Lila terdiam mendengar ancaman halus dari Waluya. Kata-kata itu seperti beban berat yang menekan hatinya. Dia tahu bahwa ayahnya sangat memegang prinsip, dan restunya adalah sesuatu yang sangat penting saat dia kembali membuka hati dan menjalin hubungan dengan seorang pria.Setelah semua yang terjadi, rujuk dengan Sean bukanlah pilihan yang pernah terlintas dalam pikirannya."Jadi, apa pun yang terjadi, bapak ingin kamu mempertimbangkan dengan hati-hati,” ucap Waluya perlahan. "Jangan sampai kamu mengaburkan asal-usul anakmu. Bagaimana pun juga, anak itu berhak tahu siapa ayahnya yang sebenarnya. Meski nanti kamu dan Sean tidak bersama, jangan pernah menutupi kebenaran dari anakmu."Lila hanya bisa menunduk. Perasaan bersalah, kebingungan, dan beban tanggung jawab bercampur aduk dalam benaknya. Ia tahu, keputusan apa pun yang ia buat akan membawa dampak besar bagi hidupnya, dan juga bagi bayinya.Waluya menatap Lila dalam-dalam, ada ketegasan sekaligus kasih sayang di balik sorot mata
"Apa yang kalian sembunyikan dari Sean?" Inayah menatap Waluya dengan tatapan penuh tanya, matanya menyipit curiga.Waluya menghela napas panjang, terlihat berat untuk mengatakannya. Namun, ia tahu tak ada gunanya menunda lebih lama lagi."Lila ... dia sedang hamil, Bu."Inayah terkejut, mulutnya sedikit terbuka mendengar jawaban dari suaminya. Sesaat ruang itu terasa hening, udara seolah berhenti bergerak."Apa?" Suara Inayah bergetar, hampir tidak percaya. Dia mengalihkan pandangan ke arah Lila, mencari jawaban dari mata putrinya. “Anak Sean?” Lila mengangguk lemah lalu menunduk, menghindari tatap mata ibunya."Lila, kamu harus memberi tahu Sean!" seru Inayah, tiba-tiba penuh semangat."Ini kesempatanmu untuk kembali padanya! Kalau kamu jujur, dia pasti mau rujuk. Sean orang baik. Lagipula, kamu tahu sendiri bagaimana hidup kita saat masih bersamanya. Kamu bisa kembali hidup nyaman, Nak! Hidup mewah seperti dulu."Lila menggelengkan kepala pelan, tidak sejalan dengan jalan pikiran i
Bella keluar dari ruangan Sean dengan langkah cepat, wajahnya memerah karena kesal. Hatinya bergejolak, merasa terhina oleh guyonan Rangga yang terasa sangat melecehkannya.Penampilan maksimal yang dia tunjukkan selama ini berharap mendapat perhatian lebih dari Sean. Tetapi dia selalu mendapatkan tatapan dingin dan sikap tidak acuh dari bosnya tersebut.Sedangkan Rangga, bukannya memberi apresiasi yang membuatnya semakin percaya diri, justru membuatnya menjadi malu di hadapan Sean."Kau bukan siapa-siapa Rangga," gumam Bella terlihat memendam amarah. “Kau seperti Lila, hanya orang miskin yang beruntung dipungut oleh keluarga Wismoyojati,” sambungnya sembari menghela napas, masih tersulut oleh rasa malu yang tak bisa ia sembunyikan.Sementara itu di dalam ruangan, Sean melempar ballpoint ke arah Rangga yang tertawa terbahak.“Matamu, awas bener?” Sean menggelengkan kepala, tersenyum melihat tingkah Rangga.“Mas Sean nggak pernah memperhatikan Bella akhir-akhir ini?”“Saya sibuk urus in
Makan siang kali ini terasa seperti sebuah sandiwara besar, dengan dua keluarga duduk berhadapan di meja yang mewah, saling bertukar senyum dan penuh basa-basi. Tapi di balik semua itu, ada percakapan serius yang menunggu diucapkan.Miranda duduk di sebelah Sean, berusaha mempertahankan senyumnya meski dia tahu, Sean tidak benar-benar ada di situ. Sorot matanya kosong, dan gerak-geriknya terlihat, seolah dia hanya ingin segera keluar dari situasi ini.Di sisi lain meja, Andreas dan Sekar tampak begitu bersemangat. Andreas, dengan kemeja mahal dan jam tangan mewahnya, terlihat penuh antusias.“Sean, Miranda, ini adalah momen yang sudah kami tunggu. Bu Sekar dan saya sudah membicarakan ini cukup lama. Saya pikir, sudah saatnya kalian mulai merencanakan pernikahan. Kami sebagai orang tua hanya ingin memastikan semuanya berjalan dengan lancar.”Sekar menimpali, dengan tatapan lembut namun penuh tekanan pada putranya. “Iya, Sean. Kami semua tahu betapa cocoknya kalian berdua. Miranda sudah
Setelah makan siang berakhir, Sean dan Miranda keluar dari restoran dengan langkah berat. Wajah Sean tampak tegang, sementara itu Miranda tidak dapat menyembunyikan kesedihan dan rasa kecewanya.Tidak ada gandengan mesra, Miranda dengan berat mengikuti langkah Sean, dia tahu bahwa sesuatu akan segera terjadi. Dan kala mereka sudah tiba di depan mobil, Sean tidak bisa lagi menahan amarah yang sejak tadi dipendam.“Kenapa kamu tidak memberitahuku tentang pertemuan keluarga ini sebelumnya?” tanya Sean dengan nada tajam. Matanya menatap Miranda tajam, penuh kekecewaan.Miranda menunduk, berusaha tetap tenang meski hatinya berkecamuk. “Sean, aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya. Itu semua rencana Tante Sekar. Dia yang mengatur semuanya.”Tidak ada kebohongan dari ucapan Miranda, tetapi ada kebenaran yang dia sembunyikan. Pertemuan keluar itu terjadi karena permintaannya, sebagai perempuan yang mengharap kepastian dari sebuah hubungan.Sean mendengus, tangannya mengepal di samping t
Setelah kembali ke kantor, Lila berusaha menyesuaikan diri dengan rutinitas kerjanya. Meski pikiran tentang kehamilan dan kesehatan ayahnya masih membayangi, dia mencoba fokus pada pekerjaannya.Ruang kerjanya terasa lebih tenang daripada biasanya, dan Lila menyambut keheningan itu dengan rasa syukur. Tiba-tiba, suara ketukan di pintu memecah keheningan. Ryan muncul dengan senyum di wajahnya.“Lila, ada waktu untuk makan siang bersama?” tanyanya dengan nada ramah, matanya penuh perhatian.Lila tampak ragu sejenak. Tetapi mengingat betapa sering Ryan membantunya selama ini, dia akhirnya mengangguk, ada rasa segan untuk menolak permintaan tersebut.Kini Lila dan Ryan sudah berjalan memasuki restaurant yang letaknya tidak jauh dari kantor mereka. Saat mereka duduk dan mulai memesan makanan, Ryan mulai berbicara.“Bagaimana keadaan ayahmu sekarang? Aku dengar dia sudah pulang dari rumah sakit.”Seperti biasa, Ryan akan selalu menunjukkan perhatiannya. Sangat jauh berbeda dengan Sean yang
Rangga melangkah cepat menuju ruang kerja Sean. Meski hatinya masih ragu, tetapi baginya Sean harus tahu tentang kabar kehamilan Lila. Melihat perut yang sudah membesar, ada kecurigaan di hati Rangga, jika anak yang sedang dikandung oleh Lila adalah anak Sean. Meski Rangga tidak tahu pasti usia kehamilan Lila saat ini..Setibanya di depan pintu ruang kerja Sean, Rangga berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Rangga harus menemukan kalimat yang tepat untuk menyampaikan kabar ini. Dia tahu, Sean memiliki masalah serius yang berhubungan dengan anak.Namun, saat Rangga membuka pintu dan melangkah masuk, suasana ruangan terasa kacau dan tidak bersahabat. Wajah Sean terlihat tegang, napasnya memburu, dan di tangannya ada laporan yang jelas membuatnya kesal."Sempak semua!" Suara Sean keras, membentak seseorang di telepon sambil membanting laporan ke atas meja. "Aku sudah bilang, selesaikan masalah ini sebelum klien tahu!"Rangga membeku di tempatnya, mem
Lila menghentikan langkahnya, jantungnya berdetak lebih cepat saat sosok pria yang berdiri di depan pintu apartemennya semakin jelas. Andika Mahendra, ayah dari Ryan, atasannya. Meski jarang muncul di kantor, tetapi Lila cukup hafal dengan wajahnya. "Selamat sore," ucap Andika dengan tenang dan penuh wibawa. Lila mencoba menenangkan dirinya. "Selamat sore, Pak Andika." "Bisa kita bicara sebentar? Tidak usah jauh-jauh, di kafe sebelah." Andika berkata tanpa banyak basa-basi, seakan pertemuan ini sudah direncanakan. Lila mengangguk pasrah, dia pun penasaran dengan apa yang akan dibicarakan oleh Andika. Di kafe yang terletak hanya beberapa blok dari apartemen Lila, mereka duduk di sebuah meja di sudut ruangan. Andika memesan kopi hitam, sementara Lila hanya memesan air mineral, merasa tenggorokannya kering. Andika menatap Lila dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara kekuasaan, penghakiman, dan mungkin sedikit rasa ingin tahu. Tatap mata itu mengingatkan Lila kepada Sea
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Nadya. Selama Sean memperlakukan dirinya dengan baik, Lila harus bersyukur dan menikmati segala yang dia miliki saat ini. Dia harus fokus pada kehamilan dan proses persalinan yang semakin dekat.Perubahan sikap yang ditunjukkan oleh Sean akhir-akhir ini, membuat Lila merasa jika hubungannya dengan sang suami semakin membaik. Tak ayal hal tersebut membuat Lila merasa bahagia menantikan kelahiran putra pertamanya.Saat Lila sedang merapikan tempat tidurnya, dia dikejutkan oleh tangan kekar yang melingkar di perutnya. Tetapi keterkejutan itu berganti senyum, saat Lila mengenali aroma parfum yang akhir-akhir ini terasa begitu menenangkan baginya. Dan senyum itu semakin lebar, saat Lila menoleh ke belakang dan memastikan jika sang suami adalah pelakunya.“Sudah pulang?” tanyanya lembut.Sean tidak menjawab pertanyaan Lila, dia segera membalikkan tubuh Lila hingga membuat mereka dalam posisi yang saling berhadapan. Sean melabuhkan kecupan hangat di pucu
Di ruang kerja yang sunyi, Sean duduk di depan laptopnya. Video lama yang pernah diunggah Lila sedang diputar, menampilkan istrinya dengan ekspresi tenang namun penuh keyakinan. Suaranya yang lembut namun tegas mengisi ruangan, menjelaskan isu ekonomi yang rumit dengan cara yang sederhana dan mudah dipahami.“Kita tidak bisa menghindari deflasi, tetapi kita bisa belajar untuk menghadapinya,” ujar Lila di video. “Bagi keluarga dari kalangan menengah, penting untuk memahami bagaimana prioritas keuangan harus disesuaikan. Fokus pada kebutuhan primer, kurangi pengeluaran yang tidak perlu, dan jika memungkinkan, cobalah mencari sumber penghasilan tambahan.”Sean menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tidak lepas dari layar. Kata demi yang terlontar dari mulut Lila terasa begitu mengalir seperti angin segar, membangkitkan semangat dan memberikan perspektif baru.Sean memperhatikan setiap gerakan kecil Lila, caranya menjelaskan dengan tangan, senyum yang sesekali muncul saat dia memberikan
Ryan duduk terpaku di kursi ruangannya, memo dari bagian HRD masih berada di tangannya. Surat pengunduran diri Nadya yang baru saja diserahkan pagi itu menjadi pukulan berat yang tidak dia duga. Wajahnya memerah, dan rahangnya mengeras. Dalam hitungan minggu, tiga karyawan terbaik yang selama ini menjadi andalannya, Lila, Rina, dan sekarang Nadya, telah meninggalkan perusahaan.“Mengapa jadi seperti ini?” gumam Ryan sambil meremas memo tersebut.Matanya menatap lurus ke meja, pikirannya berputar dengan berbagai spekulasi. Untuk Lila dan Rina, Ryan tidak bisa menghalangi mereka karena dia sadar itu semua adalah kesalahannya sendiri.Tetapi Nadya? Mengapa dia ikut-ikutan mengundurkan diri seperti dua rekannya?Ryan menyadari kedekatan mereka bertiga, tetapi tidak pernah menduga saat dia mengusik salah satunya, ketiganya akan memilih untuk meninggalkan perusahaannya.Ryan berdiri dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruangannya yang sepi. Tidak bisa dipungkiri, kepergian mereka satu p
Pintu rumah terbuka perlahan, dan Sean melangkah masuk dengan langkah berat. Penampilannya jauh dari kesan rapi seperti biasanya. Jas hitamnya terlipat asal di lengan, dasinya sudah dilepas dan tergantung di saku celana, dan kemeja putihnya penuh kerutan.Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan, seolah tangannya terlalu sering meraup kepala dalam frustrasi. Wajahnya kusut, lingkar hitam di bawah matanya semakin dalam, mencerminkan kelelahan yang tidak hanya fisik tetapi juga emosional.Dia menghela napas panjang, membiarkan pintu tertutup di belakangnya. Sean melepaskan sepatu dengan gerakan asal sebelum melangkah ke ruang tengah. Di sana, dia dikejutkan oleh pemandangan yang tidak dia duga."Lila?" Sean setengah tidak percaya melihat.Di sofa ruang tengah, Lila duduk dengan laptop di pangkuannya, matanya terfokus pada layar yang memancarkan cahaya biru samar. Tumpukan buku dan catatan berserakan di sekitarnya.Sean segera menghampiri, raut wajah lelahnya berganti dengan
“Lil, terima kasih banyak karena kamu sudah membebaskan Rina,” ucap Nadya dengan nada penuh rasa syukur. “Dia pasti sangat berterima kasih atas kebaikan kamu.”“Dia baik-baik saja?” tanya Lila, mencoba menyembunyikan rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran.“Iya, tadi dia sempat datang ke Mahendra Securitas, tapi hanya untuk menyerahkan surat pengunduran diri,” jawab Nadya.Lila mengernyit. “Rina resign? Kenapa?”Nadya menghela napas. “Aku nggak sempat banyak bicara dengannya. Rina kelihatan sangat terburu-buru. Mungkin dia merasa sudah tidak nyaman punya bos seperti Pak Ryan.”“Dia akan kerja di mana setelah ini?” Lila bertanya lagi, merasa bersalah meskipun dia tahu masalah ini bukan sepenuhnya tanggung jawabnya.“Aku nggak tahu pasti. Tapi dengan skill seperti Rina, dia pasti cepat dapat pekerjaan,” jawab Nadya, mencoba menenangkan Lila.Lila terdiam sejenak. “Aku harap dia baik-baik saja.”“Bagaimana keadaanmu sekarang?” Nadya mengganti topik, mencoba mengalihkan perhatian Lila ya
Pada saat Sean di luar berusaha untuk menyelesaikan semua masalah, Lila di rumah tampak bingung karena tidak memiliki kegiatan sama sekali. Wanita hamil itu hanya mondar-mandir menikmati kemewahan rumah yang menjadi tempat tinggalnya sekarang.Memiliki rumah dengan halama luas dan taman yang indah adalah Impian Lila sejak kecil. Tetapi saat impian itu terwujud, Lila justru merasa seperti di dalam sangkar emas.Sampai saat ini Sean belum mengizinkan Lila keluar, meski hanya untuk sekedar bersosialisasi dengan para tetangga. Bahkan Lila pun tidak diizinkan untuk menerima tamu. Memang kedatangan teman-temannya yang lalu berakibat sangat fatal, tetapi Lila sungguh merasa suntuk dan kesepian.“Mbak Lila, siang ini mau makan apa? Bibi masakin apa saja Mbak Lila mau, biar anaknya tidak ngeces.”Kehadiran Bi Siti, asisten rumah tangga yang di rumah mewah itu membuyarkan lamunan Lila. Wajah wanita paruh baya itu terlihat lelah setelah membersihkan rumah besar itu sendiri.Bukan bermaksud tidak
“Kau tahu bagaimana pandangan orang-orang di negeri ini,” ucap Sean dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas. “Posisi sebagai orang ketiga dalam hubungan selalu dipandang rendah. Orang-orang tidak akan peduli apa pun alasanmu. Yang mereka lihat hanyalah seorang wanita yang dianggap mencoba merebut kebahagiaan wanita lain.”Miranda mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan rasa perih di hatinya. “Tapi dalam kasus ini, Lila yang telah mencuri kebahagiaanku.”“Tetapi fakta bahwa aku rujuk dengan Lila karena dia sedang hamil, itu akan semakin memperkuat simpati publik untuknya. Kau tahu bagaimana netizen di negeri ini, mereka mudah tergerak oleh cerita tentang keluarga yang begitu dramatis, tentang bagaimana seorang ibu yang berjuang untuk anaknya.”Miranda menelan ludah, mencoba menahan amarah dan hatinya yang perih. Tetapi tampaknya Sean tidak memberi ruang kepada Miranda untuk menyangkal.“Aku tidak ingin kamu berada dalam posisi itu, Mira,” ucap Sean dengan suaranya yang
Miranda hampir tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan kala melihat Sean berdiri di depan pintu apartemennya. Dia mengatur nada suaranya agar tetap tenang, meski senyum di wajahnya tidak dapat disembunyikan. "Senang akhirnya kamu datang," ucap Miranda dengan suara lembut sambil melangkah mendekati Sean. "Kupikir, mungkin kita bisa membicarakan segalanya dengan lebih baik. Aku yakin, masih ada peluang untuk kita bersama." Dari wajahnya yang terlihat kusut dan sorot matanya yang penuh beban, Miranda menduga jika Sean sedang memiliki masalah dengan Lila. Dan dia merasa ini adalah peluang untuk bisa masuk hubungan mereka. Miranda memberi jalan agar Sean memasuki apartemennya dan mempersilahkan duduk. Tetapi saat Sean memilih duduk di sofa tunggal, Miranda pun akhirnya mengambil posisi di seberangnya hingga mereka bisa saling berhadapan. "Maaf jika kedatanganku mengganggumu," ucap Sean akhirnya dengan nadanya serius. "Aku ingin meminta bantuanmu untuk sesuatu yang sangat penting."
Sean terbangun pagi itu dengan perasaan berat. Cahaya matahari masuk melalui celah gorden, tapi tidak memberikan kehangatan seperti biasanya. Di sampingnya, Lila terbaring membelakangi, napasnya teratur tapi penuh jarak.Meskipun Sean sudah menyanggupi semua permintaan Lila, tetapi nyatanya istrinya tersebut tetap mendiamkannya. Lila ingin bukti nyata sampai Sean benar-benar membebaskan Rina dan menyelesaikan semua masalah yang berhubungan dengan serangan massif dari netizen.Sean merasa perang dingin ini bukan hal sepele. Ada jarak yang semakin terasa nyata di antara mereka, dan itu menyakitkan. Lila dulu adalah sosok istri yang lembut, penuh pengertian, dan selalu menurut tanpa banyak pertanyaan, tetapi sekarang, dia menjadi pribadi yang berbeda.Sikap tegas Lila, yang muncul sejak beberapa hari terakhir, membuat Sean terhenyak. Dan merasa begitu mudah Lila mematahkan ucapan dan argumennya, bahkan hanya dengan satu dua kalimat saja.Suasana sarapan terasa begitu dingin. Tidak ada ob