Moza meremas ponselnya dengan kuat, amarah yang tersimpan begitu jelas di matanya saat dia menyaksikan video dari CCTV yang merekam momen Samy membawa Diandra ke rumahnya. Tatapan dingin Moza semakin mengeras saat melihat Diandra sibuk memasak di dapur, sebuah pemandangan yang seharusnya hanya miliknya. Dengan itu, Moza tahu bahwa Diandra bukan sekadar dokter biasa. Hubungan mereka lebih dari sekadar profesional.Alma, ibu Moza, yang juga ikut memperhatikan dari samping, bertanya, “Moza, dokter itu yang dipilihkan Samy untukmu, kan?”Moza mengangguk dengan geram. "Iya, dia. Tapi dia juga wanita yang ingin merebut Samy dariku."Alma menatap putrinya dengan prihatin. "Apa yang akan kau lakukan? Samy sepertinya mulai berubah sikap."Moza tidak ragu sedikit pun. Matanya memancarkan keteguhan saat dia menjawab, "Ibu, lihat saja. Tidak ada yang bisa mengambil Samy dariku. Aku akan pastikan itu."Moza segera mengambil tindakan. Dia menghubungi salah satu orang suruhannya dan memberikan instr
Samy menatap pintu yang tak bisa terbuka, napasnya memburu. Berkali-kali ia mencoba mendobraknya dengan bahu, namun pintu itu tetap kokoh. "Kita harus cari jalan lain," ujarnya, suaranya tenang namun penuh urgensi.Diandra, berdiri di tengah ruangan yang gelap, menggigit bibirnya. Ia menyesali keputusannya yang tergesa-gesa. Seharusnya ia lebih waspada, seharusnya dia tidak mempercayai pesan itu. "Samy, aku... aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana," katanya, suaranya terdengar gemetar.Samy menoleh ke arahnya, melihat kepanikan yang mulai melanda wanita yang selama ini berusaha tegar. Ia berjalan mendekat, menempatkan tangannya di puncak kepala Diandra, mengusap lembut rambutnya. "Tenang, Diandra. Aku akan cari cara."Mata Samy menyapu sekeliling ruangan. Satu-satunya sumber cahaya datang dari jendela kecil yang terletak cukup tinggi di dinding sebelah kanan. "Ada jendela, mungkin kita bisa keluar dari sana," katanya menunjuk jendela.Diandra menatap jendela itu, sedikit harapan
"Diandra...!" panggil Felix yang ada di luar.Diandra langsung mengenali suara Felix, hatinya sedikit lega. "Felix! Felix, tolong buka pintunya!" teriaknya dengan suara penuh harap sambil mendekat ke pintu.Samy, yang masih dalam posisi siaga, segera bergeser ke samping pintu, memastikan situasi aman sebelum melakukan tindakan lebih lanjut. Suara Felix terdengar lagi dari luar, "Tenang, aku sedang mencari cara untuk membuka pintunya. Tunggu sebentar!"Samy menatap Diandra dengan ekspresi tegang namun lebih tenang. "Syukurlah, itu Felix," katanya sambil menghela napas lega. Diandra mengangguk, merasa harapan mulai muncul setelah ketegangan yang mencekam.Beberapa menit kemudian terdengar bunyi keras dari kunci yang sedang didobrak. Tidak lama kemudian, pintu terbuka, dan di baliknya terlihat Felix yang sedikit terengah-engah setelah berusaha keras."Diandra, Samy! Kalian baik-baik saja?" tanya Felix sambil memeriksa kondisi mereka berdua. Diandra berlari ke arahnya dan memeluknya sejen
Samy pulang, pelayan menyambutnya di depan pintu."Dimana Moza?" tanyanya tak melihat wanita itu yang biasanya senang menyambutnya."Nona menunggu di kamarnya, Tuan," jawab sang pelayan.Samy segera beranjak menuju kamar Moza dengan menggunakan lift, Samy mengetuk pintunya. Tidak ada jawaban dan Samy mencoba memutar handlenya ternyata tidak dikunci.Samy sedikit terkejut saat pintu kamar terbuka dan Moza langsung berhambur memeluknya dengan erat. "Surprise!" serunya penuh kegembiraan. Samy, yang awalnya bingung, mulai melepaskan pelukan Moza dengan perlahan."Moza? Apa yang terjadi?" tanyanya, matanya menatap Moza dengan sedikit kecurigaan. Dia tidak menyangka akan disambut dengan seperti ini.Moza tersenyum lebar, penuh semangat. "Aku ingin memberimu kejutan, Samy. Lihat!" Ia mengambil beberapa langkah ke belakang dan menunjukkan bahwa kakinya kini bisa bergerak bebas. "Aku sudah sembuh! Aku bisa berjalan lagi!"Samy tertegun melihat Moza yang berdiri tegak di depannya, berjalan deng
Diandra mengambil langkah cepat, mengabaikan tatapan was-was pelayan yang terus berusaha menghalanginya. "Aku hanya ingin mengambil dompetku yang ketinggalan waktu itu," ucapnya, mencoba memberi alasan. Namun, sang pelayan tetap berdiri kokoh di pintu, tidak memberikan celah sedikit pun."Aku mohon, aku benar-benar butuh itu," desak Diandra, tetapi ketika sang pelayan tetap tidak bergeming, Diandra kehilangan kesabarannya. Tanpa berpikir panjang, dia mendorong tubuh pelayan tersebut dan berlari ke dalam rumah.Tiba-tiba Samy muncul dari arah dapur, wajahnya tampak bingung melihat Diandra yang terlihat tergesa-gesa. "Diandra, apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu, tetapi juga sedikit waspada mengingat Moza masih ada di rumah.Diandra tidak menjawab dengan kata-kata. Tanpa peringatan, ia langsung memeluk Samy erat-erat, seolah mencari perlindungan dan rasa aman. Samy terkejut, tetapi merasakan kegelisahan dari tubuh Diandra. "Samy, aku sedih memikirkan Nick, dan ak
Diandra terbangun dari tidurnya dengan rasa kantuk yang masih menggelayut. Matanya perlahan terbuka, dan ia merasa tubuhnya meregang secara refleks. Namun, saat tangannya menyentuh sesuatu ia tersentak. Jantungnya berdegup kencang saat menoleh ke samping dan melihat Samy tertidur di sebelahnya, tanpa mengenakan baju. Seketika ingatan tentang apa yang terjadi malam tadi mengalir deras di benaknya momen saat ia datang ingin mengacaukan Moza dan berakhir meminum anggur di meja. Pikiran Diandra kacau. Tubuhnya terasa berat dengan perasaan bersalah dan kebingungan. Ia menatap Samy yang masih terlelap, tak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan ini. Hati kecilnya berteriak, namun ia tak bisa menyembunyikan perasaan yang begitu campur aduk. Apa yang telah dia lakukan? Dan lebih penting lagi, apa yang akan terjadi selanjutnya antara dia dan Samy?Diandra tidak membangunkan Samy, dengan gerakan pelan ia melangkah turun dari atas ranjang, Diandra mengenakan seluruh pakaiannya, tanpa merapik
Diandra duduk di dalam mobil, memandangi jalanan yang berlalu-lalang. Pikirannya melayang kembali pada kejadian malam tadi. Ia tidak menyangka bahwa rencananya untuk memprovokasi Moza akan berakhir begitu kacau. Niatnya hanya untuk membuat Moza marah, namun justru ia yang terjebak dalam situasi yang tidak ia inginkan. Minuman yang ia pikir hanyalah anggur biasa ternyata membawanya pada kejadian yang sulit dijelaskan.Malam itu, ia berakhir di tempat tidur bersama Samy. Diandra menghela napas dalam-dalam, merasa bingung dengan perasaannya. Ia tahu itu semua bukan bagian dari rencana, namun tetap saja, ia merasa bersalah dan sedikit tercengang dengan apa yang telah terjadi."Semuanya hanya kecelakaan," bisiknya pada diri sendiri, berusaha meyakinkan hati. "Tidak disengaja."Dengan satu gerakan, Diandra merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Ia mencoba menenangkan pikirannya dan meyakinkan dirinya bahwa tidak ada yang perlu dipikirkan lebih jauh. Namun, rasa tidak nyaman masih teru
Bel apartemen Diandra berbunyi, Tania yang sendirian di rumah segera membukanya, ia tak mengenal siapa yang datang."Halo, perkenalkan aku Moza," ucap Moza seraya tersenyum.Tania menatap Moza dengan curiga, tangan dilipat di dada. "Mau apa Anda datang ke sini?" tanyanya dengan nada tegas.Moza tersenyum, berpura-pura bingung. "Aku? Tentu saja untuk bertemu Dokter Diandra. Apakah dia di rumah?"Tania mengerutkan alis, masih berdiri di ambang pintu. "Dokter Diandra sedang tidak ada di rumah, dan Anda siapa?""Oh, maafkan aku," jawab Moza dengan senyum yang tidak hilang dari wajahnya. "Kami punya urusan yang harus diselesaikan."Tania mempersempit matanya. "Aku tidak tahu urusan apa yang kau maksud, tapi lebih baik kau pergi sekarang. Kalau ada yang penting, kau bisa menyampaikan pesan."Moza tersenyum tipis, seolah menilai Tania. "Tak perlu, aku bisa menunggu. Urusanku dengan Diandra cukup mendesak."Tania tidak bergeming, sikapnya semakin waspada. "Tidak ada yang mendesak di sini, sel