LauraTemankulah yang menelepon, Albert Williams. Aku pernah bekerja bersamanya dalam beberapa proyek yang berkaitan dengan perusahaanku dan perusahaannya. Setiap kali kami bekerja bersama, semuanya berjalan dengan lancar. Saat itu sudah hampir pukul 7:00 malam, jadi aku tidak tahu kenapa dia akan meneleponku di saat seperti itu, terutama ke nomor telepon pribadiku.“Halo? Albert? Bagaimana kabarmu?” tanyaku begitu aku menjawab teleponnya.“Halo, Laura. Senang berbincang denganmu lagi,” jawab laki-laki itu dengan semangat di ujung telepon lainnya.“Aku pun begitu. Sudah cukup lama sejak kita terakhir bertemu satu sama lain. Apakah kamu baik-baik saja? Bagaimana dengan Max?” Kuharap aku menghindar mengungkit temannya Max karena Max adalah adik Gideon dan ….“Yah, dia sedikit marah tentang masalahmu dengan Gideon, tapi dia adalah pria dewasa dan tahu bagaimana memisahkan hal-hal. Lagi pula, sebuah hubungan tidak selalu berjalan dengan lancar,” katanya, lembut seperti biasanya.Aku
Laura“Jadi, kamu menyuruhku untuk menerima kakak baruku, tapi di saat yang sama berhati-hati dengannya, ‘kan?” tanya Albert Williams di ujung telepon lainnya. Aku masih berada di ruang kerja di rumah besar Jason, masih menyambung-nyambungkan apa yang baru saja Albert beri tahu padaku tentang Suzy, bahwa Suzy adalah ahli waris dari harta yang besar dan segalanya. Itu terlalu banyak informasi yang harus kucerna di waktu yang bersamaan.“Iya, kurang lebih begitu. Aku percaya kamu akan merasa lebih tenang. Omong-omong, bersenang-senanglah dengan kakakmu,” kataku padanya, tertawa dengan sedikit gugup.“Terima kasih, Laura. Selamat beristirahat,” katanya sebelum dia mengakhiri panggilan telepon.Selama sesaat, aku berdiri di sana, memandang ponsel di tanganku tanpa mengetahui apa yang harus kulakukan. Apakah itu berarti ibuku berselingkuh dari ayahku? Aku masih terlalu muda pada saat itu untuk menyadari beberapa hal. Aku bahkan tidak mengingat ayah dan ibuku dengan baik, tapi setidaknya
Laura“Oke, Suzy. Tenanglah. Aku tidak bermaksud menyerang atau menghakimimu atau semacamnya. Aku hanya mencoba memahami sisi ibuku yang tidur dengan … ayahmu,” ujarku mencoba menjelaskan sisiku dengan lebih tenang karena aku tidak ingin membuat percekcokan di antara kami untuk hal tidak penting itu.Wanita itu memotong perkataanku lagi. “Sebenarnya, Graham berbohong padamu. Kita bukan saudara. Ibuku adalah Julia, saudari ibumu,” katanya, membuatku terkejut. “Kita sebenarnya sepupu, tapi itu bukan intinya sekarang.”Astaga! Jadi, Suzy adalah putri Bibi Julia? Sekarang situasinya mulai masuk akal. Dia selalu mengingatkanku akan Bibi Julia dari kepribadian dan cara berpikirnya. Belum lagi, Bibi Julia selalu berkata padaku bahwa dia hanya mengurusku karena dia merasa kasihan padaku karena, dalam kondisi normal, dia akan meninggalkan aku di jalanan seperti yang pernah dia lakukan pada putrinya yang sudah meninggal.Dia selalu bilang begitu kepadaku, tapi setelah apa yang Suzy beri tahu
LauraKeesokan harinya, Jason melakukan apa yang dia janjikan semalam. Di waktu makan siang, dia mendatangi ruang kerjaku di Hextec. “Seperti yang kubilang kemarin, aku datang untuk mengajakmu makan siang,” katanya setelah dia memasuki ruang kerjaku.Aku terkekeh melihatnya berdiri di hadapanku. “Jadi, begini rasanya memiliki pacar yang genit? Hm, ini mulai menjadi menarik sekarang,” jawabku seraya aku bangkit berdiri dan menghampirinya untuk memeluknya. Aku sangat senang melihatnya di sana.Dia balas memelukku dan membelai punggungku dan memberiku ciuman yang panjang dan nikmat. “Aku sedang jatuh cinta sekarang, jadi aku akan melakukan beberapa hal menggemaskan yang dilakukan oleh pasangan,” jawabnya, masih membelai wajahku.“Aku sangat menikmati itu.” Aku suka berada di pelukannya. Itu adalah sensasi yang begitu hangat dan enak sehingga aku ingin terus berada di sana selamanya.“Jadi, bisakah kita pergi?” tanyanya ketika kami masih memeluk satu sama lain.Aku mengangguk sambil
Laura“Nah. Kamu kembali bekerja tepat waktu. Seperti yang kujanjikan,” kata Jason saat dia meninggalkan aku di ruang kerjaku di Hextec.“Terima kasih sudah menjaga janjimu, Tuan Memesona,” kataku dengan manis seraya aku kembali duduk di kursiku setelah dia menarikkan kursinya untukku, bersikap seperti pria yang lembut.Dia mencium bibirku dengan singkat dan kemudian beranjak duduk di kursi di samping meja kerjaku. Dia bahkan menghela napas dalam, duduk di sana, terlihat seperti tidak akan pergi dalam waktu yang dekat.Aku menaikkan sebelah alisku. “Apa yang kamu lakukan sekarang?” tanyaku, penasaran oleh sikapnya.“Em, akan lebih baik jika aku tetap di sini hari ini. Lalu, ketika jam kerjamu berakhir, kita akan pulang bersama,” katanya padaku, membuatku terkejut.“Apakah kamu akan diam di sini sepanjang sore menungguku?”Dia mengangkat bahunya. “Kenapa tidak? Lagi pula, aku dari dulu ingin melihatmu bekerja. Itu pasti pemandangan yang seksi.” Dia mengedipkan matanya padaku dan
Laura“Kehamilannya masih sangat baru, jadi Anda tidak perlu mengkhawatirkan banyak hal. Anda bisa melanjutkan pekerjaan dan komitmen Anda tanpa gangguan besar. Namun, tentu saja, selalu pertahankan konsultasi yang teratur dengan saya,” kata dokter kandunganku padaku, memberiku bimbingan untuk apa yang harus kulakukan karena aku sekarang hamil.Sudah lama sekali sejak kehamilan pertamaku. Pada saat itu, hal-hal sangat membingungkan bagiku hingga aku tidak terlalu mengingat apa yang telah terjadi. Jadi, rasanya seakan-akan kehamilan ini adalah hal yang baru bagiku dan segala halnya sekarang berbeda, sangat berbeda sehingga aku bahkan tidak menyadari pada awalnya bahwa menstruasiku telat dan itu mungkin saja merupakan tanda-tanda kehamilan.“Kami benar-benar membutuhkan bimbingan dokter. Segala hal yang dokter sebutkan, aku jamin, kami akan melakukannya,” kata Jason sambil duduk di sampingku di klinik dokter itu. Tangannya mencengkeram tanganku dengan hangat dan aman.Dokter Joanna b
Laura“Kapan kalian akan pulang? Wanita hamil tidak boleh tidur terlalu malam.” Aku membaca dengan lantang pesan yang dikirimkan putriku dan semua orang di meja bersamaku tertawa mendengarnya.Jason, Tama, Fia, dan aku telah memutuskan untuk keluar sebentar untuk menikmati berita kehamilanku. Seperti dulu, kami pergi sebagai dua pasangan dan pergi ke klub terkenal yang selalu kami kunjungi dan kami terus minum-minum di sana dan bersenang-senang menyanyikan karaoke dan hal-hal semacamnya, melakukan hal-hal gila juga sambil bersenang-senang dan membicarakan kehamilanku yang baru saja kami ketahui.“Astaga, dia menggemaskan sekali!” komentar Fia dengan tangan di dadanya, tersentuh oleh perhatian yang putriku tunjukkan padaku.“Aku yakin dia akan bertengkar dengan Jason dan aku hari ini. Dia melakukan perannya sebagai kakak perempuan dengan sangat serius,” komentarku sambil tertawa dan Jason juga merasa setuju.“Kalian berdua bisa tenang karena bayi kalian akan dijaga dengan baik,” ko
Laura“Namun, bagaimana jika tiba-tiba, karena dia sekarang memiliki kuasa, dia ingin bertengkar dengan kalian untuk mengambil hak asuh Emy? Apakah kalian akan menyerahkan anak itu padanya?” tanyaku pada Tama dan Fia, takut karena hal itu.Terakhir kali aku melihat Suzy, dia memberitahuku bahwa dia sedang mencoba mengumpulkan uang supaya bisa mengasuh Emy, jadi ada kemungkinan bahwa karena sekarang dia kaya dan berkuasa, dia bisa datang kembali dan mengambil anaknya dari tangan Keluarga Kusuma.Suasana di sana menjadi lebih tegang dengan hipotesis itu.Fia mengernyit, merasa dimanfaatkan. “Dia orang yang tidak tahu malu jika dia mendatangi kami dan meminta kami untuk mengembalikan putrinya.” Dia memutar bola matanya. “Lagi pula, Emy sudah bukan lagi putrinya. Suzy hanyalah orang yang melahirkannya, oke? Seorang ibu adalah seseorang yang merawat dan membesarkannya. Emy tumbuh besar dengan sehat ditemani oleh kakak dan adiknya. Kami tidak akan membiarkan Suzy, si j*lang itu, mengambi
AnnaAku sedang bersandar di toilet kamar kecil itu, memuntahkan semua yang telah kumakan hari itu. Aku mual dan seluruh tubuhku gemetar, merasa sangat buruk. Aku seharusnya benar-benar tidak minum alkohol sebanyak itu.Lalu, aku mendengar ketukan di pintu bilik. “An, apakah kamu butuh bantuan?” Itu adalah Panca. Dia berada di sisi lain pintu, mengkhawatirkan aku.“Tunggu sebentar. Aku akan keluar,” kataku dengan suara yang tercekat. Aku menyiram toiletnya dan hampir pingsan di lantai. Saat itu sudah pagi. Panca dan aku sedang berada di dalam klub malam, mencoba bersenang-senang. Aku telah memintanya melakukan itu karena aku ingin melupakan masalah-masalah si*lanku, tapi rupanya aku tidak cukup kuat untuk minum alkohol sebanyak itu dalam sekali minum.“Kalau kamu butuh aku, teriak saja,” kata Panca lagi. Dia mengkhawatirkan aku.Aku menghela napas berat dan meninggalkan bilik, beranjak ke wastafel untuk mencuci wajahku. “Ini adalah kamar kecil wanita. Kamu tidak boleh ada di sini,
LauraAku duduk di ranjangku sambil memandang ponsel di tanganku. Aku sedang menelepon Anna lagi, setelah ratusan panggilan yang kucoba lakukan. Dia menolak menjawab semua panggilan teleponku. Ponsel dia di luar jangkauan, tapi aku tetap menelepon karena jika tidak, aku akan merasa benar-benar tidak berguna.Aku belum melakukan apa-apa sejak Anna pergi. Berhari-hari telah berlalu dan Anna belum pulang. Kami bahkan tidak bisa menemukan dia. Meskipun kami memiliki kuasa dan pengaruh yang besar, itu semua terlihat tidak berguna ketika berurusan dengan menemukan seseorang yang tidak ingin ditemukan. Tampaknya, Anna berusaha keras sekali untuk tidak ditemukan.Aku meletakkan ponselku di pojokan ranjangku dan menghela napas dengan bahu yang merosot ke depan, merasa sangat kehilangan arah. Ini tampaknya terlalu kejam. Cara putriku bertingkah tidak normal, setidaknya tidak bagi anak perempuan yang jatuh cinta dan pada umumnya membuat keputusan buruk atas nama cinta. Anna mungkin mencintai a
AnnaPanca dan aku harus meninggalkan hotel itu karena orang-orang yang dikirimkan ayahku sudah hampir sampai di pintu kami dengan niat untuk menangkap kami.“Bagaimana mereka bisa menemukan kita?” tanya Panca, gundah, seraya dia dan aku berlari pergi dari penginapan itu.Aku juga sangat kebingungan. Aku yakin kami tidak meninggalkan apa-apa. Kami berlari dan bersembunyi di balik sebuah gang, melihat bawahan-bawahan ayahku berlari ke arah yang berlawanan tanpa mengetahui bahwa kami ada di balik pojokan itu.“Apakan mereka akan kembali?” tanyaku, melihat orang-orang itu menghilang.“Jika mereka berhasil menemukan kita di sini, aku yakin mereka akan menemukan kita lagi,” ujar Panca. “Sepertinya ada yang kita lewatkan ….” Dia berpikir, lalu dia menoleh ke arahku dan mulai meraba-rabaku.“Hei! Apa yang kamu lakukan?’ tanyaku, terkejut dengan cara dia merogoh-rogoh tubuhku.“Pasti ada GPS pada dirimu. Itu akan menjelaskan segalanya,” katanya, meraih tasku, membuka ritsletingnya, dan
AnnaPanca dan aku berakhir harus pergi ke sebuah penginapan karena saat itu sudah larut malam dan orang-orang yang dikerahkan ayahku tersebar ke seluruh penjuru kota. Kami harus tetap bersembunyi dan menunggu orang-orang itu pergi supaya mereka bisa memberikan kami minuman agar kami bisa melanjutkan perjalanan kami.Ruangan itu biasa saja dengan dekor kasar dan dua kasur di tengah. Karena uang kami menipis, kami tidak bisa pergi ke tempat yang lebih baik. Bukan hanya itu, jika kami melakukan itu, kami bisa menarik perhatian. Begitu kami tiba di sana, Panca langsung mengintip melalui gorden jendela.“Bisakah kamu melihat mereka?” tanyaku, masih ketakutan. Ingatan tentang apa yang terjadi di taman masih segar di dalam diriku.“Sayangnya tidak,” jawab Panca sambil masih melihat-lihat. “Kita berhasil melarikan diri dari mereka. Namun, kita sebaiknya pergi dari kota ini sesegera mungkin.”Aku menghela napas sambil mengangguk dan duduk dengan berat di ranjang, merasa lelah dan kehabisa
Anna“Namaku tidak penting,” jawabnya, dengan ketenangan yang membuatku curiga. “Ayahmu menyuruhku untuk menjemputmu. Waktunya pulang.”Jantungku berdegup di dalam tulang rusukku. Bagaimana bisa ayahku menemukanku? Panca dan aku telah sangat berhati-hati hingga sekarang, kami tidak meninggalkan banyak petunjuk yang akan membuat dia atau siapa pun menemukan kami dengan mudah, tapi pria yang dikirimkan oleh ayahku ini mengatakan bahwa dia ada di sana untuk menjemputku pulang.“Dengar, pasti kamu salah orang, oke? Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku pada pria itu, tetap waspada.“Ayolah, Nona Santoso,” jawab pria itu. “Ikutlah bersamaku. Keluargamu membutuhkanmu.” Dia mengulurkan tangannya dan mencoba menggenggam lenganku, tapi aku dengan cepat menghindarinya, menyembunyikan lenganku di balik tubuhku.“Sudah kubilang kamu salah orang. Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku lagi, dengan cepat melihat ke arah Panca pergi. Aku telah meminta minum di waktu yang tidak tepat.“Untung
AnnaTamannya terang, disinari oleh ribuan lampu berwarna-warni. Aku melihat-lihat ke sekitar, terkagum oleh tempat itu. Aku tidak pernah pergi ke taman hiburan di malam hari dan suasana yang semarak membuatku seperti sedang berada di dalam film. Panca terlihat sama gembiranya seperti diriku, dengan mata yang berbinar dan senyuman lebar di wajahnya.“Jadi, apa rencananya?” tanyanya, menawarkan lengannya untukku seperti seorang tuan.“Bianglala,” jawabku dengan cepat. “Aku ingin melihat semuanya dari atas!”Panca tertawa dan membuat gestur dramatis dengan tangannya. “Sesuai keinginan Anda, Nona An!” candanya. Kami pun beranjak ke arah bianglala.Di samping kami, taman itu sangat ramai. Anak-anak tertawa dan berlari di mana-mana. Seorang penjual berondong jagung, mengenakan topi yang besar dan penuh warna, berteriak untuk menarik lebih banyak pembeli. “Berondong jagung panas, berondong jagung manis, berondong jagung asin! Ayo, ayo, jangan lewatkan!”Aku menatap Panca dan tertawa. “
Layla“Aku sedang membicarakan dirimu, Layla,” katanya. “Kembalilah padaku.”Aku terkekeh skeptis. “Apa yang kamu lakukan sekarang? Kenapa kamu mengatakan ini? Apakah kamu benar-benar ingin aku memercayai itu?” tanyaku, skeptis terhadap perkataannya.Maksudku, pernikahan kami sudah berjalan selama bertahun-tahun dan sepanjang waktu itu, aku melakukan segala hal yang bisa kulakukan untuk membuat dia menyadari bahwa ini adalah hal yang penting bagi kami berdua, untuk membuat dia sadar betapa aku mencintainya dan betapa aku bersedia untuk membuat dia bahagia, tapi dia tidak pernah mendengarkan aku. Kebalikannya, malah. Gideon membenciku dan memperlakukan aku seolah-olah dia membenciku.Aku harus menelan banyak hal dalam pernikahan itu untuk tetap berada di sisinya dan berjuang untuk kami berdua. Akan tetapi, begitu aku telah memutuskan untuk akhirnya melihat diriku sendiri dan meninggalkan hubungan yang tidak sehat itu, dia muncul dan mengatakan bahwa dia menginginkan aku kembali. Apa
LaylaKetika bel pintuku berbunyi dan aku pergi menjawabnya, aku mengernyit ketika Gideon Nalendra ada di pintuku. “Kamu? Apa yang kamu inginkan di sini?” tanyaku, lebih terkejut dibandingkan tertarik. Sejak aku bercerai dengannya, dia tidak pernah mendatangiku secara langsung, dia selalu mengirimkan seseorang untuk menjemput putranya dan kemudian mengembalikan dia dengan aman setelah beberapa hari, tapi dia tidak pernah datang secara langsung sebelumnya.“Em, hai, Layla,” gumamnya, masih berdiri di pintu apartemenku.“Papa!” Itu adalah Wira kecil yang berlari begitu dia melihat ayahnya di pintu.“Hei, petarung kecil!” seru Gideon, berjongkok untuk menggendong putranya dan memeluknya.“Aku senang sekali bertemu dengan Papa!” ucap anak itu dengan bahagia, memeluk ayahnya. Meninggalkan Surabaya adalah hal yang sulit, terutama karena anak itu sangat menempel dengan ayahnya, tapi dia masih terlalu muda untuk berada jauh dari ibunya bagiku untuk meninggalkan dia bersama Gideon, bukanny
AnnaRasanya seakan-akan dunia di sekitar kami menghilang. Panca dan aku sedang menjalani hari yang sempurna, yang mana segala hal tampak memungkinkan, yang mana tidak ada kekhawatiran, hanya kebahagiaan. Musik pop tahun 2000-an terputar dengan lembut melalui pengeras suara toko dan rasanya seperti musik pengiring untuk kisah kami yang mulai tertulis sendiri.Panca menggenggam tanganku dan menarikku ke area aksesori dengan senyuman konyolnya. “Lihat ini!” Dia mengambil sepasang kacamata besar dengan lensa bundar dan bingkai berwarna neon. Dia memasang itu di wajahnya dan membuat pose yang dilebih-lebihkan seolah-olah dia adalah seorang model papan atas. “Sempurna untuk tampilan futuristik, ‘kan?”Aku tertawa dan mengambil kacamata lain, hanya saja kacamata itu memiliki bingkai berbentuk hati. Aku memakainya di wajahku dan menatap Panca sambil tersenyum. “Sekarang iya! Kita siap untuk mendominasi dunia!”Dia tertawa dan mencium pipiku. “Tentunya dunia tidak akan sama jika kita memak