Rachel berdiri di depan wastafel dan mencuci tangannya. Satu-satunya suara di dapur adalah air yang mengalir deras dari keran. Dia menunduk dan melihat tangannya, lalu berkata lagi, “Aku nggak akan melepaskan keempat anakku. Tapi aku juga nggak akan menikah denganmu karena anak-anak.”Ronald melihat wajah Rachel dari samping. Bulu mata yang panjang menutupi emosi yang terpancar dari kedua mata perempuan itu. Ronald sama sekali tidak bisa membaca apa yang sedang Rachel pikirkan.Ronald mengerutkan bibir tipisnya yang menawan dan bertanya dengan pelan, “Kenapa?”Rachel mengelap tangannya hingga kering. Dia pelan-pelan mengangkat kelopak matanya, memperlihatkan sepasang manik yang jernih. Bibir merahnya berkedut seperti hendak mengatakan sesuatu.Sebenarnya Rachel tidak ingin membicarakan hal ini. Akan tetapi, Ronald hampir saja menciumnya barusan. Sifat agresif di mata pria itu terlalu kuat. Hal itu mengingatkan Rachel pada malam itu lima tahun yang lalu ....Pada awalnya, Rachel melawan
Ternyata itu reaksi stres akut yang ditinggalkan dari kejadian lima tahun yang lalu.Ronald spontan berkata dengan suara beratnya, “Kalau aku bisa memilih, aku harap malam pertama kita nggak begitu ....”Rachel menundukkan kepalanya. Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk seulas senyum seringai di sana.Rachel sungguh berharap tidak ada malam itu. Dia sungguh berharap bisa menikah dan memiliki anak dengan normal, seperti perempuan lainnya. Dia sungguh berharap keempat anaknya lahir ke dunia ini secara normal, sungguh berharap anak-anaknya bisa lahir di keluarga yang sehat dan bahagia.“Papa, Mama, apa yang kalian lakukan?”Tiba-tiba, terdengar suara Darren di samping mereka. Rachel segera menarik kembali pikirannya. Kemudian, dia menoleh dan melihat kepala empat anaknya nongol dari pintu dapur. Raut wajah masing-masing anak tampak kebingungan.Rachel segera mundur selangkah, lalu melengkungkan bibirnya menjadi senyuman lembut, “Makanannya sudah siap. Kalian ke sini bantu Mama bawaka
Setelah Rachel pergi dengan kedua anaknya, ruang tamu yang tadinya ramai tiba-tiba menjadi sepi. Darren memasang raut wajah cemberut, lalu duduk di sofa sambil bermain dengan balok dan puzzle yang belum diselesaikan Michelle.Sementara itu, Eddy berjalan ke samping Ronald dan bertanya, “Papa buat Mama marah, ya?”Ronald spontan mengerutkan kening, “Kenapa kamu menanyakan itu?”“Sejak Mama keluar dari dapur, Mama terlihat nggak seperti biasanya. Aku kira Mama kecapekan. Tapi saat makan tadi, Mama nggak ngomong apa pun sama Papa.” Eddy terdiam sejenak dan bertanya, “Apakah Papa ngomong sesuatu yang keterlaluan sama Mama?”“Anak-anak nggak akan mengerti masalah orang dewasa,” tukas Ronald.Lima tahun yang lalu, Ronald telah melakukan hal yang sangat keterlaluan. Dia minum begitu banyak malam itu sehingga dia bahkan tidak ingat apa yang dia lakukan. Seandainya akan begini jadinya, apa pun yang terjadi, dia tidak akan membiarkan Yohanes mencekokinya hingga mabuk.Akan tetapi .... Ronald tib
Ronald melihat nama kontak psikolog itu, Catherine. Dia ingat pada hari ulang tahun ibunya beberapa hari yang lalu, Catherine menyuruh seseorang untuk mengantarkan hadiah ulang tahun. Oleh karena itu, Ronald menambahkan nomor Catherine di ponselnya.Dulu sekali, Ronald pernah menyuruh seseorang untuk menyelidiki informasi mengenai Catherien. Di usianya yang tergolong masih sangat muda, Catherine sudah menjadi psikiater terkenal di luar negeri. Bahkan Catherine menempati peringkat tiga teratas di Australia.Ronald merenung sejenak. Pada akhirnya, dia membuka kotak dialog dengan Catherine. Pertama-tama, Ronald mengirim emoji salam. Tidak butuh lama baginya untuk mendapat balasan dari Catherine, “Aku kira Pak Ronald sudah hapus nomorku, ternyata nggak.”“Aku punya teman yang ingin konsultasi masalah psikologis.” Ronald berpikir sebentar, lalu mengirimkan kalimat tersebut.Pada detik berikutnya, Catherine membalas dengan emoji senyum beserta sebuah kalimat, “Banyak orang yang datang untuk
“Mama senang banget malah. Ayo cepat masuk.”Rachel membawa koper kedua anak itu ke dalam rumah dengan senyum di wajahnya. Bahkan mata perempuan itu pun ikut tersenyum. Tidak peduli Ronald tahu atau tidak, kedua anak itu tidak akan pergi hari ini. Rachel akhirnya memiliki kesempatan untuk bersama keempat anaknya tanpa Ronald.Darren pernah ke sini sebelumnya, tapi dia tidak mendapat kesempatan untuk masuk ke dalam rumah. Oleh karena itu, ini juga merupakan kunjungan pertamanya. Dia pun melihat isi rumah dengan rasa ingin tahu. Dia menyentuh sana sini dan sewaktu-waktu akan menanyakan ini dan itu. Ruang tamu seketika penuh dengan kegembiraan.Sedangkan Eddy melihat sekelilingnya dengan tenang. Rumah ini jauh lebih kecil dari rumah ayahnya. Karena terlalu kecil, ruang tamu terlihat agak sempit, balkon juga penuh dengan mainan.Sofa di ruang tamu berwarna merah muda, sedangkan gordennya menggunakan warna warm tone. Selain itu, dekorasinya juga menggunakan benda-benda kecil berbulu yang me
Kemudian, Michael menoleh perlahan dan mendapati Eddy sedang berdiri di belakangnya. Dia spontan mengerutkan kening dan berkata, “Apa hubungannya sama kamu?”“Kamu jadi hacker?” Eddy mengerutkan bibir dan berkata, “Kelihatannya, kamu juga jadi pemimpin dalam bidang ini. Jadi, orang yang lawan aku sebelumnya itu kamu?”Michael memasukkan laptopnya ke celah lemari balkon. Kemudian, dia berdiri dan berkata, “Iya, itu aku. Kenapa kamu nggak terima tantanganku?”Eddy terdiam sejenak, “Aku nggak tertarik dengan dunia hacker. Kamu juga jangan berhubungan dengan hacker lain, nggak aman.”Michael hanya menyeringai sinis. Kalau Eddy benar-benar tidak tertarik dengan dunia hacker, maka dia tidak akan mendaftarkan akun di dark web. Selain itu, kemampuan meretas Eddy jelas tidak buruk.“Aku nggak tahu apa yang ingin kamu lakukan dengan membentuk tim hacker. Tapi aku ingin mengingatkanmu sebaiknya jangan terlibat dalam bisnis ini,” kata Eddy. Dia mengingat jelas apa yang ayahnya katakan padanya. Ole
Rachel belum pernah pergi ke taman bermain sejak punya anak. Karena Michael tidak menyukai hal-hal seperti ini, sedangkan Michelle juga takut pada orang asing. Oleh karena itu, ini pertama kalinya dia membawa anak-anak ke tempat tersebut.Rachel terus menggendong Michelle dengan posisi melindungi. Namun, begitu mereka tiba di taman bermain, gadis kecil itu segera meronta minta diturunkan.“Michelle, kita main gelembung sabun, yuk!” Darren meniup gelembung dan Michelle berlari mengejar gelembung. Senyum polos menghiasi wajah gadis kecil itu. Rachel juga ikut tersenyum ketika melihat senyum di wajah putrinya. Dokter yang merawat Michelle sebelumnya memang benar. Hanya cinta dan kasih sayang yang bisa membuat anak autis keluar dari dunianya yang tertutup.“Eddy, Michael, kenapa kalian bengong saja? Cepat pergi main bareng sama Darren dan Michelle.”Rachel memegang empat kartu di tangannya. Anak-anak dapat memainkan apa pun yang mereka inginkan di taman bermain. Hanya saja berhubung hari
Namun, amarahnya menghilang dalam sekejap. Hanya karena suara manis yang memanggilnya ayah itu. Dia pun menggendong gadis kecil yang berlari ke arahnya, lalu mengangkatnya dan berputar di udara. Setelah itu, dia baru berkata dengan lembut, “Kangen Papa, nggak?”“Kangen.” Michelle mengangguk dengan cepat.Sementara itu, Darren masih mencari tempat untuk bersembunyi di dalam mobil. Michael yang melihatnya langsung mencibir, “Kamu punya nyali untuk kabur dari rumah, tapi nggak punya nyali untuk hadapi akibatnya?”Darren menyembunyikan kepalanya di bawah bantal dan berkata dengan kesal, “Huh, aku memang penakut. Memangnya kenapa?”Rachel tidak tahu harus tertawa atau marah, dia pun berkata, “Kamu kira dengan sembunyi di sini, Papa kamu nggak bisa tangkap kamu? Sayang, keluar dulu.”“Nggak, aku nggak mau keluar.” Darren memeluk bantal dan bersikeras, “Pokoknya hari ini aku mau tinggal di sini. Aku mau menginap di rumah Mama.”\Eddy mengatupkan bibirnya, lalu berkata, “Kamu tetap di sini. Ak