"Kau milikku, Candice," kata seorang pria yang wajahnya tak begitu jelas.
"Siapa kau?" tanyaku sambil berusaha menajamkan penglihatanku. "Kau melupakanku, hm? Setelah apa yang kau lakukan padaku di kamarku?" tanya pria itu dengan nada menggoda. Kamar? "Aku bisa menghentikan rasa laparmu itu, Sayang. Karena aku juga merasakan hal yang sama," kata pria itu lagi. Oh, aku baru bisa melihat wajahnya dengan jelas. Astaga! Tidak Mungkin! Dia...dia adalah... "Hayden," gumamku tak percaya. "Ya, Sayang. Aku ingin kau merasakan hal yang sama seperti waktu itu," jawabnya lalu tersenyum lebar. "Jangan," gumamku saat dia mulai mendekatiku. Hentikan! Jangan lakukan itu! Tapi aku merasa tidak sanggup untuk menolak sensasi yang menyenangkan dan luar biasa ini. "Kau adalah ratuku. Tak akan kubiarkan siapapun memilikimu," ucapnya dengan nada yang terdengar begitu mendominasi.*** "Hah!" Aku tersentak dan langsung membuka mata. "Candice, kau tak apa-apa?" tanya seorang wanita yang terdengar familiar di telingaku. Aku menoleh dan mendapati Sharon yang sedang berbaring di samping kananku. Entahlah, apakah aku baik-baik saja? Tapi mimpi tadi terasa begitu nyata. Rasanya, rasanya bagian bawah tubuhku... Tidak mungkin! Tanpa sadar aku berlari ke kamar mandi secepat yang aku bisa. Tubuhku sudah bugar sepenuhnya. Tak ada lagi rasa lapar seperti sebelumnya yang begitu menyiksa. Aku menatap cermin dan terkesiap saat mendapati wajahku terlihat berbeda. Kulitku nampak bersinar dan rambut hitamku berkilau. Oh, tidak. Ini terlalu mencolok. Apa yang terjadi padaku? Dan itu...tunggu, tanda apa itu di dada kiriku? Seperti tato sepasang sayap dan pedang dengan posisi vertikal di tengah-tengahnya yang berada tepat di atas jantungku. Apakah ini yang menyebabkan rasa sakit yang luar biasa itu? "Candice?" panggil Sharon dari luar kamar mandi. Cepat-cepat aku melepaskan pakaianku dan melangkah ke bilik shower. Guyuran air hangat merilekskan tubuhku dan menenangkan pikiranku. Aroma lavender dari sabun dan shampo semakin membuatku merasa nyaman. Setelah membilas tubuh dan rambutku, aku keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk. Kudapati Sharon yang tengah menatapku aneh. "Kau terlihat...berbeda," gumamnya sambil mengamati seluruh tubuhku. Aku merasa risih dipandangi seperti itu, jadi kuputuskan untuk menuju ke lemari besar di dekat ranjang dan melihat-lihat pakaian yang tertata rapi di sana. "Hari ini kau ikut denganku ke kantor," ujarnya. Aku menoleh sekilas padanya, lalu kembali fokus pada tumpukan pakaian yang membuatku bingung. Di dunia dacros, tidak ada yang namanya celana pendek atau t-shirt seperti yang kupakai kemarin. Pakaian yang dipakai wanita adalah gaun tanpa lengan yang panjangnya selutut dan terbuat dari kain sutra.Sedangkan untuk keluarga kerajaan, gaunnya panjang sampai di bawah mata kaki dengan lengan panjang sampai di bawah pergelangan tangan, yang berarti menandakan bahwa wanita itu terhormat dan berkelas tinggi. Sebenarnya aku merasa sangat risih jika setiap hari harus mengenakan gaun panjang, karena itu menghambat pergerakanku yang tidak suka berdiam diri. Tapi di dunia manusia, kenapa pakaiannya justru banyak yang terbuka? Kutebak karena gaya hidup atau cuaca yang begitu panas. Di duniaku tidak pernah sepanas ini. "Aku harus memakai pakaian yang mana?" Aku menoleh ke arah Sharon yang sudah memakai pakaian yang terlihat tebal dan kaku. "Pakailah ini. Beberapa manusia berpakaian seperti ini saat bekerja," jawabnya sambil mengambil tiga potong pakaian lalu menyerahkannya padaku. Aku mengambil bra dan celana dalam, lalu menyambar pakaian itu dan melesat menuju ke kamar mandi. Hanya butuh waktu kurang dari satu menit dan aku sudah selesai memakai semua itu. Aku menatap bayanganku di cermin. Oh, tidak! "Sharon, bisakah kau membuatku terlihat biasa-biasa saja?" tanyaku sambil berjalan mendekatinya. Sharon memiringkan kepalanya tampak berpikir. "Kau masih terlihat mencolok meskipun mengenakan pakaian formal seperti itu. Huh, aku sungguh iri." "Sharon, kau tidak ingin sara...pan?" Aku menoleh ke arah pintu dan mendapati Ashton yang tengah mematung seraya mengamatiku. Aku tersenyum padanya, namun tubuhnya langsung menegang dan sebelum aku sempat berkedip, dia sudah menghilang. Kenapa dia? "Dasar! Baru kali ini dia jatuh cinta. Sayang sekali pada wanita yang salah," gumam Sharon sambil menggiringku ke depan meja rias di samping nakas. "Jatuh cinta pada siapa?" tanyaku penasaran. "Bukan siapa-siapa. Candice, aku penasaran kenapa baumu seperti manusia?" tanya Sharon sambil melakukan sesuatu pada rambutku. "Wow, rambutmu memiliki highlight merah marun. Seingatku kemarin hanya berwarna hitam. Apakah semua dacros seperti itu? Menyenangkan sekali jika bisa mengganti warna rambut dan mata setiap saat." "Hei, aku sendiri tidak tahu kenapa rambutku tiba-tiba memiliki highlight," jawabku sambil ikut mengamati warna rambutku. "Jawab dulu pertanyaanku yang tadi," desak Sharon mengingatkanku. "Oh, aku memakai sesuatu yang membuatku bisa menyamar. Yah, seperti menghilangkan jejak," ucapku seraya mengamati kalung di leherku dari balik cermin. Kalung milik Raja Black Dacros memang terkenal sakti. Itu bisa membuat sang raja mengubah baunya menjadi seperti makhluk apapun yang dia inginkan. Entahlah, kenapa dia bisa memiliki benda seperti ini? Apa yang tersimpan di dalamnya sehingga bisa membuat pemiliknya menyamarkan atau mengubah bau tubuhnya? "Oh, ya? Apa itu?" tanya Sharon penasaran. Aku mengeluarkan kalung dengan liontin sebuah pedang kecil yang memiliki hiasan batu permata berwarna emerald. Kalung itu terlihat bersinar jika dilihat oleh makhluk supernatural seperti kami. "Indah sekali," gumam Sharon dengan mata berbinar. "Um, sebenarnya ini sangat rahasia. Aku harus menyembunyikannya agar tidak diketahui oleh makhluk lain. Bisakah kau menjaga rahasiaku?" pintaku. "Tentu saja. Aku tak ingin terjadi sesuatu padamu. Nah, sekarang sudah selesai. Ayo kita sarapan!" ajaknya dengan antusias sambil menarik tanganku untuk keluar dari kamar. "Darimana kau mendapatkan darah-darah itu? Kemarin aku melihat ada berbotol-botol darah di lemari es," tanyaku penasaran. "Ashton yang mendapatkannya. Dia memburu binatang karena tidak ingin meminum darah manusia. Kemarin aku benar-benar kelaparan, jadi aku memutuskan untuk berburu sendiri di hutan. Ternyata aku malah menemukanmu tergeletak begitu saja di atas rumput dengan bau yang menggiurkan," jawabnya dan meringis begitu menatapku. Kami sudah sampai di ruang makan dan hanya tersedia sandwich di atas meja. "Ak-aku tidak tahu apa seleramu, jadi aku menuangkan darah di gelasmu. Aku pikir setelah melihatmu meminum darah kemarin, kau juga meminum darah seperti kami," ujar Ashton dengan gugup. Wajahnya terlihat begitu tegang. Ada apa dengannya? Dia bahkan tidak berani memandangku secara terang-terangan seperti kemarin. Aku mengerutkan kening sambil mengamati perubahan raut wajahnya. "Ashton, kau terlihat gugup sekali. Bersikaplah biasa saja di depannya," bisik Sharon dengan sangat pelan, namun aku masih bisa mendengarnya. Tiba-tiba terbersit ide jahil di kepalaku yang membuatku menyunggingkan seringai. Aku mendekati Ashton dengan perlahan lalu duduk di sampingnya dan menghadapnya. "Jadi, kau memperhatikanku, hm?" tanyaku sambil mendekatkan wajahku ke wajahnya. Ashton melengos. Tangannya menggenggam gelas di depannya dengan erat. Geraman rendah lolos dari tenggorokannya yang sempat terdengar di telingaku. "Kenapa kau menghindariku? Apa aku sejelek itu?" tanyaku dengan wajah sedih. "Tidak! Kau sangat cantik! Kau sungguh mempeso...." Ashton membelalak dan buru-buru berlari dengan kecepatan vampir meninggalkan kami. Sharon yang sejak tadi memperhatikan kami malah tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. "Baru kali ini pria bodoh itu gelagapan di depan seorang gadis. Biasanya dia selalu bersikap sok angkuh dan dingin." Aku tersenyum puas kemudian melahap sandwich di hadapanku. Hm, rasanya enak juga. Aku tidak menyesal telah melarikan diri ke dunia manusia, meskipun rasanya sangat melelahkan saat melintasi dua dunia yang berbeda. Sejak kemarin aku telah menikmati makanan-makanan baru yang terasa lezat dan menggoda selera. "Jadi, siapa sebenarnya Ashton itu?" "Dia adalah sepupuku. Dia juga sama sepertiku, tidak suka berperang. Kami lebih suka kehidupan yang damai, aman, dan tentram. Untuk itulah kami melarikan diri ke dunia manusia selama seratus tahun." "Seratus tahun? Memangnya berapa umur kalian?" tanyaku kaget. "Aku berusia 150 tahun, sedangkan Ashton berusia 160 tahun. Kami merasa nyaman tinggal di sini karena manusia tidak pernah mengusik kami. Itulah sebabnya kami memilih untuk tinggal di kota. Tak akan ada yang peduli pada kami di sini, meskipun masih ada beberapa manusia yang menyempatkan diri untuk beramah tamah menyapa kami atau memberikan sesuatu pada kami. Aku sangat menghargai apa yang mereka lakukan," jawabnya, lalu meneguk darah dari gelas berkaki. Hmm, sama seperti dacros kalau begitu. Umurku sudah 130 tahun. Jika di dunia manusia, wajahku masih terlihat seperti gadis yang berusia sekitar 20 tahun. Wajah kami tak akan pernah menua dan semua dacros memiliki wajah seperti berusia 25 tahun di dunia manusia setelah mencapai usia 200 tahun. "Sharon, kau punya susu? Aku sedang tidak berminat untuk meminum darah," tanyaku sambil menjauhkan segelas darah dari hadapanku. Sharon mengangguk. Dia bangkit untuk mengambilkanku sekotak susu dari kulkas lantas memberikannya padaku. Aku mengucapkan terima kasih padanya dengan tulus sambil tersenyum. Bagaimanapun juga, berterima kasih pada siapapun yang telah menolong kami adalah suatu keharusan bagi semua dacros, tak peduli seburuk apapun sifat maupun perilaku si penolong. Itu sudah menjadi semacam peraturan tak tertulis di dunia kami. "Jadi, sebenarnya minuman dacros itu apa? Kau pernah bilang bahwa kalian menyukai air yang berisi bunga, tapi kau juga meminum darah dan susu. Aku masih bingung dengan semua itu," tanya Sharon dengan tatapan penasaran. Aku meneguk sedikit susu lalu mengusap bibirku dengan tisu yang sudah disediakan di atas meja. "Di dunia kami ada dua ras. Ras White Dacros sangat menyukai susu, sedangkan ras Black Dacros sangat menyukai darah. Tapi keduanya sama-sama menyukai air yang berisi berbagai macam bunga," jawabku sebelum kembali melanjutkan makanku. "Tapi...kau meminum darah dan susu. Kenapa....oh, jangan bilang bahwa kau adalah..." Ucapan Sharon terhenti. "Yup, kau benar sekali. Aku adalah dacros berdarah campuran. Dan aku..." Aku mendongak untuk melihat Sharon yang langsung menegang. "Aku menjadi buronan, karena aku sangat berbahaya," lanjutku dengan hati-hati. Wajah Sharon serta-merta memucat. Dia melihatku dengan ekspresi ketakutan. "Tenang saja, aku tidak akan membunuhmu. Kau adalah temanku, jadi kau aman berada di dekatku," kataku cepat-cepat, berusaha menenangkannya. Sharon langsung menghela nafas lega. "Kurasa aku harus menyuruh Ashton untuk mengambil buku-buku sejarah kuno di perpustakaan kerajaan. Aku sangat penasaran dengan dunia dacros setelah mendengar ceritamu tadi. Aku kira kalian hanyalah mitos belaka, karena selama ini kami sama sekali belum pernah bertemu dengan kalian." Aku hanya tersenyum menanggapinya. Kuharap Sharon dan Ashton tidak akan berubah memusuhiku atau menjauhiku setelah tahu lebih jauh mengenai dacros."Sharon, kau bilang kau sudah mengubah penampilanku. Tapi kenapa masih banyak yang melirikku?" bisikku sambil memeluk lengannya dengan erat. Sharon tadi menggelung rambutku dan memberiku kacamata besar berbingkai hitam. Dia juga memoleskan lipstik berwarna nude dan bedak berwarna coklat agar wajahku terlihat tua dan kusam. "Sepertinya tidak mempan. Kau terlalu menyilaukan. Kau lebih mirip seperti model Victoria's Secret ketimbang pekerja kantoran," bisiknya sebelum menarikku memasuki sebuah ruangan. "Miss Devine, ada perlu apa kau kemari?" tanya seorang pria berambut pirang sambil tersenyum ramah pada Sharon. Kutebak usianya di atas 30 tahun, dilihat dari kerutan-kerutan yang muncul di sekitar matanya meskipun wajahnya terlihat masih muda. Dia menatap Sharon dengan kagum. Pria itu tadi terlihat menikmati duduk di kursinya yang nyaman, tapi sekarang ia lebih memilih untuk berdiri dan menghampiri kami. "Mr. Shayne, aku membawa temanku. Kuharap kau mengijinkannya bekerja di sini.
"Kau telah mencuri kalung milik Raja Black Dacros." Tunggu! Kenapa dia bisa tahu? Aku menunduk dan mendapati kalungku yang benar-benar tersembunyi di balik pakaian kerjaku. Tak ada yang bisa melihat kalung itu, kecuali.... "Kenapa kau bisa mengetahuinya?" tanyaku sambil menyipitkan mataku curiga. "Aku bisa dengan mudah melihat apa yang ada di balik pakaianmu," jawabnya dengan santai. Mataku langsung membelalak dan darahku terasa mendidih saat itu juga. Berani-beraninya dia! Kurang ajar! Dia benar-benar pria lancang! "Kau! Kau sungguh lancang!" teriakku yang membuatnya terkejut bukan main dengan ekspresi wajah tak terima. Dengan serta-merta aku mengeluarkan taringku dan mengarahkan tangan kananku ke arahnya, membuatnya terlempar jauh hingga menabrak tembok pembatas. Jari-jari tanganku sedikit kulengkungkan, dan Giga meringis kesakitan dengan sorot mata kebingungan. "Apa kau tak pernah diajarkan sopan santun, huh? Dasar laki-laki kurang ajar!" pekikku sambil berlari menerjangnya.
"Yang Mulia, saya telah berhasil memukul mundur para demon dan vam...." Itu terdengar seperti suara Giga."Hayden, aku bilang kita harus menikah dulu," gumamku."Oh, tidak!" sergah Giga yang begitu nyaring di telingaku."Keluar dari kamarku, Giga!" teriak Hayden dengan wajah memerah.Tubuhku terasa sangat lelah sekarang setelah Hayden akhirnya menurutiku untuk melakukannya melalui pikiran, namun sialnya tenagaku malah semakin bertambah. Terkutuklah kelaparan sialan ini. Aku tidak mau menjadi budak nafsu hanya karena hubungan mate ini. Aku tidak mau merasakan sakit yang lebih parah lagi. Aku akan meminta tolong pada Sharon setelah ini, siapa tahu dia bisa menghentikannya."Sudah, aku sudah tak sanggup lagi. Sekarang perutku yang kelaparan," keluhku. Aku berbaring di atas ranjang dengan tubuh penuh keringat."Giga! Carikan pakaian wanita untuk ratuku!" perintah Hayden tanpa menoleh sama sekali."Arrgghh...dasar raja sialan!" umpat Giga dengan suara lirih, namun masih bisa kudenga
"Lelucon kalian sama sekali tidak lucu," kataku lalu tertawa hambar, namun segera berhenti saat melihat wajah serius mereka.Aku berdehem lalu bangkit dari sofa untuk menuju ke dapur. Aku sedang tak ingin mendengarkan kenyataan apapun. Tidak, aku tidak siap. Atau mungkin belum."Apa yang menyebabkanmu menjadi buronan?" tanya Hayden tetap dari tempatnya."Bisakah kalian tidak membahas tentang hal ini? Rasanya...sakit," gumamku dengan lirih seraya mengambil sebotol air putih dan meneguknya langsung dari sana."Tidak, Candice. Kami harus mengetahui secara detail tentang mengapa kau bisa menjadi buronan, agar penjelasan mengenai kau adalah Gold Dacros bisa kau terima...""Harus berapa kali lagi kubilang jangan membahas tentang hal itu di depanku!" Aku melempar botol di tanganku ke lantai ubin sampai pecah berkeping-keping. Aku sedang tidak ingin membayangkan ibuku yang meregang nyawa di depanku.Tiba-tiba semua benda tajam melayang. Tubuhku gemetaran saat mengingat peristiwa terkutu
Aku tiba di sebuah hutan yang sangat lebat dan luas dengan suara gemuruh tak jauh dari tempatku berpijak. Entah berada di mana ini, sepertinya tempat ini memiliki sesuatu yang sangat luar biasa dan akan menarik minat siapa saja untuk datang ke sini. Mungkin lebih baik aku tinggal di sini saja. Dengan lesu aku bersandar di sebuah pohon besar yang di sekitarnya terdapat berbagai macam tanaman liar yang sudah berbuah dan siap untuk dimakan.Kembali aku teringat dengan penjelasan Giga dan Hayden mengenai darahku yang beracun bagi dacros. Itukah sebabnya mengapa Airis menjebakku? Aku kira itu hanyalah perkiraanku saja bahwa ibuku meninggal karena darahku. Aku berharap bukan itu yang menjadi penyebabnya.Mataku memanas dan dadaku terasa sesak. Sakit sekali. Aku benar-benar sendiri sekarang. Tak ada yang mau menerimaku. Aku bahkan tak yakin bahwa Hayden benar-benar mencintaiku seperti yang tadi dia bilang. Bisa saja kan, dia mendekatiku karena ada maksud tertentu. Omong kosong dengan cin
"Kenapa?" tanyaku dengan polos.Fidel terlihat menelan ludahnya kemudian mundur dengan perlahan. "Dacros? A-aku kira kalian hanyalah mitos. A-aku tidak tahu bahwa...""Candice? Apa yang kau lakukan di sini?"Aku dan Fidel menoleh ke asal suara itu. Fidel menggeram dan menatapku dengan pandangan menuduh. Ada apa dengan makhluk ini? Tanpa berkata apapun lagi, dia berbalik kemudian berubah kembali menjadi serigala gendut berbulu coklat dan berlari dengan cepat meninggalkanku. Hahh, baru saja aku mendapatkan teman baru, tiba-tiba pergi begitu saja karena kehadiran makhluk lain.Aku berbalik dan menatap makhluk itu dengan tajam. "Kau menakutinya!" sergahku sambil menunjuk wajahnya.Dia menyeringai salah tingkah sambil menggaruk tengkuknya. "Aku hanya mengeluarkan taringku."Aku menepuk keningku sebelum meninggalkannya menuju ke sumber suara gemuruh yang sejak tadi sebenarnya sudah menarik perhatianku. Semakin dekat ke sumber suara, semakin berdebar jantungku karena pemandangan yang
Dalam satu sentakan kuat, tubuhku sudah berada dalam pelukan seseorang dengan posisi berdiri dan aku berada di depannya. Mulutku dibekap dengan sebelah tangannya dan kami mundur beberapa langkah menjauhi Ashton. Kulihat Ashton mendadak kebingungan dan pandangannya beredar ke segala arah."Candice? Di mana kau?"(Hei, aku masih berada di depanmu, bodoh. Kenapa dia tidak bisa melihatku?)"Berbisiklah kalau kau ingin berbicara agar kehadiran kita tidak diketahui," bisik pria yang memelukku dari belakang."Hayden, kenapa kau bisa menemukanku?" tanyaku ikut berbisik."Dacros akan sangat mudah melacak keberadaan pasangannya. Apalagi kita sudah bertukar darah dan tanda mate di dada kiri kita menjadi penghubung," jawabnya lalu memakaikan sesuatu ke leherku.Bertukar darah? Bukankah dacros akan meninggal jika meminum darahku? Lagipula sejak kapan dia meminum darahku?"Tenang saja, Sayang. Aku adalah mate-mu, jadi aku tak akan terkena racunmu. Kau tahu, aku adalah semacam penawar bagimu.
Pandanganku mendadak kosong. Di otakku sekarang tengah memutar kembali kenangan manis beberapa tahun yang lalu di mana hanya ada aku dan Alvon, tak ada yang lain. Tak ada yang mengusik kisah cinta kami, dan dia adalah sosok pria idaman yang selalu kuimpikan. Alvon selalu menghujaniku dengan cinta dan kasih sayang. Dia selalu ada untukku baik di saat susah maupun senang. Perjuangan gigihnya untuk menarik perhatian kedua orangtuaku akhirnya membuahkan hasil. Ayahku—ayah tiriku—memberikan restunya kepada kami sehingga kami berhasil melangsungkan pesta pertunangan.Ibuku begitu bahagia, begitu juga dengan Airis. Alvon adalah sahabat Airis, dan wanita itu sangat senang karena sahabatnya akan menjadi adik iparnya. Lalu bencana itu datang, dan impianku untuk hidup bersama dengan pria yang kucintai selamanya hancur berantakan hanya karena satu kejadian. Alvon dan Airis bercinta, saat aku tengah menyaksikan ibuku meregang nyawa setelah meminum darahku.Pandanganku memburam dan mataku teras
"Xyan Uzair," kataku ketika bayi laki-laki yang sangat tampan dan lucu itu kini tengah diserahkan oleh ibu mertuaku untuk kususui. Aku menatap bayi yang baru kulahirkan satu jam yang lalu itu dengan hati berbunga-bunga. Kedua matanya mengerjap lucu ketika melihatku. Tiba-tiba dia tertawa, membuat Dessidra dan Ester langsung mendesah dengan wajah gemas. "Kenapa kau menamai dia dengan nama itu, sayang?" tanya Hayden sambil membelai rambutku. Dia mencium keningku lalu kening Xyan, membuat bayi kecilku semakin tertawa riang. "Ah, aku jadi iri. Kapan aku bisa membuat yang seperti itu juga?" tanya Ester dengan kedua sudut bibir menekuk ke bawah, lalu melirik suaminya yang hanya memasang wajah datar meskipun kedua matanya tak lepas dari Xyan. "Xyan artinya sinar matahari. Kau tahu, dulu aku pernah bertemu dengannya di alam mimpiku ketika aku bersama dengan Zam. Waktu itu Zam menyuruhku untuk memakan banyak tanaman Arconium, dan Xyan versi balita datang membawakan semangkuk madu untukku.
Hayden POV Aku buru-buru mendatangi Candice yang tiba-tiba menangis di depan batu hitam itu. Sebenarnya hal yang sudah biasa terjadi, karena banyak manusia yang juga tiba-tiba menangis dan bertingkah aneh di sekitar Ka'bah. Aku kemarin bahkan melihat seorang pria muda yang berteriak-teriak seperti orang gila sambil melihat kesana kemari, seolah-olah dia mendadak lupa sedang berada dimana. Dia juga berteriak tidak bisa melihat Ka'bah, padahal Ka'bah berada tepat di hadapannya. Hassa menjelaskan padaku bahwa manusia itu memiliki niat yang tidak murni ketika datang ke tempat ini. Uang yang dia gunakan juga didapatkan dari jalan yang dilaknat oleh Tuhan, sehingga ketika datang kesini, Tuhan membuatnya tidak bisa melihat Ka'bah yang merupakan rumah-Nya. Ternyata semua dosa yang pernah dilakukan oleh manusia dan jin di masa lalu atau yang sedang berlangsung, akan langsung mendapatkan balasannya ketika berada di tempat ini. Tidak ada yang lolos dari tempat ini, untuk itulah disebut dengan
Dua bulan berlalu setelah aku bertemu dengan Hassa di pusat bumi, dan aku memutuskan untuk tinggal di rumah pria itu yang ternyata tak jauh dari lokasi pusat bumi berada. Hayden setuju saja dengan keputusanku, karena dia sendiri merasa penasaran. Hassa tinggal bersama istrinya, sedang dua anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di daerah lain. Umur Hassa sudah ribuan tahun, mungkin dua ribu lebih. Dia menjadi saksi hidup ketika utusan terakhir diutus ke bumi untuk menyampaikan agama bagi seluruh umat. "Kalian luar biasa. Baru dua bulan sudah mengerti hampir seluruh ajaran agama kami. Bukan hal yang mudah bagi siapapun untuk menerima ajaran kami. Bahkan manusia pun banyak yang menyangkalnya," ucap Hassa ketika kami baru saja menyelesaikan materi tentang hidup bertetangga. "Hayden dulunya adalah seorang raja, sedangkan aku..." Aku mengedikkan bahu. "Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku memang penasaran dengan segala hal yang berhubungan dengan Sang Pencipta. Apalagi sejak melihat pusat bumi
"Pusat bumi...pusat bumi... Apa ini tempatnya?" tanyaku setelah mendarat di daratan berwarna serba putih dan terasa sangat dingin. Untungnya aku tidak terlalu merasakan hawa di bumi, karena tubuhku tidak sesolid tubuh manusia. "Kau yakin ini tempatnya?" tanya Hayden balik dengan kening berkerut. Ia terlihat sama sekali tidak yakin dengan tempat yang kami pijaki sekarang. Di sepanjang mata melihat, hanya ada warna putih yang berasal dari butiran salju yang menutupi tanah. "Hmm, aku tidak tahu. Tadi kau lihat sendiri tempat ini berada di tengah-tengah bumi," jawabku. Hayden mengedarkan pandangannya sekali lagi, lalu menggeleng. "Tidak ada kekuatan di sini. Bahkan anak buah Azazil saja tidak ada di sini. Sepertinya bukan tempat ini."Aku kembali memeluknya dan melesat ke atas. Pusat bumi itu yang bagaimana? Di tengah-tengah? Atau poros bumi? "Apa aku menembus bumi saja, ya? Siapa tahu di sana ada batu hitam," gumamku sambil mencari lokasi mana yang bisa kutembus dengan mudah. "Biar
"Aku tetap tidak setuju dengan kebijakan kakek. Kita harus lebih memikirkan apa dampak yang akan terjadi di masa depan."Aku menguap setelah hampir 2 jam menunggu Hayden dan kakek Dante yang masih saja belum selesai membahas soal kebijakan baru yang dibuat oleh kakek Dante. Aku sudah mendengar apa yang mereka bicarakan meskipun aku sedang berada di taman kerajaan, tapi lama-lama aku bosan dan mengantuk. Mereka ini kenapa ribet sekali, sih? Padahal aku sendiri sudah bisa memilih kebijakan mana yang lebih aman untuk rakyat. Tapi dua pria itu masih tetap kukuh dengan pendapat masing-masing. "Masih lama, ya?" tanyaku pada Dessidra yang ikut duduk di sampingku. Sejak kakek Dante mengambil alih kerajaan dan status Aiden diturunkan kembali menjadi Pangeran, Dessidra terlihat jauh lebih santai dan bahagia. Dia tidak lagi terlihat tertekan seperti dulu. Apalagi hubungannya dengan Aiden semakin lengket. Aku bahkan harus menyumpal telingaku ketika mereka mulai berisik. Ck, aku harus protes pa
Hayden POV Sejak meninggalkan ruang bawah tanah, Candice terlihat dingin. Auranya membuat siapapun yang melewatinya menjauh dengan wajah ketakutan. Tentu saja mereka ketakutan, karena istriku masih memegang pedang emasnya seolah-olah dia akan menebas siapapun yang menghalangi jalannya. Semua pelayan yang melihatnya langsung berlari ketakutan dan berteriak, membuat beberapa ksatria langsung berlarian ke arah kami. Namun mereka langsung berhenti ketika melihat kondisi istriku, apalagi kedua sayapnya keluar. "Ada apa ini?" tanya Hexadius dengan wajah panik. Aku meringis melihat semua kekacauan ini. Siapa suruh mencari gara-gara dengan wanita hamil? Apalagi dia adalah pejuang tangguh yang bahkan diberikan kekuatan spesial oleh tangan kanan Gabriel. Aku juga tidak akan kaget jika dia bisa menghancurkan istana ini hanya dengan sekali ayunan pedangnya tanpa menyentuh. "Galeo membuatnya marah," jawabku sambil meraih tubuh istriku dan memeluknya dengan erat. "Lebih baik kau lihat dia di
"Mereka mengira bahwa kalian adalah malaikat."Aku menoleh pada sosok perempuan tua dengan wajah datar dan kulit berwarna putih pucat hampir abu-abu. "Siapa kau?" tanyaku penasaran. "Aku adalah penghuni gunung ini. Para manusia itu sering iseng di tempat ini dan kami sangat membencinya. Mereka tidak menghormati wilayah kami," jawab perempuan itu masih dengan wajah datar, namun suaranya terdengar marah. "Apa mereka memang seperti itu?"Perempuan tua itu mendengkus. "Mereka adalah manusia-manusia jahil yang mengira bahwa diri mereka hebat karena bisa melihat makhluk tak kasatmata seperti kita. Di dalam hati mereka terdapat kesombongan. Mereka tidak punya adab dan sopan santun. Itulah kenapa aku sengaja menuntun mereka ke sini untuk bertemu kalian.""Memangnya kenapa kalau mereka bertemu dengan kami?" tanya Hayden yang sejak tadi diam. Perempuan itu menyeringai. Giginya terlihat runcing dan kedua matanya tiba-tiba menghilang. Wanita itu tertawa terbahak-bahak yang terdengar aneh di t
"Candice? Sayang, bangun!"Aku merasakan tubuhku diguncang beberapa kali, lalu pipiku ditepuk dengan pelan. "Sayang, kenapa kau tidur di sini?"Mataku mulai mengerjap ketika kesadaranku kembali. Aku membuka mata dan melihat wajah khawatir Hayden, lalu mengernyit. "Kenapa kau bisa tidur di sini?""Hah?" Aku mengedarkan pandangan ke sekiling dan terkejut ketika mendapati diriku tengah berada di taman belakang rumah kami. Buru-buru aku bangkit dari tidurku yang ternyata di posisi miring. Eh? Tidur? Bukankah aku tadi terbang ke langit dan bertemu dengan Azazil? "Tadi malam kau pamit ke taman. Kukira kau sudah kembali ke kamar, tapi malah tidak ada dimanapun. Aku mencarimu kemana-mana sampai ke kerajaan ayahmu. Seharusnya kau bilang padaku jika ingin jalan-jalan, bukan malah menghilang tidak jelas begini," jelas Hayden dengan wajah khawatir sekaligus kesal. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Jadi semalam bukanlah mimpi? "Aku kemarin malam terbang ke langit dan bertemu dengan Az
Aku melihat langit malam yang dipenuhi dengan bintang. Penasaran apakah aku bisa terbang sampai ke sana dan melihat bintang-bintang itu? Selama ini aku selalu ingin menembus langit dan mengetahui ada rahasia apa saja disana, tapi aku merasa ragu sekaligus takut. Bagaimana jika ketika aku sampai di sana, tiba-tiba aku mati atau terbakar? Aku pernah melihat bangsa jin yang mati terbakar setelah dilempari dengan panah api dari langit. Waktu itu aku masih remaja dan rasa keingintahuanku begitu tinggi. Aku sering nekat menjelajahi berbagai tempat dengan sayapku. Melihat tempat-tempat dari ketinggian benar-benar menakjubkan. Sampai akhirnya ketika langit berubah gelap karena mendung, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara petir yang menyambar sebuah pohon tepat di depanku. Aku hanya bisa diam membeku ketika melihat dengan jelas makhluk dengan bentuk aneh yang langsung hangus terbakar oleh panah api dari langit. Panah api itu diiringi dengan petir yang menggelegar dan memekakkan telinga. Aku