“Aku yakin!” ujar Boy dengan sorot mata menatap Bhuvi yakin.“Suruh dia menemuiku.” Raut wajah Boy berubah menjadi riang, ia bahkan nyaris melompat dari posisinya.“Sekarang?” tanya Boy penuh antusias.Bhuvi mengendikkan bahunya, “terserah.”“Aku akan menjemputnya! Aku izin sebentar ya.” Bhuvi mengangguk, Boy pun bergegas keluar dari ruang kerja Glara dengan wajah riang. Entah siapa teman yang Boy maksud namun, Bhuvi akan mencoba membantu jika memang orangnya menyakinkan.Tak lama dari kepergian Boy, seseorang mengetuk pintu ruang kerja Glara. Bhuvi pun mempersilakan orang itu untuk masuk. “Permisi Pak,” sapa Tommy masuk ke dalam ruangan.“Pelakunya merupakan komplotan dari club tadi. Saya sudah menangkapnya dan menyerahkan ke kantor polisi beserta dengan bukti cctv-nya.”Bhuvi mengangguk. “bagaimana dengan Damian?”“Saya menemukan beberapa fakta Pak. Yang pertama, tentang jenjang waktu di mana kecelakaan dan proses korban dibawa. Korban pertama yang merupakan sopir mobil tahanan masu
Bhuvi menatap Glara yang tengah berbaring di atas ranjang di hidungnya terpasang alat bantu pernapasan, di samping tubuh Glara duduk Gama yang menatap dengan tatapan sendu. Sedangkan, Boy sedang berada di kamar rawat Tasha wanita yang keadaannya sama dengan Glara.Jemari lentik Glara mulai bergerak pelan, ia mengerjapkan mata dan bersuara lirih, “Bhuvi.”Bhuvi sontak menoleh dan menundukkan tubuhnya, “aku panggil dokter dulu ya.”Glara mencekal lengan Bhuvi ia menatap pria itu lirih. “Bagaimana Tasha?” tanyanya dengan lemah.Bhuvi pun sontak berbalik dan menatap Glara teduh. “Dia ada di ruang sebelah. Kamu butuh apa?”Glara lagi-lagi menggeleng, sebenarnya ia tak butuh apapun selain kehadiran Bhuvi didekatnya. Bhuvi pun kembali duduk dan mengusap punggung tangan Glara lembut, sedangkan Gama bergerak memijat kaki Glara dengan tenaga kecil yang ia punya.“Bhuvi, keadaan Tasha baik-baik saja? aku khawatir melihat dia pingsan tadi. Aku yakin dia orang baik dan tulus. Aku bisa merasakannya
Dengan raut wajah panik, Martha segera bangkit dari posisinya dan berjalan menuju ke kamar sang Ayah. Di luar kamar sudah berkerumun beberapa pekerja Martha, mereka tampak meneteskan air mata melihat kondisi ayah Martha.Dengan sisa tenaga dan kondisi perut yang semakin besar, Martha bergerak memecah kerumunan. Ia menutup mulutnya dengan raut wajah yang tak bisa digambarkan lagi. “Ayah,” lirih Martha seraya berjalan gontai menuju ranjang ayahnya.“Panggilkan dokter‼ Cepat panggil dokter‼” bentak Martha pada pelayannya yang berdiri di ambang pintu kamar.Dengan langkah terburu-buru, salah seorang pelayan bergegas menuju ke telepon rumah dan menghubungi dokter pribadi keluarga Martha. Tak sampai 15 menit, seorang pria dengan jas putih dan tas dokternya berjalan masuk ke dalam kamar. “Biar saya periksa terlebih dahulu.”Martha menunggu di belakang dokter itu, ia berus
Raut wajah Darel pun berubah menjadi lebih panik, ia menatap Glara dan Bhuvi bergantian. “Saya akan segara ke sana.” Darel pun menyudahi sambungan teleponnya dan mendekat ke arah Bhuvi.Darel menyimpan ponselnya dan berkata pada Bhuvi, “Pak Drew, ayahnya Martha meninggal.”Glara sontak membulatkan manik matanya mendengar ucapan Darel, “kapan? Kok bisa? Kita ke sana.”“Glara tenang dulu, kita akan ke sana tetapi antarkan Gama pulang dulu.”Setelah itu mereka bergegas menuju ke halaman parkir dan masuk ke mobilnya masing-masing. Darel lebih dulu ke rumah Martha, sedangkan Glara dan Bhuvi mengantarkan Gama, Boy dan Tasha ke rumah Lana dan menitipkan di sana.Singkat waktu, Bhuvi dan Glara baru saja tiba di kediaman Martha. Glara bergegas menghampiri Martha yang sedang menangis di depan peti Drew. Glara menatap Bhuvi dan mengatakan, &ld
Tubuh Tasha dan Glara berguling ke kanan, Tasha tampak melindungi Glara dari batang pohon besar yang mendadak limbung tepat di atas kepala Glara. Melihat kejadian itu Bhuvi segera mendekati Glara dan Tasha yang tergeletak dengan tubuh Tasha yang melindungi Glara.“Kalian tidak apa?” tanya Bhuvi membantu Glara dan Tasha bangkit dari posisinya.Glara menerima uluran tangan Bhuvi dan menatap Glara yang masih terbaring di sana. setelah Glara berdiri, barulah Bhuvi membantu Tasha bangun. “Tasha, kamu kenapa melakukan itu?” tanya Glara menyentuh bahu Tasha.“Saya tidak papa, Bu. Ibu bagaimana?” tanya Tasha tetap memperhatikan Glara.Wanita itu mengabaikan lengannya yang berdarah karena terbentur jalanan paving pemakaman ini. Boy mendekati Tasha dan membawa wanita itu ke sisi pemakaman. Dia membawa kotak p3k dan membantu Tasha membersihkan juga mengobati lukanya.&
Tasha pun bergerak menutup mata Gama dengan kain penutup mata sesuai dengan yang mereka rencanakan kemarin malam. Setelah mata Gama tertutup rapat, barulah Bhuvi dan Glara menuntun Gama masuk ke dalam ruangan itu.Ruangan berukuran 6x6meter itu dipenuhi oleh anak-anak yang seusia dengan Gama mereka memakai topi kerucut, Glara mengedarkan pandangannya menatap ke penjuru ruangan yang dihiasi dengan balon berwarna putih dan sky blue. Di depan sana terdapat panggung kecil, yang dihiasi kue ulang tahun dengan lilin ber-angka 6.Glara terharu melihat pengorbanan Bhuvi menyiapkan ini semua. “Satu… dua… .” Tasha mulai berhitung seraya memberi aba-aba pada anak-anak yang membawa terompet dan juga confetti popper.Glara menatap Bhuvi yang tampak tersenyum bahagia merayakan hari lahir Gama. “Tiga‼” pekik Tasha bersamaan dengan Boy yang membuka penutup mata Gama. Riuh suara terompet dan confetti
Bhuvi dan Glara tengah duduk di depan seorang wanita paruh baya, dengan beragam map yang tersusun rapi dia tas meja. “Bapak dan ibu yakin dengan keputusannya?”“Maksud bu lilly apa ya?” tanya Glara dengan tatapan mata penuh selidik.Wanita bernama Lilly itu tersenyum tipis, ia membuka map merah dan menunjukkan foto anak-anak yang tampak menggemaskan. “Dibanding dengan mengadopsi Erina, kami memiliki anak-anak lain yang lebih ungguk dibanding dengan Erina.”“Bagaimana jika kami maunya Erina?” tanya Glara lugas tak merubah pandangannya sedikitpun.Sorot mata Glara membuat nyali Lilly menciut, ia pun hanya mengangguk dan memberikan berkas-berkas Erina pada Glara dan Bhuvi. Bhuvi tampak memeriksanya dan membaca satu per satu lembar surat itu. cukup lama Bhuvi dan Glara memeriksa berkasnya hingga akhirnya Bhuvi menganggukkan kepala.Sete
Karena tak sabar mendengar penjelasan pegawainya, Bhuvi pun memberikan kode agar gerbang dibuka. Dengan langkah berani, Bhuvi berjalan mendekati kerumunan masa. Di belakangnya berjalan tiga orang pria berbadan tegap mengawalnya.Saat Bhuvi akan tiba di sana, seorang pembantu Glara berlari meneriaki namanya. “Pak Bhuvi‼ Pak Bhuvi‼ Bu Glara, Pak‼” mendengar nama Glara disebutkan, Bhuvi pun segera berbalik arah dan kembali ke dalam rumahnya.Pria itu berlari dengan kaki jenjangnya, ia bahkan menapaki dua anak tangga sekaligus agar segera tiba di dalam rumah. dari dalam rumah, Bhuvi mendengar suara tangisan yang berteriak memanggilnya.“Hei‼” pekik Bhuvi menatap pria yang berdiri membelakanginya.Bhuvi mengedarkan matanya, ia menatap ke sudut ruangan dan melihat pembantu juga kedua anaknya terikat di sebuah kursi.Pria di depannya pun berbalik, ia menatap Bhuv