Laura“Jadi, ternyata tidak ada cara untuk berbicara denganmu, ya? Jadi, kita hanya akan bertemu satu sama lain di pengadilan? Baiklah kalau begitu, kuharap malammu buruk,” kataku sambil bangkit dari kursi dan beranjak ke arah pintu kamar mandi.“Hei, tunggu!” katanya, membuatku menoleh ke arahnya dengan alis yang meninggi. “Aku sedang menderita. Tolong temani aku ke kamar mandi.”“Apa?” Apa yang dia bicarakan?“Kamu bilang kamu mau membantuku pergi ke kamar mandi,” dia beralasan sambil mengangkat bahunya.“Namun, kenapa harus begitu jika kamu bisa minta tolong pada salah satu perawatmu?” tanyaku. Aku tidak tahu kenapa dia membayar empat profesional perawatan kesehatan jika di akan memintaku melakukan segalanya untuknya.“Sudah kubilang aku tidak akan menyingkapkan diriku seperti itu,” katanya.“Sejak kamu kamu sekonservatif ini, Jason?” Aku gatal dan menggaruk pelipisku.“Kenapa kamu sangat tidak ingin membantuku? Apakah kamu takut akan tertarik padaku lagi begitu kamu melihat
SuzyAku sedang berbaring di kasurku sambil mengirim pesan pada Tama dan menikmati tanggapan ketakutannya. Rasanya seru sekali-kali menggodanya.Suzy: Aku tahu istri tercintamu belum memuaskanmu akhir-akhir ini karena kehamilannya, tapi aku yakin dia tidak pernah membuatmu puas, ‘kan? Tidak seperti malam itu kita bercinta ….Aku mengetik itu dan mengirimkannya pada Tama sambil menggigit bibirku dan tersenyum bersemangat. Rasanya seru membuatnya kebingungan seperti itu. Dia merasa tertekan karena berpikir dia sedang melakukan hal yang tidak senonoh dan itu terlihat lucu.Tama: Hentikan, Suzy. Aku bahkan tidak mengingat malam itu. Berhenti membuatku mengulang kesalahanku.Aku terkekeh skeptis ketika aku membaca pesannya.Suzy: Kesalahan, katamu? Akan tetapi, kita berdua tahu malam itu adalah malam terbaik yang pernah kita lalui dalam hidup kita, malam yang sangat panas. Kamu tahu? Aku akan selalu siap sedia untuk mengulangnya dan aku yakin kamu akan menyukainya.Tama: Tolong berhe
Suzy“Iya. Kamu bahkan tidak dapat membayangkan betapa kecewanya aku mengetahui apa yang sedang kamu lakukan setelah aku memercayaimu dan berjuang keras untukmu, Suzy,” jawab Laura, suaranya masih terkendali.Aku mengernyit mendengar perkataannya. “Apa yang kamu bicarakan, Lau? Tidakkah kamu bisa melihat apa yang orang-orang ini lakukan padaku? Apakah kamu lupa bahwa mereka membenciku? Baiklah, aku memang telah mengatakan beberapa hal pada Tama, tapi itu tidak dengan nada jahat seperti yang kamu siratkan, oke? Ini semua adalah akal-akalan Tama dan istrinya. Aku yakin mereka melakukan ini hanya untuk menyakitiku!”“Suzy, aku telah tinggal bersamamu selama beberapa bulan belakang dan aku telah mencoba melakukan segala hal untuk membantumu karena entah kenapa aku mengenali diriku di dalam dirimu. Aku bahkan mengakhiri persahabatanku karena kamu, karena aku memercayaimu. Kalau dipikir-pikir, kurasa Fia pantas mendapatkan permintaan maaf dariku karena aku belum menjadi teman yang baik ba
SuzyAku berusaha keras untuk menenangkan diriku sendiri dan putriku karena dia tidak mau mendengarkan aku dan terus menangis tanpa henti. Frustrasi, aku menggendongnya dan duduk di kursi untuk menyusuinya, membuatnya berhenti menangis. Aku tidak bisa memikirkan perbincanganku dan Laura. Dia telah membuatku sangat kecewa. Luar biasa bagaimana dia bersikeras menjilat kaki Fia. Selama kami tinggal bersama, dia belum mempelajari apa pun mengenaiku.“Kamu pikir aku memiliki keuntungan sepertimu, Laura, dasar bodoh? Kamu adalah hipokrit!” gumamku dengan jengkel, merasa jijik olehnya.Aku ingin berbicara pada Clara, tapi aku mengumpat ketika aku mengingat bahwa aku telah melempar ponselku ke dinding karena marah. Aku menghela napas tidak berdaya dan beranjak meletakkan putriku kembali ke tempat tidurnya. Bukan hanya itu, aku kembali mengambil semua majalah edukasi yang Laura miliki dan menyuruhku mengambilnya—aku membuangnya ke tempat sampah, bersamaan dengan semua hadiah yang telah dia b
LauraPanggilan telepon membangunkanku malam itu. Aku mengulurkan tanganku dan meraih ponselku dengan enggan, masih bingung siapa yang meneleponku semalam itu.“Halo? Ini Laura,” kataku setelah mengangkat telepon itu.“Hai, ini Jason. Tama baru saja meneleponku dan bilang Fia sedang dalam proses melahirkan. Kupikir kamu mungkin akan ingin tahu tentang itu,” katanya padaku.Aku terkesiap. Jam menunjukkan saat ini pukul 2:00 malam. “Astaga …. Terima kasih sudah memberitahuku, Jason,” kataku padanya sambil bangkit dari kasur dan mematikan ponselku.“Ada apa? Siapa yang menelepon?” tanya Gideon yang tadi tidur di sampingku, terbangun juga.“Tidak, tidurlah kembali. Jason hanya memberitahuku bahwa bayi Fia akan segera lahir. Aku berjanji aku akan menemaninya sekarang,” kataku padanya sambil tersenyum, berlari ke lemari baju untuk berpakaian dengan terburu-buru.“Baiklah …. Aku masih tidak mengerti kenapa harus Jason yang meneleponmu,” ujarnya sambil bangkit duduk di kasur.“Aku bisa
Laura“Selamat datang, Bu Tanusaputera, Pak dan Bu Kusuma ada di lantai atas. Bisakah Anda pergi ke sana?” tanya sekretaris Fia begitu dia membukakan pintu untukku dan pacarku.“Terima kasih. Aku tidak sabar,” kataku seraya memasuki rumah dan sudah beranjak ke arah tangga dengan tergesa-gesa, tapi aku menghentikan langkahku ketika aku melihat Jason ada di pojokan dan sedang memeluk seorang wanita. Dia adalah dokter yang memperlakukanku dengan buruk di rumah sakit. Jason sedang mengenakan piyama acak yang menandakan bahwa dia meninggalkan rumahnya dengan terburu-buru. Wanita yang menempel dengannya sedang memakai baju Jason dan menatapku dengan tatapan superior dan menantang.Aku hampir membeku di tempat melihat pemandangan itu, kehabisan kata-kata dan tidak dapat bereaksi. Mereka terlihat bersenang-senang bersama. Dari cara mereka memeluk satu sama lain, aku yakin mereka begitu.“Laura, kamu cepat juga,” komentar Jason, melepaskan dirinya dari pelukan wanita itu dengan ekspresi yan
Laura“Astaga, bayi yang lucu sekali,” gumamku, mataku penuh oleh emosi seraya aku menatap bayi yang diselimuti di pelukan Fia. Temanku baru saja melahirkan, lalu bayinya diserahkan pada pelukannya. Tim medis telah melakukan pekerjaan yang sangat baik dan temanku telah melahirkan secara natural.“Dia menggemaskan sekali …. Aku tidak menyangka aku adalah seorang ibu sekarang, secara biologis,” katanya, terkekeh dengan lemah karena dia masih kelelahan, tapi aku bisa melihat betapa bahagianya dia karena telah melahirkan anak ini.“Iya, sayang. Selamat, ya ampun …. Kamu telah membuatku pria paling bahagia di dunia sekarang,” kata Tama, mengecup kening Fia dan tersenyum padanya. “Aku mencintaimu.”Fia tersenyum padanya. “Kamu bilang kamu ingin memiliki seorang anak laki-laki supaya kamu bisa bermain bisbol bersama, ‘kan? Ini anak laki-lakimu,” katanya pada suaminya yang sedang tersenyum padanya dengan penuh cinta.“Kamu tidak tahu betapa aku merasa penuh sekarang,” kata Tama, menciumny
Laura“Apa yang kamu lakukan? Pacarku ada di bawah …. Hentikan,” pintaku dengan jantung yang berdegup kencang seraya dia membawaku bersamanya ke teras rumah Fia, tapi dia tidak berhenti dan membawaku ke lantai atas dan menutup pintu depan untuk memastikan kami tidak akan tertangkap atau diganggu.“Tama sedang mengalihkan perhatian mereka, tapi kita tidak punya banyak waktu,” katanya seraya dia menghampiriku.Aku terkesiap karena dia begitu dekat. Angin malam meniup rambutku dan membuat kulitku merinding. Ataukah cara dia menghampiriku begitu berbahaya hingga aku merinding? “Apa yang ingin kamu katakan?”“Aku ingin menjelaskan bahwa aku kehilangan kendaliku. Aku seharusnya tidak membawa Niken kemari, tapi dia bersikeras. Dia sangat keras kepala, tahu?” katanya.“Jadi, kamu ingin aku memberimu selamat? Kalau begitu, selamat atas hubunganmu,” kataku padanya dengan sedikit getir.“Aku tidak berpacaran dengannya,” sangkalnya.“Namun, kamu akan segera menjadi pacarnya.”“Dengar, ini
AnnaAku sedang bersandar di toilet kamar kecil itu, memuntahkan semua yang telah kumakan hari itu. Aku mual dan seluruh tubuhku gemetar, merasa sangat buruk. Aku seharusnya benar-benar tidak minum alkohol sebanyak itu.Lalu, aku mendengar ketukan di pintu bilik. “An, apakah kamu butuh bantuan?” Itu adalah Panca. Dia berada di sisi lain pintu, mengkhawatirkan aku.“Tunggu sebentar. Aku akan keluar,” kataku dengan suara yang tercekat. Aku menyiram toiletnya dan hampir pingsan di lantai. Saat itu sudah pagi. Panca dan aku sedang berada di dalam klub malam, mencoba bersenang-senang. Aku telah memintanya melakukan itu karena aku ingin melupakan masalah-masalah si*lanku, tapi rupanya aku tidak cukup kuat untuk minum alkohol sebanyak itu dalam sekali minum.“Kalau kamu butuh aku, teriak saja,” kata Panca lagi. Dia mengkhawatirkan aku.Aku menghela napas berat dan meninggalkan bilik, beranjak ke wastafel untuk mencuci wajahku. “Ini adalah kamar kecil wanita. Kamu tidak boleh ada di sini,
LauraAku duduk di ranjangku sambil memandang ponsel di tanganku. Aku sedang menelepon Anna lagi, setelah ratusan panggilan yang kucoba lakukan. Dia menolak menjawab semua panggilan teleponku. Ponsel dia di luar jangkauan, tapi aku tetap menelepon karena jika tidak, aku akan merasa benar-benar tidak berguna.Aku belum melakukan apa-apa sejak Anna pergi. Berhari-hari telah berlalu dan Anna belum pulang. Kami bahkan tidak bisa menemukan dia. Meskipun kami memiliki kuasa dan pengaruh yang besar, itu semua terlihat tidak berguna ketika berurusan dengan menemukan seseorang yang tidak ingin ditemukan. Tampaknya, Anna berusaha keras sekali untuk tidak ditemukan.Aku meletakkan ponselku di pojokan ranjangku dan menghela napas dengan bahu yang merosot ke depan, merasa sangat kehilangan arah. Ini tampaknya terlalu kejam. Cara putriku bertingkah tidak normal, setidaknya tidak bagi anak perempuan yang jatuh cinta dan pada umumnya membuat keputusan buruk atas nama cinta. Anna mungkin mencintai a
AnnaPanca dan aku harus meninggalkan hotel itu karena orang-orang yang dikirimkan ayahku sudah hampir sampai di pintu kami dengan niat untuk menangkap kami.“Bagaimana mereka bisa menemukan kita?” tanya Panca, gundah, seraya dia dan aku berlari pergi dari penginapan itu.Aku juga sangat kebingungan. Aku yakin kami tidak meninggalkan apa-apa. Kami berlari dan bersembunyi di balik sebuah gang, melihat bawahan-bawahan ayahku berlari ke arah yang berlawanan tanpa mengetahui bahwa kami ada di balik pojokan itu.“Apakan mereka akan kembali?” tanyaku, melihat orang-orang itu menghilang.“Jika mereka berhasil menemukan kita di sini, aku yakin mereka akan menemukan kita lagi,” ujar Panca. “Sepertinya ada yang kita lewatkan ….” Dia berpikir, lalu dia menoleh ke arahku dan mulai meraba-rabaku.“Hei! Apa yang kamu lakukan?’ tanyaku, terkejut dengan cara dia merogoh-rogoh tubuhku.“Pasti ada GPS pada dirimu. Itu akan menjelaskan segalanya,” katanya, meraih tasku, membuka ritsletingnya, dan
AnnaPanca dan aku berakhir harus pergi ke sebuah penginapan karena saat itu sudah larut malam dan orang-orang yang dikerahkan ayahku tersebar ke seluruh penjuru kota. Kami harus tetap bersembunyi dan menunggu orang-orang itu pergi supaya mereka bisa memberikan kami minuman agar kami bisa melanjutkan perjalanan kami.Ruangan itu biasa saja dengan dekor kasar dan dua kasur di tengah. Karena uang kami menipis, kami tidak bisa pergi ke tempat yang lebih baik. Bukan hanya itu, jika kami melakukan itu, kami bisa menarik perhatian. Begitu kami tiba di sana, Panca langsung mengintip melalui gorden jendela.“Bisakah kamu melihat mereka?” tanyaku, masih ketakutan. Ingatan tentang apa yang terjadi di taman masih segar di dalam diriku.“Sayangnya tidak,” jawab Panca sambil masih melihat-lihat. “Kita berhasil melarikan diri dari mereka. Namun, kita sebaiknya pergi dari kota ini sesegera mungkin.”Aku menghela napas sambil mengangguk dan duduk dengan berat di ranjang, merasa lelah dan kehabisa
Anna“Namaku tidak penting,” jawabnya, dengan ketenangan yang membuatku curiga. “Ayahmu menyuruhku untuk menjemputmu. Waktunya pulang.”Jantungku berdegup di dalam tulang rusukku. Bagaimana bisa ayahku menemukanku? Panca dan aku telah sangat berhati-hati hingga sekarang, kami tidak meninggalkan banyak petunjuk yang akan membuat dia atau siapa pun menemukan kami dengan mudah, tapi pria yang dikirimkan oleh ayahku ini mengatakan bahwa dia ada di sana untuk menjemputku pulang.“Dengar, pasti kamu salah orang, oke? Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku pada pria itu, tetap waspada.“Ayolah, Nona Santoso,” jawab pria itu. “Ikutlah bersamaku. Keluargamu membutuhkanmu.” Dia mengulurkan tangannya dan mencoba menggenggam lenganku, tapi aku dengan cepat menghindarinya, menyembunyikan lenganku di balik tubuhku.“Sudah kubilang kamu salah orang. Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku lagi, dengan cepat melihat ke arah Panca pergi. Aku telah meminta minum di waktu yang tidak tepat.“Untung
AnnaTamannya terang, disinari oleh ribuan lampu berwarna-warni. Aku melihat-lihat ke sekitar, terkagum oleh tempat itu. Aku tidak pernah pergi ke taman hiburan di malam hari dan suasana yang semarak membuatku seperti sedang berada di dalam film. Panca terlihat sama gembiranya seperti diriku, dengan mata yang berbinar dan senyuman lebar di wajahnya.“Jadi, apa rencananya?” tanyanya, menawarkan lengannya untukku seperti seorang tuan.“Bianglala,” jawabku dengan cepat. “Aku ingin melihat semuanya dari atas!”Panca tertawa dan membuat gestur dramatis dengan tangannya. “Sesuai keinginan Anda, Nona An!” candanya. Kami pun beranjak ke arah bianglala.Di samping kami, taman itu sangat ramai. Anak-anak tertawa dan berlari di mana-mana. Seorang penjual berondong jagung, mengenakan topi yang besar dan penuh warna, berteriak untuk menarik lebih banyak pembeli. “Berondong jagung panas, berondong jagung manis, berondong jagung asin! Ayo, ayo, jangan lewatkan!”Aku menatap Panca dan tertawa. “
Layla“Aku sedang membicarakan dirimu, Layla,” katanya. “Kembalilah padaku.”Aku terkekeh skeptis. “Apa yang kamu lakukan sekarang? Kenapa kamu mengatakan ini? Apakah kamu benar-benar ingin aku memercayai itu?” tanyaku, skeptis terhadap perkataannya.Maksudku, pernikahan kami sudah berjalan selama bertahun-tahun dan sepanjang waktu itu, aku melakukan segala hal yang bisa kulakukan untuk membuat dia menyadari bahwa ini adalah hal yang penting bagi kami berdua, untuk membuat dia sadar betapa aku mencintainya dan betapa aku bersedia untuk membuat dia bahagia, tapi dia tidak pernah mendengarkan aku. Kebalikannya, malah. Gideon membenciku dan memperlakukan aku seolah-olah dia membenciku.Aku harus menelan banyak hal dalam pernikahan itu untuk tetap berada di sisinya dan berjuang untuk kami berdua. Akan tetapi, begitu aku telah memutuskan untuk akhirnya melihat diriku sendiri dan meninggalkan hubungan yang tidak sehat itu, dia muncul dan mengatakan bahwa dia menginginkan aku kembali. Apa
LaylaKetika bel pintuku berbunyi dan aku pergi menjawabnya, aku mengernyit ketika Gideon Nalendra ada di pintuku. “Kamu? Apa yang kamu inginkan di sini?” tanyaku, lebih terkejut dibandingkan tertarik. Sejak aku bercerai dengannya, dia tidak pernah mendatangiku secara langsung, dia selalu mengirimkan seseorang untuk menjemput putranya dan kemudian mengembalikan dia dengan aman setelah beberapa hari, tapi dia tidak pernah datang secara langsung sebelumnya.“Em, hai, Layla,” gumamnya, masih berdiri di pintu apartemenku.“Papa!” Itu adalah Wira kecil yang berlari begitu dia melihat ayahnya di pintu.“Hei, petarung kecil!” seru Gideon, berjongkok untuk menggendong putranya dan memeluknya.“Aku senang sekali bertemu dengan Papa!” ucap anak itu dengan bahagia, memeluk ayahnya. Meninggalkan Surabaya adalah hal yang sulit, terutama karena anak itu sangat menempel dengan ayahnya, tapi dia masih terlalu muda untuk berada jauh dari ibunya bagiku untuk meninggalkan dia bersama Gideon, bukanny
AnnaRasanya seakan-akan dunia di sekitar kami menghilang. Panca dan aku sedang menjalani hari yang sempurna, yang mana segala hal tampak memungkinkan, yang mana tidak ada kekhawatiran, hanya kebahagiaan. Musik pop tahun 2000-an terputar dengan lembut melalui pengeras suara toko dan rasanya seperti musik pengiring untuk kisah kami yang mulai tertulis sendiri.Panca menggenggam tanganku dan menarikku ke area aksesori dengan senyuman konyolnya. “Lihat ini!” Dia mengambil sepasang kacamata besar dengan lensa bundar dan bingkai berwarna neon. Dia memasang itu di wajahnya dan membuat pose yang dilebih-lebihkan seolah-olah dia adalah seorang model papan atas. “Sempurna untuk tampilan futuristik, ‘kan?”Aku tertawa dan mengambil kacamata lain, hanya saja kacamata itu memiliki bingkai berbentuk hati. Aku memakainya di wajahku dan menatap Panca sambil tersenyum. “Sekarang iya! Kita siap untuk mendominasi dunia!”Dia tertawa dan mencium pipiku. “Tentunya dunia tidak akan sama jika kita memak