LauraJason mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, mengambil jalan memutar yang tidak akan macet pada waktu pagi ini. Dia menyusuri gang-gang dan jalan-jalan berliku di Jakarta Selatan, mencari jalan yang lebih baik untuk mencapai mobil Graham.“Dia berjarak sekitar lima menit dari kita sekarang!” kataku, mengamati GPS yang memberi tahu kami lokasi putri kamu dengan akurat.Jason menghentikan mobilnya dengan sangat tiba-tiba sehingga membuatku takut. Kukira kami akan terlibat kecelakaan, tapi dia hanya berhenti karena seorang wanita tua sedang melaju dengan lambat.“Sial!” gumamnya dengan kesal.“Ke kiri saja, ada belokan di sana,” tunjukku dan dia menurut, mengarahkan mobilnya ke belokan di sebelah kiri.“Apakah kita sudah dekat sekarang?” tanyanya dengan cemas.“Kamu harus menyebrangi barisan gedung-gedung ini secepat mungkin! Graham ada di sisi lainnya!” kataku, tapi tampaknya tidak ada pembatas antara bangunan-bangunan yang memungkinkan kami mengakses sisi lainnya.“
“Masukkan Anna ke dalam mobil sekarang, Laura,” perintah Jason, beranjak ke tempat Graham berada. Kakakku ada di dalam mobil, masih kebingungan karena kecelakaan tadi. Jason mencengkeram kerah bajunya dan menariknya keluar dari mobil, melempar Graham ke kap mobil dan mulai memukulnya dengan murka.Aku menutupi Anna supaya dia tidak melihat kekerasan itu dan membawanya ke dalam mobil untuk memeriksa apakah dia terluka. Dia masih menangis, benar-benar trauma oleh kejadian yang baru saja terjadi. Aku menyembunyikan wajah putriku di dadaku setelah aku melihat pistol, yang telah Jason gunakan, tergeletak di lantai mobil. Tanpa membuat putriku menyadarinya dan dengan tangan yang gemetar, aku memegang pistol yang berat itu dan mengembalikannya ke dalam dasbor mobil supaya Anna tidak melihatnya dan langsung menjadi lebih trauma daripada saat ini.“Shh, tidak apa-apa, sayang. Ada Mama di sini sekarang,” kataku, memeluknya. Aku menyadari bahwa dia memiliki luka memar di dahinya dan beberapa di
LauraAku mengusap dan mencium puncak kepala putriku untuk mencoba menenangkannya. Setelah kami tiba di pusat medis, para dokter dengan cepat langsung membawanya untuk diperiksa. Jason dan aku berada di ruangan itu, menjawab pertanyaan yang mereka berikan dan tetap berada di dekat putri kami supaya dia tidak menangis.“Dia mengalami gegar otak ringan, tapi masih bisa disembuhkan oleh obat pereda nyeri dan istirahat selama berjam-jam,” kata dokter tersebut pada kami setelah memberi Anna obat dan menidurkannya di ranjang di dekatnya.“Apakah dia benar-benar akan baik-baik saja, Dok?” tanyaku takut-takut, masih berdiri di samping Anna.“Secara fisik iya, tapi saya sarankan bawa dia ke psikolog anak untuk berbicara padanya mengenai apa yang terjadi hari ini. Pikirannya mungkin masih kebingungan,” katanya.“Serahkan itu pada kami, Dok. Kami akan melakukannya,” kata Jason padanya.“Bagus. Kalau begitu, permisi,” katanya, beranjak pergi untuk merawat pasien lainnya.Jason menghela napa
“Biarkanlah dia tinggal bersamaku,” desaknya.“Kamu pikir dia akan bahagia, tinggal jauh dariku?”“Apa yang kamu bicarakan? Putriku menyukaiku,” belanya.“Itu tidak benar, kamulah yang ingin membeli cinta dia dengan hadiah-hadiah mahal,” jawabku.Pada saat itu, ponselku berdering. Itu adalah telepon dari Rafael, pengawalku. Aku terkesiap ketika aku mengingat bahwa aku telah melupakan Suzy dan situasinya. Astaga …. “Aku harus mengangkatnya,” kataku pada Jason karena kami sedang berbincang serius mengenai putri kami.“Mengesankan sekali bagaimana kamu mengesampingkan permasalahan penting mengenai keamanan putri kita untuk berbicara dengan pacarmu,” kata Jason, tampak tersinggung.“Ini bukan Gideon.” Aku memutar bola mataku.“Ini tentang Suzy. Dia terjatuh di ta ….” Aku mulai menjelaskan, tapi kemudian aku menyadari bahwa mungkin Suzy tidak terpeleset sama sekali, tapi dilukai oleh Graham yang mencoba melukai Anna. “Maksudku, Graham mungkin melukai dia dan dia ada di rumah sakit se
JasonAku melihat Laura meninggalkan ruangan tempat putri kami sedang beristirahat dan beranjak ke tempat Suzy sedang dirawat. Aku bingung setelah mengetahui bahwa dia dan Suzy bersaudara. Demikian pula, aku memang bisa melihat beberapa persamaan fisik di antara mereka, tapi Laura memiliki wajah yang umum, tidak jauh dari standar wanita Indonesia pada umumnya. Suzy juga sama sepertinya. Meskipun mereka berdua sama-sama cantik, aku masih terkejut bahwa mereka bersaudara.“Sial, kepalaku jadi sakit,” komentarku pada diri sendiri.Aku sudah bisa membayangkan cara si b*jingan itu, Graham, memanipulasi Laura supaya dia bisa menculik Anna. Segalanya pasti sangat kacau di dalam kepala Laura. Pantas saja dia jadi panik ketika kami berada dalam situasi penyelamatan itu.Aku melihat kembali punggung tanganku cukup lama. Ada bekas kuku yang menancap di sana, bekas yang dibuat oleh Laura ketika dia kehilangan kendali dirinya, meneriakkan kata-kata yang tidak beraturan, menyerukan nama putrinya
“Sejak kapan anak adopsi bukan anak asli, Tuan Santoso?”“Selama darahmu tidak mengalir di pembuluh darah mereka,” jelasku seolah-olah sedang memberi penjelasan pada anak kecil.Dia tertawa padaku. “Omong-omong, semua orang memiliki kebahagiaan mereka sendiri. Sementara itu, aku akan terus mencintai putriku yang tersayang,” katanya, merasa cukup dengan hal itu.Aku hampir terjatuh ke belakang ketika dia membeberkan bahwa anak yang Fia kandung adalah hasil dari donor sperma. Aku kebingungan karena kesantaiannya mengenai topik yang sangat serius ini. Bukan itu saja, yang kumaksud adalah bahwa istrinya telah berbuat jahat padanya dan dia tetap bertahan karena hal itu. Dia telah memutuskan untuk menerimanya dan, selain itu, menganggap anak itu sebagai anaknya sendiri.Dia telah memberitahuku bahwa Fia melakukan itu karena dia sudah putus asa dan tidak ingin kehilangan Tama, tapi jelas sekali bahwa temanku sudah dibodohi oleh wanita itu. Karena Tama adalah orang yang penyayang dan menyu
FiaAku sedang di rumah dan bermain dengan putriku ketika Tama memanggilku dengan berita buruk. Aku merasa sangat damai tanpa ada kekhawatiran besar, hanya menjalani hidup dan menikmatinya seperti yang selalu kuimpikan, dengan putriku dalam pelukanku dan bayiku yang sebentar lagi akan lahir, tapi kemudian panggilan Tama harus merenggut kedamaianku.“Apa katamu? Bayi Suzy sudah lahir?” Aku hampir berteriak karena terkejut.“Iya, itu yang kubicarakan. Jason baru saja memberitahuku. Dia mengetahuinya dari Laura,” kata Tama.“Astaga, Laura itu benar-benar palsu dan tidak bersyukur. Tidak apa-apa aku tidak berbicara dengannya lagi, tapi dia hanya menggangguku untuk membicarakan pacar barunya. Tidak bisakah dia memberitahuku hal-hal penting seperti ini? Setidaknya, dia seharusnya ingat untuk memberitahuku bahwa teman favoritnya melahirkan …. Aku benar-benar merasa dikhianati,” keluhku, membenci bahwa aku baru saja mengetahui hal itu dari suamiku.“Entahlah, sayang, bukannya aku ingin m
“Tentu saja, sayang. Cepat datanglah,” kataku, lalu mematikan teleponnya. Aku memutar bola mataku setelahnya dan memanggil pengasuh yang menjaga Abel. “Persiapkan putriku. Aku akan pergi dengannya dalam beberapa menit,” perintahku sambil menaiki tangga untuk memakai pakaian yang lebih baik.Tama tidak memakan banyak waktu. Dia sudah tiba setelah beberapa menit. Aku memasuki mobil bersama Abel. Pengasuh dan perawatku masuk ke mobil lainnya yang dikendarai oleh sopirku.“Hai, sayang,” katanya, mengecupku setelah kami memasuki mobil. “Bagaimana kabar kucing kecilku hari ini?” tanyanya pada Abel dengan suara yang menggemaskan, mengulurkan tangannya untuk mengusapnya dengan lembut.“Mama bilang kita akan beli es krim nanti,” jawab gadis itu, menunjukkan antusiasmenya terhadap es krim.“Hm, kalau begitu, aku juga mau. Aku suka makan es krim bersama putri kecilku,” jawabnya, membuat Abel tertawa dengan bersemangat.“Gigi kalian berdua akan copot jika kalian terus makan makanan manis seba
AnnaPanca membawaku masuk ke dalam apartemen, lebih tepatnya kamarnya, yang merupakan tempat dengan dekorasi gelap dan heavy metal. Itu tidak membuatku terkejut karena aku mengenal dia dan aku tahu kalau dia selalu begini sejak dulu. Dia duduk di sebuah sofa dan membuatku duduk di pangkuannya, supaya kami bisa berpelukan dengan lebih nyaman, bertukar pandang dan belaian.“Aku masih sulit memercayainya meskipun kamu sedang duduk di pangkuanku,” komentarnya sambil mengusap wajahku dengan punggung tangannya.Aku tersenyum dengan manis padanya. “Ini memang seperti mimpi.”“Kamu menjadi gadis yang cantik sekali. Lebih cantik dibandingkan ketika kamu hanya berusia 11 tahun. Maksudku, sekarang kamu sudah hampir menjadi wanita dewasa,” katanya sambil memandangku.“Kamu juga terlihat berbeda,” kataku. “Kamu lebih tinggi.” Aku memegang tangannya dengan kedua tanganku. “Wajahmu pun lebih lebar dan lebih seperti lelaki.”“Apakah kamu menyukai apa yang kamu lihat?” tanyanya dengan senyum nak
AnnaAku baru saja berbincang dengan ibuku di telepon. Dia bertanya padaku apakah aku sungguh baik-baik saja. Aku tentunya sudah memberitahunya bahwa aku baik-baik saja, tapi pada saat itu, aku tidak tahu apakah aku benar-benar baik-baik saja.Kemudian, aku masih berada di dalam mobilku, terparkir di depan gedung mewah yang ditinggali oleh Amanda Mardian, kakak Panca.“Aku tinggal bersama kakakku sekarang.” Aku mengingat kata-kata Panca ketika kami bertemu di kelas aljabar itu. “Jika kamu pintar, kamu akan menjauh dariku supaya kamu tidak akan terlibat masalah,” katanya, tapi aku tetap berada di depan gedung tempat dia tinggal dan hendak mengejarnya.Ketika aku masih kecil dan Panca dan aku menjadi sangat dekat, aku adalah orang yang bisa memahami Panca lebih baik dari siapa pun. Aku tahu dia sangat cerdas dan pintar membuat strategi juga, jadi dia tidak akan memberikanku alamatnya jika dia tidak ingin aku menemukan dia.“Aku tinggal bersama kakakku sekarang. Jika kamu pintar, kam
Laura“Jadi, Lau, apakah kamu berhasil berbicara dengan putrimu?” tanya Fia ketika aku kembali setelah pergi sebentar untuk menelepon Anna di balkon tempat pijat mewah itu.“Oh, iya. Aku sudah berbicara dengannya,” jawabku sambil menghela napas lega seraya kembali duduk. “Dia hanya disibukkan oleh tugas aljabar. Pasti itulah mengapa dia tidak bisa membalas teleponmu, Abel,” kataku pada gadis yang sedang bersama kami. Dia dan Anna sangat dekat, jadi dapat dipahami kenapa dia sangat mengkhawatirkan putriku.“Lihat? Sudah kubilang kamu tidak perlu terlalu khawatir,” kata Fia, terkekeh pelan.Namun, Abel masih terlihat ragu. “Entahlah, Bibi Laura. Anna terasa sangat aneh hari ini,” ujar gadis itu dengan bimbang.“Aneh? Apa maksudmu dengan itu?” Aku mengernyit, kebingungan.“Aku tidak tahu.” Dia mengangkat bahunya. “Dia bersikap aneh, dia bahkan putus dengan Ciko,” katanya.“Oh, sungguh?” Aku terkejut mendengarnya, aku tidak dapat menyangkalnya.Aku mengingat percakapan yang Anna da
Laura“Jadi, Layla dan Gideon bercerai?” Fia terkejut ketika dia menanyakan itu. Dia dan aku sedang berada di ruang tunggu di tempat pijat, mengenakan mantel mandi ungu muda dan meminum anggur bersoda. Seperti yang disetujui, setelah aku selesai bekerja, Fia dan aku pergi ke spa. Jadi, dia dan aku bergosip seperti biasa.Aku mengangguk setelah menyesap minumanku. “Iya, mereka bercerai. Lalu, ternyata itu sudah cukup lama,” tambahku.Temanku terkesiap dengan mulut yang membulat. “Ya ampun, aku benar-benar tidak menyangkanya,” komentarnya. “Bukankah Layla-lah yang terus berkata bahwa dia menikah dengan bahagia dan bahwa pernikahan dia sempurna? Lihatlah apa yang terjadi pada orang-orang yang terus menyombong.” Dia tertawa kecil, membetulkan rambutnya yang sekarang lebih panjang, mengenai dadanya.“Kurasa masalahnya sebenarnya adalah orang yang Layla putuskan untuk nikahi,” kataku, mengerutkan hidungku.“Kamu membicarakan tentang pertanda-pertanda buruk itu, ‘kan?” tebak Fia.“Benar
LauraAku tidak percaya bahwa Layla Raharjo, yaitu Layla Nalendra, ada di hadapanku, memohon padaku untuk kembali bekerja di Hextec bersamaku. Maksudku, dialah yang meninggalkan itu semua untuk menikah dan pergi ke Surabaya dan memulai kehidupan baru di sana dengan suaminya. Bertahun-tahun kemudian, di sinilah dia, meminta untuk kembali dan bekerja di sini lagi.“Namun, kenapa kamu meminta ini, Layla? Apakah kamu sudah tidak tinggal di Surabaya lagi?” tanyaku, benar-benar terkejut.Dia menggelengkan kepalanya. “Tidak juga,” jawabnya. “Sudah beberapa saat sejak aku meninggalkan Surabaya dan kembali ke Jakarta. Aku tinggal di rumah nenekku, tapi sekarang aku merasa siap untuk kembali bekerja.” Dia mengangguk seakan-akan dia memiliki keinginan baru untuk hidup sekarang.“Pernikahanmu berakhir, ya?” Kata-kata itu tidak keluar sebagai pertanyaan, karena aku sudah tahu betul raut wajah orang yang kesakitan di dalam—Layla memiliki raut wajah itu.Dia mengangguk, tersenyum dengan lemah. “
Laura“Layla! Lama tidak berjumpa,” kataku dengan gembira, beranjak menghampiri untuk memeluknya saat dia memasuki ruang kerjaku.“Oh, Laura, aku sangat merindukanmu,” katanya sambil tersenyum untukku seraya dia membalas pelukanku. Aku benar-benar tidak memiliki permasalahan dengannya karena aku selalu menyukai dia. Dia adalah orang yang baik sekali padaku kendati segala hal yang telah terjadi.“Aku juga merindukanmu,” kataku seraya aku memandangnya. “Kamu menghilang dan tidak datang kemari lagi. Aku bahkan mengira Surabaya sudah mencurimu dari kami.”Dia tertawa mendengarnya, menggelengkan kepalanya. “Tidak ada satu hal pun dan siapa pun yang bisa membuatku melupakan Jakarta,” katanya.“Yah, itu adalah hal yang menyenangkan untuk diketahui, kuakui.” Aku tersenyum dan kemudian menunjuk ke arah sofa di samping jendela ruang kerjaku yang seluruhnya berkaca dari lantai sampai langit-langit dengan gorden yang ditarik ke samping, sehingga membiarkan cahaya matahari dan udara segar mema
Laura“Kamu mau makan apa untuk makan malam hari ini? Fetucini dengan jamur atau tenderloin dengan kentang?” tanya Jason padaku di ujung telepon lainnya. Dia terdengar bersemangat untuk mempersiapkan makan malam untukku dan itu membuatku senang.“Em, aku suka tenderloin, tapi aku juga ingin fetucini. Aduh, ya ampun, aku harus bagaimana sekarang?” Aku menghela napas sambil berbicara padanya di telepon. Aku sedang berada di tempat kerjaku sambil fokus pada pekerjaanku dan, pada saat yang sama, berbicara dengan suamiku di telepon.“Aku bisa buatkan dua-duanya kalau kamu mau,” usul Jason setelah terkekeh.“Aduh, seharusnya aku pilih satu saja,” gumamku. Jason terkekeh lagi.“Ini bukan salahmu, kamu hanya tidak dapat menahan masakanku, jadi sulit untuk memutuskan. Kamu tahu aku mahir dalam segala hal yang kulakukan,” sombongnya, seperti biasa.“Hm, karena kamu bersikeras, aku ingin dua-duanya,” kataku padanya, tersinggung.“Astaga, aku tahu kamu senang menghukumku, ‘kan, wanita? Namu
AnnaMalam itu, Panca dan aku bersenang-senang bersama. Kami menjahili Paman Juan dan tunangannya, hal-hal yang tidak benar-benar menyakiti mereka, tapi itu merenggut kedamaian mereka. Misalnya, menuangkan minyak zaitun ke dalam anggur Paman Juan, menambahkan garam pada potongan kue pernikahannya, meletakkan bantal kentut di tempat duduknya, dan ketika dia duduk, dia membuat suara kentut yang konyol yang membuat semua orang menertawainya, dan hal-hal semacamnya.Itu sangat menyenangkan bagiku. Meskipun itu belum cukup bagi Panca, melihat Paman Juan mengalami semua hal-hal menyebalkan itu sudah membuatnya lebih gembira. Namun, kami tertangkap di penghujung pesta. Karena kami hanyalah dua anak-anak, tidak ada yang menganggapnya serius. Ayahku dan Paman Juan meneriaki kami dan bilang mereka akan menghukum kami, jadi Panca dan aku berlari untuk bersembunyi ketika para orang dewasa sedang mengomel tentang kami.“Itu luar biasa! Gila,” seru Panca sambil tertawa ketika kami berhasil melari
AnnaIni semua dimulai ketika aku berusia 11 tahun dan Panca Mardian ingin membunuh ayah tirinya.“Apakah ayahmu punya pistol?” tanyanya ketika dia dan aku sedang bersembunyi di langit-langit ruang dansa, tempat pernikahan Paman Juan dan ibunya diadakan.“Apa?” Sesaat, kukira aku salah dengar, jadi aku bertanya.Dia menatapku, mata cokelat tuanya mencolok. Dia masih praremaja, tapi dia sudah sangat misterius dan membuatku penasaran. “Aku butuh pistol untuk membunuh ayah baruku,” ungkapnya padaku.“Paman Juan? Kenapa kamu ingin melakukan itu? Dia adalah orang yang baik,” jawabku dengan marah.Dia menggerutu jijik dan kembali melihat ke lantai bawah. Para orang dewasa sedang berbincang dengan satu sama lain, menikmati pesta pernikahannya. “Pria itu mengirimkan ayahku ke penjara,” kata Panca, kata-katanya penuh oleh amarah.“Namun, itu adalah pekerjaan dia. Paman Juan adalah seorang polisi. Dia memasukkan orang-orang jahat ke dalam penjara,” kataku padanya, sedikit takut ketika aku