“Masukkan Anna ke dalam mobil sekarang, Laura,” perintah Jason, beranjak ke tempat Graham berada. Kakakku ada di dalam mobil, masih kebingungan karena kecelakaan tadi. Jason mencengkeram kerah bajunya dan menariknya keluar dari mobil, melempar Graham ke kap mobil dan mulai memukulnya dengan murka.Aku menutupi Anna supaya dia tidak melihat kekerasan itu dan membawanya ke dalam mobil untuk memeriksa apakah dia terluka. Dia masih menangis, benar-benar trauma oleh kejadian yang baru saja terjadi. Aku menyembunyikan wajah putriku di dadaku setelah aku melihat pistol, yang telah Jason gunakan, tergeletak di lantai mobil. Tanpa membuat putriku menyadarinya dan dengan tangan yang gemetar, aku memegang pistol yang berat itu dan mengembalikannya ke dalam dasbor mobil supaya Anna tidak melihatnya dan langsung menjadi lebih trauma daripada saat ini.“Shh, tidak apa-apa, sayang. Ada Mama di sini sekarang,” kataku, memeluknya. Aku menyadari bahwa dia memiliki luka memar di dahinya dan beberapa di
LauraAku mengusap dan mencium puncak kepala putriku untuk mencoba menenangkannya. Setelah kami tiba di pusat medis, para dokter dengan cepat langsung membawanya untuk diperiksa. Jason dan aku berada di ruangan itu, menjawab pertanyaan yang mereka berikan dan tetap berada di dekat putri kami supaya dia tidak menangis.“Dia mengalami gegar otak ringan, tapi masih bisa disembuhkan oleh obat pereda nyeri dan istirahat selama berjam-jam,” kata dokter tersebut pada kami setelah memberi Anna obat dan menidurkannya di ranjang di dekatnya.“Apakah dia benar-benar akan baik-baik saja, Dok?” tanyaku takut-takut, masih berdiri di samping Anna.“Secara fisik iya, tapi saya sarankan bawa dia ke psikolog anak untuk berbicara padanya mengenai apa yang terjadi hari ini. Pikirannya mungkin masih kebingungan,” katanya.“Serahkan itu pada kami, Dok. Kami akan melakukannya,” kata Jason padanya.“Bagus. Kalau begitu, permisi,” katanya, beranjak pergi untuk merawat pasien lainnya.Jason menghela napa
“Biarkanlah dia tinggal bersamaku,” desaknya.“Kamu pikir dia akan bahagia, tinggal jauh dariku?”“Apa yang kamu bicarakan? Putriku menyukaiku,” belanya.“Itu tidak benar, kamulah yang ingin membeli cinta dia dengan hadiah-hadiah mahal,” jawabku.Pada saat itu, ponselku berdering. Itu adalah telepon dari Rafael, pengawalku. Aku terkesiap ketika aku mengingat bahwa aku telah melupakan Suzy dan situasinya. Astaga …. “Aku harus mengangkatnya,” kataku pada Jason karena kami sedang berbincang serius mengenai putri kami.“Mengesankan sekali bagaimana kamu mengesampingkan permasalahan penting mengenai keamanan putri kita untuk berbicara dengan pacarmu,” kata Jason, tampak tersinggung.“Ini bukan Gideon.” Aku memutar bola mataku.“Ini tentang Suzy. Dia terjatuh di ta ….” Aku mulai menjelaskan, tapi kemudian aku menyadari bahwa mungkin Suzy tidak terpeleset sama sekali, tapi dilukai oleh Graham yang mencoba melukai Anna. “Maksudku, Graham mungkin melukai dia dan dia ada di rumah sakit se
JasonAku melihat Laura meninggalkan ruangan tempat putri kami sedang beristirahat dan beranjak ke tempat Suzy sedang dirawat. Aku bingung setelah mengetahui bahwa dia dan Suzy bersaudara. Demikian pula, aku memang bisa melihat beberapa persamaan fisik di antara mereka, tapi Laura memiliki wajah yang umum, tidak jauh dari standar wanita Indonesia pada umumnya. Suzy juga sama sepertinya. Meskipun mereka berdua sama-sama cantik, aku masih terkejut bahwa mereka bersaudara.“Sial, kepalaku jadi sakit,” komentarku pada diri sendiri.Aku sudah bisa membayangkan cara si b*jingan itu, Graham, memanipulasi Laura supaya dia bisa menculik Anna. Segalanya pasti sangat kacau di dalam kepala Laura. Pantas saja dia jadi panik ketika kami berada dalam situasi penyelamatan itu.Aku melihat kembali punggung tanganku cukup lama. Ada bekas kuku yang menancap di sana, bekas yang dibuat oleh Laura ketika dia kehilangan kendali dirinya, meneriakkan kata-kata yang tidak beraturan, menyerukan nama putrinya
“Sejak kapan anak adopsi bukan anak asli, Tuan Santoso?”“Selama darahmu tidak mengalir di pembuluh darah mereka,” jelasku seolah-olah sedang memberi penjelasan pada anak kecil.Dia tertawa padaku. “Omong-omong, semua orang memiliki kebahagiaan mereka sendiri. Sementara itu, aku akan terus mencintai putriku yang tersayang,” katanya, merasa cukup dengan hal itu.Aku hampir terjatuh ke belakang ketika dia membeberkan bahwa anak yang Fia kandung adalah hasil dari donor sperma. Aku kebingungan karena kesantaiannya mengenai topik yang sangat serius ini. Bukan itu saja, yang kumaksud adalah bahwa istrinya telah berbuat jahat padanya dan dia tetap bertahan karena hal itu. Dia telah memutuskan untuk menerimanya dan, selain itu, menganggap anak itu sebagai anaknya sendiri.Dia telah memberitahuku bahwa Fia melakukan itu karena dia sudah putus asa dan tidak ingin kehilangan Tama, tapi jelas sekali bahwa temanku sudah dibodohi oleh wanita itu. Karena Tama adalah orang yang penyayang dan menyu
FiaAku sedang di rumah dan bermain dengan putriku ketika Tama memanggilku dengan berita buruk. Aku merasa sangat damai tanpa ada kekhawatiran besar, hanya menjalani hidup dan menikmatinya seperti yang selalu kuimpikan, dengan putriku dalam pelukanku dan bayiku yang sebentar lagi akan lahir, tapi kemudian panggilan Tama harus merenggut kedamaianku.“Apa katamu? Bayi Suzy sudah lahir?” Aku hampir berteriak karena terkejut.“Iya, itu yang kubicarakan. Jason baru saja memberitahuku. Dia mengetahuinya dari Laura,” kata Tama.“Astaga, Laura itu benar-benar palsu dan tidak bersyukur. Tidak apa-apa aku tidak berbicara dengannya lagi, tapi dia hanya menggangguku untuk membicarakan pacar barunya. Tidak bisakah dia memberitahuku hal-hal penting seperti ini? Setidaknya, dia seharusnya ingat untuk memberitahuku bahwa teman favoritnya melahirkan …. Aku benar-benar merasa dikhianati,” keluhku, membenci bahwa aku baru saja mengetahui hal itu dari suamiku.“Entahlah, sayang, bukannya aku ingin m
“Tentu saja, sayang. Cepat datanglah,” kataku, lalu mematikan teleponnya. Aku memutar bola mataku setelahnya dan memanggil pengasuh yang menjaga Abel. “Persiapkan putriku. Aku akan pergi dengannya dalam beberapa menit,” perintahku sambil menaiki tangga untuk memakai pakaian yang lebih baik.Tama tidak memakan banyak waktu. Dia sudah tiba setelah beberapa menit. Aku memasuki mobil bersama Abel. Pengasuh dan perawatku masuk ke mobil lainnya yang dikendarai oleh sopirku.“Hai, sayang,” katanya, mengecupku setelah kami memasuki mobil. “Bagaimana kabar kucing kecilku hari ini?” tanyanya pada Abel dengan suara yang menggemaskan, mengulurkan tangannya untuk mengusapnya dengan lembut.“Mama bilang kita akan beli es krim nanti,” jawab gadis itu, menunjukkan antusiasmenya terhadap es krim.“Hm, kalau begitu, aku juga mau. Aku suka makan es krim bersama putri kecilku,” jawabnya, membuat Abel tertawa dengan bersemangat.“Gigi kalian berdua akan copot jika kalian terus makan makanan manis seba
Fia“Tiba-tiba, Laura dan Suzy memiliki golongan darah yang sama?” komentarku dengan dongkol setelah mengetahui bahwa dia menyumbangkan darahnya pada wanita itu, tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaanku. Maksudku, aku paham bahwa Suzy mengalami kecelakaan dan sedang dalam kondisi antara hidup dan mati, tapi kondisi putrinya juga tidak baik, s*alan, dan dia masih memiliki waktu untuk menunjukkan solidaritasnya dan menyumbangkan darahnya untuk menyelamatkan nyawa wanita itu? Lalu, siapa yang membutuhkan putrinya sekarang? Apakah Anna tidak sepenting itu?“Sebenarnya, seperti yang saya bilang, hari ini benar-benar kacau di sini. Nyonya Tanusaputera memberi tahu saya bahwa beliau baru saja mengetahui bahwa dia dan Nyonya Suzy memiliki ibu yang sama,” kata Rafael.Mataku membelalak. “Apa? Apa yang kamu bicarakan? Apa maksudmu mereka bersaudara?” tanyaku terkejut. Rasanya seolah Rafael baru saja menghinaku.“Apakah Suzy dan Laura bersaudara? Bagaimana ini terjadi?” Tama juga terkejut ol
AnnaAku sedang bersandar di toilet kamar kecil itu, memuntahkan semua yang telah kumakan hari itu. Aku mual dan seluruh tubuhku gemetar, merasa sangat buruk. Aku seharusnya benar-benar tidak minum alkohol sebanyak itu.Lalu, aku mendengar ketukan di pintu bilik. “An, apakah kamu butuh bantuan?” Itu adalah Panca. Dia berada di sisi lain pintu, mengkhawatirkan aku.“Tunggu sebentar. Aku akan keluar,” kataku dengan suara yang tercekat. Aku menyiram toiletnya dan hampir pingsan di lantai. Saat itu sudah pagi. Panca dan aku sedang berada di dalam klub malam, mencoba bersenang-senang. Aku telah memintanya melakukan itu karena aku ingin melupakan masalah-masalah si*lanku, tapi rupanya aku tidak cukup kuat untuk minum alkohol sebanyak itu dalam sekali minum.“Kalau kamu butuh aku, teriak saja,” kata Panca lagi. Dia mengkhawatirkan aku.Aku menghela napas berat dan meninggalkan bilik, beranjak ke wastafel untuk mencuci wajahku. “Ini adalah kamar kecil wanita. Kamu tidak boleh ada di sini,
LauraAku duduk di ranjangku sambil memandang ponsel di tanganku. Aku sedang menelepon Anna lagi, setelah ratusan panggilan yang kucoba lakukan. Dia menolak menjawab semua panggilan teleponku. Ponsel dia di luar jangkauan, tapi aku tetap menelepon karena jika tidak, aku akan merasa benar-benar tidak berguna.Aku belum melakukan apa-apa sejak Anna pergi. Berhari-hari telah berlalu dan Anna belum pulang. Kami bahkan tidak bisa menemukan dia. Meskipun kami memiliki kuasa dan pengaruh yang besar, itu semua terlihat tidak berguna ketika berurusan dengan menemukan seseorang yang tidak ingin ditemukan. Tampaknya, Anna berusaha keras sekali untuk tidak ditemukan.Aku meletakkan ponselku di pojokan ranjangku dan menghela napas dengan bahu yang merosot ke depan, merasa sangat kehilangan arah. Ini tampaknya terlalu kejam. Cara putriku bertingkah tidak normal, setidaknya tidak bagi anak perempuan yang jatuh cinta dan pada umumnya membuat keputusan buruk atas nama cinta. Anna mungkin mencintai a
AnnaPanca dan aku harus meninggalkan hotel itu karena orang-orang yang dikirimkan ayahku sudah hampir sampai di pintu kami dengan niat untuk menangkap kami.“Bagaimana mereka bisa menemukan kita?” tanya Panca, gundah, seraya dia dan aku berlari pergi dari penginapan itu.Aku juga sangat kebingungan. Aku yakin kami tidak meninggalkan apa-apa. Kami berlari dan bersembunyi di balik sebuah gang, melihat bawahan-bawahan ayahku berlari ke arah yang berlawanan tanpa mengetahui bahwa kami ada di balik pojokan itu.“Apakan mereka akan kembali?” tanyaku, melihat orang-orang itu menghilang.“Jika mereka berhasil menemukan kita di sini, aku yakin mereka akan menemukan kita lagi,” ujar Panca. “Sepertinya ada yang kita lewatkan ….” Dia berpikir, lalu dia menoleh ke arahku dan mulai meraba-rabaku.“Hei! Apa yang kamu lakukan?’ tanyaku, terkejut dengan cara dia merogoh-rogoh tubuhku.“Pasti ada GPS pada dirimu. Itu akan menjelaskan segalanya,” katanya, meraih tasku, membuka ritsletingnya, dan
AnnaPanca dan aku berakhir harus pergi ke sebuah penginapan karena saat itu sudah larut malam dan orang-orang yang dikerahkan ayahku tersebar ke seluruh penjuru kota. Kami harus tetap bersembunyi dan menunggu orang-orang itu pergi supaya mereka bisa memberikan kami minuman agar kami bisa melanjutkan perjalanan kami.Ruangan itu biasa saja dengan dekor kasar dan dua kasur di tengah. Karena uang kami menipis, kami tidak bisa pergi ke tempat yang lebih baik. Bukan hanya itu, jika kami melakukan itu, kami bisa menarik perhatian. Begitu kami tiba di sana, Panca langsung mengintip melalui gorden jendela.“Bisakah kamu melihat mereka?” tanyaku, masih ketakutan. Ingatan tentang apa yang terjadi di taman masih segar di dalam diriku.“Sayangnya tidak,” jawab Panca sambil masih melihat-lihat. “Kita berhasil melarikan diri dari mereka. Namun, kita sebaiknya pergi dari kota ini sesegera mungkin.”Aku menghela napas sambil mengangguk dan duduk dengan berat di ranjang, merasa lelah dan kehabisa
Anna“Namaku tidak penting,” jawabnya, dengan ketenangan yang membuatku curiga. “Ayahmu menyuruhku untuk menjemputmu. Waktunya pulang.”Jantungku berdegup di dalam tulang rusukku. Bagaimana bisa ayahku menemukanku? Panca dan aku telah sangat berhati-hati hingga sekarang, kami tidak meninggalkan banyak petunjuk yang akan membuat dia atau siapa pun menemukan kami dengan mudah, tapi pria yang dikirimkan oleh ayahku ini mengatakan bahwa dia ada di sana untuk menjemputku pulang.“Dengar, pasti kamu salah orang, oke? Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku pada pria itu, tetap waspada.“Ayolah, Nona Santoso,” jawab pria itu. “Ikutlah bersamaku. Keluargamu membutuhkanmu.” Dia mengulurkan tangannya dan mencoba menggenggam lenganku, tapi aku dengan cepat menghindarinya, menyembunyikan lenganku di balik tubuhku.“Sudah kubilang kamu salah orang. Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku lagi, dengan cepat melihat ke arah Panca pergi. Aku telah meminta minum di waktu yang tidak tepat.“Untung
AnnaTamannya terang, disinari oleh ribuan lampu berwarna-warni. Aku melihat-lihat ke sekitar, terkagum oleh tempat itu. Aku tidak pernah pergi ke taman hiburan di malam hari dan suasana yang semarak membuatku seperti sedang berada di dalam film. Panca terlihat sama gembiranya seperti diriku, dengan mata yang berbinar dan senyuman lebar di wajahnya.“Jadi, apa rencananya?” tanyanya, menawarkan lengannya untukku seperti seorang tuan.“Bianglala,” jawabku dengan cepat. “Aku ingin melihat semuanya dari atas!”Panca tertawa dan membuat gestur dramatis dengan tangannya. “Sesuai keinginan Anda, Nona An!” candanya. Kami pun beranjak ke arah bianglala.Di samping kami, taman itu sangat ramai. Anak-anak tertawa dan berlari di mana-mana. Seorang penjual berondong jagung, mengenakan topi yang besar dan penuh warna, berteriak untuk menarik lebih banyak pembeli. “Berondong jagung panas, berondong jagung manis, berondong jagung asin! Ayo, ayo, jangan lewatkan!”Aku menatap Panca dan tertawa. “
Layla“Aku sedang membicarakan dirimu, Layla,” katanya. “Kembalilah padaku.”Aku terkekeh skeptis. “Apa yang kamu lakukan sekarang? Kenapa kamu mengatakan ini? Apakah kamu benar-benar ingin aku memercayai itu?” tanyaku, skeptis terhadap perkataannya.Maksudku, pernikahan kami sudah berjalan selama bertahun-tahun dan sepanjang waktu itu, aku melakukan segala hal yang bisa kulakukan untuk membuat dia menyadari bahwa ini adalah hal yang penting bagi kami berdua, untuk membuat dia sadar betapa aku mencintainya dan betapa aku bersedia untuk membuat dia bahagia, tapi dia tidak pernah mendengarkan aku. Kebalikannya, malah. Gideon membenciku dan memperlakukan aku seolah-olah dia membenciku.Aku harus menelan banyak hal dalam pernikahan itu untuk tetap berada di sisinya dan berjuang untuk kami berdua. Akan tetapi, begitu aku telah memutuskan untuk akhirnya melihat diriku sendiri dan meninggalkan hubungan yang tidak sehat itu, dia muncul dan mengatakan bahwa dia menginginkan aku kembali. Apa
LaylaKetika bel pintuku berbunyi dan aku pergi menjawabnya, aku mengernyit ketika Gideon Nalendra ada di pintuku. “Kamu? Apa yang kamu inginkan di sini?” tanyaku, lebih terkejut dibandingkan tertarik. Sejak aku bercerai dengannya, dia tidak pernah mendatangiku secara langsung, dia selalu mengirimkan seseorang untuk menjemput putranya dan kemudian mengembalikan dia dengan aman setelah beberapa hari, tapi dia tidak pernah datang secara langsung sebelumnya.“Em, hai, Layla,” gumamnya, masih berdiri di pintu apartemenku.“Papa!” Itu adalah Wira kecil yang berlari begitu dia melihat ayahnya di pintu.“Hei, petarung kecil!” seru Gideon, berjongkok untuk menggendong putranya dan memeluknya.“Aku senang sekali bertemu dengan Papa!” ucap anak itu dengan bahagia, memeluk ayahnya. Meninggalkan Surabaya adalah hal yang sulit, terutama karena anak itu sangat menempel dengan ayahnya, tapi dia masih terlalu muda untuk berada jauh dari ibunya bagiku untuk meninggalkan dia bersama Gideon, bukanny
AnnaRasanya seakan-akan dunia di sekitar kami menghilang. Panca dan aku sedang menjalani hari yang sempurna, yang mana segala hal tampak memungkinkan, yang mana tidak ada kekhawatiran, hanya kebahagiaan. Musik pop tahun 2000-an terputar dengan lembut melalui pengeras suara toko dan rasanya seperti musik pengiring untuk kisah kami yang mulai tertulis sendiri.Panca menggenggam tanganku dan menarikku ke area aksesori dengan senyuman konyolnya. “Lihat ini!” Dia mengambil sepasang kacamata besar dengan lensa bundar dan bingkai berwarna neon. Dia memasang itu di wajahnya dan membuat pose yang dilebih-lebihkan seolah-olah dia adalah seorang model papan atas. “Sempurna untuk tampilan futuristik, ‘kan?”Aku tertawa dan mengambil kacamata lain, hanya saja kacamata itu memiliki bingkai berbentuk hati. Aku memakainya di wajahku dan menatap Panca sambil tersenyum. “Sekarang iya! Kita siap untuk mendominasi dunia!”Dia tertawa dan mencium pipiku. “Tentunya dunia tidak akan sama jika kita memak