“Wah, bagaimana bisa kamu kian hari makin cantik?” tanyanya dengan genit dan aku tersenyum. Richard adalah pria yang muda, tampan, dan kaya. Dia memiliki rambut dan mata cokelat, tinggi, dan karismatik. Sejak aku pertama bertemu dengannya sampai sekarang, dia adalah penyelamat hidupku. Richard membantuku ketika aku sangat membutuhkannya dan memercayaiku ketika tidak ada orang yang mau. Aku menyukainya. Dia bukan hanya menjadi bosku, tapi dia juga teman dekatku. Lalu, jika aku mendapatkan satu koin setiap dia menggodaku…“Kamu berlebihan, Ricky, aku hanya menambahkan perona pipi sedikit,” komentarku, mengalihkan perhatianku kembali ke layar komputer tempat surel perjanjian bertemu dengan para klien berdatangan.“Aku tidak melebih-lebihkan. Kamu tahu apa yang membuatku bersemangat berangkat kerja setiap hari? Kehadiranmu,” lanjutnya sambil bernyanyi. Richard merupakan seorang bujang yang tidak pernah berkomitmen dengan orang lain karena dia bilang dia sedang menungguku.Beberapa waktu
LauraAku sedang mengendarai mobil bersama Richard ke Jakarta Selatan, dan di perjalanan, aku sedang berbincang melalui pesan dengan Fia, temanku, yang selalu kujaga hubungannya.Fia: Jadi, kamu akan ke Jakarta Selatan?Lau: Iya, kami akan makan siang singkat dengan beberapa investor. Jadi, kamu tidak perlu khawatir akan apa pun.Fia: Bagaimana jika kamu bertemu orang yang tidak diinginkan di sana?Lau: Itu tidak mungkin. Namun, jika itu terjadi, aku tidak akan terpengaruh lagi.Fia: Kamu benar, kawan. Apa pun yang terjadi, bos tampanmu itu akan melindungimu dan menjagamu.Aku tersenyum ketika membaca pesan terakhir darinya. Fia selalu menggoda hubunganku dengan Richard, menyuruhku untuk cepat-cepat menjalin hubungan dengannya. Sejak aku meninggalkan Jakarta Selatan dan memulai hidup baru di Bogor, Fia dan aku tidak pernah berhenti berkomunikasi. Dia adalah orang kepercayaanku dan sahabatku, tapi aku tidak pernah menanyakan apa pun yang terjadi pada Jason, mantan suamiku, jadi a
LauraTanganku gemetar ketika aku menekan ubin keramik wastafel. Aku menarik dan membuang nafas dalam-dalam, mencoba mengontrol emosiku. Aku tidak akan membiarkan traumaku mengalahkanku seperti itu, aku akan berjuang.Semua hal di restoran Charme mengingatkanku pada Jason dan bagaimana kisah kami berakhir dengan cara yang sangat buruk. Lima tahun telah berlalu, tapi rasanya seperti pria itu masih bersikeras untuk hadir kembali di benakku untuk menyiksaku.Aku menutup mata dengan rapat, mencoba memusatkan perhatianku kepada putri kecilku, yang merupakan orang paling penting di hidupku dan harta karunku satu-satunya. Aku harus mengontrol emosiku dan kembali menjadi wanita yang mandiri dan bertekad yang sudah mekar dalam diriku setelah tahun-tahun yang sulit itu.Lalu, aku mengangkat kepalaku, melihat pantulanku di cermin di hadapanku, dan mengambil nafas dengan dalam lagi. “Ayolah, Laura, kamu bisa melakukannya,” ucapku pada diri sendiri dengan tegas. Aku merogoh tasku untuk perlengk
“Waktu telah memperlakukanmu dengan baik, Laura. Kamu terlihat cantik,” katanya, masih menatapku. “Astaga, aku masih tidak menyangka akhirnya aku menemukanmu.”Richard yang duduk di sampingku tertawa dan berkomentar, “Itu mengherankan, pertama tempat ini, kemudian kamu. Sepertinya Laura tidak pernah berhenti mengejutkanku.” Yang dia maksud adalah pertemuanku secara kebetulan dengan miliarder Jason Santoso. Aku tidak pernah memberi tahu Richard tentang kisahku dengan Jason. Aku sudah memberitahunya bahwa aku pernah menikah dan segalanya, tapi aku tidak pernah menyebutkan aku menikah dengan siapa.“Siapa kamu?” tanya Jason pada Richard dengan lagak yang tidak tertarik. Jason tidak perlu memaksakan simpati pada Richard karena dia adalah bosnya di sana, tapi berbeda dengannya, Richard harus membuatnya senang jika dia ingin Jason menyetujui proyek kami.“Ah, aku Richard Wijaya, Pak. Aku adalah teman dan rekan Nyonya Tanusaputera,” katanya.“Rekan?”“Iya, dia adalah orang yang mengatur
Laura“Maaf, tapi aku hanya ingin membicarakan tentang proyek kami,” ucapku, terlihat tenang dari luar, tapi dari dalam aku merasa hatiku bergejolak. Aku sudah tahu kalau mantan suamiku gila, tapi tidak segila ini. Maksudku, kenapa dia membeli tempat itu? Tidakkah dia memiliki tempat lain untuk membuang-buang uangnya? Ditambah lagi, kenapa dia berkata kalau dia membeli tempat ini atas namaku sebagai pemiliknya?“Maaf, tapi apa maksudnya kamu membeli restoran ini untuknya, Tuan Santoso?” tanya Richard terlihat kebingungan.“Setelah semua yang kamu lalui di tempat ini, Laura, kamu bisa melakukan apa pun untuk balas dendam,” ucap Jason, masih menatapku, benar-benar mengabaikan keberadaan Richard.“Apa yang kamu bicarakan?” tanyaku keheranan. Kenapa dia melakukan ini?“Pelayan!” panggilnya. Seorang pelayan mendatangi meja kami.“Ya, Tuan Santoso?” tanya pelayan tersebut.“Tolong panggil Mukhlis,” pintanya pada pelayan itu dan mataku terbelalak.Tuan Mukhlis adalah koki restoran ter
LauraPada saat itu, bahkan Richard tidak bisa menghentikanku. Dia melihat ada sesuatu yang salah di sana dan dia bisa melihat bahwa aku merasa tidak nyaman terhadap situasi tersebut. Jadi, walaupun awalnya dia mengira Jason Santoso adalah penyelamatku, sekarang dia tidak berpikir begitu lagi. Aku masih menatap dengan tegas mantan suamiku yang juga sedang menatapku dengan senyuman di wajahnya. Di matanya, ada percikan kegembiraan, seolah-olah untuk pertama kalinya dia baru benar-benar hidup.“Baiklah, mari kita bicarakan pekerjaan,” ucapnya. “Kamu boleh duduk lagi, Laura.”Aku mengangguk dan duduk kembali di kursiku, berusaha sekuat tenaga untuk mengontrol emosiku. Jason masih memandangiku dan aku mengambil segelas anggur dan meminumnya untuk menahan diri tidak mengeluarkan kata-kata yang tersangkut di tenggorokanku. Maksudku, beraninya dia muncul kembali di kehidupanku dan berpikir dia bisa memberikanku keadilan dengan membeli restoran itu dan menawarkannya padaku supaya aku bisa b
JasonSetelah mencari wanita ini sekian lama, di kesempatan pertamaku, aku malah merusak semuanya dan membuatnya pergi.Aku sudah memimpikan momen ketika aku akan bertemu dengannya lagi. Aku sudah berlatih berkali-kali di depan cermin. Aku sudah memilih kata-kata yang tepat supaya aku tidak melukainya. Aku sudah mempersiapkan diriku, tapi ketika aku melihatnya lagi, semua bagian dari diriku kebingungan. Aku tidak bisa melakukannya lagi. Aku tidak bisa menyusun kata-kata yang jelas selain merasakan jantungku berdegup begitu kencang di dalam dadaku. Demikian pula, aku ingin sekali menyebutkan namanya, aku ingin sekali meminta maaf padanya, dan aku ingin sekali mengatakan apa yang aku rasakan padanya. Seharusnya aku lebih baik padanya dan menyayanginya, tapi yang kulakukan hanyalah membuatnya takut. Lagi.Langit pasti sedang menghukumku dengan hukuman paling keji atas semua perbuatan jahatku pada wanita itu. Lima tahun telah berlalu dan aku begitu hancur, sementara Laura membuktikan
JasonAku menjalani hidupku berpikir bahwa hal-hal akan membaik jika aku tetap bersama Kinan dan aku akan menjadi orang yang bahagia. Sejak aku bertemu dengannya lagi di Surabaya dan kami berakhir mengingat-ingat masa ketika kami berpacaran saat masih remaja, aku menjadi gelisah, dan rasa cintaku pada Kinan dulu kembali begitu dahsyat sampai aku tidak menginginkan wanita mana pun selain dia. Bahkan istriku sekalipun.Aku tidak memiliki alasan untuk tetap menikah dengan Laura karena aku tidak mencintainya. Laura memang selalu menjadi temanku dan aku menikahinya karena aku frustrasi dengan Kinan ketika dia memutuskan untuk putus denganku karena dia ingin menjadikan hidupnya sebuah petualangan. Saat itu, Laura sedang kosong dan orang tuaku ingin aku menikah secepatnya untuk alasan hukum, supaya aku bisa mewarisi perusahaan mereka dan semacamnya.Dalam kata lain, aku menikahi Laura dengan alasan yang salah. Aku bukan menikahinya karena cinta. Namun, ketika aku melihat Kinan lagi, rasany
Laura“Kamu mau makan apa untuk makan malam hari ini? Fetucini dengan jamur atau tenderloin dengan kentang?” tanya Jason padaku di ujung telepon lainnya. Dia terdengar bersemangat untuk mempersiapkan makan malam untukku dan itu membuatku senang.“Em, aku suka tenderloin, tapi aku juga ingin fetucini. Aduh, ya ampun, aku harus bagaimana sekarang?” Aku menghela napas sambil berbicara padanya di telepon. Aku sedang berada di tempat kerjaku sambil fokus pada pekerjaanku dan, pada saat yang sama, berbicara dengan suamiku di telepon.“Aku bisa buatkan dua-duanya kalau kamu mau,” usul Jason setelah terkekeh.“Aduh, seharusnya aku pilih satu saja,” gumamku. Jason terkekeh lagi.“Ini bukan salahmu, kamu hanya tidak dapat menahan masakanku, jadi sulit untuk memutuskan. Kamu tahu aku mahir dalam segala hal yang kulakukan,” sombongnya, seperti biasa.“Hm, karena kamu bersikeras, aku ingin dua-duanya,” kataku padanya, tersinggung.“Astaga, aku tahu kamu senang menghukumku, ‘kan, wanita? Namu
AnnaMalam itu, Panca dan aku bersenang-senang bersama. Kami menjahili Paman Juan dan tunangannya, hal-hal yang tidak benar-benar menyakiti mereka, tapi itu merenggut kedamaian mereka. Misalnya, menuangkan minyak zaitun ke dalam anggur Paman Juan, menambahkan garam pada potongan kue pernikahannya, meletakkan bantal kentut di tempat duduknya, dan ketika dia duduk, dia membuat suara kentut yang konyol yang membuat semua orang menertawainya, dan hal-hal semacamnya.Itu sangat menyenangkan bagiku. Meskipun itu belum cukup bagi Panca, melihat Paman Juan mengalami semua hal-hal menyebalkan itu sudah membuatnya lebih gembira. Namun, kami tertangkap di penghujung pesta. Karena kami hanyalah dua anak-anak, tidak ada yang menganggapnya serius. Ayahku dan Paman Juan meneriaki kami dan bilang mereka akan menghukum kami, jadi Panca dan aku berlari untuk bersembunyi ketika para orang dewasa sedang mengomel tentang kami.“Itu luar biasa! Gila,” seru Panca sambil tertawa ketika kami berhasil melari
AnnaIni semua dimulai ketika aku berusia 11 tahun dan Panca Mardian ingin membunuh ayah tirinya.“Apakah ayahmu punya pistol?” tanyanya ketika dia dan aku sedang bersembunyi di langit-langit ruang dansa, tempat pernikahan Paman Juan dan ibunya diadakan.“Apa?” Sesaat, kukira aku salah dengar, jadi aku bertanya.Dia menatapku, mata cokelat tuanya mencolok. Dia masih praremaja, tapi dia sudah sangat misterius dan membuatku penasaran. “Aku butuh pistol untuk membunuh ayah baruku,” ungkapnya padaku.“Paman Juan? Kenapa kamu ingin melakukan itu? Dia adalah orang yang baik,” jawabku dengan marah.Dia menggerutu jijik dan kembali melihat ke lantai bawah. Para orang dewasa sedang berbincang dengan satu sama lain, menikmati pesta pernikahannya. “Pria itu mengirimkan ayahku ke penjara,” kata Panca, kata-katanya penuh oleh amarah.“Namun, itu adalah pekerjaan dia. Paman Juan adalah seorang polisi. Dia memasukkan orang-orang jahat ke dalam penjara,” kataku padanya, sedikit takut ketika aku
AnnaSaat guruku pergi setelah kelasnya berakhir, anak-anak di ruang kelas mulai membuat suara gaduh seperti biasa ketika mereka berbincang dengan satu sama lain. Aku masih tidak bisa percaya bahwa anak yang duduk di belakangku benar-benar Panca Mardian, jadi aku berbalik ke arahnya karena aku sudah memiliki sesuatu untuk dibicarakan, yaitu tentang tugas yang telah diberikan oleh guru aljabar kami.“Kamu mau mengerjakan tugas ini bagaimana? Kita bisa bertemu di mana?” tanyaku padanya, tapi dia hanya mengangkat bahunya sambil mencorat-corat buku tulisnya.“Terserah kamu saja. Aku tidak peduli,” jawabnya, tidak menatapku sama sekali. Dia benar-benar tidak mengenaliku dan aku tidak dapat memercayainya.Astaga, dia telah banyak berubah, dia telah bertumbuh begitu besar. Apa yang telah terjadi padanya selama bertahun-tahun kami jauh dari satu sama lain? Apakah dia telah membuat teman-teman baru? Apakah dia bahkan sudah punya pacar sekarang?Namun, aku terkesiap pelan ketika aku melihat
AnnaAku memutuskan untuk mengabaikan segala hal yang sedang kupikirkan dan fokus saja pada jadwalku. Aku sejauh ini adalah siswa terbaik di kelasku. Aku selalu berdedikasi dan bekerja keras. Aku tidak pernah diomeli. Guru-guru menyukaiku karena aku adalah siswa teladan untuk pada siswa lainnya. Itulah sebabnya mereka telah memilihku sebagai perwakilan kelas. Selain itu, akulah yang paling tahu bagaimana caranya memimpin dan bagaimana caranya mewakili kelas, karena itulah mereka sangat memercayaiku.Jadi, hari ini pun tidak ada bedanya. Ketika guru-guru masuk dan mengajar kami, aku selalu melihat diriku sebagai orang pertama untuk mengajukan diri untuk segala hal, selalu menyelesaikan pertanyaan paling sulit dalam matematika dan pelajaran lainnya yang ditakuti dan tidak disukai semua orang. Aku menantang diriku sendiri untuk selalu menjadi yang terbaik. Aku ingin membuat semua orang bangga karena aku akan menggunakan potensiku untuk menjadi lebih baik daripada orang tuaku dan membuat
AnnaKetika aku kembali ke mobil dan melihat kaca spion seraya aku melaju menuju pintu masuk sekolahku, aku bisa melihat Ciko dengan tangan di kepalanya dan pundak yang merosot, terlihat sedih tentang apa yang baru saja terjadi. Aku menghela napas pasrah dan memutuskan untuk melihat ke depan dan melanjutkan hidupku. Itu adalah hal terbaik yang bisa kulakukan.“Hei, Anna,” panggil Abel padaku begitu dia melihatku berjalan memasuki aula sekolah.“Hai, Abel.” Aku tersenyum kepadanya saat aku melihat dia, beranjak untuk memeluknya. Abel adalah anak kandung dari Bibi Fia, sahabat ibuku. Dia dan aku tumbuh besar bersama sebagai teman dan selalu terhubung dengan satu sama lain.“Apa yang terjadi? Kamu sedikit terlambat hari ini,” katanya sambil memandangku.“Em … itu karena aku tadi berbicara dengan Ciko di luar,” kataku padanya sambil menyelipkan rambutku di belakang telingaku, merasa tidak nyaman hanya memikirkan tentang Ciko.“Oh! Ciko ada di luar? Astaga, dia manis sekali! Kamu beru
Anna“Aku ingin putus denganmu, Ciko.”Ketika kata-kata itu akhirnya keluar dari mulutku, aku hampir tidak dapat memercayainya. Aku sudah ingin mengatakannya sejak lama sekali hingga aku berpikir bahwa saat ini aku hanya membayangkan diriku sendiri mengatakannya seperti sebelum-sebelumnya. Namun, kali ini, itu sungguhan. Aku bisa melihat wajah Ciko hancur di hadapanku—wajahnya yang sesaat yang lalu penuh harapan, sekarang terkejut dan bahkan merasa jijik dengan kata-kataku.Dia tersenyum dengan lemah, seakan-akan dia tidak memahami apa pun. “Kamu ingin putus denganku? Apa maksudmu? Apa yang kamu bicarakan?” tanyanya, terlihat benar-benar kebingungan.Aku menghela napas, menyadari bahwa aku seharusnya tidak mengatakan itu padanya tanpa pendahuluan apa-apa. Namun, aku bukannya bersikap tidak sensitif, itu hanyalah cinta monyet dan aku berhak mengakhirinya.“Kurasa sebaiknya kita bicara lagi nanti, Ciko,” kataku dan berbalik untuk pergi, tapi dia tidak membiarkan aku pergi menjauh da
AnnaKarena adik-adikku sudah marah padaku, salah satu dari mereka sudah tidak menanggapi apa yang kukatakan ketika aku berusaha berkomunikasi dengannya, dan yang satunya menendang-nendang kakinya ke belakang tempat dudukku berkali-kali dan membuatku merasa tidak nyaman, menyebutku anak yang terlalu dimanja.“Hentikan, Daniel,” pintaku, tapi anak itu tampaknya tidak mau menurut.“Kamu mengatakan sesuatu? Aku tidak bisa mendengarnya, aku tidak mendengarkan anak-anak perempuan menyebalkan seperti dirimu,” katanya padaku, membuatku makin jengkel.Aku hanya mengesampingkannya dan bersabar hingga aku akhirnya tiba di sekolah mereka. Apa yang bisa kulakukan tentang itu? Itu adalah hubungan asmaraku, oke? Mereka seharusnya tidak terlibat dalam hal ini seperti itu. Itu bukan urusan mereka.“Kamu bisa turun sekarang,” kataku pada mereka begitu aku berhenti di depan sekolah mereka.Mereka pergi tanpa bahkan berpamitan, tapi Stefan berbalik ke arahku dan berkata, “Kuharap harimu buruk hari
AnnaAku sedang berada di depan cermin sambil duduk di meja riasku selagi. Dengan penuh konsentrasi, aku mencoba memakai eyeliner di atas mataku, tapi suara adikku yang menyebalkan mengagetkanku ketika dia tiba-tiba memasuki ruang gantiku, berteriak-teriak dan meminta perhatianku. Aku berakhir memiliki garis hitam di wajahku, menghancurkan seluruh riasan wajahku.“Kenapa kamu berteriak-teriak, sih, Daniel Williams Santoso?” tanyaku dengan mata yang setengah terpejam, hampir mencekik lehernya dan menarik kepalanya.“Ew, menjijikkan! Kamu terlihat mengerikan dengan riasan wajah itu. Apakah kamu tidak tahu cara memakainya dengan benar?” ejeknya padaku dengan raut wajah jijik.Aku tidak dapat memercayai perkataannya. Dialah yang menghancurkan momen damaiku ketika aku sedang memakai riasan wajah di kamarku sendiri! Aku tidak mau mendengar hal itu dari anak ini yang tidak mengenal apa yang dimaksud dengan ruang pribadi.“Omong-omong, apa yang kamu inginkan?” tanyaku seraya aku mengambil