Setelah kembali ke kantor, Lila berusaha menyesuaikan diri dengan rutinitas kerjanya. Meski pikiran tentang kehamilan dan kesehatan ayahnya masih membayangi, dia mencoba fokus pada pekerjaannya.Ruang kerjanya terasa lebih tenang daripada biasanya, dan Lila menyambut keheningan itu dengan rasa syukur. Tiba-tiba, suara ketukan di pintu memecah keheningan. Ryan muncul dengan senyum di wajahnya.“Lila, ada waktu untuk makan siang bersama?” tanyanya dengan nada ramah, matanya penuh perhatian.Lila tampak ragu sejenak. Tetapi mengingat betapa sering Ryan membantunya selama ini, dia akhirnya mengangguk, ada rasa segan untuk menolak permintaan tersebut.Kini Lila dan Ryan sudah berjalan memasuki restaurant yang letaknya tidak jauh dari kantor mereka. Saat mereka duduk dan mulai memesan makanan, Ryan mulai berbicara.“Bagaimana keadaan ayahmu sekarang? Aku dengar dia sudah pulang dari rumah sakit.”Seperti biasa, Ryan akan selalu menunjukkan perhatiannya. Sangat jauh berbeda dengan Sean yang
Rangga melangkah cepat menuju ruang kerja Sean. Meski hatinya masih ragu, tetapi baginya Sean harus tahu tentang kabar kehamilan Lila. Melihat perut yang sudah membesar, ada kecurigaan di hati Rangga, jika anak yang sedang dikandung oleh Lila adalah anak Sean. Meski Rangga tidak tahu pasti usia kehamilan Lila saat ini..Setibanya di depan pintu ruang kerja Sean, Rangga berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Rangga harus menemukan kalimat yang tepat untuk menyampaikan kabar ini. Dia tahu, Sean memiliki masalah serius yang berhubungan dengan anak.Namun, saat Rangga membuka pintu dan melangkah masuk, suasana ruangan terasa kacau dan tidak bersahabat. Wajah Sean terlihat tegang, napasnya memburu, dan di tangannya ada laporan yang jelas membuatnya kesal."Sempak semua!" Suara Sean keras, membentak seseorang di telepon sambil membanting laporan ke atas meja. "Aku sudah bilang, selesaikan masalah ini sebelum klien tahu!"Rangga membeku di tempatnya, mem
Lila menghentikan langkahnya, jantungnya berdetak lebih cepat saat sosok pria yang berdiri di depan pintu apartemennya semakin jelas. Andika Mahendra, ayah dari Ryan, atasannya. Meski jarang muncul di kantor, tetapi Lila cukup hafal dengan wajahnya. "Selamat sore," ucap Andika dengan tenang dan penuh wibawa. Lila mencoba menenangkan dirinya. "Selamat sore, Pak Andika." "Bisa kita bicara sebentar? Tidak usah jauh-jauh, di kafe sebelah." Andika berkata tanpa banyak basa-basi, seakan pertemuan ini sudah direncanakan. Lila mengangguk pasrah, dia pun penasaran dengan apa yang akan dibicarakan oleh Andika. Di kafe yang terletak hanya beberapa blok dari apartemen Lila, mereka duduk di sebuah meja di sudut ruangan. Andika memesan kopi hitam, sementara Lila hanya memesan air mineral, merasa tenggorokannya kering. Andika menatap Lila dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara kekuasaan, penghakiman, dan mungkin sedikit rasa ingin tahu. Tatap mata itu mengingatkan Lila kepada Sea
Setelah meninggalkan kafe, Lila berjalan dengan langkah gontai menuju apartemennya. Hati dan pikirannya masih dipenuhi dengan percakapan yang baru saja terjadi antara dirinya dengan Andika Mahendra. Kata demi kata yang terucap dari bibir Andika terus terngiang di telinga Lila, berhasil menghancurkan rasa percaya dirinya. Lila merasa hidupnya dipenuhi penghakiman dari orang-orang sekitar. Ibu yang menyalahkan dirinya atas pilihan cerai yang dia ambil, tetangga yang tanpa tahu masalah ikut membicarakan dirinya, serta rekan kerja yang tidak kalah pedas dalam menilai dirinya. Dan kini, ditambah Andika Mehendra. Lila mendengus kasar, merasa ketenangan seolah enggan untuk menghampiri dirinya. Status janda seolah menjadi mimpi buruk yang tidak berkesudahan Begitu tiba di pintu apartemen, Lila berhenti sejenak. Dadanya terasa sesak. Lelehan air mata yang telah lama dia tahan akhirnya tumpah juga membasahi pipinya. Lila membuka pintu apartemen dan masuk ke dalam, langsung menuju sofa. Dia
Ryan tidak menyerah. Tekadnya untuk bisa mendapatkan hati Lila sudah bulat. Seolah tidak peduli dengan status janda dan juga kehamilan Lila saat ini.Semakin Lila menjauh, Ryan justru semakin gencar menunjukkan perhatiannya. Setiap pagi, di meja kerja Lila selalu ada bunga segar dengan pesan singkat yang penuh perhatian, seperti ‘Semoga harimu indah’ atau ‘Jaga kesehatanmu dan si kecil’.Namun, perhatian Ryan tidak berhenti di situ. Dia juga mulai mengirimkan berbagai makanan sehat untuk Lila, salad segar, jus buah, hingga camilan sehat yang direkomendasikan untuk ibu hamil. Semua itu datang dengan pesan yang serupa, ‘Kamu dan baby harus makan sehat’.Lila menghela napas setiap kali menerima kiriman itu. Hatinya terasa campur aduk, antara merasa tersentuh dan juga cemas.Lila tidak ingin mengecewakan Ryan yang sudah berbaik hati kepadanya, tetapi dia merasa ancaman dari Andika begitu nyata. Belum lagi, pandangan dan penilaian dari rekan-rekan kerjanya yang membuatnya semakin tidak nya
“Jangan buat masalah ini semakin rumit.” Andika menghela napas panjang, frustasi. “Papa tidak akan pernah merestui pernikahanmu dengan Lila.” Ryan tersenyum tipis mendengar ucapan Andika. Terlihat kekecewaan di gurat wajah Ryan, tetapi kemudian dia seolah tidak peduli. “Apa Papa yang membuat Lila menjauh dariku?” Ryan menatap Andika dengan penuh curiga. Andika terdiam sesaat, lalu menggeleng, namun terlihat tidak meyakinkan. “Tidak, Ryan. Papa hanya ingin yang terbaik untukmu.” Ryan bangkit, masih dengan perasaan marah dan curiga. “Papa tidak tahu apa-apa tentang perasaanku, jadi aku harap Papa tidak terlalu ikut campur dalam hidupku.” “Jangan keras kepala, Ryan! Lila bukanlah perempuan yang tepat untukmu!” balas Andika dengan nada yang tak kalah tegas. “Papa hanya ingin melindungimu dari ….” “Aku tidak butuh perlindungan dari Papa!” Dengan tegas Ryan memotong kalimat Andika. “Ini hidupku, dan aku yang memutuskan!” Ayah dan anak itu semakin tenggelam dalam pendapat masing-masin
Rangga duduk di hadapan Sean, merasa sedikit gelisah. Dia datang dengan niat untuk menyampaikan kabar tentang kehamilan Lila, berharap itu bisa mempengaruhi cara Sean melihat mantan istrinya. Namun, sebelum Rangga sempat membuka mulut, Sean sudah memulai pembicaraan terlebih dahulu. "Bagaimana perkembangannya?" tanya Sean dengan nada dingin tanpa basa basi, sorot matanya tajam seolah mampu menembus isi kepala Rangga. Rangga mencoba tetap tenang, meski pertanyaan itu langsung membuatnya merasa terjebak. "Maksud Mas Sean, perkembangannya soal apa?" tanya Rangga berusaha memancing penjelasan lebih lanjut, meski hatinya sudah menduga apa yang akan disinggung Sean. Sean mendengus, kali ini matanya menyipit penuh ketidaksabaran. "Jangan berpura-pura bodoh, Rangga. Aku bicara tentang rencanamu menyingkirkan Lila dari Mahendra Securitas. Aku sudah katakan dengan jelas, aku ingin dia keluar. Secepatnya." Rangga menunduk sebentar, lalu kembali menatap Sean. "Mas, aku ... aku sedang memikir
Sean duduk dengan tenang, tetapi sikapnya menunjukkan ketegasan yang tak terbantahkan. Dia menatap pria di hadapannya dengan tajam, seolah-olah hanya ada satu tujuan dari pertemuan ini. “Pak Andika …” ucap Sean, suaranya terdengar dingin dan tanpa basa-basi, “Saya ingin Anda memecat Lila sekarang juga dari perusahaan Anda Sekarang, bukan nanti.” Andika, mendengarkan dengan tenang, wajahnya tanpa ekspresi. Namun, di balik tatapan tenangnya, pikirannya mulai bekerja. Andika menganggukkan kepala lemah. “Saya akan segera memecatnya setelah dari sini. Untuk alasan ….” “Itu bukan urusan saya, yang saya inginkan hanya mendengar kabar Lila sudah hengkang dari Mahendra Securitas.” Mungkin terdengar kejam, tetapi Sean sepertinya tidak peduli. Dengan nada yang semakin tajam, Sean melanjutkan, mendominasi percakapan sejak awal tanpa memberi ruang untuk seorang Andika berbicara. “Jika Anda tidak segera bertindak, saya rasa Anda tahu apa yang bisa saya lakukan pada perusahaan Anda.” “Jika bo
Setelah memastikan Brilian tidur, Sean melangkah menuju ke kamarnya. Dia harus segera membantu Lila untuk menidurkan Bintang dan Berlian. Semakin hari, bocah kembar itu semakin aktif, bahkan hanya untuk tidur saja akan banyak drama.Lila menatap suaminya yang baru saja masuk ke kamar. Senyum hangatnya masih sama seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah.Sean bertambah usia, tetapi justru semakin menawan di matanya.Lila menelan ludah pelan. Sebagai istri, tentu saja ia bangga memiliki suami seperti Sean, tetapi di sisi lain… ia juga merasa was-was. Sampai sekarang masih banyak perempuan di luar sana yang mengincar suaminya, meskipun mereka tahu jika Sean sudah menikah dan memiliki tiga anak.Sementara itu, Sean berjalan mendekat. Tatapan matanya lembut saat melihat si kembar yang sudah terlelap di dalam boks.“Mereka tidur lebih cepat dari biasanya,” ucap Sean pelan terdengar nyaris seperti bisikan, takut membangunkan bayi-bayi mereka.Lila mengangguk. “Hari ini
Suasana kafe yang semula tenang mendadak ricuh ketika pintu terbuka dengan keras. Seorang perempuan paruh baya melangkah masuk dengan ekspresi penuh amarah, diikuti oleh seorang perempuan muda yang cantik, sama garangnya."Mana Cinta?! Keluar kau sekarang juga!" seru perempuan paruh baya itu, suaranya menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian para pengunjung dan pegawai kafe.Beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi mereka langsung menoleh, ada yang membeku di tempat, ada yang berbisik penasaran. Sementara itu, seorang barista yang berdiri di belakang meja kasir tampak panik, ragu-ragu apakah harus menenangkan situasi atau membiarkan saja.Perempuan cantik yang berdiri di sampingnya menyusuri ruangan dengan tatapan tajam, matanya berkilat penuh amarah. Sepertinya dia tahu betul siapa yang sedang mereka cari.Salah satu pegawai kafe memberanikan diri mendekat. "Maaf, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan suara hati-hati.Perempuan paruh baya itu menoleh tajam. "Panggi
Waktu berlalu dengan tenang, membawa kebahagiaan yang seolah tak pernah habis bagi keluarga Wismoyojati. Kehidupan penuh berbagi dalam keluarga diisi oleh tawa renyah dan kehangatan. Perdebatan tentu tetap ada sebagai bumbu dalam kehidupan, tetapi mereka bisa menyelesaikan dengan bijaksana.Lila menjalani perannya sebagai ibu dengan penuh cinta, merawat Brilian, Bintang, dan Berlian dengan kesabaran dan kasih sayang yang tak terbatas. Ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial, menemukan kebahagiaan dalam membantu sesama, sambil tetap menyeimbangkan perannya sebagai istri dan ibu.Setelah Sekar dan Prabu memutuskan untuk pindah ke rumah mereka sendiri, suasana di kediaman Sean dan Lila sedikit berubah. Tidak ada lagi suara teguran tegas Sekar atau candaan ringan Prabu di meja makan, tapi bukan berarti rumah itu kehilangan kehangatan.Sean yang memahami betapa besarnya tanggung jawab Lila dalam mengurus tiga anak mereka, mengambil keputusan besar. Ia mencari pengasuh anak profession
Malika berdiri tak jauh dari ayunan, matanya membulat melihat kejadian yang baru saja terjadi. Ia datang ingin bermain bersama Brilian, tapi malah menyaksikan sesuatu yang menghancurkan dunianya.Brilian, sahabat kecilnya, kakak yang dia banggakan baru saja dicium oleh Almahira.Gadis kecil yang masih duduk di TK itu merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Seperti ada beban besar menekan hatinya. Wajahnya menegang, bibirnya sedikit bergetar.Brilian masih berdiri di tempatnya, memegangi pipinya dengan ekspresi terkejut, sementara Almahira sudah berlari pergi dengan riang.Malika mengepalkan tangannya kecil-kecil. Brilian sudah ternoda.Entah dari mana gadis mungil itu mendapatkan pemikiran seperti itu, tapi itulah yang muncul di kepalanya. Sejak kecil, ia selalu menganggap Brilian adalah miliknya, teman bermain yang paling seru, kakak yang selalu membelanya dan menjaganya. Tapi sekarang?Brilian sudah dicium gadis lain.Matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingin berteriak, ingin menangis, t
466Lila membuka matanya perlahan saat mendengar suara rengekan bayi. Seketika, nalurinya sebagai ibu membuatnya ingin segera bangkit. Namun, saat menoleh ke samping, tempat tidur Sean kosong.Dia menoleh ke arah boks bayi dan menemukan suaminya sudah lebih dulu terjaga. Sean duduk di kursi di samping boks, memangku salah satu bayi mereka sambil memberikan dot. Dengan satu tangan lainnya, dia berusaha menenangkan si kecil yang masih berada di boks, menyentuhnya dengan lembut agar tidak terus menangis.Lila menggeleng pelan. Kenapa dalam keadaan repot seperti itu Sean tidak membangunkannya?Dia mengamati suaminya yang tampak begitu telaten. Mata Sean terlihat sedikit sayu karena mengantuk, tetapi senyumnya tetap ada saat membisikkan sesuatu pada anak mereka. Lila merasa hangat melihat pemandangan itu.Dia bangkit perlahan, mendekati Sean, lalu bertanya pelan, "Kenapa tidak membangunkanku?"Sean menoleh dan tersenyum kecil. "Kau masih butuh istirahat, sayang. Aku bisa mengurus mereka."
Ryan menghela napas panjang, berdiri di samping tempat tidur rumah sakit tempat Rina berbaring. Sejak sadar, istrinya berubah total. Biasanya Rina adalah perempuan yang mandiri, kalem, dan penurut. Tapi sekarang? Manja, gampang marah, dan yang paling membuat Ryan frustasi, diam seribu bahasa setiap kali mereka hanya berdua."Rina, kau mau sesuatu?" tanya Ryan pelan, berharap mendapat jawaban.Rina hanya membuang muka, menatap ke arah jendela.Ryan mengusap wajahnya, mencoba bersabar. Sejak dokter memberi kabar tentang kehamilan Rina, perubahan sikap istrinya semakin menjadi-jadi. Setiap kali ia mencoba membicarakannya, Rina malah menutup diri.Namun, saat Sekar dan Prabu datang bersama Brilian dan Renasya, suasana langsung berubah. Seakan-akan Rina adalah orang yang berbeda."Bunda!" Renasya berlari kecil mendekati ranjang, matanya berbinar.Rina tersenyum hangat, membuka tangannya untuk menyambut putrinya. "Sayang, ke sini, Bunda kangen."Ryan memandangi pemandangan itu dengan kening
Sean melepas dasinya dengan satu tarikan kasar. Rumah besar itu terasa begitu sepi.Tidak ada suara Sekar yang biasanya sibuk memberi perintah. Tidak ada tawa Prabu yang sering menggoda Brilian. Bahkan Brilian sendiri tak terdengar, padahal biasanya selalu berlari-lari dengan ocehan tak ada habisnya.Setelah mencuci tangan, Sean melangkah menuju kamar bayi, membuka pintu perlahan.Di dalam, Lila sedang menggendong Berlian yang masih mengenakan baju tidur, sementara Bintang terbaring di boks bayi, menggeliat pelan. Wajah Lila tampak lelah, rambutnya berantakan, tetapi senyumnya tetap ada saat menenangkan putri kecil mereka.Sean bersandar di ambang pintu, matanya melembut. "Kenapa sendirian?"Lila menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis. "Mama dan Papa mengantar Renasya ke rumah sakit. Brilian ikut, nanti pulangnya langsung ke rumah Om Prabu. Mereka akan menginap kurang lebih satu minggu di sana sampai Paksi berangkat ke London."Sean mengangguk pelan, beberapa hari yang lalu P
Di perjalanan pulang, Sekar sesekali melirik ke arah Renasya yang tertidur di pangkuannya. Wajah mungil itu tampak lelah, sesekali bergumam dalam tidurnya, mungkin memanggil ibunya. Prabu yang menyetir pun sesekali melirik ke kaca spion, memastikan keadaan mereka baik-baik saja."Kasihan anak ini, tidak ada yang asuh karena mamanya harus di" gumam Sekar pelan, mengusap rambut Renasya dengan lembut."Kita jaga dia baik-baik sampai ibunya pulang," sahut Prabu, suaranya tenang tetapi tegas.Sesampainya di rumah, Sekar langsung memanggil Bi Siti. "Bi, tolong mandikan Renasya dulu, ya. Pakaiannya ada di kamar tamu yang dulu dia pakai waktu menginap di sini."Bi Siti mengangguk. Dengan penuh kesabaran, ia membimbing Renasya yang masih setengah sadar karena mengantuk. Anak itu berjalan dengan langkah gontai, menggenggam tangan Bi Siti erat-erat.Sekar dan Prabu menghembuskan napas lega. "Semoga besok Rina sudah bisa dibawa pulang," kata Sekar pelan, lebih kepada dirinya sendiri.“Ya, tapi Re
Ryan duduk di kursi tunggu ruang UGD, masih mengenakan kaus rumahan dan celana training. Melihat keadaan istrinya yang tidak sadarkan diri, ayah satu anak itu mengambil pakaian sedapatnya dari lemari.Napas Ryan tersengal, dadanya naik turun cepat. Di pelukannya, Renasya meringkuk, masih mengenakan piyama tidurnya, kepalanya bersandar di bahu Ryan dengan wajah bingung dan takut."Ayah, Bunda kenapa?" Suara kecil putrinya bergetar.Ryan mengeratkan pelukannya, berusaha menenangkan anaknya meski dirinya sendiri diliputi ketakutan yang luar biasa."Bunda sakit, Nak. Kita doain Bunda, ya?" Suara Ryan terdengar serak, matanya terus terpaku pada pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat.Tadi pagi, setelah menemukan Rina tidak sadarkan diri, Ryan nyaris kehilangan akal. Ia menggendong istrinya keluar kamar, berlari ke garasi, dan tanpa berpikir panjang, memasukkan Rina ke mobil.Renasya, yang terbangun karena suara ayahnya berteriak, ikut dibawa serta dalam keadaan setengah mengantuk.P