Mereka bertiga duduk mengelilingi meja setelah menghabiskan makan malam mereka. Hanya sup pangsit berisi sayuran dan ikan kukus serta mi. Namun, terasa begitu lezat hingga semua habis tak bersisa dalam waktu singkat."Aku sudah membeli bahan obat yang kau minta. Aku simpan di laci sebelah sana." Junjie menunjuk pada lemari yang menempel pada dinding di belakangnya."Terima kasih. Bagaimana hutangmu? Sudah bisa kau lunasi bukan?" Ren Hui melirik Junjie sementara tangannya menyalakan sebatang dupa."Aiyo! Tidak bisakah kau menunggu besok?" Junjie berteriak kesal. Diiringi tawa tertahan Song Mingyu. Pemuda itu hampir saja meledak dalam tawa seandainya saja tidak mendapatkan tatapan tajam Ren Hui. "Bagaimana denganmu? Aku rasa hutangmu pun sudah lunas. Besok kau boleh pergi." Ren Hui berkata padanya dengan santai.Song Mingyu pun terdiam. Sedangkan Junjie tersenyum tipis meliriknya. Ren Hui menatap mereka b
Ren Hui menatap Junjie lekat-lekat. Amarah dalam dirinya kembali menggelegak. Dia maupun gurunya tidak memiliki ambisi berlebihan. Apalagi hingga perihal kenegaraan dan politik. Itu bukan ranah mereka. Namun, pada akhirnya hal itu juga yang menyeret guru dan adik seperguruannya pada kematian."Ayahmu di bawah kendali Permaisuri Wu dan merasa ketakutan akan kehilangan posisinya sehingga mencurigai setiap orang, tidak terkecuali dirimu." Ren Hui kembali bergumam pelan.Junjie hanya terdiam. Dia tidak membantah atau mengiyakan pernyataan Ren Hui. Jauh di lubuk hatinya dia mengakui ucapan Ren Hui tidak sepenuhnya salah. Namun, juga tidak sepenuhnya benar. Dia pun memiliki pendapat sendiri mengenai ayahnya, Kaisar Tianjian."Bagaimana pun juga dia tetaplah ayahku," gumamnya lirih. Meski memiliki banyak hal yang membebani hatinya, dia tidak dapat memungkiri garis darah yang mengaliri tubuhnya."Aku tahu" Ren
Ren Hui kembali menatap lukisan dirinya. Meski hatinya juga diliputi beberapa pertanyaan mengenai Song Mingyu, tetapi perasaan meluap-luap dalam hatinya saat menatap lukisan itu lebih kuat dan menyeretnya untuk mengenang kembali masa lalunya."Jurus Pedang Surgawi terdiri atas dua puluh delapan langkah yang harus kau kuasai dengan sempurna pada level tertinggi. Kau tidak boleh gagal dan berhenti di tengah jalan karena akan berakibat fatal pada kultivasimu." Gurunya, Liuxing memperingatkannya sebelum memulai mengajarinya jurus itu."Aku mengerti!" Ren Jie mengangguk dengan tegas dan mantap. Sedari kecil dia memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi Dewa Pedang terhebat di Kekaisaran Shenguang.Ambisinya itu bukan karena dendam atau keserakahan. Namun, hanya sebuah ambisi pribadi selain tentunya untuk mengelak dari kewajiban memasuki istana dan juga menjadi ketua sekte. Dia melakukan semua itu untuk Zhu Zijing, adik seperguruannya."Kakak, coba pik
Keesokan paginya, Ren Hui terbangun seperti biasa. Bersama Baihua, pagi-pagi buta, dia pergi ke air terjun. Mengumpulkan embun pagi dan memetik bunga-bunga serta buah-buahan yang mekar dan berbuah di musim panas.Tak jauh dari air terjun ada hutan bambu yang teduh dan sebuah kolam yang ditumbuhi lotus aneka warna. Bersama Baihua, dia memetik bunga-bunga lotus dan juga mengambil akarnya. Setelah itu dia berkeliaran di hutan sekitar untuk memetik bunga persik, mawar liar dan Peony.Dia juga mengambil beberapa buah-buahan seperti buah persik, aprikot, loquat dan jujube yang pohonnya tumbuh liar di sekitar hutan. Dalam sekejap saja keranjang bambu dan kendi yang dibawanya sudah penuh."Baihua!" Ren Hui berseru memanggil rubahnya. Hewan berbulu putih bersih itu berlarian mendatanginya. Sepertinya dia baru saja mengejar seekor kelinci. "Ayo kita pulang! Semoga saja para pengangguran itu sudah membersihkan rumah." Ren Hui tertaw
Menjelang tengah hari, rumah beroda milik Ren Hui mulai bergerak meninggalkan Air Terjun Jiwa Tersembunyi. Junjie berkali-kali bertanya memastikan Ren Hui benar-benar ingin meninggalkan bukit itu."Kau tidak menyesal? tanyanya untuk kesekian kalinya. Ren Hui hanya melirik sinis sekilas. "Kemana tujuanmu setelah ini?" Dia justru balik bertanya pada pria yang tengah mengendalikan kuda."Aku tidak punya tujuan," sahut Junjie dengan santai. Song Mingyu tertawa pelan mendengar jawabannya. Dia tahu, Ren Hui sudah meminta mereka berdua untuk meninggalkan rumah berodanya dan berpisah dengannya di perbatasan Kota Yueliang."Dan kau?" Ren Hui bertanya pada Song Mingyu seraya memukul kepala pemuda itu dengan kipasnya. "Aiyo, aku juga tidak punya tujuan. Aku tidak tahu harus pergi kemana," keluh Song Mingyu seperti biasanya, tentu saja disertai gaya memelas yang memilukan hati. Sayangnya Ren Hui tidak mudah untuk tertipu air mata bua
Ren Hui menoleh, melongokkan kepalanya melalui jendela dapur. Meski dahulu tempat ini merupakan salah satu tempat yang kerap dikunjunginya, tetapi dia selalu meragukan keamanan tempat yang termasuk dalam salah satu wilayah tak bertuan.Pasar hantu merupakan julukan untuk sebuah tempat yang berada di antara Kota Yueliang dan Kota Yinyue. Secara administratif tempat ini tidak termasuk ke dalam salah satu dari kota-kota itu. Karena itu segala sesuatu di tempat ini memiliki peraturan dan hukum sendiri yang kemudian mengakar kuat di tempat ini."Kita parkir di tepi sungai willow saja!" Serunya menjawab pertanyaan Junjie."Baiklah!" Junjie menyahut dengan santai. Dia menyentak pelan tali kekang kuda, berdecak pelan dan membelokkan kuda-kuda yang menarik rumah beroda itu ke sebuah jalur sepi sebelum tiba di persimpangan.Song Mingyu memperhatikannya dengan kening yang berkerut. Dia mengira Junjie akan membelok di persimpangan jalan. Karena di sanalah jal
Perahu melaju pelan mengikuti arus sungai yang cukup tenang. Sungai itu diapit bebatuan yang menjulang tinggi di sisi kanan kirinya setelah berbelok arah menjauhi Kota Yinyue. Perahu melaju terus hingga tiba di sebuah tempat di mana bagian atas bebatuan tinggi itu bertemu dan membentuk lorong yang memayungi sungai.Ren Hui sebelumnya telah menyalakan lentera yang selalu tersedia di setiap perahu yang hendak memasuki pasar hantu. Lorong itu cukup gelap karena tidak ada celah tempat cahaya matahari menerobos masuk.Setelah beberapa saat, lorong gelap itu pun berakhir dan perahu muncul di alam bebas, di mana sungai kembali berbelok. Pak Tua, pengayuh perahu, menepikan perahunya kemudian menambatkannya pada pohon wisteria di tepi sungai.Ren Hui diikuti Baihua melompat ke tepi sungai. Setelah berterima kasih, dia berjalan melewati jalanan menurun yang bertangga batu. Tangga itu bermuara dari pokok pohon wisteria tua yang berl
Ren Hui tersenyum menatap Pak Tua yang tergopoh-gopoh berlari menyambutnya. Begitu jaraknya sudah semakin dekat, pria tua itu berhenti dan menatap Ren Hui lekat-lekat."Kau siapa?" tanyanya kebingungan. Ren Hui hanya mendesah pelan mendengar pertanyaan pria tua yang dikenal dengan sifat pelupanya. Dia jarang bisa mengenali orang dalam sekejap. Membutuhkan sebuah cerita yang panjang untuk mengingatkannya pada seseorang."Paman Lan Feng, sepuluh tahun lalu ada seseorang yang memesan untuk dibuatkan sebuah benda padamu bukan?" Ren Hui bertanya dengan lembut.Pak tua itu tertegun kemudian menggaruk-garuk kepala. Seperti tengah berpikir. "Sepuluh tahun lalu? Aku lupa," sahutnya tanpa merasa bersalah sama sekali setelah cukup lama mencoba mengingat.Ren Hui tersenyum tipis dan mendekatinya. Dia menyentuh lengan pria tua itu dan menggandengnya. "Kalau begitu mari kita mengingatnya sembari menikmati arak," ajak
Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"
Junjie dengan tenang mencabut anak panah yang menancap di tanah, di ujung kaki mereka. Jarinya yang ramping memutar anak panah itu, mengamatinya dengan seksama. Sambil memegang anak panah tersebut, dia melambai pada pasukan berkuda yang dipimpin Jenderal Miu."Jenderal Miu! Kami hanya pengelana yang singgah sebentar! Izinkan kami pergi!" serunya dengan penuh percaya diri, suaranya tegas tetapi tidak berlebihan.Namun, kedua pasukan itu bergerak mendekat, mengencangkan formasi hingga ruang gerak semakin sempit. Tatapan penuh curiga mengarah pada Junjie dan Ren Hui, seolah menyiratkan bahwa mereka menyembunyikan sesuatu.Ren Hui menghela napas panjang, sebelum memasang wajah memelas yang sangat meyakinkan. "Aiyo! Kami hanya pedagang arak miskin yang kebetulan lewat. Sungguh sial kami terjebak dalam kekacauan seperti ini!" rengeknya memelas, suaranya terdengar dibuat-buat tetapi mengundang simpati.Beberapa prajurit di sekitar mereka memandang dengan
Suasana seketika menjadi hening. Angin gurun berdesir pelan, membawa aroma pasir dan dedaunan kering yang bergesekan di sekitar oasis. Beberapa prajurit segera bergerak cepat, melindungi teman-teman mereka yang tengah mengambil air. Ren Hui dan Junjie pun segera mengangkat kaki mereka dari air, mengeringkannya dengan tergesa-gesa sebelum mengenakan kembali sepatu bot.Tiba-tiba, desingan anak-anak panah memecah ketenangan. Kali ini, serangkaian anak panah meluncur deras ke arah mereka. Ren Hui bereaksi secepat kilat, mengeluarkan payung di punggungnya dan membukanya dengan gerakan gesit. Payung itu berputar, mematahkan setiap anak panah yang mengarah padanya dan Junjie.Gerakannya begitu lincah dan anggun, membuat para prajurit di sekitarnya tertegun. Mereka menatap pemandangan itu dengan kekaguman, bahkan sempat lupa dengan ancaman yang baru saja melintas.Ren Hui tersenyum canggung sambil menggaruk kepalanya. "Maaf, kam