Laura“Apa? Kamu mengandung anak kembar?” tanya Fia, sangat terkejut, tidak memahami apa yang dia katakan, sangat lantang sehingga semua orang dalam radius 10 meter mendengar apa yang dia katakan.“Astaga, tenanglah!” teriakku dengan suara berbisik padanya sambil memandang orang-orang di galeri itu. Berminggu-minggu berlalu dengan sangat cepat dan karena perutku mulai menonjol, aku harus merombak isi lemariku dan memakai pakaian yang nyaman untuk ibu hamil.“Oh … maaf,” katanya, menyadari tatapan tidak nyaman dari orang-orang di sekitar kami. Kami sedang berada di tempat yang menjual pakaian-pakaian yang sangat mahal, tapi masih ada karyawan dan beberapa pelanggan yang tegas di sekitar kami.”Aku menghela napas sambil mengelus kain yang enak disentuh. “Iya, aku mengandung anak kembar. Jangan tanya aku bagaimana ini bisa terjadi, tapi aku akan punya anak kembar,” ujarku mengkonfirmasi padanya sambil tertawa kecil. Aku sangat terkejut ketika Dr. Joanna memberitahuku bahwa aku dan Jas
FiaSuzy, si j*lang itu, muncul di sana untuk menghancurkan kebahagiaan kami. Laura dan aku sedang bersenang-senang dan belanja, membicarakan anak-anak kami, dan membuat rencana masa depan, tapi Suzy telah muncul untuk menghancurkan momen itu.“Fia dan Laura? Pantas saja aku melihat kalian di sini karena kita berada di kelas yang sama sekarang,” katanya, berpikir bahwa dia terdengar hebat.Dia benar-benar tidak punya rasa malu. Dia sekarang kaya dan segalanya dan dia sedang menyamar dengan pakaiannya. Kalaupun itu adalah pakaian mewah, ini tetaplah tempat publik, jadi semua orang yang ingin masuk dan bisa membayar pakaiannya bisa masuk, seperti yang dia lakukan sekarang, tapi dia adalah orang berhati miskin. Dia tidak akan pernah bisa berubah meskipun dia mengenakan emas dan berlian.“Suzy, sayang sekali bertemu denganmu,” kataku dengan wajah jijik, memandangnya dengan lengan yang menyilang di dadaku. “Kamu tidak punya penata gaya untuk dirimu sendiri, ya? Kenapa kamu harus meniru
SuzyAku melempar tas mewahku dengan keras ke pojokan begitu aku memasuki rumahku yang merupakan apartemen mewah yang telah kubeli beberapa saat yang lalu di salah satu perumahan mahal Jakarta. Karena rekeningku sekarang gemuk dengan begitu banyak uang setelah aku berhasil mendapatkan warisan dari Keluarga Williams, aku bisa melakukan banyak hal dan membeli hal-hal yang selalu aku ingin beli tapi tidak pernah bisa karena kondisi keuanganku dulu.Sekarang, aku bisa mengatakan bahwa aku bahagia, tapi mimpi buruk bernama Laura selalu ada di belakangku, seakan-akan dia adalah hantu jahat yang menggantung di atas kepalaku dan ingin mengawasiku.“Aku sangat membencinya! Si*lan!” Aku berteriak sekencang mungkin, menjatuhkan barang-barang di rumahku yang digunakan sebagai dekorasi dan melempar semuanya ke lantai karena aku sangat tertekan dan membutuhkan cara untuk mengurangi stres itu. “Matilah sekarang juga, Laura Tanusaputera!”Aku merasakan lengan Lukman memegangku dan membuatku menata
LauraAku sedang menatap cermin, menyadari penampilanku dan menyukai apa yang kulihat. Perutku yang berumur lima bulan sudah besar dan aku bahkan bisa merasakan si kembar bergerak-gerak di dalamnya. Hamil adalah perasaan yang luar biasa. Ditambah, mengetahui bahwa ada anak kembar di dalamnya membuatku lebih bahagia.Aku merasa lengan Jason memelukku dari belakang dan memberiku kenyamanan yang sangat kuinginkan darinya. “Kamu makin besar, sayang. Kamu makin seksi tiap harinya,” katanya dengan suaranya yang menggoda, mencium leherku dan membuatku tertawa senang.“Aku tidak terlihat seksi. Aku terlihat gemuk,” komentarku sambil mengusap perut besarku.“Makin gemuk kamu, makin seksi kamu.” Dia menciumku dengan dalam, sementara aku terkekeh dengan senang.“Kamu adalah orang bodoh yang sedang jatuh cinta.”“Memang. Bukankah aku memiliki alasan untuk begitu?” komentarnya, masih mengusap perutku dan membelai tubuhku. “Aku memiliki wanita hamil paling cantik di dunia ini di sisiku, jadi i
Laura“Hadirin sekalian,” kata Fia seraya dia berdiri di lantai di tengah-tengah pesta itu. “Sudah waktunya kita mengetahui jenis kelamin bayi-bayi kita. Apakah kalian sudah siap?” Dia membuat ketegangan dengan membuat orang-orang menjawab dalam paduan suara kegembiraan.Jason dan aku sedang berpegangan tangan seraya kami menikmati pesta luar biasa yang telah Fia persiapkan untuk kami.“Iya! Itu dia, Fia! Cepat tunjukkan pada kami,” kata Jason dengan lantang sambil mengangkat lengannya dan memegang segelas sampanye, membuat semua orang tertawa. Dia benar-benar bersemangat.Seorang anggota staf membawakan kami dua balon besar yang berwarna netral dan menyerahkan satu pada Jason dan satu padaku sementara putri kami berada di tengah-tengah kami semua dengan gembira dan melompat-lompat sambil mengira-ngira apa jenis kelamin mereka.“Perlahan, kalian akan memecahkan balonnya. Di dalamnya, kalian akan mengetahui warna bubuk kerlip dan jenis kelamin bayi kalian,” kata temanku, memberi ka
LauraNamun, Jason tidak dapat menahannya. Tampaknya, dia lebih mudah menangis dibandingkan aku. “Tentu saja,” katanya sambil tertawa. “Aku tidak pernah seyakin ini dalam hidupku bahwa aku ingin menghabiskan sisa hidupku di sisimu.”“Kalau begitu, mari menjadi gila bersama hingga kita menua,” kataku sambil memasangkan cincin itu di jari manisnya. Dia juga melakukan hal yang sama padaku, lalu kami berdua berciuman untuk menyegel momen ajaib itu.Setelahnya, aku hanya merayakan seluruh pesta itu karena, meskipun itu adalah hari pertama kami mengetahui jenis kelamin bayi-bayi kami, itu juga merupakan hari kami membuat pertunangan kami resmi. Jason tidak dapat percaya bahwa akulah yang melamarnya.“Itulah yang kita sebut wanita garang,” kata Jason padaku, masih memberiku ciuman seraya kami duduk di tempat yang nyaman, perutnya berada di perutku, mengusapnya sementara cincin pertunangannya berkilau di jarinya.“Apakah kamu menyukainya? Aku membuatmu terkejut, ‘kan?” kataku sambil terta
LauraLangit-langit mulutku terasa pahit ketika aku menyadari apa yang wanita itu bicarakan. Itu tentang ibuku. Wanita itu memiliki informasi penting tentang ibuku. Aku merasakan tangan Jason di tanganku, menenangkanku.“Siapa kamu bagi dia, kalau aku boleh bertanya?” tanya Jason dengan sedikit curiga, mencoba memahaminya. Sejujurnya, wanita itu tidak terlihat ada di sana untuk menceritakan seperti apa ibuku ketika dia masih muda atau semacamnya. Dia terlihat seperti datang untuk memberitahuku rahasia yang telah terjadi pada ibuku di masa lalu.“Aku bertemu Vivian dulu sekali, ketika kami masih remaja. Aku melihat kisah asmaranya dengan Ernest Williams dari dekat,” katanya, membuatku kembali menoleh ketakutan.“Kisah asmara bersama Ernest Williams?” Apakah itu masuk akal? Jadi, selain Bibi Julia, ibuku juga menjalin hubungan dengan pria ini?Emily mengangguk. “Iya, Ernest sangat mencintainya hingga dia tidak pernah bisa mencintaiku sebagaimana dia mencintai Vivian,” ungkapnya pada
LauraAku sedang memandang pemandangan di luar jendela mobil seraya malam menjatuhi kota. Jason sedang mengemudikan mobil dan tangannya menggenggam tanganku, memberiku ketenangan seraya kami mengikuti mobil di depan kami, mobil Albert yang berisi dia dan ibunya.Setelah percakapan panjang di siang itu, wanita itu memberitahuku banyak hal tentang masa lalu mengenai ibuku, ayahku yang sebenarnya, dan seluruh situasi yang mereka alami hingga mereka tiba di titik yang mana ibuku harus menjauh dariku supaya dia bisa membantu melindungiku.Kisah yang Emily ceritakan padaku tidak terdengar seperti sesuatu yang terjadi pada seseorang yang sedekat aku seperti ibuku sendiri. Itu adalah kisah menyakitkan yang bahkan membuatku berpikir dia mengada-ada, tapi tidak masuk akal jika dia membuat-buat hal itu.“Kuharap kamu tidak terlalu terguncang, sayang,” kata Jason seraya dia mengemudikan mobil, mengikuti mobil di depan kami di tengah malam itu. “Hal-hal seperti ini terkadang terjadi. Kita berak
AnnaAku sedang bersandar di toilet kamar kecil itu, memuntahkan semua yang telah kumakan hari itu. Aku mual dan seluruh tubuhku gemetar, merasa sangat buruk. Aku seharusnya benar-benar tidak minum alkohol sebanyak itu.Lalu, aku mendengar ketukan di pintu bilik. “An, apakah kamu butuh bantuan?” Itu adalah Panca. Dia berada di sisi lain pintu, mengkhawatirkan aku.“Tunggu sebentar. Aku akan keluar,” kataku dengan suara yang tercekat. Aku menyiram toiletnya dan hampir pingsan di lantai. Saat itu sudah pagi. Panca dan aku sedang berada di dalam klub malam, mencoba bersenang-senang. Aku telah memintanya melakukan itu karena aku ingin melupakan masalah-masalah si*lanku, tapi rupanya aku tidak cukup kuat untuk minum alkohol sebanyak itu dalam sekali minum.“Kalau kamu butuh aku, teriak saja,” kata Panca lagi. Dia mengkhawatirkan aku.Aku menghela napas berat dan meninggalkan bilik, beranjak ke wastafel untuk mencuci wajahku. “Ini adalah kamar kecil wanita. Kamu tidak boleh ada di sini,
LauraAku duduk di ranjangku sambil memandang ponsel di tanganku. Aku sedang menelepon Anna lagi, setelah ratusan panggilan yang kucoba lakukan. Dia menolak menjawab semua panggilan teleponku. Ponsel dia di luar jangkauan, tapi aku tetap menelepon karena jika tidak, aku akan merasa benar-benar tidak berguna.Aku belum melakukan apa-apa sejak Anna pergi. Berhari-hari telah berlalu dan Anna belum pulang. Kami bahkan tidak bisa menemukan dia. Meskipun kami memiliki kuasa dan pengaruh yang besar, itu semua terlihat tidak berguna ketika berurusan dengan menemukan seseorang yang tidak ingin ditemukan. Tampaknya, Anna berusaha keras sekali untuk tidak ditemukan.Aku meletakkan ponselku di pojokan ranjangku dan menghela napas dengan bahu yang merosot ke depan, merasa sangat kehilangan arah. Ini tampaknya terlalu kejam. Cara putriku bertingkah tidak normal, setidaknya tidak bagi anak perempuan yang jatuh cinta dan pada umumnya membuat keputusan buruk atas nama cinta. Anna mungkin mencintai a
AnnaPanca dan aku harus meninggalkan hotel itu karena orang-orang yang dikirimkan ayahku sudah hampir sampai di pintu kami dengan niat untuk menangkap kami.“Bagaimana mereka bisa menemukan kita?” tanya Panca, gundah, seraya dia dan aku berlari pergi dari penginapan itu.Aku juga sangat kebingungan. Aku yakin kami tidak meninggalkan apa-apa. Kami berlari dan bersembunyi di balik sebuah gang, melihat bawahan-bawahan ayahku berlari ke arah yang berlawanan tanpa mengetahui bahwa kami ada di balik pojokan itu.“Apakan mereka akan kembali?” tanyaku, melihat orang-orang itu menghilang.“Jika mereka berhasil menemukan kita di sini, aku yakin mereka akan menemukan kita lagi,” ujar Panca. “Sepertinya ada yang kita lewatkan ….” Dia berpikir, lalu dia menoleh ke arahku dan mulai meraba-rabaku.“Hei! Apa yang kamu lakukan?’ tanyaku, terkejut dengan cara dia merogoh-rogoh tubuhku.“Pasti ada GPS pada dirimu. Itu akan menjelaskan segalanya,” katanya, meraih tasku, membuka ritsletingnya, dan
AnnaPanca dan aku berakhir harus pergi ke sebuah penginapan karena saat itu sudah larut malam dan orang-orang yang dikerahkan ayahku tersebar ke seluruh penjuru kota. Kami harus tetap bersembunyi dan menunggu orang-orang itu pergi supaya mereka bisa memberikan kami minuman agar kami bisa melanjutkan perjalanan kami.Ruangan itu biasa saja dengan dekor kasar dan dua kasur di tengah. Karena uang kami menipis, kami tidak bisa pergi ke tempat yang lebih baik. Bukan hanya itu, jika kami melakukan itu, kami bisa menarik perhatian. Begitu kami tiba di sana, Panca langsung mengintip melalui gorden jendela.“Bisakah kamu melihat mereka?” tanyaku, masih ketakutan. Ingatan tentang apa yang terjadi di taman masih segar di dalam diriku.“Sayangnya tidak,” jawab Panca sambil masih melihat-lihat. “Kita berhasil melarikan diri dari mereka. Namun, kita sebaiknya pergi dari kota ini sesegera mungkin.”Aku menghela napas sambil mengangguk dan duduk dengan berat di ranjang, merasa lelah dan kehabisa
Anna“Namaku tidak penting,” jawabnya, dengan ketenangan yang membuatku curiga. “Ayahmu menyuruhku untuk menjemputmu. Waktunya pulang.”Jantungku berdegup di dalam tulang rusukku. Bagaimana bisa ayahku menemukanku? Panca dan aku telah sangat berhati-hati hingga sekarang, kami tidak meninggalkan banyak petunjuk yang akan membuat dia atau siapa pun menemukan kami dengan mudah, tapi pria yang dikirimkan oleh ayahku ini mengatakan bahwa dia ada di sana untuk menjemputku pulang.“Dengar, pasti kamu salah orang, oke? Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku pada pria itu, tetap waspada.“Ayolah, Nona Santoso,” jawab pria itu. “Ikutlah bersamaku. Keluargamu membutuhkanmu.” Dia mengulurkan tangannya dan mencoba menggenggam lenganku, tapi aku dengan cepat menghindarinya, menyembunyikan lenganku di balik tubuhku.“Sudah kubilang kamu salah orang. Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku lagi, dengan cepat melihat ke arah Panca pergi. Aku telah meminta minum di waktu yang tidak tepat.“Untung
AnnaTamannya terang, disinari oleh ribuan lampu berwarna-warni. Aku melihat-lihat ke sekitar, terkagum oleh tempat itu. Aku tidak pernah pergi ke taman hiburan di malam hari dan suasana yang semarak membuatku seperti sedang berada di dalam film. Panca terlihat sama gembiranya seperti diriku, dengan mata yang berbinar dan senyuman lebar di wajahnya.“Jadi, apa rencananya?” tanyanya, menawarkan lengannya untukku seperti seorang tuan.“Bianglala,” jawabku dengan cepat. “Aku ingin melihat semuanya dari atas!”Panca tertawa dan membuat gestur dramatis dengan tangannya. “Sesuai keinginan Anda, Nona An!” candanya. Kami pun beranjak ke arah bianglala.Di samping kami, taman itu sangat ramai. Anak-anak tertawa dan berlari di mana-mana. Seorang penjual berondong jagung, mengenakan topi yang besar dan penuh warna, berteriak untuk menarik lebih banyak pembeli. “Berondong jagung panas, berondong jagung manis, berondong jagung asin! Ayo, ayo, jangan lewatkan!”Aku menatap Panca dan tertawa. “
Layla“Aku sedang membicarakan dirimu, Layla,” katanya. “Kembalilah padaku.”Aku terkekeh skeptis. “Apa yang kamu lakukan sekarang? Kenapa kamu mengatakan ini? Apakah kamu benar-benar ingin aku memercayai itu?” tanyaku, skeptis terhadap perkataannya.Maksudku, pernikahan kami sudah berjalan selama bertahun-tahun dan sepanjang waktu itu, aku melakukan segala hal yang bisa kulakukan untuk membuat dia menyadari bahwa ini adalah hal yang penting bagi kami berdua, untuk membuat dia sadar betapa aku mencintainya dan betapa aku bersedia untuk membuat dia bahagia, tapi dia tidak pernah mendengarkan aku. Kebalikannya, malah. Gideon membenciku dan memperlakukan aku seolah-olah dia membenciku.Aku harus menelan banyak hal dalam pernikahan itu untuk tetap berada di sisinya dan berjuang untuk kami berdua. Akan tetapi, begitu aku telah memutuskan untuk akhirnya melihat diriku sendiri dan meninggalkan hubungan yang tidak sehat itu, dia muncul dan mengatakan bahwa dia menginginkan aku kembali. Apa
LaylaKetika bel pintuku berbunyi dan aku pergi menjawabnya, aku mengernyit ketika Gideon Nalendra ada di pintuku. “Kamu? Apa yang kamu inginkan di sini?” tanyaku, lebih terkejut dibandingkan tertarik. Sejak aku bercerai dengannya, dia tidak pernah mendatangiku secara langsung, dia selalu mengirimkan seseorang untuk menjemput putranya dan kemudian mengembalikan dia dengan aman setelah beberapa hari, tapi dia tidak pernah datang secara langsung sebelumnya.“Em, hai, Layla,” gumamnya, masih berdiri di pintu apartemenku.“Papa!” Itu adalah Wira kecil yang berlari begitu dia melihat ayahnya di pintu.“Hei, petarung kecil!” seru Gideon, berjongkok untuk menggendong putranya dan memeluknya.“Aku senang sekali bertemu dengan Papa!” ucap anak itu dengan bahagia, memeluk ayahnya. Meninggalkan Surabaya adalah hal yang sulit, terutama karena anak itu sangat menempel dengan ayahnya, tapi dia masih terlalu muda untuk berada jauh dari ibunya bagiku untuk meninggalkan dia bersama Gideon, bukanny
AnnaRasanya seakan-akan dunia di sekitar kami menghilang. Panca dan aku sedang menjalani hari yang sempurna, yang mana segala hal tampak memungkinkan, yang mana tidak ada kekhawatiran, hanya kebahagiaan. Musik pop tahun 2000-an terputar dengan lembut melalui pengeras suara toko dan rasanya seperti musik pengiring untuk kisah kami yang mulai tertulis sendiri.Panca menggenggam tanganku dan menarikku ke area aksesori dengan senyuman konyolnya. “Lihat ini!” Dia mengambil sepasang kacamata besar dengan lensa bundar dan bingkai berwarna neon. Dia memasang itu di wajahnya dan membuat pose yang dilebih-lebihkan seolah-olah dia adalah seorang model papan atas. “Sempurna untuk tampilan futuristik, ‘kan?”Aku tertawa dan mengambil kacamata lain, hanya saja kacamata itu memiliki bingkai berbentuk hati. Aku memakainya di wajahku dan menatap Panca sambil tersenyum. “Sekarang iya! Kita siap untuk mendominasi dunia!”Dia tertawa dan mencium pipiku. “Tentunya dunia tidak akan sama jika kita memak