Lila mengangkat telepon dengan cepat, mendengar suara lembut penuh kecemasan dari Inayah, di seberang sana."Lila, bapakmu Lil ….” Kalimat itu harus terjeda oleh suara tangis “Bapakmu sekarang harus kembali ke rumah sakit. Kondisinya memburuk sejak semalam," sambung Inayah terputus-putus karena dibarengi oleh tangisan.Dunia Lila seakan berhenti sejenak. Dia merasa detak jantungnya mengalami percepatan berulang kali lipat, hingga membuat pandangannya kabur sesaat.“Bu … apa yang terjadi? Kenapa nggak bilang dari tadi?” Suara Lila gemetar tidak bisa menutupi rasa khawatir di hatinya."Kami nggak mau bikin kamu panik, tapi sekarang sudah nggak bisa lagi ditunda. Dokter bilang bapakmu harus segera mendapat perawatan. Kamu bisa pulang, kan?"Lila terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Rasa panik yang mendesak membuat dadanya terasa sesak. "Iya, Bu. Aku akan segera pulang."Lila menghela napas dalam-dalam, masalah seolah enggan beranjak dari hidupnya. Selalu ada yang menjadi penghalang untuk
Rasa lelah yang mendera setelah perjalanan jauh tidak Lila hiraukan. Yang penting saat ini dia bisa melihat keadaan sang ayah. Lila mendekati brankar ayahnya, ingin melihat keadaan Waluya sambil mengistirahatkan tubuh dengan duduk di kursi yang ada di samping brankar.Suara napas Waluya yang berat terdengar samar di balik suara monitor medis, membuat suasana semakin mencekam. Inayah duduk di sebelahnya, memandang Lila dengan tatapan penuh emosi yang selama ini terpendam. Bahkan terlihat tidak peduli dengan, keadaan Lila yang tampak kelelahan.“Apa karena lelaki itu kau minta cerai dari Sean?” Tampaknya Inayah masih penasaran dengan sosok Ryan.“Tidak Bu,” sangkal Lila yang merasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang lebih condong pada tuduhan. “Hubungan kami murni urusan pekerjaan, kalau sampai dia mengantarku pulang, itu semua karena alasan kemanusiaan.”Inayah mendengus kasar, meski tidak percaya begitu saja, tetapi tampak mulai mengabaikannya. Pandangannya kini tertuju ke arah sang
Lila tersentak, tubuhnya seketika menegang. Pertanyaan itu menghentikan langkahnya, membuatnya tak mampu berkata-kata. Dia menatap ayahnya, matanya dipenuhi rasa cemas dan ketidakpastian. Selama ini, dia mencoba menyembunyikan kehamilannya, terutama dari ayahnya yang sedang sakit. Dia tak ingin menambah beban pikiran di tengah kondisinya yang masih belum stabil."Bapak …" Lila berusaha mencari kata-kata yang tepat, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Matanya bertemu dengan tatapan tajam sang ayah yang begitu penuh perhatian."Jawab, Nak. Kamu hamil?" Suara Waluya terdengar lebih lembut, tetapi menuntut jawaban pasti.Waluya tidak bisa mengabaikan apa yang baru saja dilihatnya. Wajah Lila, sikap tubuhnya, dan suara muntah itu adalah tanda-tanda yang sulit untuk disangkal.Lila mengangguk perlahan, mengakui kenyataan yang selama ini coba dia sembunyikan."Iya, Pak …" jawab Lila lirih, nyaris tidak terdengar. "Aku hamil."Waluya menarik napas panjang, seolah berpikir sejenak. Tatap ma
Lila terdiam mendengar ancaman halus dari Waluya. Kata-kata itu seperti beban berat yang menekan hatinya. Dia tahu bahwa ayahnya sangat memegang prinsip, dan restunya adalah sesuatu yang sangat penting saat dia kembali membuka hati dan menjalin hubungan dengan seorang pria.Setelah semua yang terjadi, rujuk dengan Sean bukanlah pilihan yang pernah terlintas dalam pikirannya."Jadi, apa pun yang terjadi, bapak ingin kamu mempertimbangkan dengan hati-hati,” ucap Waluya perlahan. "Jangan sampai kamu mengaburkan asal-usul anakmu. Bagaimana pun juga, anak itu berhak tahu siapa ayahnya yang sebenarnya. Meski nanti kamu dan Sean tidak bersama, jangan pernah menutupi kebenaran dari anakmu."Lila hanya bisa menunduk. Perasaan bersalah, kebingungan, dan beban tanggung jawab bercampur aduk dalam benaknya. Ia tahu, keputusan apa pun yang ia buat akan membawa dampak besar bagi hidupnya, dan juga bagi bayinya.Waluya menatap Lila dalam-dalam, ada ketegasan sekaligus kasih sayang di balik sorot mata
"Apa yang kalian sembunyikan dari Sean?" Inayah menatap Waluya dengan tatapan penuh tanya, matanya menyipit curiga.Waluya menghela napas panjang, terlihat berat untuk mengatakannya. Namun, ia tahu tak ada gunanya menunda lebih lama lagi."Lila ... dia sedang hamil, Bu."Inayah terkejut, mulutnya sedikit terbuka mendengar jawaban dari suaminya. Sesaat ruang itu terasa hening, udara seolah berhenti bergerak."Apa?" Suara Inayah bergetar, hampir tidak percaya. Dia mengalihkan pandangan ke arah Lila, mencari jawaban dari mata putrinya. “Anak Sean?” Lila mengangguk lemah lalu menunduk, menghindari tatap mata ibunya."Lila, kamu harus memberi tahu Sean!" seru Inayah, tiba-tiba penuh semangat."Ini kesempatanmu untuk kembali padanya! Kalau kamu jujur, dia pasti mau rujuk. Sean orang baik. Lagipula, kamu tahu sendiri bagaimana hidup kita saat masih bersamanya. Kamu bisa kembali hidup nyaman, Nak! Hidup mewah seperti dulu."Lila menggelengkan kepala pelan, tidak sejalan dengan jalan pikiran i
Bella keluar dari ruangan Sean dengan langkah cepat, wajahnya memerah karena kesal. Hatinya bergejolak, merasa terhina oleh guyonan Rangga yang terasa sangat melecehkannya.Penampilan maksimal yang dia tunjukkan selama ini berharap mendapat perhatian lebih dari Sean. Tetapi dia selalu mendapatkan tatapan dingin dan sikap tidak acuh dari bosnya tersebut.Sedangkan Rangga, bukannya memberi apresiasi yang membuatnya semakin percaya diri, justru membuatnya menjadi malu di hadapan Sean."Kau bukan siapa-siapa Rangga," gumam Bella terlihat memendam amarah. “Kau seperti Lila, hanya orang miskin yang beruntung dipungut oleh keluarga Wismoyojati,” sambungnya sembari menghela napas, masih tersulut oleh rasa malu yang tak bisa ia sembunyikan.Sementara itu di dalam ruangan, Sean melempar ballpoint ke arah Rangga yang tertawa terbahak.“Matamu, awas bener?” Sean menggelengkan kepala, tersenyum melihat tingkah Rangga.“Mas Sean nggak pernah memperhatikan Bella akhir-akhir ini?”“Saya sibuk urus in
Makan siang kali ini terasa seperti sebuah sandiwara besar, dengan dua keluarga duduk berhadapan di meja yang mewah, saling bertukar senyum dan penuh basa-basi. Tapi di balik semua itu, ada percakapan serius yang menunggu diucapkan.Miranda duduk di sebelah Sean, berusaha mempertahankan senyumnya meski dia tahu, Sean tidak benar-benar ada di situ. Sorot matanya kosong, dan gerak-geriknya terlihat, seolah dia hanya ingin segera keluar dari situasi ini.Di sisi lain meja, Andreas dan Sekar tampak begitu bersemangat. Andreas, dengan kemeja mahal dan jam tangan mewahnya, terlihat penuh antusias.“Sean, Miranda, ini adalah momen yang sudah kami tunggu. Bu Sekar dan saya sudah membicarakan ini cukup lama. Saya pikir, sudah saatnya kalian mulai merencanakan pernikahan. Kami sebagai orang tua hanya ingin memastikan semuanya berjalan dengan lancar.”Sekar menimpali, dengan tatapan lembut namun penuh tekanan pada putranya. “Iya, Sean. Kami semua tahu betapa cocoknya kalian berdua. Miranda sudah
Setelah makan siang berakhir, Sean dan Miranda keluar dari restoran dengan langkah berat. Wajah Sean tampak tegang, sementara itu Miranda tidak dapat menyembunyikan kesedihan dan rasa kecewanya.Tidak ada gandengan mesra, Miranda dengan berat mengikuti langkah Sean, dia tahu bahwa sesuatu akan segera terjadi. Dan kala mereka sudah tiba di depan mobil, Sean tidak bisa lagi menahan amarah yang sejak tadi dipendam.“Kenapa kamu tidak memberitahuku tentang pertemuan keluarga ini sebelumnya?” tanya Sean dengan nada tajam. Matanya menatap Miranda tajam, penuh kekecewaan.Miranda menunduk, berusaha tetap tenang meski hatinya berkecamuk. “Sean, aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya. Itu semua rencana Tante Sekar. Dia yang mengatur semuanya.”Tidak ada kebohongan dari ucapan Miranda, tetapi ada kebenaran yang dia sembunyikan. Pertemuan keluar itu terjadi karena permintaannya, sebagai perempuan yang mengharap kepastian dari sebuah hubungan.Sean mendengus, tangannya mengepal di samping t
Ryan menatap bayangannya di cermin, menyisir rambutnya dengan perlahan. Wajahnya tampak tenang, tapi pikirannya tidak. Rina masih memenuhi benaknya.Sejak perpisahan mereka, ia berusaha mengalihkan perhatian dengan pekerjaan dan kesibukan lainnya, tetapi bayangan gadis itu selalu muncul, terutama di saat-saat seperti ini, saat ia sendiri, berdiri di depan cermin, menghadapi dirinya sendiri.Dengan helaan napas panjang, Ryan meraih ponselnya dari meja. Jemarinya ragu sejenak sebelum akhirnya mengetik pesan."Rina, bisakah kita bertemu? Mungkin untuk yang terakhir kali."Ia menatap layar, mempertimbangkan apakah ini keputusan yang tepat. Namun sebelum bisa berubah pikiran, ia menekan tombol kirim.Detik-detik berlalu terasa lambat. Ia menunggu dalam diam, berharap, tapi juga takut akan jawaban yang mungkin ia terima. Lalu, ponselnya bergetar."Baiklah, di mana?"Ryan merasakan dadanya sedikit lega, meski di baliknya ada kegelisahan. Ia segera mengetik balasan."Bagaimana kalau di Restor
Setelah makan malam, mereka duduk santai di ruang keluarga. Sekar duduk di sofa dengan nyaman, sementara Lila menyandarkan kepalanya di bahu Sean yang duduk di sampingnya. Brilian sudah tertidur pulas di kamarnya, membuat malam terasa lebih tenang.Sekar menyesap teh hangatnya, lalu melirik ke arah Sean. “Sean, apartemen kamu di Regal Hight itu sampai sekarang masih kosong, ya?” tanya Sekar santai.Sean menoleh ke ibunya, lalu mengangkat bahu. “Iya, Ma. Kenapa?”Sekar menatapnya dengan tajam. “Apa rencanamu dengan apartemen itu?”Sean menghela napas, melirik sekilas ke arah Lila yang tampak mendengarkan obrolan mereka dengan tenang. “Belum ada rencana, Ma,” jawab Sean akhirnya.Sekar langsung bersuara dengan nada tegas, “Kalau begitu lebih baik disewakan saja. Daripada dibiarkan kosong, hanya menghabiskan biaya perawatan.”Sean kembali melirik Lila, kali ini lebih lama. Sebenarnya, dia punya rencana sendiri untuk apartemen itu. Sesekali, dia ingin mengajak istrinya ke sana, menghabisk
Setelah kelahiran Brilian, ada rasa kurang nyaman saat mereka menikmati kebersamaan. Beberapa kali Brilian terbangun di saat yang tidak tepat, hingga membuat Sean dan Lila terpaksa menyelesaikan dengan cepat, bahkan pernah akhirnya tidak dilanjutkan.Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Sean dan Lila menikmati kesempatan yang diberikan oleh Sekar. Terasa seperti bulan madu saat menikmati kebersamaan penuh gairah tanpa ada gangguan.Tidak harus terburu-buru untuk saling memberikan kenikmatan. Bahkan Sean tidak perlu membekap mulut Lila agar suara desah dan jeritannya membangun Brilian.Setelah berburu kenikmatan bersama dalam berbagai gaya diiringi dengan erangan dan desahan, akhirnya Sean dan Lila bisa mencapai puncak bersama. Sean melabuhkan kecupan lembut di bibir Lila sebelum menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Lila dan memeluknya dengan erat. Sementara itu Lila berusaha menormalkan kembali deru napasnya yang tidak beraturan.“Apa motif mama melakukan ini semua?” Lirih suara
Sean mendekati mamanya dengan hati-hati. Ia tahu Sekar tidak suka ditentang, tetapi ia juga tidak bisa diam melihat istrinya terluka.Dengan nada lembut berharap tidak menyinggung perasaan sang mama, Sean melontarkan pertanyaan, “Ma, kenapa Lila menangis? Apa ada sesuatu yang terjadi?”Sekar menoleh ke arah Sean, dia terlihat santai sambil tetap bermain dengan Brilian.“Ah, cuma masalah kecil, Sean. Aku hanya bilang ingin tidur dengan Brilian malam ini. Sepertinya Lila tidak terima.”Sean menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya. “Ma, aku tahu Mama sangat menyayangi Brili. Tapi Lila sudah seharian di kantor. Dia hanya ingin memeluk anaknya malam ini. Tidak bisakah Mama memberikan waktu untuk Lila dan Brili bersama? Besok, Mama bisa bermain sepuasnya dengan Brili saat kami bekerja.”Sekar menatap tajam ke arah Sean, matanya seolah ingin menembus akal sehat putra semata wayangnya.“Mama tidak ingin mengajakmu hitung-hitungan. Mama tidak pernah meminta imbalan untuk merawat Brili,
Inayah memijit pelipisnya dengan kesal setelah mendengar keluh kesah Delisa melalui telepon. Kata demi kata yang terlontar dari bibir putri bungsunya masih terngiang-ngiang di telinganya."Bu, Mbak Lila sekarang sombong. Dia nggak peduli lagi sama aku setelah jadi bos. Apa dia lupa kalau aku adiknya?" Nada bicara Delisa terdengar penuh keluhan, membuat hati Inayah ingin segera bertindak.Yang ada dalam benak Inayah, saudara itu harus selalu rukun dan saling menolong. Tidak ada salahnya Lila yang sudah memiliki kehidupan yang baik menolong adiknya yang sedang merintis karir.Tanpa berpikir panjang, Inayah meraih ponselnya dan bersiap menghubungi Lila. Namun, sebelum ia sempat menekan nomor, Waluya menghentikannya."Tunggu dulu, Bu. Jangan bertindak gegabah. Masalah Lila dan Lisa kali ini tentang pekerjaan, bukan urusan keluarga," ucap Waluya dengan tenang."Tapi, Pak, masa Lila begitu sama Lisa? Mereka kan saudara! Lila harusnya lebih perhatian sama adiknya," sahut Inayah dengan nada t
Setelah acara pengumuman berakhir, suasana di Mahendra Securitas mulai kembali tenang. Sekar terlihat tenang tetapi penuh perhatian ketika menggendong Brilian yang tertidur pulas di pelukannya.Langkahnya mantap menuju mobil, sementara Lila berjalan di sampingnya dengan raut wajah yang terlihat berat melepas kepergian putranya. Untuk pertama kalinya dia akan terpisah dalam waktu yang lama dengan putranya.Sekar tersenyum lembut, menatap menantunya dengan penuh pengertian. “Lila, Brilian akan baik-baik saja. Aku akan merawatnya dengan baik, seperti dulu waktu merawat Sean. Kamu fokus saja pada tugasmu di sini. Percayalah, ini juga untuk kebaikan Brilian.”Meskipun hatinya masih ragu, Lila akhirnya mengangguk. Dia tahu Sekar memiliki pengalaman dan kasih sayang yang luar biasa. Saat Sekar bersiap memasuki mobil bersama Brilian, Lila dan Sean mendekat untuk memberikan kecupan perpisahan kepada putra kecil mereka.Lila mencium kening Brilian dengan lembut, air mata hampir jatuh dari sudut
Mahendra Securitas sedang dipenuhi kasak-kusuk. Di sudut-sudut kantor, pembicaraan tentang pengganti Sekar menjadi topik utama.Beberapa karyawan menduga Andika dan Ryan, dua nama lama yang pernah menjadi bagian perusahaan, akan kembali memimpin. Namun, Nadya, yang dikenal sebagai tangan kanan Sekar, menepis rumor tersebut.Dengan senyuman penuh rahasia, Nadya hanya berkata, “Tunggu saja, kalian akan tercengang.”Di salah satu ruangan, Delisa mendengar percakapan itu. Rasa ingin tahunya memuncak, dan dengan hati-hati, ia mendekati Nadya. Dalam hati Delisa merasa senang saat mendengar jika Sekar akan digantikan. Gadis mud aitu sudah merasa tidak betah dengan sikap keras Sekar kepadanya.“Kak Nadya,” katanya dengan nada penuh harap, “apa benar akan ada pemimpin baru? Siapa dia?”Nadya menatap Delisa, senyumnya penuh teka-teki. “Kamu akan tahu nanti, Delisa. Ini kejutan besar,” jawabnya singkat, meninggalkan Delisa semakin penasaran.Semua karyawan diminta berkumpul di aula perusahaan se
Akhir pekan itu, suasana cerah menyambut kedatangan Sean dan Lila di rumah Sekar. Mobil berhenti perlahan di depan rumah dengan halaman luas yang dikelilingi pohon-pohon rindang.Sekar yang sejak tadi menunggu di teras langsung bangkit dengan senyum mengembang, begitu melihat Lila turun dari mobil sambil menggendong Brilian, cucunya yang baru berusia enam bulan.“Cucu oma sudah datang!” seru Sekar dengan penuh semangat.Lila menyerahkan Brilian pada ibu mertuanya, dan Sekar langsung memeluk bayi itu erat, mengajak bicara dengan nada lembut penuh kasih sayang.“Gantengnya oma. Sudah besar ya sekarang? Lihat, kamu makin gemuk!” ucapnya sambil mencium pipi Brilian yang montok.Meski Brilian belum mampu memberi jawaban, tetapi Sekar terus berbicara sendiri dengan penuh antusias. Sean dan Lila hanya tersenyum, mengikuti di belakangnya sambil membawa tas perlengkapan bayi.Kebahagiaan terpancar jelas di wajah mereka saat melihat Sekar begitu ceria bersama cucunya.Dan kini, mereka duduk di
Motor Ryan berhenti perlahan di depan tempat kos Rina. Udara dingin menusuk kulit, aroma aspal basah tercium kuat. Rina turun dengan hati-hati, melepas helm yang masih melekat di kepalanya, dan menyerahkannya kembali pada Ryan.“Terima kasih,” ucap Rina pelan dan terdengar tulus.Ryan mengangguk kecil, tapi sebelum sempat menjawab, hujan tiba-tiba kembali turun dengan deras, menampar jalanan tanpa ampun.“Sh*t!” Tanpa sadar Ryan mengeluarkan umpatan kasar yang langsung membuatnya tampak sedikit kikuk.Rina cukup terkejut mendengar Ryan mengumpat. Selama bekerja bersama di Mahendra Securitas mantan atasannya itu selalu terlihat kalem dengan gaya bahasa yang santun, tetapi mungkin situasi hari ini cukup membuatnya tidak nyaman.Tetapi Rina mencoba mengabaikannya, dia segera membuka gerbang kos memberi jalan masuk untuk Ryan.“Masuk saja, berteduh dulu. Hujannya deras banget,” katanya, suaranya sedikit mengalahkan suara hujan.Ryan menatapnya ragu, tapi akhirnya memarkirkan motor di depa