Share

7. Ketegangan di Rumah

Penulis: Mami Mochi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Menjadi istri seorang Ghibran Batsya Alfarizi cukup membuat Diva mengenal kepribadian pria itu lebih jauh. Sifatnya yang dominan, keras kepala dan berpendirian tegas membuat Diva sedikit banyak mulai memahami karakter suaminya.

Apalagi menyangkut putri mereka, Alara. Mas Ghibran selalu acuh dengan keberadaan putrinya yang manis. Meski begitu, Diva selalu menceritakan segala hal tentang Alara pada suaminya. Setidaknya, Diva ingin Mas Ghibran melihat Alara. Sebentar saja.

Semenjak kepulangan mereka dari makam kedua orang tuanya, Mas Ghibran di sibukkan dengan pekerjaan hingga membuatnya harus pergi ke Bali. Hanya melalui sambungan telepon keduanya berkomunikasi, untuk saat ini.

Cutinya pun sudah usai, Diva kembali ke rutinitasnya mengajar di Taman Kanak-kanak swasta. Apalagi Mas Ghibran tak pernah melarang apapun keinginan Diva, tentu saja Diva membalas dengan melayani suaminya sebaik mungkin.

Ting!

'Malam ini, saya pulang.'

Satu pesan masuk, muncul di layar notifnya. Senyum merekah terbesit begitu saja. Bergegas, Diva menyelesaikan pekerjaannya. Ia akan mengajak Alara untuk ke supermarket membeli bahan masakan.

Malam ini, suaminya pulang. Setelah dua Minggu lamanya berada di Bali. Diva akan menyambutnya bersama Alara.

'Mau dimasakkan apa?' Balas Diva.

'Apapun, saya ingin makan masakan kamu.'

'Oke, ayam goreng dengan cah jamur plus sambal cumi, gimana?'

'Boleh.'

'Diva dan Alara tunggu dirumah ya, Mas. Hati-hati pulangnya, jangan lupa nanti kabarin kalo udah otw.'

'Ya.'

Sebelum keluar dari pelataran TK, Diva menghubungi Pak Iman untuk menjemputnya. Tak lupa, Diva meminta Pak Iman mengajak Alara bersama. Agar Diva bisa langsung pergi ke supermarket dan memasak makanan untuk suaminya.

***

"Bunda, Papa nanti pulang jam berapa?"

"Alara udah kangen banget sama Papa."

"Kira-kira, Papa kangen tidak ya dengan Alara?"

Mendengar rentetan pertanyaan dari Alara, Diva tersenyum. Di hampirinya Alara yang kini duduk di sofa ruang tamu dengan tak sabar menunggu Papanya pulang.

"Jelas dong, Papa kangen."

"Alara juga kangen! Hihihi." Alara terkikik geli.

Bayangan dirinya berada dalam gendongan Papa membuat senyum semakin merekah. Alara tidak sabar menyambutnya pulang. Bahkan, di atas meja sudah ada kue brownies hasil buatannya bersama Bunda sore tadi. Rencananya Alara akan memberikan kue itu sebagai ucapan selamat datang.

Suara deru mobil memasuki pelataran rumah membuat Alara seketika gembira. Dengan riang ia turun dari sofa, membawa nampan berisi kue brownies untuk ia berikan pada Papa. Diva yang melihat antusiasme Alara tak kuasa menahan senyum bahagia.

"Pelan-pelan Alara, Papa pasti masuk rumah kok. Kita tunggu dulu ya,"

Kini, Alara dan Diva berdiri di depan pintu. Begitu pintu utama terbuka, nampak Mas Ghibran datang dengan menyeret koper disusul Pak Iman yang membawakan beberapa paper bag.

Diva menyambutnya dengan senyuman, "Selamat datang dirumah Mas."

"Selamat datang Papa!" Alara tak kalah heboh menyambut kepulangan Papanya.

Di salimnya tangan Mas Ghibran, pria itu membalas dengan kecupan mesra di kening istrinya. Mau tak mau, Mas Ghibran mengukir senyum mendapat sambutan hangat dari istrinya. Tak sulit mencintai Diva dengan kepribadian positif yang melekat pada perempuan itu.

Lantas Diva beralih menatap Alara, "Salim sama Papa dulu, Sayang."

Senyumnya luntur begitu Alara mendekat, mengambil tangan kanannya. Di ciumnya tangan besar itu dalam tangan mungilnya, Mas Ghibran bergeming. Tak bereaksi apapun, membiarkan Alara melakukan perintah istrinya meski rasanya Mas Ghibran ingin menolak.

"Papa! Alara kangeeen banget sama Papa!"

"Papa kangen tidak dengan Alara?"

Alara memeluk kedua kaki Mas Ghibran, melihat Alara yang antusias membuat Diva lagi-lagi tersenyum lembut. Berbeda dengan Mas Ghibran yang masih bergeming dalam diam.

"Saya capek, mau mandi." Ucap Mas Ghibran memandang lurus ke depan.

Melihat Papanya tak membalas pelukan, Alara melepaskan kedua tangannya. Kaki kecilnya yang tak sama membuat langkahnya terpincang-pincang saat mundur perlahan.

"Papa, tidak kangen Alara ya?"

"Pak Iman, tolong berikan paper bag itu pada istri saya." Titahnya pada Pak Iman yang sejak tadi berada di belakangnya.

"Baik Pak Ghibran," Pak Iman menyerahkan beberapa paper bag pada Diva.

"Kalau begitu, saya pamit pulang dulu. Assalamualaikum."

"Wa'alaikummussalam."

"Saya ingin mandi, bisa bantu siapkan pakaian?" Mas Ghibran memandang Diva dengan tatapan tak terbaca.

"Saya tunggu di kamar."

Tanpa menunggu jawaban dari istrinya, Mas Ghibran melangkah pergi. Meninggalkan Alara yang saat ini diam dengan mata berkaca-kaca. Diva menghampiri Alara, menyamakan tingginya dengan gadis kecil yang saat ini sedang bersedih.

"Benar ya Bunda, Papa tidak sayang Alara?" Tanyanya.

Diva menggeleng, "Kata siapa? Papa sayang Alara kok. Alara kan putri kesayangan Papa."

"Tapi kenapa Papa diem pas Alara peluk? Papa juga tidak menjawab pertanyaan Alara."

Diva mencoba tersenyum meski hatinya teriris melihat pemandangan yang baru saja terjadi. "Sayang..."

"Dengerin Bunda ya, Papa itu sayang banget sama Alara. Maaf ya, Papa diem engga balas pertanyaan Alara karena Papa capek. Papa butuh istirahat, makanya Papa diem engga jawab pertanyaan Alara." Diva mencoba memberikan pengertian sesederhana mungkin.

"Jadi Papa capek? Makanya diem, enggak jawab pertanyaan Alara?" Tanya Alara polos.

Diva mengangguk, "Iya Sayang."

"Tapi, kenapa Bunda berbeda?" Kini Alara menatap Bundanya dengan penasaran.

"Bunda selalu ceria dan dengerin cerita Alara, padahal Bunda juga baru pulang ke rumah. Beda sama Papa yang selalu diem ketika Alara cerita. Padahal, Papa juga sering dirumah. Kalo dirumah terus kan, enggak capek. Iya kan, Bunda?"

Kali ini, Diva tak bisa menjawab pertanyaan Alara. Berusaha mengukir senyum manis, Diva bingung harus memberikan jawaban apalagi. Perlakuan Mas Ghibran benar-benar keterlaluan. Diva harus bicara dengan Mas Ghibran setelah ini.

"Alara Sayang, kita buka paper bag dari Papa, mau?" Diva mengayunkan paper bag yang ia terima dari Pak Iman. Mencoba mengalihkan pemikiran Alara tentang sikap Papanya.

Alara mengangguk senang, "Mau! Mau! Alara mau!"

Dengan perlahan, Diva menuntun Alara menuju sofa tak jauh dari mereka. Nampak Alara antusias dengan isi dari paper bag tersebut. Saat dibuka, isinya adalah makanan. Banyak sekali macamnya, berbeda bentuk dan warna yang cantik sekali.

"Woah, Alara mau cokelat ini! Alara mau!"

"Alara mau? Boleh, sini Bunda buka dulu."

Diva dengan senang hati menyuapi Alara. Anak kecil itu nampak bahagia, terlihat dari matanya yang bersinar-sinar. Saking asyiknya menikmati waktu bersama Alara, Diva tak menyadari sepasang mata menatap tajam ke mereka.

Dadanya bergemuruh melihat pemandangan tak jauh dari matanya. Sebelum masuk kamar, Mas Ghibran meminta Diva untuk menyiapkan pakaian. Namun, apa yang istrinya lakukan?

Bukannya melayani suami, malah asyik bergurau bersama anak itu.

Berbalik masuk kamar dengan perasaan jengkel, Mas Ghibran sengaja menutup pintu hingga suara berdebum terdengar hingga ke ruang tamu. Membuat Diva terhenyak sebentar, kemudian teringat sesuatu.

Diva menatap Alara yang asyik memakan cokelat, "Alara, Bunda masuk ke kamar dulu ya. Mau ngecek Papa dulu."

Alara mengangguk saja, karena saat ini apa yang ada di dalam genggaman tangannya nampak menarik. Membiarkan Bundanya pergi menemui Papanya.

Diva melangkah masuk ke dalam kamar perlahan, di lihatnya Mas Ghibran tak ada di kamar. Suara gemericik air di kamar mandi mengalihkan pandangan. Diva bergegas menyiapkan kaos pendek yang nyaman, serta celana training untuk Pak Bagas.

Suara decitan pintu kamar mandi terbuka mengalihkan kegiatannya, Diva berbalik. Melihat Mas Ghibran yang selesai mandi dengan kaos dan celana yang sudah terpasang. Pria itu menatapnya dengan tatapan datar, membuat Diva salah tingkah.

"Mas Ghibran,--" suaranya terhenti melihat tangan Mas Ghibran terangkat.

"Saya tidak ingin mendengar apapun, urusi saja anak itu." Potong Mas Ghibran melewati Diva.

Diva menatap nanar punggung tegap suaminya. Menghela napas panjang, Diva mengembalikan baju dan celana training ke dalam lemari. Menguatkan hati, Diva berjalan mendekati Mas Ghibran yang fokus pada layar tab nya.

"Diva minta maaf, semuanya salah Diva."

Hening. Tak ada sepatah kata pun. Mas Ghibran mengabaikan Diva. Rasanya sakit, ketika keberadaan kita tak dianggap.

"Mas Ghibran, Diva tidak bermaksud melupakan kewajiban Diva. Diva hanya,--"

"Tugas kamu hanya mengurus dan melayani saya sebagai suami kamu. Harus berapa kali saya katakan, Diva?!"

"Mas, Diva minta maaf..."

"Saya menikahi kamu untuk menjadikan kamu sebagai istri saya, bukan pengasuh anak itu."

"Mas, namanya Alara..."

"Malam ini saya keluar, ada pekerjaan. Jangan tunggu saya."

"Tapi Mas Ghibran belum makan, setidaknya makan dulu." Cegah Diva.

"Saya pergi."

Apa yang bisa Diva lakukan selain menatap sendu kepergian suaminya?

***

Bab terkait

  • Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa    8. Teman Baru Alara

    Pukul setengah satu malam, Diva mendengar deru mobil memasuki pekarangan rumah. Dirinya yang sejak tadi gelisah, kini bergegas keluar menyambut suaminya pulang. Diva tidak bisa tidur setelah melihat kemarahan di raut wajah suaminya sebelum pergi. "Mas!" Mas Ghibran yang baru saja masuk terkejut melihat Diva yang datang menghampiri. Perempuan itu tidak mendengarkan perintahnya untuk segera tidur. Mas Ghibran menatap tajam ke arah Diva. "Kenapa tidak menurut dengan ucapan saya?" "Mas... Diva khawatir Mas Ghibran belum pulang." Kata Diva halus. "Sudah saya katakan untuk tidak menunggu." "Tapi Diva mau. Diva mau menunggu Mas Ghibran pulang." Bela Diva. "Sebelum pergi, Mas Ghibran belum makan sama sekali. Diva kepikiran dengan kondisi Mas Ghibran.""Diva,--""Mas Ghibran boleh marah dengan Diva, tapi jangan larang perasaan khawatir Diva untuk Mas Ghibran."Mas Ghibran terhenyak mendengarnya, segala rasa kesal sirna seketika. Diva memang perempuan yang baik dan perhatian padanya. Mesk

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa    9. Tentang Alara

    "Saya pamit dulu, assalamualaikum." Mas Ghibran mencium kening istrinya lembut."Wa'alaikummussalam." Diva mencium tangan suaminya sebelum pria itu memasuki mobil. Setelah adzan subuh berkumandang Mas Ghibran berangkat menuju Solo untuk mengadakan rapat bersama pemegang saham. Sebagai istri yang baik, tentu Diva sudah menyiapkan bekal dan sarapan untuk suaminya. Karena Mbok Iyul datang jam tujuh pagi, maka Diva lah yang membuatkan makanan untuk Mas Ghibran. Setelah memastikan suaminya pergi, Diva bersiap menarik gerbang, menutupnya. Namun sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di pelataran rumah, sesosok wanita paruh baya yang amat di kenalnya datang. "Mama?"Mama tersenyum, "Assalamualaikum Diva, menantu Mama." Dengan sigap Diva mencium tangan ibu mertuanya, "Mama kok tidak bilang mau kesini? Mas Ghibran baru aja pergi ke Solo, ada pekerjaan disana." "Loh pergi? Ghibran tidak kasih tau kamu? Seenaknya saja dia pergi, sikapnya masih sama saja." Heran Mama."Kasih tau apa, Ma?

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa    10. Bahagia yang Di Nanti

    "Assalamualaikum Ma, gimana hasilnya?" Mama yang melihat menantunya datang tersenyum, "Wa'alaikummussalam, masih terapi di dalam sama terapisnya." Diva mengangguk, setelah mengantar Alara dan Mama mertuanya Diva harus ke sekolah. Karena tidak mungkin membolos, apalagi mendadak. Jadi Diva mengajar sebentar sebelum akhirnya ijin untuk menemani Alara terapi. "Mama tidak menemani Alara di dalam?" Tanya Diva menatap bingung Mama mertuanya. "Mama tidak mau melihat Alara yang merengek. Mama cukup menunggunya disini." "Apakah biasanya Alara selalu seperti itu?" "Ya, Alara selalu menolak terapi. Menurut Alara, kakinya terasa sakit jika harus dipaksa menggunakan alat yang tidak dia sukai. Tapi Mama harus melakukannya, semua demi kebaikan Alara. Jika Mama masuk, maka Alara akan terus merengek dan meminta pulang.""Tapi tadi Alara tidak menolak." Ingat Diva melihat dirinya menyiapkan anaknya berdandan. Mama tersenyum lembut, "Itu karena kamu,""Diva?" Tunjuk Diva pada dirinya sendiri. Mam

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa    11. Kebersamaan

    Pulang terapi Alara benar-benar tertidur pulas hingga sore menjelang. Mama mertuanya sudah kembali sejak mereka tiba di rumah. Melihat ponselnya yang sejak tadi sunyi, Diva mengeceknya. Pesan darinya belum terbalaskan, biasanya Mas Ghibran selalu membalas meski hanya satu kata. Tapi, sejak tadi pagi Diva belum mendapat kabar apapun. "Mungkin Mas Ghibran benar-benar sibuk." Gumamnya. Menghela napas panjang, Diva melangkah menuju kamar Alara. Di bukanya pintu bercat cokelat dengan aksesoris bertuliskan Alara di bagian depan pintu. Di atas ranjang, Diva melihat Alara tidur dengan tenang. Seolah tak memiliki beban apapun. Perlahan, Diva duduk di tepi ranjang. Sebelah tangannya membelai halus rambut Alara. Gadis kecil ini benar-benar cantik meski memiliki keistimewaan. Sebelah kakinya yang tumbuh tak sempurna membuat jalannya terseok-seok. Alara bukan lah anak yang harus di benci, Alara adalah anak yang harus di lindungi. Hidupnya sama berharga dengan anak-anak lain di luar sana. "Beg

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa    1. Malam Setelah Pernikahan

    "Saya terima nikah dan kawinnya Diva Arathea binti alm. Minarno dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar tiga juta rupiah dibayar tunai!" "Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!" Suara kelegaan memenuhi Masjid Agung Al-Ikhlas dengan beberapa saksi pada proses akad pagi ini. Suasana haru seketika menyelimuti ketika pengantin wanita dituntun untuk mendekati lelaki yang duduk bersila di depan penghulu. Tampak lelaki tersebut menunggu dengan tenang dan sabar. Setetes air mata jatuh dari pelupuk mata pengantin wanita. Tepat pada pagi ini statusnya tak lagi sama, tanggung jawabnya sudah berbeda. Seluruh hidupnya, akan ia abdikan untuk suaminya. Merawat, melayani dan patuh pada suami adalah prioritasnya karena mulai saat ini, ia bukanlah seorang wanita single yang bebas. Namun, ia adalah wanita yang sudah bersuami.Pengantin wanita duduk bersebelahan dengan pengantin pria. Jantungnya bertalu-talu terasa sesak di dadanya. Tanpa suara, pengantin pria mengambil jemarinya yang di

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa    2. Ghibran Batsya Alfarizi

    Ghibran Batsya Alfarizi, pria matang berusia tiga puluh empat tahun yang menduda sejak berumur tiga puluh tahun. Empat tahun, Ghibran terbiasa mandiri dengan statusnya yang baru. Tak ada hal istimewa dari sosok Ghibran selain ia yang terkenal tegas dalam berbisnis. Kekayaan yang melimpah, tampan, dan masih menduda menjadikan Ghibran pria yang di targetkan oleh beberapa karyawan di kantornya. Namun, Ghibran hanya menganggap semua itu adalah hiburan untuknya. Selagi kinerja mereka memuaskan, Ghibran membiarkan saja. Hari ini, tepat di awal bulan Mei status yang Ghibran pegang empat tahun lalu ia lepas. Dalam balutan tuxedo hitam, kemeja putih dengan dasi kupu berwarna hitam, Ghibran begitu gagah mengucap akad dengan satu tarikan napas. Kini, Ghibran kembali memulai kehidupannya bersama seorang wanita berhijab yang di pilihkan oleh Mama dan putri kecilnya. Ghibran sendiri masa bodo siapa wanita yang akan menjadi istrinya. Lagi pula, siapa wanita yang tidak mau menikahi seorang duda b

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa    3. Hari Pertama Sebagai Suami Istri

    "Saya tidak akan melarang kamu untuk bekerja. Saya membebaskan kamu melakukan semua hal yang kamu sukai. Namun, sama seperti pasangan suami istri lainnya. Saya menuntut hak dan kewajiban kamu sebagai istri saya. Dan saya juga memberikan hak dan kewajiban saya sebagai suami kamu. Tidak ada pembatas antara saya dan kamu, meskipun kita baru saja mengenal dua bulan.""Saya rasa kamu sudah mengerti dengan apa yang saya katakan." Tambah Ghibran."Mas tidak apa-apa jika Diva masih mengajar?"Sebelum menikah dengan Ghibran, Diva memang bekerja menjadi seorang guru TK yang baru bekerja satu tahun lamanya di kelas TK yang sama dengan tempat belajar Alara. Tampaknya gadis kecil itu terlalu menyendiri sehingga baru mengenal Diva yang menjadi salah satu gurunya. "Tidak masalah," jawab Ghibran. "Bahkan jika kamu ingin menjadi ibu rumah tangga yang mengurus saya saja, saya akan lebih senang." Tambah Ghibran setelah menyeruput secangkir kopinya yang mulai mendingin."Dan Alara?" Perkataan Diva mem

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa    4. Kekurangan Alara

    "Alara, dimana Mas?" "Sekolah," Diva mengerutkan kening heran, "Sekolah?" "Kok Mas, bolehin sekolah?" "Anak itu tidak boleh membolos," kata Ghibran."Mas,--""Diva, sudah." Ghibran menutup laptopnya. Pandangannya tertuju pada istrinya yang duduk di sebelah Ghibran. "Kemarin sudah membolos, dan hari ini ingin membolos lagi? Mau jadi apa nanti? Biarkan dia sekolah." Ghibran bangkit setelah berkata pada istrinya. Diva mengikuti dari belakang, "Mas, Alara pasti capek. Setidaknya biarkan Alara libur sekolah dua hari." "Jangan terlalu memanjakan anak itu!" "Mas,--"Ghibran mengangkat tangannya, seketika Diva berhenti berbicara. Ia melihat Ghibran yang berdiri dengan raut wajah marah. "Saya tidak ingin membahas masalah ini, Diva." Suaminya terlalu keras kepala, dan Diva tidak bisa membujuk suaminya dalam hal ini. Pria itu pergi dari kamar selepas mengatakan untuk tidak membahas putrinya sendiri. Diva berjalan pelan menuju ranjang, duduk di kasurnya. Diva meraih ponsel miliknya yan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa    11. Kebersamaan

    Pulang terapi Alara benar-benar tertidur pulas hingga sore menjelang. Mama mertuanya sudah kembali sejak mereka tiba di rumah. Melihat ponselnya yang sejak tadi sunyi, Diva mengeceknya. Pesan darinya belum terbalaskan, biasanya Mas Ghibran selalu membalas meski hanya satu kata. Tapi, sejak tadi pagi Diva belum mendapat kabar apapun. "Mungkin Mas Ghibran benar-benar sibuk." Gumamnya. Menghela napas panjang, Diva melangkah menuju kamar Alara. Di bukanya pintu bercat cokelat dengan aksesoris bertuliskan Alara di bagian depan pintu. Di atas ranjang, Diva melihat Alara tidur dengan tenang. Seolah tak memiliki beban apapun. Perlahan, Diva duduk di tepi ranjang. Sebelah tangannya membelai halus rambut Alara. Gadis kecil ini benar-benar cantik meski memiliki keistimewaan. Sebelah kakinya yang tumbuh tak sempurna membuat jalannya terseok-seok. Alara bukan lah anak yang harus di benci, Alara adalah anak yang harus di lindungi. Hidupnya sama berharga dengan anak-anak lain di luar sana. "Beg

  • Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa    10. Bahagia yang Di Nanti

    "Assalamualaikum Ma, gimana hasilnya?" Mama yang melihat menantunya datang tersenyum, "Wa'alaikummussalam, masih terapi di dalam sama terapisnya." Diva mengangguk, setelah mengantar Alara dan Mama mertuanya Diva harus ke sekolah. Karena tidak mungkin membolos, apalagi mendadak. Jadi Diva mengajar sebentar sebelum akhirnya ijin untuk menemani Alara terapi. "Mama tidak menemani Alara di dalam?" Tanya Diva menatap bingung Mama mertuanya. "Mama tidak mau melihat Alara yang merengek. Mama cukup menunggunya disini." "Apakah biasanya Alara selalu seperti itu?" "Ya, Alara selalu menolak terapi. Menurut Alara, kakinya terasa sakit jika harus dipaksa menggunakan alat yang tidak dia sukai. Tapi Mama harus melakukannya, semua demi kebaikan Alara. Jika Mama masuk, maka Alara akan terus merengek dan meminta pulang.""Tapi tadi Alara tidak menolak." Ingat Diva melihat dirinya menyiapkan anaknya berdandan. Mama tersenyum lembut, "Itu karena kamu,""Diva?" Tunjuk Diva pada dirinya sendiri. Mam

  • Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa    9. Tentang Alara

    "Saya pamit dulu, assalamualaikum." Mas Ghibran mencium kening istrinya lembut."Wa'alaikummussalam." Diva mencium tangan suaminya sebelum pria itu memasuki mobil. Setelah adzan subuh berkumandang Mas Ghibran berangkat menuju Solo untuk mengadakan rapat bersama pemegang saham. Sebagai istri yang baik, tentu Diva sudah menyiapkan bekal dan sarapan untuk suaminya. Karena Mbok Iyul datang jam tujuh pagi, maka Diva lah yang membuatkan makanan untuk Mas Ghibran. Setelah memastikan suaminya pergi, Diva bersiap menarik gerbang, menutupnya. Namun sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di pelataran rumah, sesosok wanita paruh baya yang amat di kenalnya datang. "Mama?"Mama tersenyum, "Assalamualaikum Diva, menantu Mama." Dengan sigap Diva mencium tangan ibu mertuanya, "Mama kok tidak bilang mau kesini? Mas Ghibran baru aja pergi ke Solo, ada pekerjaan disana." "Loh pergi? Ghibran tidak kasih tau kamu? Seenaknya saja dia pergi, sikapnya masih sama saja." Heran Mama."Kasih tau apa, Ma?

  • Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa    8. Teman Baru Alara

    Pukul setengah satu malam, Diva mendengar deru mobil memasuki pekarangan rumah. Dirinya yang sejak tadi gelisah, kini bergegas keluar menyambut suaminya pulang. Diva tidak bisa tidur setelah melihat kemarahan di raut wajah suaminya sebelum pergi. "Mas!" Mas Ghibran yang baru saja masuk terkejut melihat Diva yang datang menghampiri. Perempuan itu tidak mendengarkan perintahnya untuk segera tidur. Mas Ghibran menatap tajam ke arah Diva. "Kenapa tidak menurut dengan ucapan saya?" "Mas... Diva khawatir Mas Ghibran belum pulang." Kata Diva halus. "Sudah saya katakan untuk tidak menunggu." "Tapi Diva mau. Diva mau menunggu Mas Ghibran pulang." Bela Diva. "Sebelum pergi, Mas Ghibran belum makan sama sekali. Diva kepikiran dengan kondisi Mas Ghibran.""Diva,--""Mas Ghibran boleh marah dengan Diva, tapi jangan larang perasaan khawatir Diva untuk Mas Ghibran."Mas Ghibran terhenyak mendengarnya, segala rasa kesal sirna seketika. Diva memang perempuan yang baik dan perhatian padanya. Mesk

  • Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa    7. Ketegangan di Rumah

    Menjadi istri seorang Ghibran Batsya Alfarizi cukup membuat Diva mengenal kepribadian pria itu lebih jauh. Sifatnya yang dominan, keras kepala dan berpendirian tegas membuat Diva sedikit banyak mulai memahami karakter suaminya. Apalagi menyangkut putri mereka, Alara. Mas Ghibran selalu acuh dengan keberadaan putrinya yang manis. Meski begitu, Diva selalu menceritakan segala hal tentang Alara pada suaminya. Setidaknya, Diva ingin Mas Ghibran melihat Alara. Sebentar saja.Semenjak kepulangan mereka dari makam kedua orang tuanya, Mas Ghibran di sibukkan dengan pekerjaan hingga membuatnya harus pergi ke Bali. Hanya melalui sambungan telepon keduanya berkomunikasi, untuk saat ini. Cutinya pun sudah usai, Diva kembali ke rutinitasnya mengajar di Taman Kanak-kanak swasta. Apalagi Mas Ghibran tak pernah melarang apapun keinginan Diva, tentu saja Diva membalas dengan melayani suaminya sebaik mungkin. Ting! 'Malam ini, saya pulang.'Sa

  • Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa    6. Meminta Restu Alm. Ayah dan Ibu

    "Mas suka kue?" Tanya Diva pada Mas Ghibran. Mas Ghibran yang masih menyantap makan siangnya di meja makan menoleh pada istrinya. Setelah menyelesaikan kunyahan, barulah Ghibran menjawab. "Saya tidak menyukai makanan manis."Jawaban Mas Ghibran membuat bahu Diva meluruh, "Tadi Diva sama Alara mampir ke supermarket beli bahan-bahan untuk kue.""Tapi, nanti Diva bisa membuatkan Mas Ghibran kue yang tidak terlalu manis. Mungkin Mas Ghibran mau mencobanya." Bujuk Diva lembut. "Pakai uang kamu?" Bukannya menjawab, Mas Ghibran malah bertanya hal lain. "Maksudnya?""Saya lupa memberikan kamu kartu ATM, dompet saya ada di meja kamar. Nanti saya berikan. Kamu bisa memakainya untuk membeli kebutuhan rumah. Lalu, untuk kebutuhan kamu saya akan mentransfer langsung ke rekening kamu. Untuk kebutuhan dia, sudah saya siapkan kartu ATM juga. Kamu bisa memakai sesuai kebutuhan.""Dia?" Tanya Diva mengernyit, "Maksud Mas, Alara?" "Ya." "Mas bisa mengatakan namanya, bukan menyebut dengan kata 'dia'

  • Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa    5. Pertemuan Pertama

    "Enak ya?" Tanya Diva memandang Alara yang menjilat es krim seraya memejamkan matanya. Tanpa menatap Bundanya, Alara mengangguk. "Heum!" Diva tersenyum kecil, hatinya senang melihat binar bahagia terpancar kembali di mata Alara setelah pertengkaran dengan Yoyo beberapa saat lalu. Satu sisi, Diva khawatir dengan keadaan Yoyo yang tadi bersama Bu Nora. Disisi lain, Diva tidak bisa mengabaikan putrinya, Alara.Ting!Dentingan ponsel disusul getaran panjang membuat Diva tersentak. Membalikkan layar ponsel diatas meja, Diva melihat suaminya menelpon. Segera Diva menjawab panggilan dari Ghibran. "Halo Mas, assalamualaikum." "Wa'alaikummussalam, kamu dimana?" Tanya Ghibran tanpa basa basi. "Ini Diva lagi diluar Mas, sama Al--" "Pulang." Potong Ghibran sebelum Diva menyelesaikan kalimatnya. "Mas, tapi Diva,--" "Saya tunggu kamu dirumah." Tanpa menunggu, Ghibran mematikan sambungan telepon. Membuat Diva lagi-lagi menghembuskan napas panjang. Baru sehari mereka menjadi suami istri, Div

  • Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa    4. Kekurangan Alara

    "Alara, dimana Mas?" "Sekolah," Diva mengerutkan kening heran, "Sekolah?" "Kok Mas, bolehin sekolah?" "Anak itu tidak boleh membolos," kata Ghibran."Mas,--""Diva, sudah." Ghibran menutup laptopnya. Pandangannya tertuju pada istrinya yang duduk di sebelah Ghibran. "Kemarin sudah membolos, dan hari ini ingin membolos lagi? Mau jadi apa nanti? Biarkan dia sekolah." Ghibran bangkit setelah berkata pada istrinya. Diva mengikuti dari belakang, "Mas, Alara pasti capek. Setidaknya biarkan Alara libur sekolah dua hari." "Jangan terlalu memanjakan anak itu!" "Mas,--"Ghibran mengangkat tangannya, seketika Diva berhenti berbicara. Ia melihat Ghibran yang berdiri dengan raut wajah marah. "Saya tidak ingin membahas masalah ini, Diva." Suaminya terlalu keras kepala, dan Diva tidak bisa membujuk suaminya dalam hal ini. Pria itu pergi dari kamar selepas mengatakan untuk tidak membahas putrinya sendiri. Diva berjalan pelan menuju ranjang, duduk di kasurnya. Diva meraih ponsel miliknya yan

  • Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa    3. Hari Pertama Sebagai Suami Istri

    "Saya tidak akan melarang kamu untuk bekerja. Saya membebaskan kamu melakukan semua hal yang kamu sukai. Namun, sama seperti pasangan suami istri lainnya. Saya menuntut hak dan kewajiban kamu sebagai istri saya. Dan saya juga memberikan hak dan kewajiban saya sebagai suami kamu. Tidak ada pembatas antara saya dan kamu, meskipun kita baru saja mengenal dua bulan.""Saya rasa kamu sudah mengerti dengan apa yang saya katakan." Tambah Ghibran."Mas tidak apa-apa jika Diva masih mengajar?"Sebelum menikah dengan Ghibran, Diva memang bekerja menjadi seorang guru TK yang baru bekerja satu tahun lamanya di kelas TK yang sama dengan tempat belajar Alara. Tampaknya gadis kecil itu terlalu menyendiri sehingga baru mengenal Diva yang menjadi salah satu gurunya. "Tidak masalah," jawab Ghibran. "Bahkan jika kamu ingin menjadi ibu rumah tangga yang mengurus saya saja, saya akan lebih senang." Tambah Ghibran setelah menyeruput secangkir kopinya yang mulai mendingin."Dan Alara?" Perkataan Diva mem

DMCA.com Protection Status