Sekarang dia mendengus, menyalakan rokoknya. “Masa-masa indah, katamu? Satu-satunya hal yang kuingat adalah kamu meninggalkan aku, s*alan,” balasnya, ternyata masih dendam terhadap apa yang terjadi di antara kami di masa lalu.“Kamu tidak bisa menyalahkan aku karena memutuskan untuk tidak mengikuti rencana-rencana kotormu,” kataku, membela diriku sendiri.“Jadi, menurutmu lebih baik menjual dirimu di Jakarta? Beri tahu aku, Suzy. Apa perbedaannya antara apa yang kami lakukan di sini dan apa yang kamu lakukan untuk bertahan hidup?” tanyanya dengan tajam.“Setidaknya aku sudah tobat, Lukman. Kehidupan itu lebih dari sekedar hal-hal tersebut,” ujarku.Hal itu membuatnya tertawa terbahak-bahak. “Apakah kalian dengar itu? Suzy ingin kita bertobat. Dia pasti termakan omongan orang-orang sok suci itu dan datang kemari untuk membuat kita kembali ke jalan yang benar juga,” ejeknya, membuat semua orang tertawa. Dia berbicara dengan suara kecil padaku sekarang. “Kami dilahirkan ke dunia untuk
SuzyKakiku gemetar ketika aku meninggalkan tempat makan itu dan berjalan dengan sempoyongan ke mobilku. Setelah memasukinya, aku dengan cepat mengambil kantung plastik dan mengeluarkan semua makanan yang telah kumakan malam itu. Aku menyandarkan kepalaku di kursi dan bernapas melalui mulutku, mencoba mengembalikan keseimbanganku dan mengendalikan emosiku. Aku meletakkan tanganku di atas perutku dan menggertakkan gigiku dengan marah. Segala hal telah menjadi makin rumit. Aku keliru, berpikir bahwa jika aku memohon pada Lukman, dia akan berkenan merendahkan dirinya padaku, tapi hal itu malah mengacaukan segalanya dan sekarang Clara dan aku hanya memiliki tiga hari untuk mencari bukan 7,5 miliar rupiah, tapi 15 miliar rupiah!Astaga! Bagaimana kalau aku mengambil cangkul, menggali lubang di tanah, dan mengubur diriku sendiri di dalamnya saja? “Dasar keterlaluan! Memalukan sekali!” teriakku dengan marah, menghantam setir mobilku. Segala hal berjalan dengan buruk sekarang. Bagaimana cara
“Gama ….” Aku terbata-bata, memeluknya, dan berakhir menangis. Aku tidak tahu apakah itu karena aku merindukan dia atau karena semua tekanan yang kurasakan selama beberapa jam belakang. Demikian pula, aku hanya merasa seperti aku perlu jatuh ke dalam pelukan seseorang yang memedulikan aku dan menangis seperti anak yang kesakitan.Gama membawaku ke toko kudapan yang berada di dekat tempat tinggal Laura. Dia memesan kopi dan kue bolu untukku yang mengingatkanku akan kudapan dan makanan manis yang selalu dia bawa untukku di panti asuhan. Aku juga mengingat betapa aku menantikan kunjungannya setiap hari Minggu sejak aku masih kecil. Dia bilang dia adalah kakakku meskipun kami tidak memiliki darah yang sama dan dia menyesal tidak bisa membawaku untuk tinggal bersama dengannya.“Dunia ini lebih kejam di luar sana, Suzy. Ini adalah tempat terbaik untuk kamu tinggali untuk sekarang,” katanya setiap kali aku meminta dia untuk membawaku. Aku masih berpikir tidak ada tempat yang lebih buruk dar
SuzyAku memandangnya tanpa memahami kenapa dia begitu terdesak. Dia memintaku untuk meyakinkan Laura untuk memaafkan dia, tapi untuk apa aku melakukan itu? Maksudku, bukannya aku tidak mau Gamma berdamai dengan adiknya, tapi mengenal Laura, aku bisa membayangkan bahwa Gama telah melakukan hal yang sangat buruk sampai dia tidak ingin memaafkannya. Agak keterlaluan bagiku untuk meminta Laura melakukan ini hanya karena aku menyukai Gama karena sebagai temannya, aku harus menghargai keputusannya.“Apakah kamu akan melakukannya, Suzy? Apakah kamu akan meyakinkan Laura untuk membawaku kembali ke rumahnya? Desaknya, tubuhnya condong ke arahku, tidak sabar mendengar jawaban positif.Aku terkekeh. “Jangan jadi orang aneh. Untuk apa aku melakukan itu? Itu adalah masalahmu. Aku tidak bisa ikut terlibat,” kataku.“Namun, kamu tahu kalau aku adalah orang baik-baik. Tidakkah kamu mengingat ketika aku terus mengunjungimu di panti asuhan itu dan membawakan jajanan untukmu?” bujuknya.“Tentu saja
Laura“Laura? Bolehkah aku masuk?” tanya Suzy, mengintip dari pintu masuk ruang kerja di rumahku.“Tentu saja, masuklah,” kataku padanya, mengisyaratkan padanya untuk masuk dan kemudian mengembalikan perhatianku ke layar di depanku. Belum lama sejak Gideon pergi, terutama karena dia juga memiliki komitmen dan tidak bisa menjadi pengawal menawanku setiap saat. “Hmm. Kamu sudah pulang? Bagaimana malam bersama temanmu?” tanyaku pada Suzy sambil masih memandang layar.Dia duduk di salah satu kursi di depan mejaku dan menghela napas dengan lantang. “Menyenangkan seperti biasa … Apakah pekerjaanmu banyak?” tanyanya dan aku mengangkat bahu.“Cukup banyak, seperti biasa,” jawabku, lalu mengernyit ketika aku menatapnya. “Apakah kamu sehabis menangis? Mata pandamu mencolok sekali,” kataku.Dia mengangkat tangannya ke wajahnya. “Oh, aku dan Clara menonton komedi romantis semalam. Aku biasanya tidak menangis ketika menonton film, tapi ternyata hormonku tidak terkendali,” katanya sambil tertaw
Laura“Kumohon, Laura. Bisakah kamu mempertimbangkannya kembali?” desak Suzy. “Gama bukanlah monster seperti yang kamu pikirkan. Apakah dia pernah melakukan kesalahan padamu di masa lalu? Iya, tapi semua orang melakukan kesalahan, ‘kan? Hal yang terpenting adalah dia ingin menebus kesalahannya sekarang. Jangan bersikap sekeras itu padanya.”Aku menghela napas lantang seraya mempersiapkan makan malam hari itu. Suzy terlihat bertekad untuk meyakinkan aku untuk menerima Graham dan rasanya agak canggung melihatnya sangat fokus pada seseorang seperti itu. Ternyata, ikatan yang dia miliki dengan Graham sangat dalam, sesuatu yang masih tidak bisa kupahami. Bagaimana Graham bisa menjadi pria yang baik untuknya? Aku yakin dia menyembunyikan sesuatu dariku.“Kurasa aku tidak sekasar itu, Suzy. Maksudku, tentu, aku mengusirnya dari rumahku, tapi aku memiliki alasanku sendiri,” jawabku, memotong sayuran yang akan kugunakan untuk membuat saus pasta.“Aku hanya mengatakan kalau tidak benar jika
SuzySetelah aku terus mendesaknya, Laura akhirnya membiarkan Gama memasuki rumahnya. Senyuman bahagia terpampang di wajahku. Rasanya hampir tidak mungkin memercayai bahwa aku berhasil meyakinkan dia. Gama telah mendapatkan apa yang dia inginkan, jadi sekarang aku bisa mendapatkan uang dari keluarga miliarderku. Aku tidak bisa menunggu hal ini supaya aku bisa menyingkirkan penipu itu segera. Aku mulai merasa makin gugup mengenai keseluruhan situasi ini, jadi aku tidak bisa menunggu mendapatkan uang ini dan lepas dari para rentenir.“Jadi, monster itu adalah kakak Mama?” tanya Anna pada ibunya ketika kami semua duduk di ruang tengah setelah makan malam piza bersama.Graham, yang duduk dengan tenang di kursi di dekat sana, tertawa mendengar cara Anna menyebutnya. “Menurutmu aku monster?” tanyanya pada gadis itu.“Kamu membuatku takut,” ungkap Anna, masih duduk di pangkuan Laura sambil melingkari tangannya di leher ibunya. Laura juga memeluknya dengan protektif. Dari kekakuannya dan c
SuzyKetika aku mengucapkan selamat malam pada Gama dan beranjak ke kamarku, aku mau tidak mau menangis seperti wanita yang terkutuk. Aku merasa bersalah karena telah menekan Laura untuk menerima kakaknya kembali. Meskipun dia memiliki alasannya sendiri, aku bersikap seperti orang yang sangat egois, jadi meskipun aku pun memiliki alasanku sendiri, itu tidak menghentikan aku dari merasa seperti sampah.Namun, di tengah malam, ketika aku melihat tingkah laku Graham yang mencurigakan, aku mulai benar-benar mencurigainya. Pria itu berjongkok di depan pintu kamar Laura, mengoprek kunci pintunya seolah-olah dia ingin membukanya, dan raut wajah terkejutnya ketika dia melihatku telah membeberkan dirinya.“Apa yang kamu rencanakan? Kenapa kamu mencoba membuka pintu ini?” tanyaku dan sebelah alisku menaik, memasang ekspresi wajah curiga.“Apa? Aku mencoba membuka pintu kamar Laura? Tentu saja tidak, Suzy. Aku hanya memeriksanya,” katanya sambil terkekeh pelan. “Bukankah kamu bilang seseorang
AnnaPanca membawaku masuk ke dalam apartemen, lebih tepatnya kamarnya, yang merupakan tempat dengan dekorasi gelap dan heavy metal. Itu tidak membuatku terkejut karena aku mengenal dia dan aku tahu kalau dia selalu begini sejak dulu. Dia duduk di sebuah sofa dan membuatku duduk di pangkuannya, supaya kami bisa berpelukan dengan lebih nyaman, bertukar pandang dan belaian.“Aku masih sulit memercayainya meskipun kamu sedang duduk di pangkuanku,” komentarnya sambil mengusap wajahku dengan punggung tangannya.Aku tersenyum dengan manis padanya. “Ini memang seperti mimpi.”“Kamu menjadi gadis yang cantik sekali. Lebih cantik dibandingkan ketika kamu hanya berusia 11 tahun. Maksudku, sekarang kamu sudah hampir menjadi wanita dewasa,” katanya sambil memandangku.“Kamu juga terlihat berbeda,” kataku. “Kamu lebih tinggi.” Aku memegang tangannya dengan kedua tanganku. “Wajahmu pun lebih lebar dan lebih seperti lelaki.”“Apakah kamu menyukai apa yang kamu lihat?” tanyanya dengan senyum nak
AnnaAku baru saja berbincang dengan ibuku di telepon. Dia bertanya padaku apakah aku sungguh baik-baik saja. Aku tentunya sudah memberitahunya bahwa aku baik-baik saja, tapi pada saat itu, aku tidak tahu apakah aku benar-benar baik-baik saja.Kemudian, aku masih berada di dalam mobilku, terparkir di depan gedung mewah yang ditinggali oleh Amanda Mardian, kakak Panca.“Aku tinggal bersama kakakku sekarang.” Aku mengingat kata-kata Panca ketika kami bertemu di kelas aljabar itu. “Jika kamu pintar, kamu akan menjauh dariku supaya kamu tidak akan terlibat masalah,” katanya, tapi aku tetap berada di depan gedung tempat dia tinggal dan hendak mengejarnya.Ketika aku masih kecil dan Panca dan aku menjadi sangat dekat, aku adalah orang yang bisa memahami Panca lebih baik dari siapa pun. Aku tahu dia sangat cerdas dan pintar membuat strategi juga, jadi dia tidak akan memberikanku alamatnya jika dia tidak ingin aku menemukan dia.“Aku tinggal bersama kakakku sekarang. Jika kamu pintar, kam
Laura“Jadi, Lau, apakah kamu berhasil berbicara dengan putrimu?” tanya Fia ketika aku kembali setelah pergi sebentar untuk menelepon Anna di balkon tempat pijat mewah itu.“Oh, iya. Aku sudah berbicara dengannya,” jawabku sambil menghela napas lega seraya kembali duduk. “Dia hanya disibukkan oleh tugas aljabar. Pasti itulah mengapa dia tidak bisa membalas teleponmu, Abel,” kataku pada gadis yang sedang bersama kami. Dia dan Anna sangat dekat, jadi dapat dipahami kenapa dia sangat mengkhawatirkan putriku.“Lihat? Sudah kubilang kamu tidak perlu terlalu khawatir,” kata Fia, terkekeh pelan.Namun, Abel masih terlihat ragu. “Entahlah, Bibi Laura. Anna terasa sangat aneh hari ini,” ujar gadis itu dengan bimbang.“Aneh? Apa maksudmu dengan itu?” Aku mengernyit, kebingungan.“Aku tidak tahu.” Dia mengangkat bahunya. “Dia bersikap aneh, dia bahkan putus dengan Ciko,” katanya.“Oh, sungguh?” Aku terkejut mendengarnya, aku tidak dapat menyangkalnya.Aku mengingat percakapan yang Anna da
Laura“Jadi, Layla dan Gideon bercerai?” Fia terkejut ketika dia menanyakan itu. Dia dan aku sedang berada di ruang tunggu di tempat pijat, mengenakan mantel mandi ungu muda dan meminum anggur bersoda. Seperti yang disetujui, setelah aku selesai bekerja, Fia dan aku pergi ke spa. Jadi, dia dan aku bergosip seperti biasa.Aku mengangguk setelah menyesap minumanku. “Iya, mereka bercerai. Lalu, ternyata itu sudah cukup lama,” tambahku.Temanku terkesiap dengan mulut yang membulat. “Ya ampun, aku benar-benar tidak menyangkanya,” komentarnya. “Bukankah Layla-lah yang terus berkata bahwa dia menikah dengan bahagia dan bahwa pernikahan dia sempurna? Lihatlah apa yang terjadi pada orang-orang yang terus menyombong.” Dia tertawa kecil, membetulkan rambutnya yang sekarang lebih panjang, mengenai dadanya.“Kurasa masalahnya sebenarnya adalah orang yang Layla putuskan untuk nikahi,” kataku, mengerutkan hidungku.“Kamu membicarakan tentang pertanda-pertanda buruk itu, ‘kan?” tebak Fia.“Benar
LauraAku tidak percaya bahwa Layla Raharjo, yaitu Layla Nalendra, ada di hadapanku, memohon padaku untuk kembali bekerja di Hextec bersamaku. Maksudku, dialah yang meninggalkan itu semua untuk menikah dan pergi ke Surabaya dan memulai kehidupan baru di sana dengan suaminya. Bertahun-tahun kemudian, di sinilah dia, meminta untuk kembali dan bekerja di sini lagi.“Namun, kenapa kamu meminta ini, Layla? Apakah kamu sudah tidak tinggal di Surabaya lagi?” tanyaku, benar-benar terkejut.Dia menggelengkan kepalanya. “Tidak juga,” jawabnya. “Sudah beberapa saat sejak aku meninggalkan Surabaya dan kembali ke Jakarta. Aku tinggal di rumah nenekku, tapi sekarang aku merasa siap untuk kembali bekerja.” Dia mengangguk seakan-akan dia memiliki keinginan baru untuk hidup sekarang.“Pernikahanmu berakhir, ya?” Kata-kata itu tidak keluar sebagai pertanyaan, karena aku sudah tahu betul raut wajah orang yang kesakitan di dalam—Layla memiliki raut wajah itu.Dia mengangguk, tersenyum dengan lemah. “
Laura“Layla! Lama tidak berjumpa,” kataku dengan gembira, beranjak menghampiri untuk memeluknya saat dia memasuki ruang kerjaku.“Oh, Laura, aku sangat merindukanmu,” katanya sambil tersenyum untukku seraya dia membalas pelukanku. Aku benar-benar tidak memiliki permasalahan dengannya karena aku selalu menyukai dia. Dia adalah orang yang baik sekali padaku kendati segala hal yang telah terjadi.“Aku juga merindukanmu,” kataku seraya aku memandangnya. “Kamu menghilang dan tidak datang kemari lagi. Aku bahkan mengira Surabaya sudah mencurimu dari kami.”Dia tertawa mendengarnya, menggelengkan kepalanya. “Tidak ada satu hal pun dan siapa pun yang bisa membuatku melupakan Jakarta,” katanya.“Yah, itu adalah hal yang menyenangkan untuk diketahui, kuakui.” Aku tersenyum dan kemudian menunjuk ke arah sofa di samping jendela ruang kerjaku yang seluruhnya berkaca dari lantai sampai langit-langit dengan gorden yang ditarik ke samping, sehingga membiarkan cahaya matahari dan udara segar mema
Laura“Kamu mau makan apa untuk makan malam hari ini? Fetucini dengan jamur atau tenderloin dengan kentang?” tanya Jason padaku di ujung telepon lainnya. Dia terdengar bersemangat untuk mempersiapkan makan malam untukku dan itu membuatku senang.“Em, aku suka tenderloin, tapi aku juga ingin fetucini. Aduh, ya ampun, aku harus bagaimana sekarang?” Aku menghela napas sambil berbicara padanya di telepon. Aku sedang berada di tempat kerjaku sambil fokus pada pekerjaanku dan, pada saat yang sama, berbicara dengan suamiku di telepon.“Aku bisa buatkan dua-duanya kalau kamu mau,” usul Jason setelah terkekeh.“Aduh, seharusnya aku pilih satu saja,” gumamku. Jason terkekeh lagi.“Ini bukan salahmu, kamu hanya tidak dapat menahan masakanku, jadi sulit untuk memutuskan. Kamu tahu aku mahir dalam segala hal yang kulakukan,” sombongnya, seperti biasa.“Hm, karena kamu bersikeras, aku ingin dua-duanya,” kataku padanya, tersinggung.“Astaga, aku tahu kamu senang menghukumku, ‘kan, wanita? Namu
AnnaMalam itu, Panca dan aku bersenang-senang bersama. Kami menjahili Paman Juan dan tunangannya, hal-hal yang tidak benar-benar menyakiti mereka, tapi itu merenggut kedamaian mereka. Misalnya, menuangkan minyak zaitun ke dalam anggur Paman Juan, menambahkan garam pada potongan kue pernikahannya, meletakkan bantal kentut di tempat duduknya, dan ketika dia duduk, dia membuat suara kentut yang konyol yang membuat semua orang menertawainya, dan hal-hal semacamnya.Itu sangat menyenangkan bagiku. Meskipun itu belum cukup bagi Panca, melihat Paman Juan mengalami semua hal-hal menyebalkan itu sudah membuatnya lebih gembira. Namun, kami tertangkap di penghujung pesta. Karena kami hanyalah dua anak-anak, tidak ada yang menganggapnya serius. Ayahku dan Paman Juan meneriaki kami dan bilang mereka akan menghukum kami, jadi Panca dan aku berlari untuk bersembunyi ketika para orang dewasa sedang mengomel tentang kami.“Itu luar biasa! Gila,” seru Panca sambil tertawa ketika kami berhasil melari
AnnaIni semua dimulai ketika aku berusia 11 tahun dan Panca Mardian ingin membunuh ayah tirinya.“Apakah ayahmu punya pistol?” tanyanya ketika dia dan aku sedang bersembunyi di langit-langit ruang dansa, tempat pernikahan Paman Juan dan ibunya diadakan.“Apa?” Sesaat, kukira aku salah dengar, jadi aku bertanya.Dia menatapku, mata cokelat tuanya mencolok. Dia masih praremaja, tapi dia sudah sangat misterius dan membuatku penasaran. “Aku butuh pistol untuk membunuh ayah baruku,” ungkapnya padaku.“Paman Juan? Kenapa kamu ingin melakukan itu? Dia adalah orang yang baik,” jawabku dengan marah.Dia menggerutu jijik dan kembali melihat ke lantai bawah. Para orang dewasa sedang berbincang dengan satu sama lain, menikmati pesta pernikahannya. “Pria itu mengirimkan ayahku ke penjara,” kata Panca, kata-katanya penuh oleh amarah.“Namun, itu adalah pekerjaan dia. Paman Juan adalah seorang polisi. Dia memasukkan orang-orang jahat ke dalam penjara,” kataku padanya, sedikit takut ketika aku