“Aku sibuk!”
Suara dingin sang suami terdengar di seberang telepon membuat harap Elok hancur seketika.
Bahkan, tanpa basa-basi, Diaz langsung memutus sambungan telepon di antara keduanya.
Padahal, ia menghubungi suaminya itu sejak siang karena tubuhnya demam dan vertigonya kambuh.
Belum lagi, ia harus menjaga janin di kandungannya.
“Kita berjuang bersama ya sayang, maafkan mommy bila keadaan kita seperti ini,” ucap Elok pada janin di dalam perut seraya membelai perut yang masih datar.
Helaan nafas panjang terdengar begitu berat. Mengingat calon anak mereka, Elok tersenyum miris.
Ia memang belum sempat memberi tahu Diaz karena sang suami sudah beberapa hari ini tidak pulang dan tidak bisa dihubungi. Awalnya, ia berharap kehadiran anak, kehidupan pernikahannya dengan Diaz akan kembali hangat. Tapi, semua itu sepertinya sia-sia.
“Kenapa kamu tak menceraikanku saja, Mas?” gumam Elok memejamkan mata, frustasi.
Dulu, Elok memang mendekati dan menikahi Diaz untuk merebut perusahaan milik kakeknya yang direbut kakek pria itu. Tapi, seiring berjalannya waktu, Elok mencintai sang suami dan melupakan rencananya.
Hanya saja, sang suami justru salah paham dan berjanji akan membalas dendam pada Elok. Salah satunya dengan cara mengabaikan Elok tanpa melepasnya.
Walau diperlakukan seperti itu, Elok sama sekali tidak punya alasan untuk menggugat cerai suaminya.
Lamunan Elok berhenti kala ia merasakan tubuhnya semakin melemas.
Elok mencoba menghubungi Diaz kembali, namun panggilan tersebut ditolak.
[Mas, aku benar-benar minta tolong. Antar aku ke rumah sakit, tak perlu kamu tunggu. Cukup antar saja jika kamu memang sibuk.]
Elok kembali mengirim pesan untuk yang kesekian kalinya.
Pesan itu sudah terkirim, namun lagi-lagi Diaz mengabaikannya.
Perempuan itu pun sadar bahwa tak punya pilihan lain.
Dihubunginya Rain–saudara kembarnya–untuk mengantarnya ke rumah sakit meski khawatir bila perlakuan buruk sang suami beberapa hari terakhir ini tercium oleh keluarga mereka.
Untungnya, tak butuh waktu lama, saudara kembarnya itu mengangkat telepon darinya.
“Halo, El?”
“Halo, Rai. Bisa minta tolong antar aku ke rumah sakit?”
“Ada apa? Apa kamu sakit?”
Suara saudara kembarnya itu terdengar cemas membuat Elok semakin tidak enak.
“Ah, tidak separah itu Rai,” ucapnya menenangkan, “hanya sakit biasa, vertigoku kambuh.”
“Astaga! Lalu, ke mana suamimu? Apa dia tidak pulang lagi?” maki Rain.
Deg!
Entah dari mana saudara kembarnya itu tahu jika Diaz jarang pulang.
Dalam kebingungan, Elok memilih tidak menjawab pertanyaan Rain, sehingga saudara kembarnya itu menghela nafas sebelum akhirnya berkata, “Baiklah, tunggu aku, El. Kurang lebih setengah jam aku sampai.”
Ketika panggilan keduanya berakhir, Elok lagi-lagi merasa dunianya kembali berputar dan mual bergejolak dari dalam perutnya.
Dengan tenaga yang tersisa, ia pun mengirimkan pesan pada sang suami.
[Mas, aku akan ke rumah sakit bersama Rain.]
Melihat pesannya sudah terkirim, Elok merasa lega.
Ia tahu benar suaminya memang tak pernah peduli padanya. Namun, sebisa mungkin, Elok selalu memberi tahu ke mana akan pergi dan bersama siapa.
Perlahan, Elok menyiapkan diri dan menuruni tangga untuk menunggu kembarannya.
Namun, ia merasakan getaran pada smartphone yang ada dalam genggamannya.
Diaz menghubunginya!
Terlalu terkejut, Elok pun salah melangkah. Wanita itu terjatuh dengan terguling ke lantai dasar.
Bruk!
Handphone-nya pun terpental entah ke mana.
“Arrgh!”
Darah keluar dari hidung dan juga telinga Elok.
Pendarahan juga terjadi di bagian bawah tubuhnya.
Sakit teramat sangat yang Elok rasakan. Dalam kesakitan, ia masih berdoa agar ia dan janinnya selamat.
“M-mas, ma-maafkan a-aku. To-long se-la-mat-kan a-ku dan a-nak ki-ta,” ucap Elok di ambang kesadaran sebelum semuanya berubah menjadi gelap–pingsan.
Di sisi lain, Diaz sempat mendengar suara pekikan sebelum akhirnya panggilan terputus.
Namun, tidak ada niatan dari Diaz untuk menghubungi kembali. Pria itu justru berpikir bahwa Elok hanya mencoba menarik perhatiannya.
“Ck!” gumam Diaz malas, “kamu pikir aku akan percaya dengan trik murahan seperti itu?”
“Lakukan saja sesukamu, mau pergi dengan kembaran sialanmu itu atau pria lain, aku tak peduli.”
Brak!Foto pernikahan Diaz dan Elok yang berada di dinding kantor Diaz tiba-tiba terjatuh. Kaca-kaca pun berhamburan di lantai.“Astaga pak, ada apa?” tanya sang asisten yang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu. Ia mendengar suara itu dari meja kerjanya, berpikir ada sesuatu yang terjadi dengan bosnya.“Foto tak berguna itu jatuh dengan sendirinya,” ucap Diaz santai, “minta OB untuk segera membersihkannya.” Walau ada sedikit gelisah di hati Diaz, namun segera pria itu menepisnya.“Ini hanya sebuah kebetulan.”Di sisi lain, Rain tengah menahan emosi kala melihat Elok yang ditangani di ruang IGD.Tangan pria itu mengepal, menahan marah. Terlebih, suami saudarinya itu tidak bisa dihubungi sama sekali. “Diaz … jika sampai terjadi sesuatu pada saudariku, kupastikan kau akan merasakan akibatnya,” ucap Rain dalam hati.Begitu dokter yang sedang melakukan penanganan pada Elok keluar, Rain segera bangkit dari duduknya.“Bagaimana keadaan saudari saya, Dok?”“Kondisi ibu Elok sangat lemah.
“Antarkan Anna sampai ke rumah,” perintah Diaz yang langsung diikuti sopirnya.Pria itu sebenarnya bisa saja memanfaatkan Anna untuk memuaskan hasratnya. Tapi, dia masih menghargai Elok sebagai istri sahnya. Walaupun brengsek, Diaz tidak mau dicap sebagai tukang selingkuh. Ia juga tidak mau kelak Elok akan menjadikan hal itu sebagai bahan menghancurkannya untuk yang kedua kalinya. Diaz segera menuju kamarnya.Karena lelah dan pengaruh alkohol, dia tidak memperhatikan keadaan sekitar rumah dan tertidur dengan pulas.Hanya saja, tidurnya terganggu kala Bibi–asisten rumah tangga–datang membangunkan pria itu.“Den Diaz!” Mengumpulkan kesadaran, Diaz pun berkata, “Lho, Bi? Ada apa?”“Anu, den. Apa non Elok baik-baik saja?”“Apa maksud bibi? Sudah pasti dia baik-baik saja, kan?” ucap Diaz, “jadi, bibi boleh pulang.”“Sepertinya…” Bibi menjeda kalimatnya, tampak ragu untuk ikut campur urusan keluarga atasannya.Tapi, ia tak bisa mengabaikan ingatannya tadi pagi saat ada bau anyir darah
Lima tahun berlalu. Karen Esme masih terbaring di ranjangnya empuk.Ia tidak memedulikan alarmnya yang menunjukkan jam 8 pagi di Tokyo karena begitu lelah.“Mom, bangun,” ucap balita laki-laki mencium kedua pipi Karen, ”Sudah siang, Mom” Dirasa tidak ada pergerakan, bocah itu menepuk-nepuk pipi sang ibu. “Bangun mom, atau ayah yang akan membangunkan,” ancamnya berusaha seram.Diam-diam, Karen pun tersenyum mengetahui usaha anaknya itu. Namun, matanya berat untuk terbuka. “Lima menit lagi sayang, mom masih ngantuk.”Untungnya, tak ada lagi suara dari anak kecil itu. Namun, Karen dapat merasakan bocah itu ikut berbaring di samping sang ibu–melupakan seorang pria tampan yang sedang berkutat membuat sarapan. Arashi Takahashi, pria tampan berkebangsaan Jepang itu melihat ke arah pintu kamar Karen dan menemukan bocah kecil kesayangannya tak juga keluar dari kamar ibunya. Dengan gemas, Arashi membuka pintu kamar tersebut dan menemukan sepasang ibu dan anak itu meringkuk bersama dengan m
Karen dan Arashi sudah berdiskusi tentang presentasi yang akan ia ikuti. Kini mereka sedang merapatkan produk apa yang akan dibawa. Yang pasti harus menjadi solusi untuk masyarakat di semua kalangan.Sebelum memutuskan untuk mendaftar, Karen dan Arashi melakukan banyak riset untuk menentukan produknya. Dua minggu melakukan penelitian akhirnya mereka sudah menentukan produk tersebut.“Bu, bagaimana jika nantinya kita tidak berhasil mendapatkan investasi? Bukannya ini akan mangkrak?” ucap salah seorang karyawan Karen, “jika demikian, kenapa tidak kita presentasikan saja produk yang sudah ada?” “Nice, Shun. Kamu memang jeli,” puji Karen.Karen pun menjelaskan bagaimana prospek kedepannya jika program atau proyek tersebut gagal mendapatkan investasi. Pria bernama Shun itu pun tertegun dengan pemaparan Karen. Bosnya memang pintar memanfaatkan peluang.Sebelum benar-benar mendaftar, Karen kembali mengecek nama-nama perusahaan yang sudah mendaftar. Tampak beberapa nama perusahaan yang be
Khawatir bertemu dengan Karen, Diaz sudah meminta panitia agar perusahaannya mendapat urutan terakhir. Sayangnya, kala hari pengumuman tiba, perusahaan Karen berhasil masuk lima besar dan akan melakukan presentasi besar, sedangkan perusahaan Diaz harus berhenti sampai di 20 besar saja.Meski demikian, Diaz sengaja mengundur kepulangannya hanya untuk mengikuti presentasi final tersebut. Selain berencana mendapatkan rekan bisnis untuk bekerjasama, ada sesuatu yang ia siapkan.“Karen Esme bersiaplah melihat kejutan dariku.” *“Arashi! Cepat ke mari!” perintah Karen.Ada kegelisahan dari tingkah laku dan nada suaranya, hingga membuat Arashi yang sedang asik bermain bersama Ken—jalan mendekat ke arahnya. “Ada apa? Apa ada yang gawat?”“Lihat ini! Sepertinya ada yang tidak beres.”“Mengapa tiba-tiba perusahaan kita digantikan oleh perusahaan lain?” tanya Karen.Arashi sontak melihat ke email yang ditunjukkan Karen. Inti dari surat tersebut adalah pemberitahuan adanya kesalahan dalam menul
“Halo, Elok Anugrah Cinta!”“Atau sekarang aku harus memanggilmu Karen? Karen Esme,” sapa Diaz setelah acara presentasi selesai.Karen masih diam, sejujurnya ia bingung harus bersikap seperti apa, ini terlalu mendadak.“Oh, kalau kamu lupa, perkenalkan aku Diaz Pradana, suamimu,” ujar Diaz seraya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.Pria itu memberi penekanan pada kata “suamimu” untuk memberi tahu kepemilikan pada pria yang berdiri di sebelah Karen.Tatapan tajam Diaz tak lepas dari wajah ayu Karen.Namun, wanita itu memilih untuk tidak membalas jabat tangan dari Diaz. Sungguh saat ini jantungnya sedang berdetak tak karuan, hatinya gelisah, dan tangannya dingin bagai memegang es batu.“Salam kenal, tuan Diaz,” balas Karen yang sudah bisa menetralkan detak jantungnya, “sepertinya, Anda salah mengenali seseorang.”Entah mengapa ia memilih tidak mengakui dirinya sebagai Elok.“Oh ya? Tapi Anda terlalu sama jika hanya dikatakan mirip dengan istri saya.”Diaz memainkan emosi Karen.Pri
Arashi yang gelisah menunggu Karen akhirnya bisa bernafas lega saat melihat adiknya itu berjalan ke arahnya.Senyum pria itu terkembang, membuat Karen melebur semua emosinya.“Bagaimana?” tanya Arashi.“Buruk! Aku benci berbicara dengannya.”“Mau makan makanan manis?” Karen mengangguk. Arashi selalu tahu apa yang bisa mengembalikan suasana hati Karen.“Mari kita jemput Ken lebih dulu!” seru sang kakak.Keduanya lantas berjalan menuju mobil, dengan Arashi yang memeluk pinggang adiknya.Diaz dapat melihat jelas pemandangan itu dari dalam mobilnya yang melaju melewati kakak beradik itu.Tangannya mengepal kuat.“Kamu cemburu?” tanya Glen setengah meledek.Diaz berdecak kesal, tak menjawab.Melihat itu, Glen menggelengkan kepalanya, sebelum kembali teringat sesuatu. “Kita harus segera bertolak ke Jakarta, Yas. Om Henry sudah marah-marah dengan tindakan egoismu meninggalkan Pradana.”“Kau kembalilah lebih dulu, aku masih ada urusan di sini.”*Sementara itu, setelah menjemput Ken, dua ber
Karen menghentikan langkah sejenak tanpa menoleh. Lalu kembali berjalan, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun--meninggalkan Diaz yang belum mendapat jawaban atas pertanyaannya.“Apa itu artinya Kenshin memang anakku?” Diaz menyimpulkan sendiri dan segera berlari keluar ruangan--memindai sekeliling mencari jejak Karen walau sekedar bayangan.Ketemu!Diaz kembali mengejar Karen. Langkahnya yang jenjang tak begitu sulit untuk menyusul ibu satu anak itu.“Karen, tunggu!” Pria itu mencekal tangan Karen, tetapi perempuan itu segera melepaskannya. “Sudah kukatakan, orang akan salah paham jika kamu melakukan hal seperti ini,” sentaknya.“Ayo kita bicara sebentar,” ajak Diaz.Karen sejenak melihat ke arah Arashi yang mengangguk dan Ken yang melambaikan tangan pada Diaz.“Ingat janji kita paman,” ucap Ken lalu tersenyum ke arah Diaz.Tanpa sadar, Diaz tersenyum. Senang. Satu kata yang bisa mengungkapkan isi hati Diaz saat ini.Sementara itu, Arashi membawa anak itu berlalu meninggalkan orang tu
Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk
Diana yang berada di dekat kantor Glen sengaja ingin menemui pria itu, walau Glen sudah mengatakan jika siang ini ada acara. Siapa tahu Diana beruntung bisa bertemu dengan pria itu. Setidaknya hanya melihat wajah dan sekedar menyapanya saja Diana sudah senang.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pria idamannya terlihat keluar dari lobi. Pria itu tampak semringah, ekspresi yang tak pernah diperlihatkan semenjak pertemuan pertama mereka. Diana mengurungkan niat untuk sekedar memanggil Glen.Melihat Glen yang berjalan menuju mobilnya, entah mengapa Diana ingin sekali mengikuti kemana perginya pria itu. Dia pun segera mencari tukang ojek pangkalan untuk mengikuti Glen.Beruntung Glen masih bisa dikejar. Pertama Glen berhenti di sebuah restoran cepat saji dan keluar dengan kantong plastik besar di tangan kirinya, lagi-lagi pria itu tak berhenti tersenyum, membuat hati Diana semakin resah.Tak hanya itu, pria itu kemudian mampir ke sebuah toko kue, yang terakhir berhenti di toko
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,