Arashi yang gelisah menunggu Karen akhirnya bisa bernafas lega saat melihat adiknya itu berjalan ke arahnya.
Senyum pria itu terkembang, membuat Karen melebur semua emosinya.
“Bagaimana?” tanya Arashi.
“Buruk! Aku benci berbicara dengannya.”
“Mau makan makanan manis?”
Karen mengangguk. Arashi selalu tahu apa yang bisa mengembalikan suasana hati Karen.
“Mari kita jemput Ken lebih dulu!” seru sang kakak.
Keduanya lantas berjalan menuju mobil, dengan Arashi yang memeluk pinggang adiknya.
Diaz dapat melihat jelas pemandangan itu dari dalam mobilnya yang melaju melewati kakak beradik itu.
Tangannya mengepal kuat.
“Kamu cemburu?” tanya Glen setengah meledek.
Diaz berdecak kesal, tak menjawab.
Melihat itu, Glen menggelengkan kepalanya, sebelum kembali teringat sesuatu. “Kita harus segera bertolak ke Jakarta, Yas. Om Henry sudah marah-marah dengan tindakan egoismu meninggalkan Pradana.”
“Kau kembalilah lebih dulu, aku masih ada urusan di sini.”
*
Sementara itu, setelah menjemput Ken, dua bersaudara itu bergegas menuju pusat perbelanjaan. Tujuan utama mereka adalah membeli gelato dan cake favorit.
Dengan girang Ken memilih rasa yang paling ia sukai. Kiwi, white chocolate, dan cinnamon, persis seperti Diaz.
Karen tidak habis pikir, kenapa anaknya mempunyai selera yang sama seperti ayah kandungnya, padahal tak pernah bertemu sama sekali? Apa itu karena genetik?
“Rasa itu lagi? Sekali-kali gantilah dengan rasa yang lain,” protes Karen pada akhirnya.
“No, mam. Rasa lain tak seenak perpaduan rasa ini, aku sudah lelah mencoba tidak ada yang se-klik ini,” ucap Ken polos.
“Baiklah, sayang. Seleramu sungguh aneh.”
Ken memanyunkan bibir, merajuk setelah mendengar ucapan sang Ibu.
Karen yang gemas saat anak merajuk, lantas mencubit pipi anaknya, gemas.
Selama menikmati gelato, Ken pun menceritakan keseruannya selama di sekolah. Baik Karen maupun Arashi menyimak dengan antusias.
Tak cukup menikmati gelato dan cake, mereka juga berburu okonomiyaki, takoyaki, dan jajanan lain di food court.
Hanya saja, Arashi tidak bernafsu lagi. Gelato dan cake sudah cukup membuatnya kenyang pria itu.
Meski demikian, mereka asyik berkeliling mall, hingga tiba ke tempat favorit mereka--toko buku.
Di sana, Arashi berpisah dengan Karen dan Ken. Ia ke bagian majalah dan nanti akan menyusul mereka ke bagian buku anak-anak.
Ibu dan anak itu pun seketika sibuk memilih dan membahas buku apa yang akan mereka beli.
Namun, saat Arashi mengantri untuk membayar buku, kepanikan terjadi.
Ken tiba-tiba menghilang!
“Ras, Ken tidak ada!” ucap Karen panik.
“Jangan panik, ayo kita cari.”
Karen, Arashi, serta beberapa petugas mencari Ken disetiap rak dan sudut ruangan, tapi hasilnya nihil. Spekulasi pun muncul jika anak itu keluar dari area toko buku.
*
Brruukkk!!!
Sementara itu, tubuh mungil Ken tengah terpental setelah menabrak seseorang.
Pria yang ditabrak melihat sekeliling sebelum akhirnya menolong si anak.
“Kenapa anak kecil dibiarkan pergi sendirian, dasar orang tua lalai,” batin Diaz.
“Kamu tidak apa-apa, son?”
Ken hanya terdiam, lalu melihat ke belakang. Barulah sadar ia telah berjalan terlalu jauh.
“Di mana orang tuamu, son?” tanya Diaz lagi.
“Ini di mana paman? Tadi mereka di toko buku, tapi aku keluar karena melihat temanku. Tapi, sepertinya aku tersesat,” terang Ken.
Diaz yang baru pertama kali datang ke mall tersebut tak paham di mana letak toko buku.
“Mari kita cari toko buku itu, son. Sembari kita mencari pusat informasi untuk mecari tahu untuk memanggil mereka.”
“Apa paman orang baik?” tanya Ken polos membuat Diaz menaikkan sedikit alisnya.
“Tentu saja paman orang baik,” jawab Diaz setelah mengerti maksud Ken.
Sejurus kemudian, digendongnya anak kecil itu.
“Siapa namamu?” tanya Diaz.
“Kenshin, paman. Mommy dan ayah suka memanggilku Ken.”
“Nama yang familiar seperti karakter komik favorit paman.”
“Apa yang paman maksud Kenshin Samuarai X?”
“Iya, kau tahu itu?”
“Iya. Mommy dan papi sangat senang dengan karakter itu.”
“Kenapa kamu mengganti panggilan ayah dengan papi?” tanya Diaz penasaran.
“No, no, paman. Ayah dan papi orang yang berbeda. Ayah itu ayahku. Kalau papi itu, kembaran mommy.”
Diaz tersenyum.
Entah mengapa ia sangat menyukai Ken yang interaktif dan cerdas. Hatinya seakan telah jatuh cinta pada Ken tanpa tahu takdir Tuhan sedang berjalan.
Mereka berdua pun berkeliling.
Tak lupa, Diaz juga menanyakan letak pusat informasi dan toko buku yang dimaksud oleh Ken.
Obrolan-obrolan receh terus keluar diantara keduanya. Lebih tepatnya, Ken berceloteh tentang apa yang ia lakukan sebelum akhirnya tersesat.
“Kamu suka gelato rasa apa?” tanya Diaz.
“Aku paling suka rasa kiwi paman. Aku juga punya perpaduan tiga rasa gelato favorit.”
“Oh ya? Rasa apa saja?”
“Eemmm, kiwi, white chocolate, dan cinnamon.”
Alis Diaz naik sebelah. Ia cukup terkejut. Rasa yang sama seperti dirinya, sebuah kebetulan yang, ah entah mengapa membuat hatinya gembira.
Merasa gemas, Diaz menanyakan pada Ken apa dia boleh menciumnya.
Dengan ragu, Ken mengangguk.
“Andai aku memiliki anak selucu kamu, Ken,” batin Diaz.
Ia kembali mengingat kejadian lima tahun lalu. Kebodohannya yang membuat sang anak lenyap. Hanya saja, Diaz sedikit berharap calon anaknya juga selamat--sama seperti Elok.
“Apa paman boleh mengajakmu makan gelato bersama lain kali? Selera kita sepertinya sama. Nanti paman akan meminta izin pada orang tuamu.”
Dengan riang Ken, mengiyakan. Lalu memberikan kelingkingnya pada Diaz, mengikat janji.
Tak lama, keduanya tiba di pusat informasi terdekat lalu memberi tahu petugas keperluannya. Selang beberapa menit, suara pengeras suara bersahutan mengumumkan keberadaan Kenshin.
Karen dan Arashi yang menangkap suara itu seketika menghela nafas lega.
Bahkan, Karen nyaris saja menangis ketika hendak memberi pengumuman di pusat informasi. Beruntung pengumuman penemuan Ken lebih dulu berkumandang.
Karen dan Arashi turun ke lantai 1. Hatinya jauh lebih tenang.
Dengan tergopoh-gopoh, Karen menuju ruang tunggu yang berada di belakang pusat informasi.
“Ken!” panggil Karen setelah membuka pintu.
Diaz dan Ken menoleh ke arah Karen.
“Mommy!” seru anak itu, lalu berlari ke arah Karen yang langsung menggendongnya.
Diaz berdiri, betapa terkejutnya ia melihat sosok perempuan yang dipanggil mommy.
“Karen,” lirih Diaz.
Sama halnya dengan Karen, ua pun sama terkejutnya.
“Takdir macam apa ini,” seru wanita itu dalam hati.
“Mom, paman Diaz yang menolongku.”
Ucapan Ken membuyarkan pikiran Karen.
“Ah, iya sayang. Mari ucapkan terima kasih pada paman Diaz.”
Dengan patuh, Ken mengucapkan terima kasih pada Diaz. Lalu, beralih ke gendongan Arashi.
“Terima kasih, Tuan. Telah menolong anak saya,” ucap Karen, lalu membungkuk memberi hormat.
Begitu juga dengan Arashi. Pria itu bahkan meminta Ken untuk berpamitan pada Diaz, lalu membawa bocah itu keluar dari ruangan, seolah memberi ruang lagi pada Karen dan Diaz.
Sementara itu, Karen tak ingin berbasa-basi. Ia pun berbalik hendak menyusul kakak dan anaknya. Namun, ucapan Diaz berhasil menghentikan langkahnya. “Apa Kenshin anak kita?”
Karen menghentikan langkah sejenak tanpa menoleh. Lalu kembali berjalan, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun--meninggalkan Diaz yang belum mendapat jawaban atas pertanyaannya.“Apa itu artinya Kenshin memang anakku?” Diaz menyimpulkan sendiri dan segera berlari keluar ruangan--memindai sekeliling mencari jejak Karen walau sekedar bayangan.Ketemu!Diaz kembali mengejar Karen. Langkahnya yang jenjang tak begitu sulit untuk menyusul ibu satu anak itu.“Karen, tunggu!” Pria itu mencekal tangan Karen, tetapi perempuan itu segera melepaskannya. “Sudah kukatakan, orang akan salah paham jika kamu melakukan hal seperti ini,” sentaknya.“Ayo kita bicara sebentar,” ajak Diaz.Karen sejenak melihat ke arah Arashi yang mengangguk dan Ken yang melambaikan tangan pada Diaz.“Ingat janji kita paman,” ucap Ken lalu tersenyum ke arah Diaz.Tanpa sadar, Diaz tersenyum. Senang. Satu kata yang bisa mengungkapkan isi hati Diaz saat ini.Sementara itu, Arashi membawa anak itu berlalu meninggalkan orang tu
Mendengar penuturan dokter membuat Karen semakin gelisah. Selain khawatir dengan kondisi Ken, golongan darahnya tak sama. Ia hanya menggeleng lemah.Tak kalah khawatir, Diaz berharap golongan darahnya sama.“Golongan darahnya O, tuan.”“Golongan darah kami sama dokter. Saya bisa menjadi pendonor,” ucap Diaz spontan.Karen menatap Diaz dengan ekspresi yang sulit diartikan.“Tidak perlu, Diaz.” Karen mengcekal tangan Diaz yang hendak berjalan mengikuti dokter.“Golongan darah Arashi sama dengan Ken. Sebentar lagi, dia akan sampai di sini,” lanjut Karen.Diaz mendengus kesal.“Jadi kamu akan memepertaruhkan nyawa anakmu demi menunggu pria itu, hah? Waraslah sedikit Karen.”Tanpa sadar ucapan itu keluar dari mulut Diaz. Sejujurnya, ia merasa kecewa mendapati kenyataan bahwa Arashi memiliki golongan darah yang sama dengan Ken. Bahkan, Karen lebih memilih menunggu Arashi ketimbang menerima donor darah darinya.“Harusnya, aku tak boleh seemosional ini, belum tentu Ken itu anakku.”Diaz meru
“Ayah, sakit!” racau Ken lagi, “Mom, ayah mana?”Karen memang tak terlalu pandai menenangkan Ken, sebab ada Arashi yang selalu bisa diandalkan.Wanita itu seketika tersadar. Sedekat apapun ia dengan anaknya, peran seorang ayah tak kalah pentingnya.Sedangkan Diaz, ia tak tahu harus berbuat apa. Selama ini, ia jarang sekali berinteraksi dengan anak kecil.Ia hanya bisa memandang iba.Untungnya, itu tak berlangsung lama. Arashi telah datang dengan membawa es krim kesukaan Ken.“Ta—da.” Arashi memamerkan paper bag yang ia bawa.“Maafkan ayah, boy. Tadi ayah ada sedikit urusan.”Arashi duduk di samping Ken, lalu mengecup kening bocah itu.Dibelainya kepala Ken lembut. “Di mana yang sakit?”Ken menunjuk bahu dan tangan kirinya. Anak kecil itu terus menangis dan mengeluh sakit--mungkin efek biusnya sudah habis.“Apa sakit sekali?” tanya Arashi, ia masih membelai kepala Ken. Ken mengangguk.“Jagoan ayah harus?”“Ku-at,” jawab Ken terbata.“Pintar.”Lagi. Ada sesuatu yang aneh di hati Diaz m
Mobil itu berhenti setelah menabrak mobil lain di depannya. “Astaga. Untung saja. Sepertinya tidak terlalu parah,” gumam Diaz. Pria itu sudah melepas sabuk pengaman dan melongok bumper mobil yang di kendarainya. Ia lupa bahwa diseblahnya ada anak manusia yang gemetaran ketakutan. “Ya Tuhan, Diaz. Kamu benar-benar ingin membunuhku?” pekik Karen. Jantungnya berdebar kencang, kaget. Sabuk pengaman benar-benar menyelamatkan hidupnya. Diaz tersadar, menoleh ke arah Karen, “kamu tidak apa-apa?” tanya Diaz panik. Ia memindahi tubuh Karen. Karen menekan pelipisnya, pening. “Berapa kali aku hampir mati karenamu,” lirih Karen. Ingin hati mengucapkan maaf, tapi mulut berkata lain. “Ini semua salahmu, kalau kamu tak memancing keributan, kejadian ini tak akan terjadi.” Dua anak manusia itu masih melanjutkan pertengkaran. Karen mendengus kesal. Tuk! Tuk! Tuk! Kaca pintu mobil diketuk dengan tidak sabar. Diaz menurunkan kaca jendela. “Hei, keluar dan selesaikan masalah kita,” perint
Karen mendorong pelan tubuh Diaz. Nyaris saja ia terhipnotis oleh pesona Diaz Pradana. “Jangan berbuat sesukamu, Diaz Pradana.” Karen yang salah tingkah, membuat Diaz merasa gemas. “Ayo kita makan, aku harus segera ke rumah sakit,” ucap Karen canggung. Karen menurunkan tangannya dari dada Diaz. Lalu bergeser dua langkah untuk melepaskan diri dari pria itu. Ternyata tidak semudah itu lepas dari seorang Diaz Pradana. Suaminya itu mencekal kedua tangannya, lalu menariknya, memangkas jarak. “Apa kamu tak merindukanku?” bisik Diaz. Karen menunduk, menghindari tatapan mata Diaz. Jantungnya tak bisa ia ajak kompromi, seperti akan melompat ke luar dari rongga dadanya. Dapat dipastikan wajah telah merona. “Jangan seperti ini, Diaz,” lirih Karen. “Apa jantungmu berdebar saat ini?” sinis Diaz. Karen berdecak dalam hati, Diaz sungguh pandai mempermainkan hati Karen. Di sisi lain, Ken terbangun dari tidurnya. “Ayah, mommy mana?” “Kamu terbangun, boy!” “Mommy sedang pulang mengambi
Sampai di tempat tinggalnya, Diaz langsung merebahkan diri. Ternyata tubuhnya letih sekali. Tak butuh lama untum sampai ke alam mimpi. Entah kapan terakhir ia bisa tidur senyenyak ini semenjak kematian Elok. Insomnianya berangsur menghilang saat ia melihat paras ayu sang istri. Meski masih harus meminum obat tidur tapi reaksinya lebih cepat ketimbang biasanya. Matahari bersinar terang memasuki cela-cela gorden yang tak rertutup rapat. “Jam berapa ini?” gumam Diaz. Ia mencari handphone yang semalam diletakkannya sembarangan entah dimana. Pukul 11 siang, tulisan itu nampak jelas di layar benda pipih tersebut. Ada sepuluh panggilan tak terjawab salah satunya dari Henry—ayahnya—dan Glen. Pria itu kembali merebahkan diri, tak ada niatan untuk menghubungi dua orang itu. Ia justru membuka galeri fotonya, melihat foto selfinya bersama Kenshin. “Hei, son. Kau tampan sekali. Maafkan daddy,” monolog Diaz. Panggilan dari ayahnya membuat layar itu berganti dengan foto profil sang ayah.
Mendengar suara asing, reflek Diaz menutup teleponnya.“Siapa itu? Apa pegawai itu salah menekan nomor telepon?”Diaz kembali mendatangi pegawai tadi untuk mengkonfirmasi kebenaran nomor yang ditelepon. Pagawai itu yakin ia benar.Diaz heran mengapa ada orang yang dengan mudahnya mengangkat panggilan telepon milik orang lain.Tak habis akal Diaz meminta kontak nomor Karen, namun sayangnya pegawai itu tidak di perbolehkan memberikan kontak pemilik dan kerabat pada orang lain.“Apa katanya? Kerabat? Jadi bengkel ini milik siapa? Aaarrrgghhh,” Diaz mengerang dalam hati.“Siapa sebenarnya kamu ini, Ren?” Diaz merasa frustasi.Pupus sudah harapannya mengetahui keadaan dan keberadaan Ken.Sepertinya benar apa kata Arashi ia harus lebih bersabar. Tapi sampai kapan?Diaz mengacak-acak kasar rambutnya.*“Apa katanya kak?” tanya Karen pada Haru.Saat panggilan masuk, Karen sedang sibuk membersihkan tubuh Ken. Kepalang tanggung jika
Karen mengedipkan mata, bingung harus menjawab apa.Lantas ia menoleh ke arah Arashi, kakaknya itu hanya mengedikkan bahu.Ken masih menatap intens sang ibu, berharap sang ibu segera memberinya jawaban.“Mmmm, boleh tapi tidak sekarang atau besok ya sayang. Besok kan teman-temanmu akan datang. Mungkin lusa atau menunggu saat paman tidak sibuk.”Ken mengangguk paham.“Kalau boleh mom tahu, kenapa kamu ingin paman Diaz datang menjengukmu?” tanya Karen yang penasaran dengan kemauan anaknya.“Entahlah, mom. Aku hanya merasa rindu pada paman Diaz,” jawab Ken polos.“Aku belum menyapanya dengan benar kemaren, aku merasa bersalah,” sesal Ken.“Apa ini yang dinamakan ikatan batin ayah dan anak, mereka baru saja bertemu, tapi Ken sudah bisa mengatakan bahwa ia merindukan ayahnya,” batin Karen.Karen memandang ke Arashi, pria itu nampak tidak peduli dengan obrolannya dengan Ken.Karen mendekati Arashi yang berada di balkon kamar ruang rawat Ke
Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk
Diana yang berada di dekat kantor Glen sengaja ingin menemui pria itu, walau Glen sudah mengatakan jika siang ini ada acara. Siapa tahu Diana beruntung bisa bertemu dengan pria itu. Setidaknya hanya melihat wajah dan sekedar menyapanya saja Diana sudah senang.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pria idamannya terlihat keluar dari lobi. Pria itu tampak semringah, ekspresi yang tak pernah diperlihatkan semenjak pertemuan pertama mereka. Diana mengurungkan niat untuk sekedar memanggil Glen.Melihat Glen yang berjalan menuju mobilnya, entah mengapa Diana ingin sekali mengikuti kemana perginya pria itu. Dia pun segera mencari tukang ojek pangkalan untuk mengikuti Glen.Beruntung Glen masih bisa dikejar. Pertama Glen berhenti di sebuah restoran cepat saji dan keluar dengan kantong plastik besar di tangan kirinya, lagi-lagi pria itu tak berhenti tersenyum, membuat hati Diana semakin resah.Tak hanya itu, pria itu kemudian mampir ke sebuah toko kue, yang terakhir berhenti di toko
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,