Mendengar suara asing, reflek Diaz menutup teleponnya.
“Siapa itu? Apa pegawai itu salah menekan nomor telepon?”Diaz kembali mendatangi pegawai tadi untuk mengkonfirmasi kebenaran nomor yang ditelepon. Pagawai itu yakin ia benar.Diaz heran mengapa ada orang yang dengan mudahnya mengangkat panggilan telepon milik orang lain.Tak habis akal Diaz meminta kontak nomor Karen, namun sayangnya pegawai itu tidak di perbolehkan memberikan kontak pemilik dan kerabat pada orang lain.“Apa katanya? Kerabat? Jadi bengkel ini milik siapa? Aaarrrgghhh,” Diaz mengerang dalam hati.“Siapa sebenarnya kamu ini, Ren?” Diaz merasa frustasi.Pupus sudah harapannya mengetahui keadaan dan keberadaan Ken.Sepertinya benar apa kata Arashi ia harus lebih bersabar. Tapi sampai kapan?Diaz mengacak-acak kasar rambutnya.*“Apa katanya kak?” tanya Karen pada Haru.Saat panggilan masuk, Karen sedang sibuk membersihkan tubuh Ken. Kepalang tanggung jikaKaren mengedipkan mata, bingung harus menjawab apa.Lantas ia menoleh ke arah Arashi, kakaknya itu hanya mengedikkan bahu.Ken masih menatap intens sang ibu, berharap sang ibu segera memberinya jawaban.“Mmmm, boleh tapi tidak sekarang atau besok ya sayang. Besok kan teman-temanmu akan datang. Mungkin lusa atau menunggu saat paman tidak sibuk.”Ken mengangguk paham.“Kalau boleh mom tahu, kenapa kamu ingin paman Diaz datang menjengukmu?” tanya Karen yang penasaran dengan kemauan anaknya.“Entahlah, mom. Aku hanya merasa rindu pada paman Diaz,” jawab Ken polos.“Aku belum menyapanya dengan benar kemaren, aku merasa bersalah,” sesal Ken.“Apa ini yang dinamakan ikatan batin ayah dan anak, mereka baru saja bertemu, tapi Ken sudah bisa mengatakan bahwa ia merindukan ayahnya,” batin Karen.Karen memandang ke Arashi, pria itu nampak tidak peduli dengan obrolannya dengan Ken.Karen mendekati Arashi yang berada di balkon kamar ruang rawat Ke
Arashi masih menunggu reaksi dari Diaz, sejujurnya ia sudah tidak sabar.Pada akhirnya Arashi tahu, Diaz lebih mementingkan ego dan harga dirinya.“Jika tidak ada lagi yang ingin Anda bicarakan, silakan keluar. Pintu keluar ada di belakang Anda,” ucap Arashi.Pria itu berdiri lalu menuju meja kerjanya. Sedangkan Diaz masih berdiri mematung di tempat semula. Arashi tak ingin repot-repot memberi informasi pada adik iparnya.Sedangkan Diaz masih berkutat dengan hatinya.“Berpikir Diaz, berpikir. Apa yang harus kamu lakukan,” batin Diaz.Otaknya tiba-tiba tidak berfungsi sebagaimana mestinya.“Baiklah kali ini kau menang Arashi. Asal kau tahu saja aku tidak kalah. Ini ku lakukan semata demi aku bisa membalas Karen.”Kata-kata hanya itu terpatri dalam sanubarinya.“Tolong beri tahu aku dimana kamar rawat Ken.” Kata-kata itu akhirnya lolos juga dari bibir Diaz.Arashi tersenyum simpul. Ia memberi tahu dimana ayah kandung Ken it
Karen melongo tak berkedip mendengar ucapan Diaz. Ia tidak menyangka ayah kandung Ken akan berbicara seperti itu. “Hei, apa maksudmu, Diaz?” tanya Karen. Wanita itu berjalan ke arah dispenser, entah mengapa, ia tiba-tiba merasa haus, kemudina meminum satu gelas air hingga tandas. “Jadi aku akan punya tiga ayah?” tanya Ken antusias. “Hah?” ucap Diaz penuh tanya. Ken menyebutkan orang-orang yang ia anggap sebagai ayah sesuai prioritasnya. “Iya, pertama ayah Arashi, kedua papi Rain, dan yang terakhir paman.” “Hei, kenapa aku di urutan terakhir?” protes Diaz dangan nada bercanda. “Sedangkan aku ini ayah kandungmu,” bisik hati Diaz. “Karena paman, ayah terakhir yang datang padaku," jawab Ken jujur. Bocah cilik itu kemudian tertawa renyah. Membuat Diaz tertampar dan cemburu dengan dua ayah lainnya, terutama Arashi yang selalu ada untuk Ken. “Lalu kenapa kamu masih menyebutku paman? Sekarang aku juga ayahmu.” Protes Diaz lagi. “Aku harus panggil paman apa ya!” Ken nampak berpikir
Uhuk! Uhuk! Uhuk! Diaz tersedak daging yang baru saja ia telan. Satu gelas minuman dingin tak cukup membuatnya lega. Karen berinisiatif memesan minuman lagi. Sembari menunggu, Karen memberikan minumannya pada Diaz. “Apa pertanyaanku terlalu menohok?” tanya Karen tanpa basa-basi. Entah mengapa ia percaya diri jika Diaz merasa cemburu. Diaz berdehem sebelum menjawab, “ Kau percaya diri sekali.” Diaz menatap Karen sinis. “Untuk apa cemburu, bahkan sepuluh wanita sepertimu bisa ku dapatkan,” ucap Diaz angkuh. Lain di mulut, lain di hati, kini ia menyesali kata-kata yang baru saja keluar. Suasana hati Karen menjadi tidak karuan. Diaz benar-benar telah berhasil membuat harapannya hancur lebur. Meski awalnya ia enggan makan bersama Diaz, ia berharap hubungan mereka akan menjadi lebih baik malam ini. Tapi semuanya sirna, harapan hanya tinggal harapan. Karen mempercepat makannya, seleranya sudah hilang entah kemana. Lalu berdiri menuju ke kasir, sedikit berbasa-basi dengan pemilik
“Diaz, aku akan panggil security, jika kamu masih seenaknya seperti ini.” “Please, Karen. Kita butuh bicara.” Diaz masih bernegosiasi, berharap istrinya akan memberinya kesempatan. “Tidak, Diaz Pradana. Pergilah.” Usir Karen. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Diaz menambah sedikit kekuatannya untuk mendorong pintu. “Aaaa,” pekik Karen. Dahinya sempat terkena pojokan pintu, sebelum akhirnya terhuyung. Nyaris terjatuh jika Diaz tidak menggapai tangannya. Diaz menarik tubuh Karen ke dalam pelukannya. Mata mereka bersirobok, suara detak jantung saling bersahutan. “Apa kamu tidak apa-apa?” tanya Diaz yang tak mengalihkan pandangannya dari Karen. Karen tampak sangat mempesona di matanya. Tidak ingin melepas pelukkannya, pria itu justru memegang dagu Karen, lalu mendekatkan wajahnya. Karen bergeming, ia justru memejamkan mata, menerima setuhan bibir Diaz di bibirnya. Dalam hati Karen merutuki dirinya sendiri yang lagi-lagi jatuh dalam pesona Diaz Pradana, ia menikmati ciuman itu
Paska pembicaraan malam itu, Karen dan Diaz bak orang asing. Meski setiap hari Diaz datang menemui Ken, keduanya tak benar-benar saling menyapa. Karen lebih banyak diam dan sibuk dengan dunianya. Sedangkan Diaz yang serba salah, tak tahu harus bagaimana menghadapi Karen. Ia hanya terus merutuki dirinya yang bodoh, karena tak langsung menyelesaikan pembicaraan malam itu. Pintu lift terbuka, dilihatnya Karen sedang asik dengan gawaynya di depan lift. Wanita itu sedang menunggu Diaz yang akan menjenguk Ken. Diaz mengetuk-ngetuk pintu kaca agar Karen tersadar. Wanita itu membuka pintu dengan wajah datar. “Ini, aku beri kartu akses lantai 5, agar kau tak perlu repot-repot menungguku menjemput ketika ingin menjenguk Ken.” Belum sempat Diaz berucap, Karen memutar tubuhnya lalu berjalan menuju ruangan Ken, tanpa berkata apa-apa lagi. Diaz memandang sinis pada Karen. Istrinya itu memang pandai mempermainkan emosinya. “Halo, son.” Sapa Diaz pada Ken, mebuat balita itu kegirangan. “Dadd
Arashi kembali ke rumah sakit dengan membawa Japanese cheesecake kesukaan Karen.“Kenapa cepat sekali? Apa kakak tak sempat makan di sana?”Arashi mendengus, “Lihatlah sekarang jam berapa?”Karen melirik jam di poselnya lalu meringis jenaka.Arashi meletakkan kue yang ia bawa, membuat Karen tersenyum bahagia lalu memeluk erat sang kakak.“Lepaskan, kamu pikir kamu anak kecil bertingkah seperti itu!” gerutu Arashi.Arashi membeli kue tersebut untuk mengembalikan suasana hati Karen.Bagaimana suasana hati Karen, sangat berpengaruh bagi Ken. Anak itu sangat peka terhadap kondisi ibunya.“Sayang tadi kamu tak ikut, ada kejutan untukmu.”Ucap Arashi sembari mengambil kue yang baru saja dipotong oleh Karen. Si pemilik pun mengomel, Arashi hanya tertawa.“Kamu tidak penasaran?” tanya Arashi.“Aku tidak tertarik kalau itu tentang Himura,” jawab Karen acuh tak acuh.Arashi terkekeh.“Kamu masih saja mengabaikan putra tunggal ke
“Apapun tujuanku apa itu penting untukmu, Anna?” Bukan menjawab, Diaz justru bertanya. “Itu sangat penting bagiku, Yaz. Agar aku bisa memutuskan, akan mendukungmu atau tidak,” jawab Anna enteng. “Aku tidak butuh dukungamu, Anna.” Anna berdecak kesal. “Lalu memperkenalkanmu dengan pamanku itu bukan bentuk dari dukunganku! Kau selalu saja bertindak arogan,” cibir Anna. “Aku selalu mendukungmu Diaz, sekalipun kamu tak pernah melihat ke arahku.” Jerit hati Anna. Disisi meja lain di sudut restoran itu, diam-diam Arashi mengamati dua sejoli yang sedang asik berbincang. Yuki, sang kekasih menangkap netra Arashi tak fokus padanya pun akhirnya mengikuti arah pandangan si pria. “Ada apa? Apa kamu mengenal wanita itu?” tanya Yuki, hatinya gelisah. Arashi menangkap kegelisahan hati sang kekasih pun menjawab, “Bukan si wanita, tapi si pria. Aku mengenal dia.” Seketika hati Yuki menjadi lebih tenang. “Pria itu suami Karen.” Yuki terkejut dengan ucapan Arashi, ia mengira dirinya salah me
Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk
Diana yang berada di dekat kantor Glen sengaja ingin menemui pria itu, walau Glen sudah mengatakan jika siang ini ada acara. Siapa tahu Diana beruntung bisa bertemu dengan pria itu. Setidaknya hanya melihat wajah dan sekedar menyapanya saja Diana sudah senang.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pria idamannya terlihat keluar dari lobi. Pria itu tampak semringah, ekspresi yang tak pernah diperlihatkan semenjak pertemuan pertama mereka. Diana mengurungkan niat untuk sekedar memanggil Glen.Melihat Glen yang berjalan menuju mobilnya, entah mengapa Diana ingin sekali mengikuti kemana perginya pria itu. Dia pun segera mencari tukang ojek pangkalan untuk mengikuti Glen.Beruntung Glen masih bisa dikejar. Pertama Glen berhenti di sebuah restoran cepat saji dan keluar dengan kantong plastik besar di tangan kirinya, lagi-lagi pria itu tak berhenti tersenyum, membuat hati Diana semakin resah.Tak hanya itu, pria itu kemudian mampir ke sebuah toko kue, yang terakhir berhenti di toko
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,