SuzyKakiku gemetar ketika aku meninggalkan tempat makan itu dan berjalan dengan sempoyongan ke mobilku. Setelah memasukinya, aku dengan cepat mengambil kantung plastik dan mengeluarkan semua makanan yang telah kumakan malam itu. Aku menyandarkan kepalaku di kursi dan bernapas melalui mulutku, mencoba mengembalikan keseimbanganku dan mengendalikan emosiku. Aku meletakkan tanganku di atas perutku dan menggertakkan gigiku dengan marah. Segala hal telah menjadi makin rumit. Aku keliru, berpikir bahwa jika aku memohon pada Lukman, dia akan berkenan merendahkan dirinya padaku, tapi hal itu malah mengacaukan segalanya dan sekarang Clara dan aku hanya memiliki tiga hari untuk mencari bukan 7,5 miliar rupiah, tapi 15 miliar rupiah!Astaga! Bagaimana kalau aku mengambil cangkul, menggali lubang di tanah, dan mengubur diriku sendiri di dalamnya saja? “Dasar keterlaluan! Memalukan sekali!” teriakku dengan marah, menghantam setir mobilku. Segala hal berjalan dengan buruk sekarang. Bagaimana cara
“Gama ….” Aku terbata-bata, memeluknya, dan berakhir menangis. Aku tidak tahu apakah itu karena aku merindukan dia atau karena semua tekanan yang kurasakan selama beberapa jam belakang. Demikian pula, aku hanya merasa seperti aku perlu jatuh ke dalam pelukan seseorang yang memedulikan aku dan menangis seperti anak yang kesakitan.Gama membawaku ke toko kudapan yang berada di dekat tempat tinggal Laura. Dia memesan kopi dan kue bolu untukku yang mengingatkanku akan kudapan dan makanan manis yang selalu dia bawa untukku di panti asuhan. Aku juga mengingat betapa aku menantikan kunjungannya setiap hari Minggu sejak aku masih kecil. Dia bilang dia adalah kakakku meskipun kami tidak memiliki darah yang sama dan dia menyesal tidak bisa membawaku untuk tinggal bersama dengannya.“Dunia ini lebih kejam di luar sana, Suzy. Ini adalah tempat terbaik untuk kamu tinggali untuk sekarang,” katanya setiap kali aku meminta dia untuk membawaku. Aku masih berpikir tidak ada tempat yang lebih buruk dar
SuzyAku memandangnya tanpa memahami kenapa dia begitu terdesak. Dia memintaku untuk meyakinkan Laura untuk memaafkan dia, tapi untuk apa aku melakukan itu? Maksudku, bukannya aku tidak mau Gamma berdamai dengan adiknya, tapi mengenal Laura, aku bisa membayangkan bahwa Gama telah melakukan hal yang sangat buruk sampai dia tidak ingin memaafkannya. Agak keterlaluan bagiku untuk meminta Laura melakukan ini hanya karena aku menyukai Gama karena sebagai temannya, aku harus menghargai keputusannya.“Apakah kamu akan melakukannya, Suzy? Apakah kamu akan meyakinkan Laura untuk membawaku kembali ke rumahnya? Desaknya, tubuhnya condong ke arahku, tidak sabar mendengar jawaban positif.Aku terkekeh. “Jangan jadi orang aneh. Untuk apa aku melakukan itu? Itu adalah masalahmu. Aku tidak bisa ikut terlibat,” kataku.“Namun, kamu tahu kalau aku adalah orang baik-baik. Tidakkah kamu mengingat ketika aku terus mengunjungimu di panti asuhan itu dan membawakan jajanan untukmu?” bujuknya.“Tentu saja
Laura“Laura? Bolehkah aku masuk?” tanya Suzy, mengintip dari pintu masuk ruang kerja di rumahku.“Tentu saja, masuklah,” kataku padanya, mengisyaratkan padanya untuk masuk dan kemudian mengembalikan perhatianku ke layar di depanku. Belum lama sejak Gideon pergi, terutama karena dia juga memiliki komitmen dan tidak bisa menjadi pengawal menawanku setiap saat. “Hmm. Kamu sudah pulang? Bagaimana malam bersama temanmu?” tanyaku pada Suzy sambil masih memandang layar.Dia duduk di salah satu kursi di depan mejaku dan menghela napas dengan lantang. “Menyenangkan seperti biasa … Apakah pekerjaanmu banyak?” tanyanya dan aku mengangkat bahu.“Cukup banyak, seperti biasa,” jawabku, lalu mengernyit ketika aku menatapnya. “Apakah kamu sehabis menangis? Mata pandamu mencolok sekali,” kataku.Dia mengangkat tangannya ke wajahnya. “Oh, aku dan Clara menonton komedi romantis semalam. Aku biasanya tidak menangis ketika menonton film, tapi ternyata hormonku tidak terkendali,” katanya sambil tertaw
Laura“Kumohon, Laura. Bisakah kamu mempertimbangkannya kembali?” desak Suzy. “Gama bukanlah monster seperti yang kamu pikirkan. Apakah dia pernah melakukan kesalahan padamu di masa lalu? Iya, tapi semua orang melakukan kesalahan, ‘kan? Hal yang terpenting adalah dia ingin menebus kesalahannya sekarang. Jangan bersikap sekeras itu padanya.”Aku menghela napas lantang seraya mempersiapkan makan malam hari itu. Suzy terlihat bertekad untuk meyakinkan aku untuk menerima Graham dan rasanya agak canggung melihatnya sangat fokus pada seseorang seperti itu. Ternyata, ikatan yang dia miliki dengan Graham sangat dalam, sesuatu yang masih tidak bisa kupahami. Bagaimana Graham bisa menjadi pria yang baik untuknya? Aku yakin dia menyembunyikan sesuatu dariku.“Kurasa aku tidak sekasar itu, Suzy. Maksudku, tentu, aku mengusirnya dari rumahku, tapi aku memiliki alasanku sendiri,” jawabku, memotong sayuran yang akan kugunakan untuk membuat saus pasta.“Aku hanya mengatakan kalau tidak benar jika
SuzySetelah aku terus mendesaknya, Laura akhirnya membiarkan Gama memasuki rumahnya. Senyuman bahagia terpampang di wajahku. Rasanya hampir tidak mungkin memercayai bahwa aku berhasil meyakinkan dia. Gama telah mendapatkan apa yang dia inginkan, jadi sekarang aku bisa mendapatkan uang dari keluarga miliarderku. Aku tidak bisa menunggu hal ini supaya aku bisa menyingkirkan penipu itu segera. Aku mulai merasa makin gugup mengenai keseluruhan situasi ini, jadi aku tidak bisa menunggu mendapatkan uang ini dan lepas dari para rentenir.“Jadi, monster itu adalah kakak Mama?” tanya Anna pada ibunya ketika kami semua duduk di ruang tengah setelah makan malam piza bersama.Graham, yang duduk dengan tenang di kursi di dekat sana, tertawa mendengar cara Anna menyebutnya. “Menurutmu aku monster?” tanyanya pada gadis itu.“Kamu membuatku takut,” ungkap Anna, masih duduk di pangkuan Laura sambil melingkari tangannya di leher ibunya. Laura juga memeluknya dengan protektif. Dari kekakuannya dan c
SuzyKetika aku mengucapkan selamat malam pada Gama dan beranjak ke kamarku, aku mau tidak mau menangis seperti wanita yang terkutuk. Aku merasa bersalah karena telah menekan Laura untuk menerima kakaknya kembali. Meskipun dia memiliki alasannya sendiri, aku bersikap seperti orang yang sangat egois, jadi meskipun aku pun memiliki alasanku sendiri, itu tidak menghentikan aku dari merasa seperti sampah.Namun, di tengah malam, ketika aku melihat tingkah laku Graham yang mencurigakan, aku mulai benar-benar mencurigainya. Pria itu berjongkok di depan pintu kamar Laura, mengoprek kunci pintunya seolah-olah dia ingin membukanya, dan raut wajah terkejutnya ketika dia melihatku telah membeberkan dirinya.“Apa yang kamu rencanakan? Kenapa kamu mencoba membuka pintu ini?” tanyaku dan sebelah alisku menaik, memasang ekspresi wajah curiga.“Apa? Aku mencoba membuka pintu kamar Laura? Tentu saja tidak, Suzy. Aku hanya memeriksanya,” katanya sambil terkekeh pelan. “Bukankah kamu bilang seseorang
SuzyMataku membelalak lebar dan mulutku menganga ketika aku baru saja mendengar kebenaran mengerikan yang keluar dari mulut Gama. Dia masih memunggungiku, tapi segera ketika dia menyadari kehadiranku, dia dengan cepat menoleh ke arahku.Raut wajahnya tegang dan berbahaya. Aku pun menyadari betapa besar bahaya yang sedang kuhadapi. “Tenang saja, manis. Aku telah mengatur semuanya agar bisa menyelesaikan misi ini,” katanya dengan tenang pada orang yang sedang berbicara dengannya di ujung telepon lainnya, yang merupakan Kinan, si j*lang itu, lalu dengan tenang memutuskan sambungan teleponnya.“Kamu mendengar semuanya, ‘kan, Suzy?” tanyanya padaku.Raut wajahku benar-benar kecewa. Sepanjang umurku, aku tidak akan pernah berpikir bahwa dia adalah orang semacam itu. Aku langsung berlari dari sana dan dia mengejarku, tapi aku tiba di pintu kamar Anna lebih dulu dan menguncinya dari luar. Dia mendorongku dengan sangat keras sampai tubuhku membentur lantai kayu parket yang dipoles, membuat
AnnaAku sedang bersandar di toilet kamar kecil itu, memuntahkan semua yang telah kumakan hari itu. Aku mual dan seluruh tubuhku gemetar, merasa sangat buruk. Aku seharusnya benar-benar tidak minum alkohol sebanyak itu.Lalu, aku mendengar ketukan di pintu bilik. “An, apakah kamu butuh bantuan?” Itu adalah Panca. Dia berada di sisi lain pintu, mengkhawatirkan aku.“Tunggu sebentar. Aku akan keluar,” kataku dengan suara yang tercekat. Aku menyiram toiletnya dan hampir pingsan di lantai. Saat itu sudah pagi. Panca dan aku sedang berada di dalam klub malam, mencoba bersenang-senang. Aku telah memintanya melakukan itu karena aku ingin melupakan masalah-masalah si*lanku, tapi rupanya aku tidak cukup kuat untuk minum alkohol sebanyak itu dalam sekali minum.“Kalau kamu butuh aku, teriak saja,” kata Panca lagi. Dia mengkhawatirkan aku.Aku menghela napas berat dan meninggalkan bilik, beranjak ke wastafel untuk mencuci wajahku. “Ini adalah kamar kecil wanita. Kamu tidak boleh ada di sini,
LauraAku duduk di ranjangku sambil memandang ponsel di tanganku. Aku sedang menelepon Anna lagi, setelah ratusan panggilan yang kucoba lakukan. Dia menolak menjawab semua panggilan teleponku. Ponsel dia di luar jangkauan, tapi aku tetap menelepon karena jika tidak, aku akan merasa benar-benar tidak berguna.Aku belum melakukan apa-apa sejak Anna pergi. Berhari-hari telah berlalu dan Anna belum pulang. Kami bahkan tidak bisa menemukan dia. Meskipun kami memiliki kuasa dan pengaruh yang besar, itu semua terlihat tidak berguna ketika berurusan dengan menemukan seseorang yang tidak ingin ditemukan. Tampaknya, Anna berusaha keras sekali untuk tidak ditemukan.Aku meletakkan ponselku di pojokan ranjangku dan menghela napas dengan bahu yang merosot ke depan, merasa sangat kehilangan arah. Ini tampaknya terlalu kejam. Cara putriku bertingkah tidak normal, setidaknya tidak bagi anak perempuan yang jatuh cinta dan pada umumnya membuat keputusan buruk atas nama cinta. Anna mungkin mencintai a
AnnaPanca dan aku harus meninggalkan hotel itu karena orang-orang yang dikirimkan ayahku sudah hampir sampai di pintu kami dengan niat untuk menangkap kami.“Bagaimana mereka bisa menemukan kita?” tanya Panca, gundah, seraya dia dan aku berlari pergi dari penginapan itu.Aku juga sangat kebingungan. Aku yakin kami tidak meninggalkan apa-apa. Kami berlari dan bersembunyi di balik sebuah gang, melihat bawahan-bawahan ayahku berlari ke arah yang berlawanan tanpa mengetahui bahwa kami ada di balik pojokan itu.“Apakan mereka akan kembali?” tanyaku, melihat orang-orang itu menghilang.“Jika mereka berhasil menemukan kita di sini, aku yakin mereka akan menemukan kita lagi,” ujar Panca. “Sepertinya ada yang kita lewatkan ….” Dia berpikir, lalu dia menoleh ke arahku dan mulai meraba-rabaku.“Hei! Apa yang kamu lakukan?’ tanyaku, terkejut dengan cara dia merogoh-rogoh tubuhku.“Pasti ada GPS pada dirimu. Itu akan menjelaskan segalanya,” katanya, meraih tasku, membuka ritsletingnya, dan
AnnaPanca dan aku berakhir harus pergi ke sebuah penginapan karena saat itu sudah larut malam dan orang-orang yang dikerahkan ayahku tersebar ke seluruh penjuru kota. Kami harus tetap bersembunyi dan menunggu orang-orang itu pergi supaya mereka bisa memberikan kami minuman agar kami bisa melanjutkan perjalanan kami.Ruangan itu biasa saja dengan dekor kasar dan dua kasur di tengah. Karena uang kami menipis, kami tidak bisa pergi ke tempat yang lebih baik. Bukan hanya itu, jika kami melakukan itu, kami bisa menarik perhatian. Begitu kami tiba di sana, Panca langsung mengintip melalui gorden jendela.“Bisakah kamu melihat mereka?” tanyaku, masih ketakutan. Ingatan tentang apa yang terjadi di taman masih segar di dalam diriku.“Sayangnya tidak,” jawab Panca sambil masih melihat-lihat. “Kita berhasil melarikan diri dari mereka. Namun, kita sebaiknya pergi dari kota ini sesegera mungkin.”Aku menghela napas sambil mengangguk dan duduk dengan berat di ranjang, merasa lelah dan kehabisa
Anna“Namaku tidak penting,” jawabnya, dengan ketenangan yang membuatku curiga. “Ayahmu menyuruhku untuk menjemputmu. Waktunya pulang.”Jantungku berdegup di dalam tulang rusukku. Bagaimana bisa ayahku menemukanku? Panca dan aku telah sangat berhati-hati hingga sekarang, kami tidak meninggalkan banyak petunjuk yang akan membuat dia atau siapa pun menemukan kami dengan mudah, tapi pria yang dikirimkan oleh ayahku ini mengatakan bahwa dia ada di sana untuk menjemputku pulang.“Dengar, pasti kamu salah orang, oke? Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku pada pria itu, tetap waspada.“Ayolah, Nona Santoso,” jawab pria itu. “Ikutlah bersamaku. Keluargamu membutuhkanmu.” Dia mengulurkan tangannya dan mencoba menggenggam lenganku, tapi aku dengan cepat menghindarinya, menyembunyikan lenganku di balik tubuhku.“Sudah kubilang kamu salah orang. Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku lagi, dengan cepat melihat ke arah Panca pergi. Aku telah meminta minum di waktu yang tidak tepat.“Untung
AnnaTamannya terang, disinari oleh ribuan lampu berwarna-warni. Aku melihat-lihat ke sekitar, terkagum oleh tempat itu. Aku tidak pernah pergi ke taman hiburan di malam hari dan suasana yang semarak membuatku seperti sedang berada di dalam film. Panca terlihat sama gembiranya seperti diriku, dengan mata yang berbinar dan senyuman lebar di wajahnya.“Jadi, apa rencananya?” tanyanya, menawarkan lengannya untukku seperti seorang tuan.“Bianglala,” jawabku dengan cepat. “Aku ingin melihat semuanya dari atas!”Panca tertawa dan membuat gestur dramatis dengan tangannya. “Sesuai keinginan Anda, Nona An!” candanya. Kami pun beranjak ke arah bianglala.Di samping kami, taman itu sangat ramai. Anak-anak tertawa dan berlari di mana-mana. Seorang penjual berondong jagung, mengenakan topi yang besar dan penuh warna, berteriak untuk menarik lebih banyak pembeli. “Berondong jagung panas, berondong jagung manis, berondong jagung asin! Ayo, ayo, jangan lewatkan!”Aku menatap Panca dan tertawa. “
Layla“Aku sedang membicarakan dirimu, Layla,” katanya. “Kembalilah padaku.”Aku terkekeh skeptis. “Apa yang kamu lakukan sekarang? Kenapa kamu mengatakan ini? Apakah kamu benar-benar ingin aku memercayai itu?” tanyaku, skeptis terhadap perkataannya.Maksudku, pernikahan kami sudah berjalan selama bertahun-tahun dan sepanjang waktu itu, aku melakukan segala hal yang bisa kulakukan untuk membuat dia menyadari bahwa ini adalah hal yang penting bagi kami berdua, untuk membuat dia sadar betapa aku mencintainya dan betapa aku bersedia untuk membuat dia bahagia, tapi dia tidak pernah mendengarkan aku. Kebalikannya, malah. Gideon membenciku dan memperlakukan aku seolah-olah dia membenciku.Aku harus menelan banyak hal dalam pernikahan itu untuk tetap berada di sisinya dan berjuang untuk kami berdua. Akan tetapi, begitu aku telah memutuskan untuk akhirnya melihat diriku sendiri dan meninggalkan hubungan yang tidak sehat itu, dia muncul dan mengatakan bahwa dia menginginkan aku kembali. Apa
LaylaKetika bel pintuku berbunyi dan aku pergi menjawabnya, aku mengernyit ketika Gideon Nalendra ada di pintuku. “Kamu? Apa yang kamu inginkan di sini?” tanyaku, lebih terkejut dibandingkan tertarik. Sejak aku bercerai dengannya, dia tidak pernah mendatangiku secara langsung, dia selalu mengirimkan seseorang untuk menjemput putranya dan kemudian mengembalikan dia dengan aman setelah beberapa hari, tapi dia tidak pernah datang secara langsung sebelumnya.“Em, hai, Layla,” gumamnya, masih berdiri di pintu apartemenku.“Papa!” Itu adalah Wira kecil yang berlari begitu dia melihat ayahnya di pintu.“Hei, petarung kecil!” seru Gideon, berjongkok untuk menggendong putranya dan memeluknya.“Aku senang sekali bertemu dengan Papa!” ucap anak itu dengan bahagia, memeluk ayahnya. Meninggalkan Surabaya adalah hal yang sulit, terutama karena anak itu sangat menempel dengan ayahnya, tapi dia masih terlalu muda untuk berada jauh dari ibunya bagiku untuk meninggalkan dia bersama Gideon, bukanny
AnnaRasanya seakan-akan dunia di sekitar kami menghilang. Panca dan aku sedang menjalani hari yang sempurna, yang mana segala hal tampak memungkinkan, yang mana tidak ada kekhawatiran, hanya kebahagiaan. Musik pop tahun 2000-an terputar dengan lembut melalui pengeras suara toko dan rasanya seperti musik pengiring untuk kisah kami yang mulai tertulis sendiri.Panca menggenggam tanganku dan menarikku ke area aksesori dengan senyuman konyolnya. “Lihat ini!” Dia mengambil sepasang kacamata besar dengan lensa bundar dan bingkai berwarna neon. Dia memasang itu di wajahnya dan membuat pose yang dilebih-lebihkan seolah-olah dia adalah seorang model papan atas. “Sempurna untuk tampilan futuristik, ‘kan?”Aku tertawa dan mengambil kacamata lain, hanya saja kacamata itu memiliki bingkai berbentuk hati. Aku memakainya di wajahku dan menatap Panca sambil tersenyum. “Sekarang iya! Kita siap untuk mendominasi dunia!”Dia tertawa dan mencium pipiku. “Tentunya dunia tidak akan sama jika kita memak