan makan bersama. Sepertinya wanita itu tengah menikmati teh dan kudapan.Song Mingyu memicingkan mata, memperhatikan wanita yang sama sekali tidak mengindahkannya. Wanita itu duduk dengan anggun. Rambut hitamnya yang panjang tergerai di punggung, tertiup angin."Dia nyata?" Sekali lagi Song Mingyu bergumam. Kemudian dia mengusap matanya dengan punggung jari telunjuknya. Setelah beberapa saat, dia menyadari jika wanita itu sangat nyata. Seketika dia melompat turun dari tempat tidurnya. Sebagai akibatnya dia terjatuh tunggan
Perjalanan menuju kota Chunyu memerlukan waktu yang cukup lama. Dari kota Yueliang mereka harus melewati beberapa kota, desa-desa kecil, hutan dan padang rumput. Perjalanan yang menyenangkan sekaligus penuh tantangan. Apalagi mereka juga kerap berhenti untuk beristirahat dan juga mencari bahan-bahan obat di beberapa tempat yang mereka lalui. Beberapa kali mereka menghadapi bahaya dan masalah sebelum tiba di kota yang dikenal dengan cuacanya yang sejuk itu. Meski akhirnya semua dapat diatasi dengan cukup mudah. Selama perjalanan Yue Yingying yang kali ini turut serta, merawat Junjie dengan telaten. Hingga kondisi pria itu semakin membaik. Meski masih ada sisa racun bunga salju di tubuhnya. Racun bunga salju berefek dingin dan membuat penderita rentan terhadap hawa dingin dan perubahan cuaca. Kondisi tubuh juga akan semakin menurun dan akhirnya dapat membawa kematian. "Tubuhmu cukup kuat menahan racun ini selama sepuluh tahun lebih. Entah
Rumah beroda itu berderak pelan meninggalkan Oasis Merah, sebuah tempat peristirahatan yang sunyi di tengah bentangan pasir. Mentari pagi baru saja menyembul di cakrawala, menyapu gurun dengan semburat jingga. Para penghuni tenda-tenda dan karavan masih terlelap, terlindung dari dinginnya pagi. Hanya derak roda dan deru angin gurun yang menemani perjalanan itu.Song Mingyu mengendalikan rumah beroda dengan hati-hati, ditemani Baihua, rubah putih yang setia menempel di sisinya. Di samping mereka, keledai hitam bernama Lobak berjalan perlahan, menggerutu dengan dengusan-dengusan kecil."Sudahlah, Lobak! Kau jangan merajuk lagi," tegur Song Mingyu dengan nada geli sambil melirik keledai yang tampak cemberut. Dia terkekeh, seakan keledai itu mengerti.Meski pasir merah yang bergulung-gulung di bawah roda kerap membuat perjalanan terseok-seok, rumah beroda itu terus melaju. Lobak, meski tak puas, tetap setia mengikuti di sisi, tanpa ada niat sedikit pun untuk m
Ibukota Kekaisaran Shenguang dalam beberapa hari ini terasa sunyi. Hanya derap langkah prajurit berpatroli yang memecah keheningan lorong-lorong kota di jam-jam tertentu. Udara pagi menghembuskan hawa dingin, membawa serta aroma lembab dari batu-batu jalanan yang jarang terinjak. Para penduduk menjalani hidup penuh tekanan, tak berani beraktivitas seperti biasanya. Lorong-lorong yang dulu ramai kini tampak lengang, bagaikan labirin batu yang kosong.Namun, sesekali ada sedikit kelonggaran. Penduduk diizinkan membuka toko atau berdagang, meski hanya dalam waktu dan ruang yang terbatas. Di bawah pengawasan ketat para prajurit. Suasana tetap terkendali, langkah-langkah mereka terasa berat seolah takut menimbulkan gema yang bisa mengundang bahaya."Masih terkendali, bukan, Tuan Han Jin?" Mo Yuan, orang kepercayaan Chu Wang, menatap lurus pria yang berkuda di sampingnya. Sorot matanya dingin, seperti batu giok tanpa cela, mengamati situasi kota dengan kewaspadaan tinggi
Malam di Oasis Merah terasa seperti sebuah kanvas gelap yang dilukis dengan ketegangan. Setelah pertempuran sengit di perbatasan, keheningan menggantikan gemuruh perang, namun bukan kedamaian yang hadir—melainkan bayangan ancaman yang membekap udara. Kedua belah pihak mundur dengan luka masing-masing, menyisakan jejak pertempuran yang masih menguar di antara angin padang pasir.Pasukan Jenderal Miu Yue kembali ke Oasis Merah, diikuti oleh Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu. Di sisi lain, Pangeran Luo membawa pasukannya ke perbatasan, sementara Pasukan Hantu Kematian menghilang tanpa jejak, terkubur dalam badai pasir yang diciptakan Zhu Ling.Di dalam rumah beroda, api lentera yang bergoyang lembut diterpa angin malam menghangatkan suasana yang sedikit muram. Song Mingyu menatap Junjie dengan pandangan penuh tanya. Hening malam diselingi bunyiangin yang terasa lebih nyaring dari biasanya. "Apakah ini hasil yang kau inginkan?" tanyanya akhirnya, memecah kehen
Junjie menjadi sasaran utama serangan Liuxing. Pedang Bintang Jatuh milik Liuxing menderu, menghunus udara dengan kilatan seperti sambaran petir. Tanpa ragu, Junjie menarik tubuh Ren Hui, memindahkannya dari lintasan maut itu. Pada saat yang sama, Dongfang Yu bergerak bagaikan bayangan. Serulingnya terangkat, dan dengan satu sapuan cepat, dia menangkis serangan Liuxing. Gerakannya yang lincah menyerupai tarian musim semi, menyapu langkah Liuxing hingga pria itu terpaksa mundur. "Wah! Ini curang, Nona Dongfang Yu!" Sebuah suara keras memecah ketegangan. Zhu Ling, diikuti Xuan Yu serta Pasukan Hantu Kematian, telah mengepung Dongfang Yu. "Oh, curang, ya?" Dongfang Yu terkekeh kecil, suaranya seperti lonceng perak di malam gelap. "Tadi memang aku berniat curang. Tapi sekarang, rasanya kalian yang mencurangiku." Senyumnya menggantung dingin, dan dia kembali meniup serulingnya. Nada seruling itu melengking tajam, menghunjam tel
Ren Hui mengangkat Pedang Bintang Ilusi tinggi-tinggi, mata pedang itu bersinar dingin, siap menyambar lawannya dengan kekuatan tak terbayangkan. Liuxing, tak kalah sigap, memposisikan Pedang Bintang Jatuhnya. Dengan setiap gerakan tubuhnya, pedang itu memancarkan aura seperti sebuah bintang yang siap runtuh ke bumi.Junjie, yang telah beberapa saat menghindar dari serangan Xuan Yu, merasa gelisah. Meski tidak berniat membalas serangan, tatapannya terarah penuh kecemasan pada pertarungan Ren Hui dan Liuxing. "Celaka! Jika keduanya mengeluarkan serangan meteor, gurun ini akan hancur lebur," gumamnya dalam hati, menatap badai pasir yang semakin mengganas."Menyingkir!" Tanpa berpikir panjang, Junjie berteriak, suaranya menggema di tengah hutan pasir yang bergulung. "Semua, cepat menjauh!"Kekhawatiran Junjie berubah menjadi kenyataan. Pedang Ren Hui berkelebat cepat, seakan-akan meteorit yang meluncur dari langit, menembus keheningan udara yang kian mencekam
“Badai pasir,” gumam Miu Yue, suaranya bergetar di antara desau angin yang menderu-deru. Kekhawatiran terpancar jelas dari sorot matanya yang sempat melirik horizon yang perlahan memerah. Tanpa sadar, dia menggenggam erat lengan Song Mingyu, seperti mencari kekuatan dalam kegentingan. Sentuhan dingin jemarinya segera disambut kehangatan tangan pemuda itu, yang diam-diam berusaha menenangkan ketakutannya.Gemuruh angin yang membawa pasir merah bergulung-gulung laksana naga yang menari liar di cakrawala. Ini bukan sekadar ancaman sepele, tetapi fenomena alam yang mampu melahap seluruh kehidupan yang berdiri di hadapannya. Bukit pasir berguguran, lalu terbentuk kembali dengan wujud yang baru—seolah gurun ini hidup, berubah dengan setiap hempasan badai.“Berlindung di balik kereta!” Miu Yue dan Kasim Ong berteriak bersamaan.Tanpa membuang waktu, para prajurit berlarian ke balik kereta-kereta berat yang penuh dengan barang bawaan. Kereta-kereta itu,
Ren Hui dan Liuxing kini benar-benar berhadapan di tengah hamparan gurun pasir merah yang menderu diterpa angin. Matahari menggantung rendah di langit, menciptakan kilauan tembaga di atas pasir yang seolah menyala. Kedua pria itu berdiri diam sejenak, ketegangan melingkupi mereka seperti senar busur yang ditarik hingga hampir putus.Liuxing, dengan tatapan dinginnya, tak ingin membuang waktu. Tanpa sepatah kata, dia melancarkan serangan pertama. Pedang Bintang Jatuh di tangannya menyambar seperti badai musim gugur, menciptakan gelombang energi yang menghantam gurun. Pasir berhamburan ke udara, berputar seperti topan kecil yang melenyapkan batas antara langit dan bumi. Tanah bergemuruh seolah naga kuno bangkit dari tidurnya.Ren Hui bergerak cepat, tubuhnya melompat dengan kelincahan seekor kijang yang melintasi jurang.Pasir merah beterbangan, menciptakan kabut yang menutupi pertarungan. Di kejauhan, para saksi hanya bisa menyipitkan mata, berusaha menembus tirai debu."Junjie! Menjau
Junjie dan Ren Hui saling berpandangan, diam dalam kerangka waktu yang terasa membeku. Ini bukan pertama kalinya mereka harus menghadapi pertarungan bersama, meskipun momen seperti ini jarang terjadi. Hidup mereka, seperti dua sungai berbeda, mengalir di jalur yang tak pernah bersinggungan kecuali saat menghadapi musuh-musuh mereka.Junjie lebih sering bergulat dengan dunia politik dan pertempuran besar di medan perang, tempat strategi dan kekuatan militer saling bertaut. Sebaliknya, Ren Hui hidup di bawah bayang-bayang duel maut, bertarung satu lawan satu dengan ahli beladiri atau murid-murid sekte lain. Dunia mereka bertolak belakang, tetapi hari ini garis nasib mempertemukan mereka kembali.“Bertarung atau kabur?” Ren Hui bertanya santai, memutar payung di tangannya dengan gerakan malas, seakan badai pasir yang mengancam itu hanyalah angin musim semi.“Menurutmu?” Junjie balas bertanya, suaranya serupa desau angin dingin yang menggugurkan daun-daun terakhir. Dia mengibaskan lengan
Junjie dan Ren Hui menatap pria di belakang Liuxing. Tanpa topeng hantu, pria itu memancarkan daya tarik yang tak terduga. Wajahnya muda, tampan, seperti pualam yang dipahat sempurna oleh tangan seorang seniman."Ah, kau Yu!" seru Ren Hui tiba-tiba, suaranya melengking, penuh keterkejutan. Jarinya terulur lurus, seolah ingin memastikan bahwa yang dilihatnya nyata. Xuan Yu, asisten Peramal Ilahi yang mereka temui di tenda beberapa hari lalu, kini berdiri di barisan Pasukan Hantu Kematian.Ren Hui terkekeh kecil, menarik lengan mantel biru Junjie. "Aiyo! Kau sungguh tak pantas menjadi anggota Pasukan Hantu Kematian. Kau terlalu tampan untuk menjadi hantu." Nada bercandanya ringan, tapi matanya memancarkan kewaspadaan, seperti mata elang mengawasi mangsa.Ucapan Ren Hui memicu tawa kecil dari Zhu Ling, A Xian, Song Mingyu, bahkan Pangeran Luo. Namun, Junjie tetap diam, wajahnya seperti biasa, tanpa ekspresi berarti."Wah, pedagang arak," balas Xuan Y