Khawatir bertemu dengan Karen, Diaz sudah meminta panitia agar perusahaannya mendapat urutan terakhir.
Sayangnya, kala hari pengumuman tiba, perusahaan Karen berhasil masuk lima besar dan akan melakukan presentasi besar, sedangkan perusahaan Diaz harus berhenti sampai di 20 besar saja.
Meski demikian, Diaz sengaja mengundur kepulangannya hanya untuk mengikuti presentasi final tersebut. Selain berencana mendapatkan rekan bisnis untuk bekerjasama, ada sesuatu yang ia siapkan.
“Karen Esme bersiaplah melihat kejutan dariku.”
*
“Arashi! Cepat ke mari!” perintah Karen.
Ada kegelisahan dari tingkah laku dan nada suaranya, hingga membuat Arashi yang sedang asik bermain bersama Ken—jalan mendekat ke arahnya. “Ada apa? Apa ada yang gawat?”
“Lihat ini! Sepertinya ada yang tidak beres.”
“Mengapa tiba-tiba perusahaan kita digantikan oleh perusahaan lain?” tanya Karen.
Arashi sontak melihat ke email yang ditunjukkan Karen. Inti dari surat tersebut adalah pemberitahuan adanya kesalahan dalam menulis nama perusahaan yang berhasil lolos ke final.
“Bukannya ini aneh, Ras? Kenapa mereka mengirim surat ini di malam hari? Terlebih tidak ada tanda tangan resmi dari ketua asosiasi.”
“Kamu benar Ren, pasti ada yang tidak beres.”
“Padahal kita berada diurutan pertama, bukankah itu berdasarkan dari perolehan nilai,” imbuh Karen.
Karen tak habis pikir, ini sudah H-1 dan malam hari, panitia tiba-tiba mencoret nama perusahaan dari daftar presentasi.
Karen mencoba melayangkan protes ke pihak panitia, tetapi tidak ada tanggapan.
Sedangkan Arashi, pria itu menghubungi beberapa kolega yang masuk ke dalam jajaran orang penting di asosiasi investor tersebut.
Arashi terpaksa menggunakan nama besar marganya untuk mencari keadilan demi membantu sang adik.
Namun, kenalannya justru terkejut karena perusahaan milik Karen tiba-tiba dicoret dan diganti dengan perusahaan lain oleh panitia.
Sebagian dari mereka menyarankan untuk menemui ketua asosiasi secara langsung. Kemungkinan, ketua berkenan membantu karena semua sudah didiskusikan dan keputusan sudah diputuskan oleh ketua asosiasi.
Arashi akhirnya menghela nafas. “Tidurlah Ren, kita akan temu ketua asosiasi besok pagi.”
“Bagaimana aku bisa tidur Ras? Kondisinya seperti ini! Yang benar saja?!” ucap Karen sembari menggosok-gosok kedua telapak tangannya, cemas.
“Kamu tenang saja, kalau kita benar pasti ada jalan. Lebih baik kamu segera istirahat, agar besok mempunyai kekuatan untuk berperang. Ayo!”
Meski tak mau, Karen pun menurut.
Di pagi hari, keduanya bergegas menuju kantor ketua asosiasi.
Mereka memang sengaja menemui di kantor bukan di tempat pelaksanaan.
“Ada apa generasi ke-4 keluarga Takahashi sampai berkunjung secara pribadi ke kantor saya?”
Karen memandang ke arah Arashi bingung yang hanya dibalas senyuman tipis oleh pria itu.
Setelah melakukan sedikit basa-basi, Arashi menyampaikan maksud kedatangannya ke sana, lalu memberikan beberapa bukti yang dikirim melalui surel.
Ketua asosiasi juga tidak mengetahui tentang hal itu.
Ia berjanji nanti akan memberikan waktu pada Karen untuk presentasi dan memberikan hukuman yang setimpal untuk para oknum yang sudah sengaja membuat kegaduhan.
Karen bernafas lega walau kemungkinannya kecil ia masih dapat melakukan presentasi.
“Jangan khawatir kita pasti bisa presentasi.”
Hari presentasi telah tiba dan Arashi menggenggam tangan Karen yang dingin.
Wanita itu hanya menanggapi dengan anggukan.
Hanya saja, merasa ada yang memperhatikan, akhirnya Karen melihat ke depan.
DEG!
Detak jantungnya tak karuan seperti orang yang baru saja dikejutkan.
Diaz yang melihat Karen sudah melihat ke arahnya, tersenyum sinis ke arah wanita itu.
Karen segera menetralkan detak jantungnya. Beruntung, ekspresinya tak sempat dibaca oleh Diaz.
“Arashi, jangan melihat atau menengok sekarang, lihatlah ke arah jam dua belas,” bisik Karen.
“Aku sudah melihat bedebah itu saat dia masuk,” balas Arashi.
“Yang benar saja, kenapa kamu tak memberitahuku?”
“Sudah, fokuslah pada presentasi. Dan jangan terpengaruh olehnya.”
Hanya saja, Diaz yang memperhatikan itu justru salah sangka melihat kedekatan Karen dengan Arashi.
Tangan pria itu mengepal menahan emosi. “Siapa nama pria di samping Karen itu Glen, aku lupa?”
Glen melihat ke arah Karen dan Arashi yang sudah fokus ke pembawa acara.
“Arashi Takahashi.”
Mendengar itu, Diaz tertegun.
Meski tidak terlalu mengenal konglomerat di Jepang, marga itu lekat dengan keluarga pengusaha Takahashi Company Global–perusahaan yang menyangkut hajat hidup negara maju itu.
Segala sektor dikuasai oleh keluarga mereka. Sampai-sampai, ada lelucon yang mengatakan 80% negara Jepang dikuasai mereka.
“Takahashi?” ulangnya lagi sembari tersenyum, “sepertinya, aku tidak bisa meremehkanmu, Elok.”“Halo, Elok Anugrah Cinta!”“Atau sekarang aku harus memanggilmu Karen? Karen Esme,” sapa Diaz setelah acara presentasi selesai.Karen masih diam, sejujurnya ia bingung harus bersikap seperti apa, ini terlalu mendadak.“Oh, kalau kamu lupa, perkenalkan aku Diaz Pradana, suamimu,” ujar Diaz seraya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.Pria itu memberi penekanan pada kata “suamimu” untuk memberi tahu kepemilikan pada pria yang berdiri di sebelah Karen.Tatapan tajam Diaz tak lepas dari wajah ayu Karen.Namun, wanita itu memilih untuk tidak membalas jabat tangan dari Diaz. Sungguh saat ini jantungnya sedang berdetak tak karuan, hatinya gelisah, dan tangannya dingin bagai memegang es batu.“Salam kenal, tuan Diaz,” balas Karen yang sudah bisa menetralkan detak jantungnya, “sepertinya, Anda salah mengenali seseorang.”Entah mengapa ia memilih tidak mengakui dirinya sebagai Elok.“Oh ya? Tapi Anda terlalu sama jika hanya dikatakan mirip dengan istri saya.”Diaz memainkan emosi Karen.Pri
Arashi yang gelisah menunggu Karen akhirnya bisa bernafas lega saat melihat adiknya itu berjalan ke arahnya.Senyum pria itu terkembang, membuat Karen melebur semua emosinya.“Bagaimana?” tanya Arashi.“Buruk! Aku benci berbicara dengannya.”“Mau makan makanan manis?” Karen mengangguk. Arashi selalu tahu apa yang bisa mengembalikan suasana hati Karen.“Mari kita jemput Ken lebih dulu!” seru sang kakak.Keduanya lantas berjalan menuju mobil, dengan Arashi yang memeluk pinggang adiknya.Diaz dapat melihat jelas pemandangan itu dari dalam mobilnya yang melaju melewati kakak beradik itu.Tangannya mengepal kuat.“Kamu cemburu?” tanya Glen setengah meledek.Diaz berdecak kesal, tak menjawab.Melihat itu, Glen menggelengkan kepalanya, sebelum kembali teringat sesuatu. “Kita harus segera bertolak ke Jakarta, Yas. Om Henry sudah marah-marah dengan tindakan egoismu meninggalkan Pradana.”“Kau kembalilah lebih dulu, aku masih ada urusan di sini.”*Sementara itu, setelah menjemput Ken, dua ber
Karen menghentikan langkah sejenak tanpa menoleh. Lalu kembali berjalan, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun--meninggalkan Diaz yang belum mendapat jawaban atas pertanyaannya.“Apa itu artinya Kenshin memang anakku?” Diaz menyimpulkan sendiri dan segera berlari keluar ruangan--memindai sekeliling mencari jejak Karen walau sekedar bayangan.Ketemu!Diaz kembali mengejar Karen. Langkahnya yang jenjang tak begitu sulit untuk menyusul ibu satu anak itu.“Karen, tunggu!” Pria itu mencekal tangan Karen, tetapi perempuan itu segera melepaskannya. “Sudah kukatakan, orang akan salah paham jika kamu melakukan hal seperti ini,” sentaknya.“Ayo kita bicara sebentar,” ajak Diaz.Karen sejenak melihat ke arah Arashi yang mengangguk dan Ken yang melambaikan tangan pada Diaz.“Ingat janji kita paman,” ucap Ken lalu tersenyum ke arah Diaz.Tanpa sadar, Diaz tersenyum. Senang. Satu kata yang bisa mengungkapkan isi hati Diaz saat ini.Sementara itu, Arashi membawa anak itu berlalu meninggalkan orang tu
Mendengar penuturan dokter membuat Karen semakin gelisah. Selain khawatir dengan kondisi Ken, golongan darahnya tak sama. Ia hanya menggeleng lemah.Tak kalah khawatir, Diaz berharap golongan darahnya sama.“Golongan darahnya O, tuan.”“Golongan darah kami sama dokter. Saya bisa menjadi pendonor,” ucap Diaz spontan.Karen menatap Diaz dengan ekspresi yang sulit diartikan.“Tidak perlu, Diaz.” Karen mengcekal tangan Diaz yang hendak berjalan mengikuti dokter.“Golongan darah Arashi sama dengan Ken. Sebentar lagi, dia akan sampai di sini,” lanjut Karen.Diaz mendengus kesal.“Jadi kamu akan memepertaruhkan nyawa anakmu demi menunggu pria itu, hah? Waraslah sedikit Karen.”Tanpa sadar ucapan itu keluar dari mulut Diaz. Sejujurnya, ia merasa kecewa mendapati kenyataan bahwa Arashi memiliki golongan darah yang sama dengan Ken. Bahkan, Karen lebih memilih menunggu Arashi ketimbang menerima donor darah darinya.“Harusnya, aku tak boleh seemosional ini, belum tentu Ken itu anakku.”Diaz meru
“Ayah, sakit!” racau Ken lagi, “Mom, ayah mana?”Karen memang tak terlalu pandai menenangkan Ken, sebab ada Arashi yang selalu bisa diandalkan.Wanita itu seketika tersadar. Sedekat apapun ia dengan anaknya, peran seorang ayah tak kalah pentingnya.Sedangkan Diaz, ia tak tahu harus berbuat apa. Selama ini, ia jarang sekali berinteraksi dengan anak kecil.Ia hanya bisa memandang iba.Untungnya, itu tak berlangsung lama. Arashi telah datang dengan membawa es krim kesukaan Ken.“Ta—da.” Arashi memamerkan paper bag yang ia bawa.“Maafkan ayah, boy. Tadi ayah ada sedikit urusan.”Arashi duduk di samping Ken, lalu mengecup kening bocah itu.Dibelainya kepala Ken lembut. “Di mana yang sakit?”Ken menunjuk bahu dan tangan kirinya. Anak kecil itu terus menangis dan mengeluh sakit--mungkin efek biusnya sudah habis.“Apa sakit sekali?” tanya Arashi, ia masih membelai kepala Ken. Ken mengangguk.“Jagoan ayah harus?”“Ku-at,” jawab Ken terbata.“Pintar.”Lagi. Ada sesuatu yang aneh di hati Diaz m
Mobil itu berhenti setelah menabrak mobil lain di depannya. “Astaga. Untung saja. Sepertinya tidak terlalu parah,” gumam Diaz. Pria itu sudah melepas sabuk pengaman dan melongok bumper mobil yang di kendarainya. Ia lupa bahwa diseblahnya ada anak manusia yang gemetaran ketakutan. “Ya Tuhan, Diaz. Kamu benar-benar ingin membunuhku?” pekik Karen. Jantungnya berdebar kencang, kaget. Sabuk pengaman benar-benar menyelamatkan hidupnya. Diaz tersadar, menoleh ke arah Karen, “kamu tidak apa-apa?” tanya Diaz panik. Ia memindahi tubuh Karen. Karen menekan pelipisnya, pening. “Berapa kali aku hampir mati karenamu,” lirih Karen. Ingin hati mengucapkan maaf, tapi mulut berkata lain. “Ini semua salahmu, kalau kamu tak memancing keributan, kejadian ini tak akan terjadi.” Dua anak manusia itu masih melanjutkan pertengkaran. Karen mendengus kesal. Tuk! Tuk! Tuk! Kaca pintu mobil diketuk dengan tidak sabar. Diaz menurunkan kaca jendela. “Hei, keluar dan selesaikan masalah kita,” perint
Karen mendorong pelan tubuh Diaz. Nyaris saja ia terhipnotis oleh pesona Diaz Pradana. “Jangan berbuat sesukamu, Diaz Pradana.” Karen yang salah tingkah, membuat Diaz merasa gemas. “Ayo kita makan, aku harus segera ke rumah sakit,” ucap Karen canggung. Karen menurunkan tangannya dari dada Diaz. Lalu bergeser dua langkah untuk melepaskan diri dari pria itu. Ternyata tidak semudah itu lepas dari seorang Diaz Pradana. Suaminya itu mencekal kedua tangannya, lalu menariknya, memangkas jarak. “Apa kamu tak merindukanku?” bisik Diaz. Karen menunduk, menghindari tatapan mata Diaz. Jantungnya tak bisa ia ajak kompromi, seperti akan melompat ke luar dari rongga dadanya. Dapat dipastikan wajah telah merona. “Jangan seperti ini, Diaz,” lirih Karen. “Apa jantungmu berdebar saat ini?” sinis Diaz. Karen berdecak dalam hati, Diaz sungguh pandai mempermainkan hati Karen. Di sisi lain, Ken terbangun dari tidurnya. “Ayah, mommy mana?” “Kamu terbangun, boy!” “Mommy sedang pulang mengambi
Sampai di tempat tinggalnya, Diaz langsung merebahkan diri. Ternyata tubuhnya letih sekali. Tak butuh lama untum sampai ke alam mimpi. Entah kapan terakhir ia bisa tidur senyenyak ini semenjak kematian Elok. Insomnianya berangsur menghilang saat ia melihat paras ayu sang istri. Meski masih harus meminum obat tidur tapi reaksinya lebih cepat ketimbang biasanya. Matahari bersinar terang memasuki cela-cela gorden yang tak rertutup rapat. “Jam berapa ini?” gumam Diaz. Ia mencari handphone yang semalam diletakkannya sembarangan entah dimana. Pukul 11 siang, tulisan itu nampak jelas di layar benda pipih tersebut. Ada sepuluh panggilan tak terjawab salah satunya dari Henry—ayahnya—dan Glen. Pria itu kembali merebahkan diri, tak ada niatan untuk menghubungi dua orang itu. Ia justru membuka galeri fotonya, melihat foto selfinya bersama Kenshin. “Hei, son. Kau tampan sekali. Maafkan daddy,” monolog Diaz. Panggilan dari ayahnya membuat layar itu berganti dengan foto profil sang ayah.
Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk
Diana yang berada di dekat kantor Glen sengaja ingin menemui pria itu, walau Glen sudah mengatakan jika siang ini ada acara. Siapa tahu Diana beruntung bisa bertemu dengan pria itu. Setidaknya hanya melihat wajah dan sekedar menyapanya saja Diana sudah senang.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pria idamannya terlihat keluar dari lobi. Pria itu tampak semringah, ekspresi yang tak pernah diperlihatkan semenjak pertemuan pertama mereka. Diana mengurungkan niat untuk sekedar memanggil Glen.Melihat Glen yang berjalan menuju mobilnya, entah mengapa Diana ingin sekali mengikuti kemana perginya pria itu. Dia pun segera mencari tukang ojek pangkalan untuk mengikuti Glen.Beruntung Glen masih bisa dikejar. Pertama Glen berhenti di sebuah restoran cepat saji dan keluar dengan kantong plastik besar di tangan kirinya, lagi-lagi pria itu tak berhenti tersenyum, membuat hati Diana semakin resah.Tak hanya itu, pria itu kemudian mampir ke sebuah toko kue, yang terakhir berhenti di toko
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,