“Belajarnya di sini?” tanya Ronald dengan dahi yang mengerut tajam, serta nada bicara yang kental dengan rasa jengkel.Shania menarik napas panjang guna menenangkan dirinya dan menjawab, “Kamu tahu sendiri nenekku badannya lemah. Dia harus baringan di ranjang terus. Kalau aku belajarnya di rumah keluargaku, takutnya istirahat dia bakal terganggu. Lagian … guru yang aku bilang tadi juga Eddy yang cariin. Aku mau minta tolong Eddy buat mantau latihanku.”Seusai berkata demikian, Shania menatap lekat Ronald dengan kedua matanya yang seolah-olah sedang memancarkan cahaya berkilauan. Akan tetapi, Ronald sedikit pun tidak memedulikannya sedikit pun. Yang dia perhatikan hanyalah piano yang baru saja diantar ke rumahnya.Ronald jarang sekali ikut campur dengan urusannya Eddy, bahkan meski Ronald keberatan sekalipun, dia tidak akan bicara apa-apa. Shania pun merasa lega karena Ronald tidak memarahinya. Shania hanya takut Ronald meminta dia untuk memindahkan piano itu di hadapan banyak orang. Ba
Tahun ini Alice berusia 32 tahun, usia di mana seorang wanita berada di masa yang paling matang dan menarik bagi lawan jenis. Rambut pirang, mata hijau, dan hidung mancungnya memberi kesan seolah tubuhnya memancarkan aura nan anggun dan menawan.Ronald sudah siap berangkat dengan surat kontrak di tangannya. Dia sedikit pun tidak tertarik dengan apa yang dilakukan Shani. Jika Shania ingin belajar piano di siang hari, di waktu itu pula Ronald tidak pulang ke rumah. Tepat ketika Ronald baru saja hendak pergi, di saat itulah dia melihat Alice memasuki rumahnya.Kedua alisnya tampak terangkat karena merasa terkejut. Dia tidak mengira Eddy bisa mencarikan pianis genius kelas dunia sebagai gurunya Shania. Ronald masih ingat betapa kagumnya dia sewaktu pertama kali mendengar permainan Alice.Ronald pun segera menarik kembali langkahnya dan memberi salam kepada Alice, “Selamat datang, Bu Alice.”“Akhirnya kita punya kesempatan untuk bertemu, Pak Ronald. Salam kenal.”Shania dibuat cukup terhera
Seketika itu muncul keinginan untuk menyerah dalam diri Shania. Namun dia berubah pikiran ketika melihat Ronald yang sedang duduk di sofa. Pria yang tadi sedang sibuk membaca berkas pekerjaannya tiba-tiba mendengar ucapan Alice dengan sikap yang begitu serius. Tingkahnya ini membuktikan bahwa Ronald sangat tertarik dengan piano.Shania memejamkan matanya sejenak, lalu membukanya kembali perlahan sambil berkata, “Bu Alice, aku boleh coba sekali lagi?”“Tentu boleh,” jawab Alice tersenyum, “Pertama-tama kamu harus relax-in badan kamu sendiri, habis itu coba bayangkan diri kamu masuk ke dalam dunia yang ada di dalam komposisi itu. Setelah kamu mulai dapat feeling-nya, bayangkan emosi yang kamu rasain mengalir ke jari seperti air ….”Shania menganggukkan kepala dan sekali lagi mempersiapkan diri di depan piano. Hubungan kakak beradik antara Rachel dan Shania belum hancur saat mereka masih berusia belasan tahun. Rachel berbaik hati mengajarkan Shania dengan penuh kesabaran. Namun saat itu S
Shania merasa kegirangan karena ini pertama kalinya dalam empat tahun lebih, Ronald menanyakan pertanyaan yang berkaitan dengan informasi pribadinya. Mungkinkah ini berarti Ronald mulai tertarik pada Shania?Shania lantas menarik napas panjang dan menjawabnya dengan nada yang lembut, “Iya, waktu itu aku masuk SMA Suwanda karena dapat peringkat pertama di ujian masuk.”“Dulu kamu perna belajar piano?” tanya Ronald lagi.“Waktu masih TK, guruku lihat permainanku lumayan bagus, jadi orang tuaku panggil guru piano buat ngajarin aku. Tapi gara-gara jadwal kuliah yang padat, sempat beberapa tahun aku nggak pernah nyentuh piano lagi,” jelas Shania, “Aku sendiri juga nggak nyangka meski sudah empat tahun nggak main piano, Bu Alice masih mengakui permainanku ….”“Kamu pernah main piano di sekolahmu?”Shania tak habis pikir mengapa Ronald menanyakan pertanyaan yang begitu spesifik, tapi dia menjawabnya saja apa adanya, “Kalau nggak keburu pergi ke pelatihan, aku latihan sendiri di ruang musik s
Saat Shania baru memainkan pianonya, Darren masih bisa menahan diri untuk tidak membuat keributan. Akan tetapi, lama kelamaan wanita itu malah coba-coba mencuri hati Ronald. Dan yang lebih parahnya lagi, Ronald juga menatap wanita jahat itu dengan tatapan mata seperti itu.Kalau sampai Ronald menyukai Shania, mereka berdua pasti akan menikah, dan jika hal itu benar-benar terjadi, maka Darren harus memanggil wanita yang dia benci itu dengan panggilan “Mama”.Darren hanya mau Rachel yang menjadi ibunya.Amarah Darren semakin menjadi ketika membayangkan hal itu, dan dia pun kembali berteriak, “Jangan coba-coba godain papaku dengan main piano di sini! Aku benci banget sama kamu!”Sorot mata Ronald langsung berubah ketika mendengar kata-kata yang Darren ucapkan. Sangat tidak pantas seorang anak berusia empat tahun mengatakan kata-kata seperti “godain”.Ronald pun menatap tajam Darren dan berkata padanya, “Turun! Minta maaf sama mama kamu.”“Sudahlah, Ron. Darren masih kecil, dia memang terl
Sementara itu di TK Golden Sun ….Cahaya matahari yang hangat menyinari anak-anak yang sedang asyik bermain dengan riang gembira di taman. Tampak Michael dan Michelle sedang dikelilingi oleh beberapa teman mereka.“Michael, aku gandeng Michelle sebentar boleh, ya? Aku senang banget main sama adik kamu!”“Rambut Michelle hari ini bagus banget. Michael, kasih kita main sama Michelle juga, dong.”“Jangan pelit, lah. Kami semua nggak bakal nyakitin Michelle, kok.”Michale merasa sangat senang melihat adiknya disukai oleh begitu banyak orang. Dia pun melirik adiknya dan bertanya padanya,” Michelle, kamu mau main sama mereka?”Michelle mengedipkan matanya yang besar itu dan menyapu pandangannya ke wajah-wajah mungil yang ada di sekelilingnya. Senyuman anak-anak memang adalah yang paling polos sedunia. Suka ya suka, tidak suka ya tidak suka. Apa yang mereka rasakan terlihat jelas tanpa ada kebohongan di wajah mereka.Setelah beberapa menit berlalu, barulah Michelle perlahan menganggukkan kep
Michael tidak akan berbaik hati kepada orang yang coba-coba mendekati ibu dan adiknya. Dengan satu tarikan napas, Darren berlari sampai ke pinggiran jalan raya dan di sana dia melihat mobil yang tak asing baginya.“Den Darren, jangan lari …,” ujar Hilmi seraya turun dari mobil tersebut dengan wajah tuanya yang sudah penuh dengan kerutan. Setiap minggu, Darren pasti akan melakukan upaya melarikan diri dari kurungannya, dan Hilmi yang sudah berumur ini tidak kuat untuk mengejar-ngejar majikannya. Ketika Ronald pulang nanti, Hilmi ingin meminta agar Ronald menyediakan lebih banyak pengawal untuk menjaga rumah.“Den Darren, awas, di depan ada mobil!”Jantung Hilmi mau copot rasanya saat melihat sebuah mobil yang menerjang ke arah Darren berada. Untungnya mobil taksi itu berhenti tepat di depan Darren, sehingga tragedi pun berhasil terhindarkan. Darren segera membuka pintu taksi tersebut dan masuk ke dalam.“Aish, Den Darren, tunggu! Jangan kabur terus!” seru Hilmi.Hilmi bergegas kembali k
Rachel datang ke tempat ini untuk membicarakan proyek mereka dengan Bode Group, dan dia bersiap untuk pergi setelah urusannya selesai. Namun di saat itu juga dia mendengar suara klakson mobil yang sontak menyita perhatiannya.Spontan dia menoleh ke arah jalan raya dan melihat seorang anak kecil berusia empat tahun sedang berlarian menyeberangi jalanan tepat di depan mobil sport berwarna perak. Langkah anak itu terhenti seketika dia mendengar suara klakson. Akan tetapi mobil tersebut tidak sempat mengerem tepat waktu dan menabrak anak itu.“Darren!”Jantung Rachel serasa mau copot saat melihat Darren tertabrak. Dia langsung membuka pintu mobil dan tanpa sadar sudah berlari ke tengah jalan raya untuk memeriksa kondisi Darren. Suara klakson mobil yang berada di sekitar terus berbunyi tanpa henti seakan menjadi musik latar di adegan tersebut.“Darren, kamu nggak apa-apa? Ada yang sakit?” tanya Rachel dengan penuh rasa khawatir.Darah segar pun mengisi penglihatan Rachel bagai kabut yang m