Setelah makan siang berakhir, Sean dan Miranda keluar dari restoran dengan langkah berat. Wajah Sean tampak tegang, sementara itu Miranda tidak dapat menyembunyikan kesedihan dan rasa kecewanya.Tidak ada gandengan mesra, Miranda dengan berat mengikuti langkah Sean, dia tahu bahwa sesuatu akan segera terjadi. Dan kala mereka sudah tiba di depan mobil, Sean tidak bisa lagi menahan amarah yang sejak tadi dipendam.“Kenapa kamu tidak memberitahuku tentang pertemuan keluarga ini sebelumnya?” tanya Sean dengan nada tajam. Matanya menatap Miranda tajam, penuh kekecewaan.Miranda menunduk, berusaha tetap tenang meski hatinya berkecamuk. “Sean, aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya. Itu semua rencana Tante Sekar. Dia yang mengatur semuanya.”Tidak ada kebohongan dari ucapan Miranda, tetapi ada kebenaran yang dia sembunyikan. Pertemuan keluar itu terjadi karena permintaannya, sebagai perempuan yang mengharap kepastian dari sebuah hubungan.Sean mendengus, tangannya mengepal di samping t
Setelah kembali ke kantor, Lila berusaha menyesuaikan diri dengan rutinitas kerjanya. Meski pikiran tentang kehamilan dan kesehatan ayahnya masih membayangi, dia mencoba fokus pada pekerjaannya.Ruang kerjanya terasa lebih tenang daripada biasanya, dan Lila menyambut keheningan itu dengan rasa syukur. Tiba-tiba, suara ketukan di pintu memecah keheningan. Ryan muncul dengan senyum di wajahnya.“Lila, ada waktu untuk makan siang bersama?” tanyanya dengan nada ramah, matanya penuh perhatian.Lila tampak ragu sejenak. Tetapi mengingat betapa sering Ryan membantunya selama ini, dia akhirnya mengangguk, ada rasa segan untuk menolak permintaan tersebut.Kini Lila dan Ryan sudah berjalan memasuki restaurant yang letaknya tidak jauh dari kantor mereka. Saat mereka duduk dan mulai memesan makanan, Ryan mulai berbicara.“Bagaimana keadaan ayahmu sekarang? Aku dengar dia sudah pulang dari rumah sakit.”Seperti biasa, Ryan akan selalu menunjukkan perhatiannya. Sangat jauh berbeda dengan Sean yang
Rangga melangkah cepat menuju ruang kerja Sean. Meski hatinya masih ragu, tetapi baginya Sean harus tahu tentang kabar kehamilan Lila. Melihat perut yang sudah membesar, ada kecurigaan di hati Rangga, jika anak yang sedang dikandung oleh Lila adalah anak Sean. Meski Rangga tidak tahu pasti usia kehamilan Lila saat ini..Setibanya di depan pintu ruang kerja Sean, Rangga berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Rangga harus menemukan kalimat yang tepat untuk menyampaikan kabar ini. Dia tahu, Sean memiliki masalah serius yang berhubungan dengan anak.Namun, saat Rangga membuka pintu dan melangkah masuk, suasana ruangan terasa kacau dan tidak bersahabat. Wajah Sean terlihat tegang, napasnya memburu, dan di tangannya ada laporan yang jelas membuatnya kesal."Sempak semua!" Suara Sean keras, membentak seseorang di telepon sambil membanting laporan ke atas meja. "Aku sudah bilang, selesaikan masalah ini sebelum klien tahu!"Rangga membeku di tempatnya, mem
Lila menghentikan langkahnya, jantungnya berdetak lebih cepat saat sosok pria yang berdiri di depan pintu apartemennya semakin jelas. Andika Mahendra, ayah dari Ryan, atasannya. Meski jarang muncul di kantor, tetapi Lila cukup hafal dengan wajahnya. "Selamat sore," ucap Andika dengan tenang dan penuh wibawa. Lila mencoba menenangkan dirinya. "Selamat sore, Pak Andika." "Bisa kita bicara sebentar? Tidak usah jauh-jauh, di kafe sebelah." Andika berkata tanpa banyak basa-basi, seakan pertemuan ini sudah direncanakan. Lila mengangguk pasrah, dia pun penasaran dengan apa yang akan dibicarakan oleh Andika. Di kafe yang terletak hanya beberapa blok dari apartemen Lila, mereka duduk di sebuah meja di sudut ruangan. Andika memesan kopi hitam, sementara Lila hanya memesan air mineral, merasa tenggorokannya kering. Andika menatap Lila dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara kekuasaan, penghakiman, dan mungkin sedikit rasa ingin tahu. Tatap mata itu mengingatkan Lila kepada Sea
Setelah meninggalkan kafe, Lila berjalan dengan langkah gontai menuju apartemennya. Hati dan pikirannya masih dipenuhi dengan percakapan yang baru saja terjadi antara dirinya dengan Andika Mahendra. Kata demi kata yang terucap dari bibir Andika terus terngiang di telinga Lila, berhasil menghancurkan rasa percaya dirinya. Lila merasa hidupnya dipenuhi penghakiman dari orang-orang sekitar. Ibu yang menyalahkan dirinya atas pilihan cerai yang dia ambil, tetangga yang tanpa tahu masalah ikut membicarakan dirinya, serta rekan kerja yang tidak kalah pedas dalam menilai dirinya. Dan kini, ditambah Andika Mehendra. Lila mendengus kasar, merasa ketenangan seolah enggan untuk menghampiri dirinya. Status janda seolah menjadi mimpi buruk yang tidak berkesudahan Begitu tiba di pintu apartemen, Lila berhenti sejenak. Dadanya terasa sesak. Lelehan air mata yang telah lama dia tahan akhirnya tumpah juga membasahi pipinya. Lila membuka pintu apartemen dan masuk ke dalam, langsung menuju sofa. Dia
Ryan tidak menyerah. Tekadnya untuk bisa mendapatkan hati Lila sudah bulat. Seolah tidak peduli dengan status janda dan juga kehamilan Lila saat ini.Semakin Lila menjauh, Ryan justru semakin gencar menunjukkan perhatiannya. Setiap pagi, di meja kerja Lila selalu ada bunga segar dengan pesan singkat yang penuh perhatian, seperti ‘Semoga harimu indah’ atau ‘Jaga kesehatanmu dan si kecil’.Namun, perhatian Ryan tidak berhenti di situ. Dia juga mulai mengirimkan berbagai makanan sehat untuk Lila, salad segar, jus buah, hingga camilan sehat yang direkomendasikan untuk ibu hamil. Semua itu datang dengan pesan yang serupa, ‘Kamu dan baby harus makan sehat’.Lila menghela napas setiap kali menerima kiriman itu. Hatinya terasa campur aduk, antara merasa tersentuh dan juga cemas.Lila tidak ingin mengecewakan Ryan yang sudah berbaik hati kepadanya, tetapi dia merasa ancaman dari Andika begitu nyata. Belum lagi, pandangan dan penilaian dari rekan-rekan kerjanya yang membuatnya semakin tidak nya
“Jangan buat masalah ini semakin rumit.” Andika menghela napas panjang, frustasi. “Papa tidak akan pernah merestui pernikahanmu dengan Lila.” Ryan tersenyum tipis mendengar ucapan Andika. Terlihat kekecewaan di gurat wajah Ryan, tetapi kemudian dia seolah tidak peduli. “Apa Papa yang membuat Lila menjauh dariku?” Ryan menatap Andika dengan penuh curiga. Andika terdiam sesaat, lalu menggeleng, namun terlihat tidak meyakinkan. “Tidak, Ryan. Papa hanya ingin yang terbaik untukmu.” Ryan bangkit, masih dengan perasaan marah dan curiga. “Papa tidak tahu apa-apa tentang perasaanku, jadi aku harap Papa tidak terlalu ikut campur dalam hidupku.” “Jangan keras kepala, Ryan! Lila bukanlah perempuan yang tepat untukmu!” balas Andika dengan nada yang tak kalah tegas. “Papa hanya ingin melindungimu dari ….” “Aku tidak butuh perlindungan dari Papa!” Dengan tegas Ryan memotong kalimat Andika. “Ini hidupku, dan aku yang memutuskan!” Ayah dan anak itu semakin tenggelam dalam pendapat masing-masin
Rangga duduk di hadapan Sean, merasa sedikit gelisah. Dia datang dengan niat untuk menyampaikan kabar tentang kehamilan Lila, berharap itu bisa mempengaruhi cara Sean melihat mantan istrinya. Namun, sebelum Rangga sempat membuka mulut, Sean sudah memulai pembicaraan terlebih dahulu. "Bagaimana perkembangannya?" tanya Sean dengan nada dingin tanpa basa basi, sorot matanya tajam seolah mampu menembus isi kepala Rangga. Rangga mencoba tetap tenang, meski pertanyaan itu langsung membuatnya merasa terjebak. "Maksud Mas Sean, perkembangannya soal apa?" tanya Rangga berusaha memancing penjelasan lebih lanjut, meski hatinya sudah menduga apa yang akan disinggung Sean. Sean mendengus, kali ini matanya menyipit penuh ketidaksabaran. "Jangan berpura-pura bodoh, Rangga. Aku bicara tentang rencanamu menyingkirkan Lila dari Mahendra Securitas. Aku sudah katakan dengan jelas, aku ingin dia keluar. Secepatnya." Rangga menunduk sebentar, lalu kembali menatap Sean. "Mas, aku ... aku sedang memikir
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Nadya. Selama Sean memperlakukan dirinya dengan baik, Lila harus bersyukur dan menikmati segala yang dia miliki saat ini. Dia harus fokus pada kehamilan dan proses persalinan yang semakin dekat.Perubahan sikap yang ditunjukkan oleh Sean akhir-akhir ini, membuat Lila merasa jika hubungannya dengan sang suami semakin membaik. Tak ayal hal tersebut membuat Lila merasa bahagia menantikan kelahiran putra pertamanya.Saat Lila sedang merapikan tempat tidurnya, dia dikejutkan oleh tangan kekar yang melingkar di perutnya. Tetapi keterkejutan itu berganti senyum, saat Lila mengenali aroma parfum yang akhir-akhir ini terasa begitu menenangkan baginya. Dan senyum itu semakin lebar, saat Lila menoleh ke belakang dan memastikan jika sang suami adalah pelakunya.“Sudah pulang?” tanyanya lembut.Sean tidak menjawab pertanyaan Lila, dia segera membalikkan tubuh Lila hingga membuat mereka dalam posisi yang saling berhadapan. Sean melabuhkan kecupan hangat di pucu
Di ruang kerja yang sunyi, Sean duduk di depan laptopnya. Video lama yang pernah diunggah Lila sedang diputar, menampilkan istrinya dengan ekspresi tenang namun penuh keyakinan. Suaranya yang lembut namun tegas mengisi ruangan, menjelaskan isu ekonomi yang rumit dengan cara yang sederhana dan mudah dipahami.“Kita tidak bisa menghindari deflasi, tetapi kita bisa belajar untuk menghadapinya,” ujar Lila di video. “Bagi keluarga dari kalangan menengah, penting untuk memahami bagaimana prioritas keuangan harus disesuaikan. Fokus pada kebutuhan primer, kurangi pengeluaran yang tidak perlu, dan jika memungkinkan, cobalah mencari sumber penghasilan tambahan.”Sean menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tidak lepas dari layar. Kata demi yang terlontar dari mulut Lila terasa begitu mengalir seperti angin segar, membangkitkan semangat dan memberikan perspektif baru.Sean memperhatikan setiap gerakan kecil Lila, caranya menjelaskan dengan tangan, senyum yang sesekali muncul saat dia memberikan
Ryan duduk terpaku di kursi ruangannya, memo dari bagian HRD masih berada di tangannya. Surat pengunduran diri Nadya yang baru saja diserahkan pagi itu menjadi pukulan berat yang tidak dia duga. Wajahnya memerah, dan rahangnya mengeras. Dalam hitungan minggu, tiga karyawan terbaik yang selama ini menjadi andalannya, Lila, Rina, dan sekarang Nadya, telah meninggalkan perusahaan.“Mengapa jadi seperti ini?” gumam Ryan sambil meremas memo tersebut.Matanya menatap lurus ke meja, pikirannya berputar dengan berbagai spekulasi. Untuk Lila dan Rina, Ryan tidak bisa menghalangi mereka karena dia sadar itu semua adalah kesalahannya sendiri.Tetapi Nadya? Mengapa dia ikut-ikutan mengundurkan diri seperti dua rekannya?Ryan menyadari kedekatan mereka bertiga, tetapi tidak pernah menduga saat dia mengusik salah satunya, ketiganya akan memilih untuk meninggalkan perusahaannya.Ryan berdiri dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruangannya yang sepi. Tidak bisa dipungkiri, kepergian mereka satu p
Pintu rumah terbuka perlahan, dan Sean melangkah masuk dengan langkah berat. Penampilannya jauh dari kesan rapi seperti biasanya. Jas hitamnya terlipat asal di lengan, dasinya sudah dilepas dan tergantung di saku celana, dan kemeja putihnya penuh kerutan.Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan, seolah tangannya terlalu sering meraup kepala dalam frustrasi. Wajahnya kusut, lingkar hitam di bawah matanya semakin dalam, mencerminkan kelelahan yang tidak hanya fisik tetapi juga emosional.Dia menghela napas panjang, membiarkan pintu tertutup di belakangnya. Sean melepaskan sepatu dengan gerakan asal sebelum melangkah ke ruang tengah. Di sana, dia dikejutkan oleh pemandangan yang tidak dia duga."Lila?" Sean setengah tidak percaya melihat.Di sofa ruang tengah, Lila duduk dengan laptop di pangkuannya, matanya terfokus pada layar yang memancarkan cahaya biru samar. Tumpukan buku dan catatan berserakan di sekitarnya.Sean segera menghampiri, raut wajah lelahnya berganti dengan
“Lil, terima kasih banyak karena kamu sudah membebaskan Rina,” ucap Nadya dengan nada penuh rasa syukur. “Dia pasti sangat berterima kasih atas kebaikan kamu.”“Dia baik-baik saja?” tanya Lila, mencoba menyembunyikan rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran.“Iya, tadi dia sempat datang ke Mahendra Securitas, tapi hanya untuk menyerahkan surat pengunduran diri,” jawab Nadya.Lila mengernyit. “Rina resign? Kenapa?”Nadya menghela napas. “Aku nggak sempat banyak bicara dengannya. Rina kelihatan sangat terburu-buru. Mungkin dia merasa sudah tidak nyaman punya bos seperti Pak Ryan.”“Dia akan kerja di mana setelah ini?” Lila bertanya lagi, merasa bersalah meskipun dia tahu masalah ini bukan sepenuhnya tanggung jawabnya.“Aku nggak tahu pasti. Tapi dengan skill seperti Rina, dia pasti cepat dapat pekerjaan,” jawab Nadya, mencoba menenangkan Lila.Lila terdiam sejenak. “Aku harap dia baik-baik saja.”“Bagaimana keadaanmu sekarang?” Nadya mengganti topik, mencoba mengalihkan perhatian Lila ya
Pada saat Sean di luar berusaha untuk menyelesaikan semua masalah, Lila di rumah tampak bingung karena tidak memiliki kegiatan sama sekali. Wanita hamil itu hanya mondar-mandir menikmati kemewahan rumah yang menjadi tempat tinggalnya sekarang.Memiliki rumah dengan halama luas dan taman yang indah adalah Impian Lila sejak kecil. Tetapi saat impian itu terwujud, Lila justru merasa seperti di dalam sangkar emas.Sampai saat ini Sean belum mengizinkan Lila keluar, meski hanya untuk sekedar bersosialisasi dengan para tetangga. Bahkan Lila pun tidak diizinkan untuk menerima tamu. Memang kedatangan teman-temannya yang lalu berakibat sangat fatal, tetapi Lila sungguh merasa suntuk dan kesepian.“Mbak Lila, siang ini mau makan apa? Bibi masakin apa saja Mbak Lila mau, biar anaknya tidak ngeces.”Kehadiran Bi Siti, asisten rumah tangga yang di rumah mewah itu membuyarkan lamunan Lila. Wajah wanita paruh baya itu terlihat lelah setelah membersihkan rumah besar itu sendiri.Bukan bermaksud tidak
“Kau tahu bagaimana pandangan orang-orang di negeri ini,” ucap Sean dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas. “Posisi sebagai orang ketiga dalam hubungan selalu dipandang rendah. Orang-orang tidak akan peduli apa pun alasanmu. Yang mereka lihat hanyalah seorang wanita yang dianggap mencoba merebut kebahagiaan wanita lain.”Miranda mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan rasa perih di hatinya. “Tapi dalam kasus ini, Lila yang telah mencuri kebahagiaanku.”“Tetapi fakta bahwa aku rujuk dengan Lila karena dia sedang hamil, itu akan semakin memperkuat simpati publik untuknya. Kau tahu bagaimana netizen di negeri ini, mereka mudah tergerak oleh cerita tentang keluarga yang begitu dramatis, tentang bagaimana seorang ibu yang berjuang untuk anaknya.”Miranda menelan ludah, mencoba menahan amarah dan hatinya yang perih. Tetapi tampaknya Sean tidak memberi ruang kepada Miranda untuk menyangkal.“Aku tidak ingin kamu berada dalam posisi itu, Mira,” ucap Sean dengan suaranya yang
Miranda hampir tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan kala melihat Sean berdiri di depan pintu apartemennya. Dia mengatur nada suaranya agar tetap tenang, meski senyum di wajahnya tidak dapat disembunyikan. "Senang akhirnya kamu datang," ucap Miranda dengan suara lembut sambil melangkah mendekati Sean. "Kupikir, mungkin kita bisa membicarakan segalanya dengan lebih baik. Aku yakin, masih ada peluang untuk kita bersama." Dari wajahnya yang terlihat kusut dan sorot matanya yang penuh beban, Miranda menduga jika Sean sedang memiliki masalah dengan Lila. Dan dia merasa ini adalah peluang untuk bisa masuk hubungan mereka. Miranda memberi jalan agar Sean memasuki apartemennya dan mempersilahkan duduk. Tetapi saat Sean memilih duduk di sofa tunggal, Miranda pun akhirnya mengambil posisi di seberangnya hingga mereka bisa saling berhadapan. "Maaf jika kedatanganku mengganggumu," ucap Sean akhirnya dengan nadanya serius. "Aku ingin meminta bantuanmu untuk sesuatu yang sangat penting."
Sean terbangun pagi itu dengan perasaan berat. Cahaya matahari masuk melalui celah gorden, tapi tidak memberikan kehangatan seperti biasanya. Di sampingnya, Lila terbaring membelakangi, napasnya teratur tapi penuh jarak.Meskipun Sean sudah menyanggupi semua permintaan Lila, tetapi nyatanya istrinya tersebut tetap mendiamkannya. Lila ingin bukti nyata sampai Sean benar-benar membebaskan Rina dan menyelesaikan semua masalah yang berhubungan dengan serangan massif dari netizen.Sean merasa perang dingin ini bukan hal sepele. Ada jarak yang semakin terasa nyata di antara mereka, dan itu menyakitkan. Lila dulu adalah sosok istri yang lembut, penuh pengertian, dan selalu menurut tanpa banyak pertanyaan, tetapi sekarang, dia menjadi pribadi yang berbeda.Sikap tegas Lila, yang muncul sejak beberapa hari terakhir, membuat Sean terhenyak. Dan merasa begitu mudah Lila mematahkan ucapan dan argumennya, bahkan hanya dengan satu dua kalimat saja.Suasana sarapan terasa begitu dingin. Tidak ada ob