"Lelucon kalian sama sekali tidak lucu," kataku lalu tertawa hambar, namun segera berhenti saat melihat wajah serius mereka.
Aku berdehem lalu bangkit dari sofa untuk menuju ke dapur. Aku sedang tak ingin mendengarkan kenyataan apapun. Tidak, aku tidak siap. Atau mungkin belum. "Apa yang menyebabkanmu menjadi buronan?" tanya Hayden tetap dari tempatnya. "Bisakah kalian tidak membahas tentang hal ini? Rasanya...sakit," gumamku dengan lirih seraya mengambil sebotol air putih dan meneguknya langsung dari sana. "Tidak, Candice. Kami harus mengetahui secara detail tentang mengapa kau bisa menjadi buronan, agar penjelasan mengenai kau adalah Gold Dacros bisa kau terima..." "Harus berapa kali lagi kubilang jangan membahas tentang hal itu di depanku!" Aku melempar botol di tanganku ke lantai ubin sampai pecah berkeping-keping. Aku sedang tidak ingin membayangkan ibuku yang meregang nyawa di depanku. Tiba-tiba semua benda tajam melayang. Tubuhku gemetaran saat mengingat peristiwa terkutuk itu yang menyebabkan aku menjadi tertuduh.Kulihat Giga sudah mengeluarkan pedangnya dengan posisi siaga, sedangkan Hayden memberi isyarat dengan tangannya agar pria itu tidak menyerangku. Ia malah mendekatiku dengan santai, seakan-akan apa yang kulakukan sekarang bukanlah apa-apa. "Berhenti di sana atau aku akan membunuhmu," desisku. "Oh, kau tidak akan mau melakukannya, Sayang. Kau hanya perlu belajar mengendalikan emosimu sebelum tubuhmu menyerah sepenuhnya." "Tahu apa kau tentang emosiku?" sergahku. Aku mengarahkan tanganku ke arahnya. Pisau-pisau itu meluncur ke arah Hayden dengan sangat cepat, namun langsung berjatuhan sebelum berhasil mencapainya. Ia kembali melangkah ke arahku.Aku terkesiap melihat bagaimana nasib pisau-pisau itu hanya karena tatapan datar darinya. Bulu kudukku berdiri. Aku merasakan kekuatan yang sangat besar menguar dari matanya. Dengan perlahan aku melangkah mundur, namun pinggangku menabrak konter dapur. "Kau sedang menikmati hembusan angin yang menyegarkan di atas padang bunga. Terlentang sambil memandangi indahnya langit biru dengan berbagai macam burung dan kupu-kupu yang berterbangan di sana." Seakan-akan terhipnotis, aku benar-benar berada di atas padang bunga yang indah dan berbaring di sana. Rasanya sungguh menenangkan dan nyaman. Aku bisa menghirup wangi bunga yang membuatku haus. Rasanya seperti di surga.Tapi seseorang menghalangi pandanganku dari langit biru itu, digantikan dengan sepasang mata biru yang menyejukkan. Aku mengerutkan kening bingung, lalu tersadar akan sesuatu. Dengan kesal aku mengerjap dan semuanya berubah kembali menjadi ruang tamu apartemen. Aku berada di bawah si mesum itu yang kini tengah menyeringai puas. "Sialan! Jadi kau bisa memanipulasi pikiran? Menyingkir dari tubuhku!" sergahku yang sama sekali tidak digubrisnya. "Ehem, Yang Mulia...saya kira Anda masih bisa menunggu untuk yang satu itu." Hayden menggeram dan lagi-lagi aku harus menahan malu karena ulahnya. Aku memelototi Giga yang tengah menahan tawa dengan wajah memerah. "Diam!" Aku mengarahkan tanganku ke arah Giga. "Tidak, tidak! Kau harus belajar mengendalikan diri, Sayang. Jika kau selalu menunjukkan kekuatanmu, maka ras White Dacros akan dengan mudah menemukanmu," tegur Hayden sambil menggenggam telapak tanganku. Aku termenung memikirkan perkataannya. Benarkah? Apa mereka bisa mendeteksi keberadaanku di sini? "Sebaiknya kita ceritakan langsung pada Nona Acacia, Yang Mulia. Anda tidak bisa menunggu lebih lama lagi, bukan? Perayaan pergantian tahun tinggal dua bulan lagi," interupsi Giga sambil melenyapkan pedangnya. "Ah, kau benar juga. Sebelum aku menyeretnya kembali ke kamarku...Ouch!" "Berhentilah berpikiran mesum dan segera menyingkir dari atas tubuhku!" bentakku seraya mendorong tubuhnya. Ck! Kenapa tubuhnya berat sekali? "Giga, bantu aku! Kau ingin calon ratumu meninggal karena kehabisan nafas?" pekikku yang membuat Giga langsung gelagapan. "Ah, tentu saja," jawabnya. Cepat-cepat dia mengangkat tubuh Hayden dan membantingnya ke lantai. Hayden menyumpah dan mengutuki Giga karena pria es itu membantingnya dengan keras. Aku sendiri akhirnya tertawa terbahak-bahak saat melihat ekspresi melongo Giga yang benar-benar lucu dan menggemaskan. "Seharusnya kau kupecat!" gerutu Hayden begitu duduk di sampingku sambil memegangi pinggangnya. Giga kembali memasang wajah datar saat memergokiku tengah menertawainya, namun sayang aku sudah terlanjur menjumpai rona merah pada wajahnya.Saking gemasnya, aku melesat ke arahnya dan mencium pipinya. Giga membatu di tempatnya dengan wajah yang semakin memerah, sedangkan Hayden meraung dan menarikku sejauh mungkin dari Giga. "Sayang, kenapa kau menggoda pria lain selain aku? Apa kau berniat untuk membuatku cemburu?" "Diamlah! Aku tidak sudi menjadi calon ratumu!" "Ehem. Baiklah, untuk mempersingkat waktu, Nona Acacia, saya akan menceritakan tentang siapa Anda sebenarnya. Saya yakin banyak yang belum Anda ketahui mengenai diri Anda sendiri." "Panggil aku Candice dan jangan memanggilku 'Anda', oke," sahutku. Aku melepaskan pelukan Hayden di pinggangku, namun dia masih melingkarkan tangannya di sana dengan posesif. Giga memutar bola matanya jengah. "Hayden, bisakah kau melepaskan tangan kotormu itu dari tubuhku? Aku tak mau lagi disentuh oleh tangan yang telah menyentuh banyak wanita," sergahku dengan ketus sambil menghempaskan lengannya dengan kasar. "Sayang, aku tak pernah menyentuh banyak wanita. Kau jangan percaya begitu saja pada rumor. Aku hanya memasuki pikiran mereka seolah-olah aku benar-benar bercin..." "Nona Acacia...maksudku Candice, mungkin sebaiknya kau pindah ke sebelahku saja agar Yang Mulia Hayden tidak menginterupsi penjelasanku terus," potong Giga dengan raut wajah jengkel. Ah, ide yang bagus. Aku bergegas bangkit dari dudukku untuk menghampiri Giga, namun Hayden dengan tangkas kembali menarikku dan kali ini mengunci pergerakanku. Sialan! "Aku tidak ingin kau kabur saat mengetahui kenyataan tentang dirimu," bisiknya di telingaku yang membuatku merinding. "Baru kali ini ada Gold Dacros. Kami kira itu hanyalah karangan para tetua jaman dulu, karena mereka bercita-cita untuk menjadikan dunia dacros damai dan kedua ras bisa bersatu tanpa adanya ritual aneh setiap tahunnya. Tapi setelah kau hadir di dunia ini, semuanya berubah. Banyak yang ingin melenyapkanmu karena tak rela jika kedua ras harus berdamai," jelas Giga. "Tunggu, kenapa kalian berpikir bahwa aku adalah Gold Dacros? Bukankah seharusnya aku adalah Gray Dacros? Aku bahkan tidak pernah tahu siapa ayah kandungku." Semua masih terasa membingungkan setelah ibuku meregang nyawa karena meminum darahku. "Sayapmu berwarna emas, Candice. Kau juga memiliki dua senjata milik Black Dacros dan White Dacros. Kau bahkan meminum darah dan mengeluarkan taring," jawab Hayden. "Lantas kenapa? Bukankah darah campuran memang seharusnya seperti itu?" "Tapi kau berbeda. Darahmu beracun bagi White Dacros dan Black Dacros. Kau juga bisa menyembuhkan siapapun yang meminum darahmu." "Apa? Darahku beracun bagi dacros? Kenapa?" tanyaku dengan wajah memucat. Tubuhku menggigil. Jadi sebenarnya apa aku ini? Kenapa aku begitu mengerikan? "Maafkan aku harus mengatakan ini, tapi ayah kandungmu adalah Black Dacros yang paling kuat dan kejam. Ia merebut kekuatan sihir dari penyihir terkuat jaman dulu, menghisap energi milik Raja Iblis, dan membunuh para tetua. Ayahmu tak terkalahkan dan benar-benar mala petaka bagi dunia dacros. Dialah yang sejak dulu mengobarkan peperangan di kedua kubu hingga saat ini. Hingga akhirnya ia bertemu dengan ibumu yang saat itu sudah menjadi istri Raja Galeo. Ia jatuh cinta pada ibumu karena kecantikannya dan sayapnya yang berwarna perak. Ibumu menolaknya dan ayahmu memperkosanya hingga akhirnya hamil." Aku hanya bisa terdiam dengan tubuh menegang. Ayahku...adalah dacros yang sangat jahat? Jadi selama ini, sifat jahatku yang terkadang muncul adalah turunan dari ayahku? "Ayahmu tetap mengejar ibumu sampai-sampai Raja Galeo murka. Galeo meminta bantuan Malaikat Pencabut Nyawa untuk membunuh ayahmu, namun malaikat itu menolaknya karena belum ada perintah dari Sang Pencipta. Raja Galeo akhirnya meminta bantuan Raja Malaikat untuk mengurungnya dan menyegel kekuatannya. Raja Malaikat setuju dan mengurung ayahmu di suatu tempat yang tidak diketahui oleh siapapun." Aku menatap meja di depanku dengan pandangan kosong. "Kau tahu kenapa setiap tahun diadakan ritual perang antar kedua ras? Karena mereka takut ayahmu akan kembali jika tidak melaksanakan apa yang dulu dimulai olehnya. Lebih baik mereka berakhir dengan babak belur daripada harus hidup dalam kengerian yang dibuat oleh ayahmu. Kau tahu kenapa ayah Yang Mulia Hayden meninggal? Jawabannya bukan karena dibunuh oleh Raja Galeo, melainkan karena dibunuh oleh ayahmu." Cukup! Sudah cukup! Sekarang aku tahu kenapa mereka ingin membunuhku. Mereka ingin melenyapkanku karena takut aku akan berbuat hal yang sama seperti yang dilakukan oleh ayahku. Mereka takut ketenangan hidup mereka terancam.Aku adalah ancaman. Monster. Penjahat. Pembunuh. Dadaku benar-benar terasa sesak sekarang. Bahkan kenyataan ini jauh lebih menyesakkan daripada saat mengetahui bahwa ibuku meregang nyawa di depan mata kepalaku sendiri. Aku harus pergi. Jauh dari dunia ini. Mungkin aku akan mengikuti jejak ayahku, menghilang dari dunia ini agar mereka tak merasa terancam dengan kehadiranku. Ya, aku harus pergi. "Kau tahu kenapa....Candice?" Aku sudah tidak peduli lagi apa yang dikatakan Giga. Buru-buru aku melesat ke pintu apartemen dan mengarahkan jari telunjukku untuk membuka kuncinya. Begitu pintu berhasil terbuka, aku segera berlari secepat yang aku bisa. "Candice! Jangan pergi!" teriak Hayden yang aku yakini sedang mengejarku. Aku tetap mempercepat lariku, hingga manusia yang kulewati terbengong-bengong karena kecepatanku yang mengalahkan hembusan angin. Kenyataan memang benar-benar menyakitkan, dan aku benci dengan kenyataan. "Candice!" Hayden berhasil meraih bahuku, namun aku bergegas menghilang. Aku tak ingin ditemukan oleh siapapun saat ini, dan sampai kapanpun.Aku tiba di sebuah hutan yang sangat lebat dan luas dengan suara gemuruh tak jauh dari tempatku berpijak. Entah berada di mana ini, sepertinya tempat ini memiliki sesuatu yang sangat luar biasa dan akan menarik minat siapa saja untuk datang ke sini. Mungkin lebih baik aku tinggal di sini saja. Dengan lesu aku bersandar di sebuah pohon besar yang di sekitarnya terdapat berbagai macam tanaman liar yang sudah berbuah dan siap untuk dimakan.Kembali aku teringat dengan penjelasan Giga dan Hayden mengenai darahku yang beracun bagi dacros. Itukah sebabnya mengapa Airis menjebakku? Aku kira itu hanyalah perkiraanku saja bahwa ibuku meninggal karena darahku. Aku berharap bukan itu yang menjadi penyebabnya.Mataku memanas dan dadaku terasa sesak. Sakit sekali. Aku benar-benar sendiri sekarang. Tak ada yang mau menerimaku. Aku bahkan tak yakin bahwa Hayden benar-benar mencintaiku seperti yang tadi dia bilang. Bisa saja kan, dia mendekatiku karena ada maksud tertentu. Omong kosong dengan cin
"Kenapa?" tanyaku dengan polos.Fidel terlihat menelan ludahnya kemudian mundur dengan perlahan. "Dacros? A-aku kira kalian hanyalah mitos. A-aku tidak tahu bahwa...""Candice? Apa yang kau lakukan di sini?"Aku dan Fidel menoleh ke asal suara itu. Fidel menggeram dan menatapku dengan pandangan menuduh. Ada apa dengan makhluk ini? Tanpa berkata apapun lagi, dia berbalik kemudian berubah kembali menjadi serigala gendut berbulu coklat dan berlari dengan cepat meninggalkanku. Hahh, baru saja aku mendapatkan teman baru, tiba-tiba pergi begitu saja karena kehadiran makhluk lain.Aku berbalik dan menatap makhluk itu dengan tajam. "Kau menakutinya!" sergahku sambil menunjuk wajahnya.Dia menyeringai salah tingkah sambil menggaruk tengkuknya. "Aku hanya mengeluarkan taringku."Aku menepuk keningku sebelum meninggalkannya menuju ke sumber suara gemuruh yang sejak tadi sebenarnya sudah menarik perhatianku. Semakin dekat ke sumber suara, semakin berdebar jantungku karena pemandangan yang
Dalam satu sentakan kuat, tubuhku sudah berada dalam pelukan seseorang dengan posisi berdiri dan aku berada di depannya. Mulutku dibekap dengan sebelah tangannya dan kami mundur beberapa langkah menjauhi Ashton. Kulihat Ashton mendadak kebingungan dan pandangannya beredar ke segala arah."Candice? Di mana kau?"(Hei, aku masih berada di depanmu, bodoh. Kenapa dia tidak bisa melihatku?)"Berbisiklah kalau kau ingin berbicara agar kehadiran kita tidak diketahui," bisik pria yang memelukku dari belakang."Hayden, kenapa kau bisa menemukanku?" tanyaku ikut berbisik."Dacros akan sangat mudah melacak keberadaan pasangannya. Apalagi kita sudah bertukar darah dan tanda mate di dada kiri kita menjadi penghubung," jawabnya lalu memakaikan sesuatu ke leherku.Bertukar darah? Bukankah dacros akan meninggal jika meminum darahku? Lagipula sejak kapan dia meminum darahku?"Tenang saja, Sayang. Aku adalah mate-mu, jadi aku tak akan terkena racunmu. Kau tahu, aku adalah semacam penawar bagimu.
Pandanganku mendadak kosong. Di otakku sekarang tengah memutar kembali kenangan manis beberapa tahun yang lalu di mana hanya ada aku dan Alvon, tak ada yang lain. Tak ada yang mengusik kisah cinta kami, dan dia adalah sosok pria idaman yang selalu kuimpikan. Alvon selalu menghujaniku dengan cinta dan kasih sayang. Dia selalu ada untukku baik di saat susah maupun senang. Perjuangan gigihnya untuk menarik perhatian kedua orangtuaku akhirnya membuahkan hasil. Ayahku—ayah tiriku—memberikan restunya kepada kami sehingga kami berhasil melangsungkan pesta pertunangan.Ibuku begitu bahagia, begitu juga dengan Airis. Alvon adalah sahabat Airis, dan wanita itu sangat senang karena sahabatnya akan menjadi adik iparnya. Lalu bencana itu datang, dan impianku untuk hidup bersama dengan pria yang kucintai selamanya hancur berantakan hanya karena satu kejadian. Alvon dan Airis bercinta, saat aku tengah menyaksikan ibuku meregang nyawa setelah meminum darahku.Pandanganku memburam dan mataku teras
"Bagaimana bisa kau menemukannya di hutan dekat Air Terjun Niagara? Jarak antara Georgia dan New York begitu jauh dan Candice sama sekali belum tahu tempat-tempat yang ada di dunia manusia." Sayup-sayup suara Sharon memasuki indra pendengaranku."Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja dia sudah berada di sana dan aku menemukannya dalam keadaan seperti ini saat hendak mengejar seekor beruang. Bukankah dia seharusnya bekerja di kantormu?" Kali ini suara Ashton yang terdengar seperti sedang mengelak."Aku juga tidak tahu. Aku pikir saat itu dia sedang keluar kantor bersama Mr. Sword untuk menemui klien atau rapat penting, jadi aku tidak mengkhawatirkannya sama sekali," balas Sharon dengan suara yang terdengar semakin jelas.Percakapan mereka masih terus berlanjut dan lama-kelamaan semakin terdengar nyaring di telingaku. Aku mengernyit. Rasanya tubuhku begitu lemah dan sakit. Ada apa dengan tubuhku? Bukankah seharusnya aku masih berada di hutan itu?"Ashton, pelankan suaramu! Kau membangunkan
Demi Raja Malaikat yang katanya sungguh tampan, demi Malaikat Pencabut Nyawa yang katanya mengerikan, demi Malaikat Penjaga Neraka yang sudah pasti menakutkan, demi...Oke, hentikan itu Candice! Ini semua salahmu sendiri karena tidak menanyakan nama perusahaan tempat Sharon bekerja. Lebih sialnya lagi kau tidak bisa menghubunginya dan tidak tahu harus menggunakan apa jika ingin menghubungi vampir. Menggunakan telepati? Oh, yang benar saja! Hanya Hayden dan Giga yang bisa mendengarnya, dan aku tak sudi jika harus memanggil mereka. Lalu bagaimana?Tin Tin!"Hei, menyingkirlah dari sana! Kau pikir ini halaman rumahmu?" Tiba-tiba seseorang membentakku dengan kasar.Berhubung aku sedang malas untuk marah-marah dan kelelahan karena berlari dari rumah Sharon ke tempat ini, aku hanya berbalik untuk menatap datar siapapun yang tadi membentakku. Sebuah mobil berwarna merah yang lebih bagus dari milik Sharon berada tepat di hadapanku. Di dalam mobil itu terdapat dua manusia. Salah satunya a
Rasanya kenyang sekali. Makanan ini semuanya lezat. Entah apa nama makanan ini, yang pasti aku sangat menyukai makanan bangsa manusia. Lain kali aku akan membawa satu atau dua manusia untuk memasakkan makanan mereka untukku. Tunggu! Memangnya mereka mau kubawa kemana? Rumah di dunia dacros saja aku tidak punya. Baiklah, sekarang waktunya untuk meminum air bunga yang begitu menyegarkan. Oh, rasanya seperti berada di alam terbuka yang begitu alami dan indah. Aku sangat menyukai air bunga."Selesai," ucapku sambil mengelus-elus perutku dengan puas.Aku menatap tiga dacros di depanku dengan kening berkerut. Mereka semua melihatku dengan mulut terbuka dan tampang bodoh. Oh, mungkin karena aku baru saja menghabiskan 10 piring makanan, 3 gelas besar susu, dan 2 gelas besar air bunga? Hm, sepertinya tak ada yang salah dengan itu. Atau aku terlalu rakus? Tapi, bukankah itu adalah hal yang wajar mengingat aku tidak makan selama seminggu?Aku kembali melihat Giga yang menatapku, lalu menatap
"Ehem."Jantungku seperti mencelos. Buru-buru kujauhkan wajahku dari wajah Hayden. Aku segera menoleh ke asal suara dan langsung mengangakan mulutku saat melihat siapa yang datang. Satu lagi pria tampan, tapi kadar ketampanannya di bawah Hayden dan di atas Giga. Kulitnya memang tidak seputih milik Hayden, tapi itu justru membuatnya terlihat eksotis. Kedua alisnya sama tebalnya dengan milik Hayden, hidungnya juga mancung seperti milik Hayden, yang membedakan adalah bibirnya lebih tipis dari bibir Hayden yang berwarna merah alami dan sedikit berisi. Dari hasil pengamatanku, terlihat sekali bahwa Hayden dan pria itu memiliki wajah yang hampir mirip, kecuali bentuk rambut dan caranya menatap orang lain. "Sayang, tak bisakah kau menutup mulutmu? Aku jauh lebih tampan daripada dia," protes Hayden. Tangannya mulai bergerak sesuai dengan kehendaknya."Singkirkan tangan nakalmu itu dari tubuhnya, Hayden. Dan kau Ester, cepat lepaskan dirimu dari ksatria es itu. Ibu memanggil kalian untuk
"Xyan Uzair," kataku ketika bayi laki-laki yang sangat tampan dan lucu itu kini tengah diserahkan oleh ibu mertuaku untuk kususui. Aku menatap bayi yang baru kulahirkan satu jam yang lalu itu dengan hati berbunga-bunga. Kedua matanya mengerjap lucu ketika melihatku. Tiba-tiba dia tertawa, membuat Dessidra dan Ester langsung mendesah dengan wajah gemas. "Kenapa kau menamai dia dengan nama itu, sayang?" tanya Hayden sambil membelai rambutku. Dia mencium keningku lalu kening Xyan, membuat bayi kecilku semakin tertawa riang. "Ah, aku jadi iri. Kapan aku bisa membuat yang seperti itu juga?" tanya Ester dengan kedua sudut bibir menekuk ke bawah, lalu melirik suaminya yang hanya memasang wajah datar meskipun kedua matanya tak lepas dari Xyan. "Xyan artinya sinar matahari. Kau tahu, dulu aku pernah bertemu dengannya di alam mimpiku ketika aku bersama dengan Zam. Waktu itu Zam menyuruhku untuk memakan banyak tanaman Arconium, dan Xyan versi balita datang membawakan semangkuk madu untukku.
Hayden POV Aku buru-buru mendatangi Candice yang tiba-tiba menangis di depan batu hitam itu. Sebenarnya hal yang sudah biasa terjadi, karena banyak manusia yang juga tiba-tiba menangis dan bertingkah aneh di sekitar Ka'bah. Aku kemarin bahkan melihat seorang pria muda yang berteriak-teriak seperti orang gila sambil melihat kesana kemari, seolah-olah dia mendadak lupa sedang berada dimana. Dia juga berteriak tidak bisa melihat Ka'bah, padahal Ka'bah berada tepat di hadapannya. Hassa menjelaskan padaku bahwa manusia itu memiliki niat yang tidak murni ketika datang ke tempat ini. Uang yang dia gunakan juga didapatkan dari jalan yang dilaknat oleh Tuhan, sehingga ketika datang kesini, Tuhan membuatnya tidak bisa melihat Ka'bah yang merupakan rumah-Nya. Ternyata semua dosa yang pernah dilakukan oleh manusia dan jin di masa lalu atau yang sedang berlangsung, akan langsung mendapatkan balasannya ketika berada di tempat ini. Tidak ada yang lolos dari tempat ini, untuk itulah disebut dengan
Dua bulan berlalu setelah aku bertemu dengan Hassa di pusat bumi, dan aku memutuskan untuk tinggal di rumah pria itu yang ternyata tak jauh dari lokasi pusat bumi berada. Hayden setuju saja dengan keputusanku, karena dia sendiri merasa penasaran. Hassa tinggal bersama istrinya, sedang dua anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di daerah lain. Umur Hassa sudah ribuan tahun, mungkin dua ribu lebih. Dia menjadi saksi hidup ketika utusan terakhir diutus ke bumi untuk menyampaikan agama bagi seluruh umat. "Kalian luar biasa. Baru dua bulan sudah mengerti hampir seluruh ajaran agama kami. Bukan hal yang mudah bagi siapapun untuk menerima ajaran kami. Bahkan manusia pun banyak yang menyangkalnya," ucap Hassa ketika kami baru saja menyelesaikan materi tentang hidup bertetangga. "Hayden dulunya adalah seorang raja, sedangkan aku..." Aku mengedikkan bahu. "Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku memang penasaran dengan segala hal yang berhubungan dengan Sang Pencipta. Apalagi sejak melihat pusat bumi
"Pusat bumi...pusat bumi... Apa ini tempatnya?" tanyaku setelah mendarat di daratan berwarna serba putih dan terasa sangat dingin. Untungnya aku tidak terlalu merasakan hawa di bumi, karena tubuhku tidak sesolid tubuh manusia. "Kau yakin ini tempatnya?" tanya Hayden balik dengan kening berkerut. Ia terlihat sama sekali tidak yakin dengan tempat yang kami pijaki sekarang. Di sepanjang mata melihat, hanya ada warna putih yang berasal dari butiran salju yang menutupi tanah. "Hmm, aku tidak tahu. Tadi kau lihat sendiri tempat ini berada di tengah-tengah bumi," jawabku. Hayden mengedarkan pandangannya sekali lagi, lalu menggeleng. "Tidak ada kekuatan di sini. Bahkan anak buah Azazil saja tidak ada di sini. Sepertinya bukan tempat ini."Aku kembali memeluknya dan melesat ke atas. Pusat bumi itu yang bagaimana? Di tengah-tengah? Atau poros bumi? "Apa aku menembus bumi saja, ya? Siapa tahu di sana ada batu hitam," gumamku sambil mencari lokasi mana yang bisa kutembus dengan mudah. "Biar
"Aku tetap tidak setuju dengan kebijakan kakek. Kita harus lebih memikirkan apa dampak yang akan terjadi di masa depan."Aku menguap setelah hampir 2 jam menunggu Hayden dan kakek Dante yang masih saja belum selesai membahas soal kebijakan baru yang dibuat oleh kakek Dante. Aku sudah mendengar apa yang mereka bicarakan meskipun aku sedang berada di taman kerajaan, tapi lama-lama aku bosan dan mengantuk. Mereka ini kenapa ribet sekali, sih? Padahal aku sendiri sudah bisa memilih kebijakan mana yang lebih aman untuk rakyat. Tapi dua pria itu masih tetap kukuh dengan pendapat masing-masing. "Masih lama, ya?" tanyaku pada Dessidra yang ikut duduk di sampingku. Sejak kakek Dante mengambil alih kerajaan dan status Aiden diturunkan kembali menjadi Pangeran, Dessidra terlihat jauh lebih santai dan bahagia. Dia tidak lagi terlihat tertekan seperti dulu. Apalagi hubungannya dengan Aiden semakin lengket. Aku bahkan harus menyumpal telingaku ketika mereka mulai berisik. Ck, aku harus protes pa
Hayden POV Sejak meninggalkan ruang bawah tanah, Candice terlihat dingin. Auranya membuat siapapun yang melewatinya menjauh dengan wajah ketakutan. Tentu saja mereka ketakutan, karena istriku masih memegang pedang emasnya seolah-olah dia akan menebas siapapun yang menghalangi jalannya. Semua pelayan yang melihatnya langsung berlari ketakutan dan berteriak, membuat beberapa ksatria langsung berlarian ke arah kami. Namun mereka langsung berhenti ketika melihat kondisi istriku, apalagi kedua sayapnya keluar. "Ada apa ini?" tanya Hexadius dengan wajah panik. Aku meringis melihat semua kekacauan ini. Siapa suruh mencari gara-gara dengan wanita hamil? Apalagi dia adalah pejuang tangguh yang bahkan diberikan kekuatan spesial oleh tangan kanan Gabriel. Aku juga tidak akan kaget jika dia bisa menghancurkan istana ini hanya dengan sekali ayunan pedangnya tanpa menyentuh. "Galeo membuatnya marah," jawabku sambil meraih tubuh istriku dan memeluknya dengan erat. "Lebih baik kau lihat dia di
"Mereka mengira bahwa kalian adalah malaikat."Aku menoleh pada sosok perempuan tua dengan wajah datar dan kulit berwarna putih pucat hampir abu-abu. "Siapa kau?" tanyaku penasaran. "Aku adalah penghuni gunung ini. Para manusia itu sering iseng di tempat ini dan kami sangat membencinya. Mereka tidak menghormati wilayah kami," jawab perempuan itu masih dengan wajah datar, namun suaranya terdengar marah. "Apa mereka memang seperti itu?"Perempuan tua itu mendengkus. "Mereka adalah manusia-manusia jahil yang mengira bahwa diri mereka hebat karena bisa melihat makhluk tak kasatmata seperti kita. Di dalam hati mereka terdapat kesombongan. Mereka tidak punya adab dan sopan santun. Itulah kenapa aku sengaja menuntun mereka ke sini untuk bertemu kalian.""Memangnya kenapa kalau mereka bertemu dengan kami?" tanya Hayden yang sejak tadi diam. Perempuan itu menyeringai. Giginya terlihat runcing dan kedua matanya tiba-tiba menghilang. Wanita itu tertawa terbahak-bahak yang terdengar aneh di t
"Candice? Sayang, bangun!"Aku merasakan tubuhku diguncang beberapa kali, lalu pipiku ditepuk dengan pelan. "Sayang, kenapa kau tidur di sini?"Mataku mulai mengerjap ketika kesadaranku kembali. Aku membuka mata dan melihat wajah khawatir Hayden, lalu mengernyit. "Kenapa kau bisa tidur di sini?""Hah?" Aku mengedarkan pandangan ke sekiling dan terkejut ketika mendapati diriku tengah berada di taman belakang rumah kami. Buru-buru aku bangkit dari tidurku yang ternyata di posisi miring. Eh? Tidur? Bukankah aku tadi terbang ke langit dan bertemu dengan Azazil? "Tadi malam kau pamit ke taman. Kukira kau sudah kembali ke kamar, tapi malah tidak ada dimanapun. Aku mencarimu kemana-mana sampai ke kerajaan ayahmu. Seharusnya kau bilang padaku jika ingin jalan-jalan, bukan malah menghilang tidak jelas begini," jelas Hayden dengan wajah khawatir sekaligus kesal. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Jadi semalam bukanlah mimpi? "Aku kemarin malam terbang ke langit dan bertemu dengan Az
Aku melihat langit malam yang dipenuhi dengan bintang. Penasaran apakah aku bisa terbang sampai ke sana dan melihat bintang-bintang itu? Selama ini aku selalu ingin menembus langit dan mengetahui ada rahasia apa saja disana, tapi aku merasa ragu sekaligus takut. Bagaimana jika ketika aku sampai di sana, tiba-tiba aku mati atau terbakar? Aku pernah melihat bangsa jin yang mati terbakar setelah dilempari dengan panah api dari langit. Waktu itu aku masih remaja dan rasa keingintahuanku begitu tinggi. Aku sering nekat menjelajahi berbagai tempat dengan sayapku. Melihat tempat-tempat dari ketinggian benar-benar menakjubkan. Sampai akhirnya ketika langit berubah gelap karena mendung, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara petir yang menyambar sebuah pohon tepat di depanku. Aku hanya bisa diam membeku ketika melihat dengan jelas makhluk dengan bentuk aneh yang langsung hangus terbakar oleh panah api dari langit. Panah api itu diiringi dengan petir yang menggelegar dan memekakkan telinga. Aku