“Rachel, tenang dulu. Aku mau tanya beberapa pertanyaan lagi,” tutur Peter melanjutkan, “Siapa yang membawa Ronald keluar dari perbatasan?”“Rendy …. Dia yang bawa Ronald keluar, itu karena Ronald sendiri yang cari mati. Ini nggak ada hubungannya sama Rendy, atau siapa pun.”Seraya berbicara, bola mata Catherine mulai melebar. Ini adalah tanda-tanda bahwa sebentar lagi dia akan sadar kembali. Rachel yang mendengar itu bagaikan tertembak peluru. Rasa sakitnya membuat dia kesulitan bernapas.Tanpa peduli lagi dengan apa pun yang ada di sekitar, dia menggoyangkan tubuh Catherine dan bertanya, “Ke mana kalian bawa dia pergi? Kasih tahu aku! Kalian bawa Ronald pergi ke negara mana?”“Rachel, kamu jangan gegabah. Nanti Catherine bisa terbangun ….”Peter segera menahan lengan Rachel untuk memisahkan dia dengan Catherine, tapi persis di saat itu juga, pintu kamar tiba-tiba terbuka.“Rachel, kopinya sudah datang, masih hangat, nih.”Ketika Rendy baru saja melangkahkan satu kakinya masuk ke dala
Sorot mata Rachel menyimpan berbagai macam emosi yang bercampur aduk menjadi satu, dan tak lama warna merah tipis mulai mengisi bagian sklera matanya. Dia sedikit pun tidak takut kepada Rendy.“Rendy, apa menurut kamu hidup sebagai orang lain itu ada artinya?” tanya Rachel dengan nada meledek.Rendy benar-benar marah kepada Rachel dan mencekik lehernya sekuat tenaga. Di saat Rendy akan memulai hidup barunya sebagai orang normal, dia malah harus berbenturan dengan Rachel.Ternyata … tingkah laku Rachel yang menurut kepadanya selama ini hanyalah sandiwara semata. Bahkan, Rachel sampai berpura-pura sakit agar Rendy mau merawatnya. Rachel sengaja memanfaatkan Rendy hanya demi memancing Catherine datang menemuinya.Sungguh sebuah perangkap yang tidak bercelah, dan Rendy dengan bodohnya masuk begitu saja ke dalam perangkap tersebut tanpa menyadarinya sedikit pun. Saat ini, Rachel pasti sedang berpuas diri berhasil menipu Rendy dengan begitu mudahnya.“Rendy, dia bisa mati kalau kamu cekik di
Seolah apa pun yang terjadi, Rachel bisa menyusun rencana bagaimana cara mengatasinya tanpa perlu merasa panik. Bahkan setelah mengetahui soal kematian Ronald, dia tidak menangis histeris dan malah mengajukan sebuah perjanjian kepada Rendy.“Perjanjian apa?”“Aku bakal jaga rahasia kamu dengan baik, tapi kamu harus kasih tahu aku kemana kalian membawa Ronald pergi.”Apa pun yang dikatakan oleh mereka, Rachel masih tidak percaya bahwa Ronald benar-benar sudah tiada.Raut wajah Rendy dalam sekejap kembali memuram ketika mendengar perkataan Rachel. Ronald … lagi-lagi Ronald! Demi Ronald, wanita ini rela hidup dengan penuh kebohongan selama ini! Demi Ronald, wanita ini bahkan tidak keberatan untuk menyembunyikan semua rahasia yang telah dia bongkar! Apakah cintanya terhadap Ronald segitu besarnya sampai dia rela melakukan apa pun?“Bukankah sekarang aku sudah ada di depan kamu?”“Apa gunanya kamu terus membohongi diri sendiri?” balas Rachel.“Aku ini Ronald. Selama kamu nggak punya bukti y
“Rachel, bukannya kamu di rumah sakit? Kok balik?”Farah menyambut Rachel setelah mengganti sepatunya. Dia dengan refleks menggenggam tangan Rachel, lalu tiba-tiba terkejut dan berkata, “Kok tangan kamu dingin banget? Baju kamu tipis banget ini, hati-hati lho nanti malah sakit lagi. Ayo, ke atas dulu ambil jaket.”Rachel menarik tangannya. Lampu ruang tamu seakan menyoroti wajahnya yang dingin. Mata merah dan senyum sinis di bibirnya terlihat sangat jelas. Farah akhirnya tersadar bahwa ada yang aneh dengan Rachel. Dia meletakkan tasnya, kemudian bertanya, “Ada apa, Rachel?”“Kamu sudah lama tahu, ‘kan?” Satu pertanyaan Rachel itu membuat Farah seketika membeku.Farah meremas tangannya, kemudian mencoba menjawab dengan tenang, “Apa maksud kamu, Rachel? Apanya yang sudah tahu lama?”“Anak laki-laki kembar. Mereka berdua saudara. Aku nggak ngerti kenapa dulu kamu tega melepaskan sang kakak. Aku juga nggak ngerti kenapa dua puluh tahun kemudian kamu juga tega membantu sang kakak membunuh
Rendy membunuh suami Rachel. Rachel harus balas dendam.“Rachel, dengarkan aku. Tolong jangan reaktif.” Farah kembali menarik pergelangan tangan Rachel, kemudian meneruskan, “Ronald sudah meninggal. Dia sudah mati. Kalau berita kematian dia tersebar, berarti anak-anak tidak punya ayah lagi. Tanjaya Group jadi nggak punya ‘kepala’, dan nama baik keluarga Tanjaya juga akan rusak. Jika itu terjadi, nggak ada orang yang akan bisa melindungi kamu dan anak-anak lagi …. Memangnya kamu mau lihat hasil yang begitu?”“Dua puluh tahun lebih Rendy hidup di dunia kegelapan. Dia sangat mensyukuri hari-harinya saat ini. Dia pernah bilang bahwa dia pasti akan bersikap baik sama kamu dan anak-anak. Dia juga akan jadi ayah yang baik,” Farah memohon, “Rachel, kamu anggap saja Rendy sebagai Ronald, ya. Kamu coba cintai dia. Jalani kehidupan kalian dengan sebaik mungkin. Lindungi anak-anak. Begini pasti bagus. Aku mohon, Rachel ….”Rachel melepaskan jari-jari cengkeraman Farah satu-persatu, kemudian berkat
Michael dan Eddy saling berpandangan. Keduanya terlihat sangat tegang. Bahkan Darren, yang biasanya sangat nakal, juga merasakan sesuatu yang aneh. Dia berkata sambil menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal, “Kok aku merasa Mama agak nggak benar, ya?”Eddy memonyongkan bibirnya, berkata, “Michael, kayaknya Mama bohong, deh. Iya, nggak?”Michael mengangguk. Dia teringat dulu saat adiknya sakit dan masuk rumah sakit, wajah ibunya juga begitu kusut. Namun paling tidak, saat itu tatapan mata sang ibu masih terang. Barusan, mata Rachel merah. Siapa pun yang melihatnya pasti akan terkejut. Jadi, sepengertian Michael terhadap sang ibu, sepertinya kali ini sesuatu yang besar telah terjadi. Michael berkata dingin, “Aku mau pulang.”Bagaimanapun juga, dia harus berada di sisi ibunya. Michael harus menemani ibunya menghadapi segala kesulitan. “Aku juga mau pulang,” Darren ikut berkata, “Beberapa hari terakhir aku mimpi buruk terus. Aku mimpi Mama sama Papa lagi ada masalah. Aku baru ak
Karena sudah tahu bahwa Rachel sedang ada masalah, maka keempat anak kecil ini pasti tidak akan tenang berada di luar negeri. Jika Melvin memaksa mereka untuk tetap tinggal di sana, maka bisa jadi empat anak kecil ini akan diam-diam kabur. Daripada begitu, lebih baik ….“Om pulang sama kalian, deh,” ujar Melvin tak berdaya.“Istirahat dengan baik malam ini. Besok pagi, penerbangan paling pagi, kita pulang ke Suwanda.”Baru saja Melvin mengatakan hal itu, ponselnya bergetar. Dia melirik sejenak layar ponselnya. Telepon dari ayahnya. Warna wajah Melvin seketika berubah. Jika saat ini sang ayah menyuruhnya pulang, maka siapa yang akan melindungi anak-anak ini?Melvin mengerutkan keningnya sambil berjalan ke balkon, lalu menerima telepon. “Pa, aku lagi ada urusan. Kalau sudah selesai urusannya, aku pasti pulang. Sudah dulu, ya ….”“Melvin,” sebuah suara berat dan serius membatalkan gerakan Melvin yang hendak memutus sambungan telepon. “Papa dengar kamu kenal dengan orang Kelompok Hita
Malam telah larut. Bulan sabit bersinar laiknya perak bercahaya. Rachel duduk di balkon. Tangannya menggenggam erat sebuah cincin berlian. Itu adalah cincin yang dipasangkan Ronald untuknya pada saat mereka menikah. Untung saja Rachel tidak membuang cincin itu ke tempat sampah karena marah saat itu. Berlian berwarna biru laut itu menjadi satu-satunya benda kenangannya bersama Ronald. Akan tetapi, di mana cincin yang dia berikan pada Ronald sekarang?Wajah Rachel dipenuhi dengan bekas air mata. Dia terlihat sangat menyedihkan di bawah sinar rembulan.Rachel bukanlah orang yang senang menangis. Empat tahun belakangan ini dia jarang sekali menangis. Apa daya, hari ini Rachel justru sudah menangis berkali-kali.Padahal sudah jelas kedua matanya terasa kering. Namun, air mata Rachel seakan tak mau berhenti mengalir. Ini adalah kali pertamanya dia tak tahu harus berbuat apa dalam hidup, tidak tahu langkah apa yang selanjutnya harus dia ambil. Jika saja tidak ada empat orang anaknya, Ra