"Kenapa ini nggak diceritain ke aku?"Rashel makin menekan Sania, tatapannya terasa begitu menusuk.Sania menundukkan matanya sejenak, "Pas kamu pertama kali datang, tiap malam kamu selalu mimpi buruk. Kamu sering mengigau, ngomong-ngomong sendiri, 'anakku, jangan sakiti anakku …' Ibu jadi mikir, mungkin kamu dikejar sambil gendong anakmu dan terakhir terpaksa loncat ke laut … Kamu berhasil selamat, tapi mungkin anakmu nggak seberuntung itu ... Rashel, Ibu nggak mau kamu sedih, makanya Ibu nggak pernah ngomongin ini."Bibir Rashel seketika pucat.Dia menutup mata, jari-jarinya mengerat.Di perjalanan pulang ke keluarga Rolando dari rumah sakit, Rashel memikirkan berbagai kemungkinan. Hanya saja, dia tidak pernah membayangkan bahwa anaknya sudah meninggal."Rashel, jangan sedih, kamu masih bisa punya anak lagi kok …." Sania dengan cemas memandanginya, "Ibu akan carikan kamu suami yang baik, kamu masih muda, pasti bisa punya anak lagi ….""Aku nggak mau nikah." Rashel berkata dengan nada
Zendy memicingkan matanya. Dia menatap tanaman merambat yang menghias halaman rumahnya. Memang, keluarga Rolando memiliki banyak hutang budi pada anak angkat mereka yang satu ini. Jadi, saat Sania memutuskan untuk mengadopsi Rashel, Zendy tanpa ragu setuju. Tapi, setelah tinggal bersama gadis itu selama tiga tahun, Zendy baru menyadari bahwa ternyata karakter Rashel tidak semudah itu untuk diatasi. Pada pertemuan keluarga, ketika matanya bertemu dengan mata Rashel, ada rasa tidak nyaman yang muncul di kepala Zendy.“Bayi itu sudah nggak ada, dan itu adalah kenyataan yang nggak bisa kita ubah. Sekarang, kita harus membuatnya menikah, punya anak lagi. Kalau dia sudah punya anak baru, dia nggak akan peduli lagi sama masa lalunya,” kata Zendy dengan nada tegas. "Dua sepupu Ivone lagi cari istri, ‘kan? Gimana kalau kita jodohkan Rashel dengan salah satu dari mereka?"Sania terdiam, "Tapi …."“Kalau dia jadi bagian dari keluarga Rolando dan punya anak kandung dari keluarga ini, maka dia p
Anak perempuan itu terlihat berusia sekitar delapan atau sembilan tahun. Rambut hitam panjangnya terurai di bahu. Dia mengenakan pita kupu-kupu pink di kepala, dengan mata besar yang terlihat sangat tenang.Pembicaraan orang-orang di sekelilingnya tampaknya tidak memberikan dampak apa pun pada gadis kecil ini. Wajahnya tetap tenang, tanpa ekspresi berlebihan. Meski tampak seperti berusia delapan atau sembilan tahun, tapi ekspresi wajahnya lebih mirip orang dewasa yang sudah berusia delapan belas atau sembilan belas tahun.Rashel memandangi gadis itu beberapa saat. Dia semakin tertarik untuk melihat gadis kecil itu. Rashel merasa seperti mengenal gadis itu. Rashel tidak biasa mendengarkan musik piano, juga tidak menonton konser piano. Berarti seharusnya Rashel tidak pernah melihat gadis kecil ini sebelumnya, ‘kan? Kenapa dia merasa familiar?"Nona, silakan naik mobil." Pengawal membuka pintu mobil dan dengan hormat mempersilahkan gadis kecil itu masuk. Gadis itu mengangguk, membungkuk
Suara tangis gadis itu terasa menggema di telinga Rashel. Para penonton di sekitar sana terkejut."Kenapa Si Gadis Pianis Berbakat itu manggil dia 'Mama'?""Aku pernah nonton konser Michelle. Waktu itu dia memainkan sebuah lagu, judulnya ‘Untuk Ibu’, katanya itu untuk mengenang ibunya.""Apa dia nggak punya ibu sejak kecil?""Tapi bukan berarti dia bisa manggil siapa saja ‘Mama’, ‘kan? Lihat, wanita itu sampai terkejut.""Aku juga akan kaget kalau tiba-tiba punya anak segede itu ....""Seandainya Michelle manggil aku 'Mama', aku langsung panggil dia “Anak Baik'!""Mimpi! Mana mungkin, ngaca dong wajahmu kayak apa. Hahaha."" …. "Suara tangisan Michelle dan suara orang-orang yang berbicara di sana terdengar gaduh di telinga Rashel.Dia menarik nafas dalam-dalam, "Dik, aku bukan ibumu. Tapi kalau kamu rindu Mama kamu, Tante bisa temani kamu ngobrol."Michelle menghela nafas panjang.Mata jernihnya menatap Rashel, tangan kecilnya menarik lengan Rashel, seolah takut Rashel akan kabur."Ak
Rashel sebenarnya ingin bertanya siapa saja keluarga Michelle. Tapi dia urung bertanya karena tadi Rashel mendengar orang-orang bilang gadis kecil ini mungkin tak punya Ibu. Michelle menatapnya dengan penuh harap, “Mama berasal dari kota Abrha, ya?” Rashel tersenyum getir, “Kamu panggil aku Tante Rashel saja, jangan Mama. Tante benar-benar nggak punya anak seumuran kamu, Sayang.” Kalimat itu membuat Michelle hampir menangis. Orang di depan Michelle saat ini sangat mirip dengan Mamanya. Namun memang, ada yang berbeda jika dilihat lebih teliti. Apa mungkin Michelle salah kenal? Tidak mungkin, dia pasti mengenali Mamanya. “Kamu Mama-ku.” Michelle bersikukuh, matanya berkaca-kaca, “Papa sudah cari Mama empat tahun. Mama kemana aja selama ini?” Rashel terkejut, “Mamamu hilang empat tahun yang lalu?” Michelle mengangguk, “Mama waktu itu pergi malam-malam, terus nggak pernah balik lagi. Mama nggak ingat kejadian malam itu?” Malam itu adalah mimpi buruk yang tak pernah mau diingat lagi
Michelle menggigit bibirnya. Walaupun dalam ingatannya Mama adalah orang yang mudah marah, tapi Michelle sangat merindukan Mamanya. Dia selalu berharap sang Mama bisa pulang. "Ada apa Michelle? Kok nggak makan? Nggak suka sama makanannya?” Rashel bertanya dengan senyum di bibirnya. Tatapannya sangat lembut. Air mata Michelle nyaris menetes. Mamanya tidak pernah sebaik ini, tidak pernah selembut ini ... Apa mungkin Michelle salah orang?"Jangan nangis, Sayang." Rashel menghapus air mata Michelle, "Kalau kamu memang yakin Tante adalah Mama-mu, panggil saja aku Mama, Tante nggak keberatan, kok." Michelle menangis, suaranya tersekat, "Aku boleh peluk Mama, nggak?" "Tentu saja." Rashel membuka lengannya untuk gadis kecil itu. Gadis berusia sembilan tahun itu menangis di bahu Rashel. Robin, dari kejauhan, segera mengambil beberapa foto, lalu menghela napas dalam-dalam.Sudah tiga tahun Robin membersamai gadis kecil itu. Selama itu, Robin tidak pernah melihatnya seperti ini. Mungkin m
Namun, karena Nyonya Tua Rolando itu tinggal di rumah Herman Rolando, mereka hanya bisa bertemu dua atau tiga kali dalam setahun. Rashel tidak terlalu memperdulikannya."Rashel, kemari. Lihat, Ibu siapin apa buat kamu," kata Sania sambil melambaikan tangan."Ini adalah sepasang anting mutiara putih jade, mutiara dan batu permata berkualitas tinggi, sangat cocok dengan warna kulit kamu." Rashel melirik anting itu sekilas. Meskipun Rashel tidak terlalu paham tentang perhiasan, tapi Rashel tahu kalau anting tersebut adalah barang bagus. "Terima kasih, Ibu." Rashel menerima antingnya. Kemudian dia bertanya, "Kenapa Ibu tiba-tiba kasih aku barang berharga begini?" Rashel bertanya sambil melihat ke arah Ivone. Barang berharga seperti itu biasanya menjadi milik Ivone, bagaimana bisa malah diberikan kepadanya sekarang? Ivone mendengus. Dia kemudian menyentuh sesuatu di dalam lengan bajunya. Anting putih jade itu apa? Paling-paling hanya beberapa miliar harganya. Sedangkan yang ada di tanga
"Papa, aku ketemu Mama, di Kota Abrha!"Michelle berhenti menangis, buru-buru mengeluarkan ponsel dari sakunya dan membuka beberapa foto.Wajah dalam foto itu seketika mengambil seluruh perhatian Ronald.Dia segera meraih ponsel Michelle dan memperbesar foto tersebut. Wajah dalam foto itu terlihat lebih jelas. Setiap detail di wajah itu terasa begitu familiar. Kelembutan yang terpancar dalam mata itu membuat jantung Ronald berdebar kencang.Ronald menahan kegembiraannya, perlahan bertanya, "Michelle, foto ini diambil kapan?""Papa nggak lihat aku lagi dipeluk Mama?" Michelle mendengus, "Aku pakai baju yang sama kayak di foto, foto ini diambil hari ini."Baru saat itu Ronald menyadari bahwa Rachel sedang memeluk putrinya.Ronald terbatuk pelan, "Maaf ya Michelle, Papa terlalu senang, tadi kamu bilang kamu ketemu Mama di mana?""Di Kota Abrha." Michelle menggigit bibirnya, "Sekarang nama Mama Rashel, dia bilang dia nggak ingat hal dari masa lalu, kayaknya dia amnesia."Michelle mengambil