"Saya terima nikah dan kawinnya Diva Arathea binti alm. Minarno dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar tiga juta rupiah dibayar tunai!"
"Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!"Suara kelegaan memenuhi Masjid Agung Al-Ikhlas dengan beberapa saksi pada proses akad pagi ini. Suasana haru seketika menyelimuti ketika pengantin wanita dituntun untuk mendekati lelaki yang duduk bersila di depan penghulu. Tampak lelaki tersebut menunggu dengan tenang dan sabar.Setetes air mata jatuh dari pelupuk mata pengantin wanita. Tepat pada pagi ini statusnya tak lagi sama, tanggung jawabnya sudah berbeda. Seluruh hidupnya, akan ia abdikan untuk suaminya. Merawat, melayani dan patuh pada suami adalah prioritasnya karena mulai saat ini, ia bukanlah seorang wanita single yang bebas.Namun, ia adalah wanita yang sudah bersuami.Pengantin wanita duduk bersebelahan dengan pengantin pria. Jantungnya bertalu-talu terasa sesak di dadanya. Tanpa suara, pengantin pria mengambil jemarinya yang dingin, dipakaikan nya cincin emas putih sederhana yang berkilau indah.Pengantin pria tak berkomentar apapun. Ia tahu bila gadis di sampingnya sangat gugup, terbukti dari tangannya yang dingin."Ayo Nak, pakaikan suami mu cincinnya." Tuntun seorang wanita paruh baya di samping pengantin wanita.Pengantin wanita tersebut mengangguk, lalu diambilnya cincin emas putih yang berukuran besar pada jemari suaminya."Cium tangan suami mu, Nak."Pengantin wanita mencium tangan suaminya, ketika ia hendak melepaskan tangan sang suami. Sang suami justru menahan belakang kepalanya, lantas memegang ubun-ubunnya dan berucap,"Allahumma inni as'aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaih."Setetes air mata lagi-lagi jatuh dari matanya, ia begitu terharu mendengar doa dari suami sahnya. Semoga pernikahannya senantiasa di berkahi kelimpahan rejeki dan kebahagiaan.Sang pengantin pria mencium dahi istrinya lembut, setelahnya ia memberi jarak. Dan kembali menghadap penghulu. Begitu pula, si pengantin wanita. Ia berusaha menormalkan detak jantungnya yang bertalu-talu."Bunda." Panggil sesosok gadis kecil bergaun brukat panjang berwarna pink dengan bando senada.Gadis kecil langsung memeluk tubuh pengantin wanita dengan erat, "Alara seneng, akhirnya Bunda bisa jadi Bundanya Alara."Semua tamu undangan terharu dan tersenyum senang, begitu pula pengantin wanita yang balas memeluk tubuh Alara tak kalah erat."Bunda juga senang bisa jadi Bundanya Alara."Namun, ada satu sosok yang memandang keduanya dengan tatapan datar. Menatap tak suka adegan pelukan yang dilihatnya. Berpaling, ia mengalihkan pandangan ke depan.***Melanjutkan acara resepsi di sebuah gedung hotel yang telah mereka sewa. Tak begitu meriah, hanya keluarga, kolega dan teman dekat yang di undang. Sejak sore, para tamu undangan terus saja berdatangan. Silih berganti memberi selamat kepada pasangan pengantin yang berdiri di atas pelaminan di temani gadis kecil yang tersenyum bahagia."Alara laper, sayang?" Tanya Diva, pengantin wanita.Bocah berusia enam tahun itu menggeleng, "Alara tidak lapar Bunda, Alara lagi bahagia."Diva tersenyum, di elusnya kepala Alara dengan sayang."Kalau lapar bilang sama Bunda ya, nanti Bunda ambilkan makanan untuk Alara."Alara mengangguk bahagia, sejak tadi gadis kecil itu tak melepas senyum di bibirnya."Iya Bundanya Alara."Diva mengalihkan pandangan pada sesosok pria yang menatap interaksi keduanya dengan tatapan tajam. Diva melempar senyum tipis, "Mas mau Diva ambilkan minum atau makanan?""Tidak." Jawab pria itu masih dengan tatapan datarnya.Alara berbalik, menatap pria yang menjadi Papanya itu dengan binar di kedua mata kecilnya."Papa mau Alara yang ambilin minum?" Tanya Alara dengan antusias, membuat Diva mau tak mau menunjukkan senyum di bibirnya.Tanpa menjawab, pria tersebut turun dari pelaminan. Berbaur dan menyapa beberapa tamu undangan tanpa mengajak Diva sebagai pengantin wanitanya. Melihat hal tersebut, Diva sedikit bersedih."Papa marah sama Alara ya, Bunda?" Pertanyaan itu terlontar dari gadis kecil yang menatap Papa nya menjauh. Senyum ceria seketika menghilang dari wajahnya.Berusaha tersenyum, Diva memberi pengertian pada Alara, "Tidak sayang, Papa tidak marah sama Alara.""Tapi Papa pergi."Diva tersenyum, "Papa hanya ingin menyapa teman Papa, kalau Papa mengajak Alara takutnya nanti Alara kecapekan. Makanya, Bunda disini menemani Alara.""Begitu ya, Bunda?"Diva mengangguk, "Iya sayang."Alara mengangguk antusias, senyum ceria kembali terbit di wajahnya, "Bunda capek tidak?"Diva menggeleng, "Bunda tidak capek, Sayang. Alara capek ya? Bunda antar ke kamar mau?"Alara menggeleng, "Alara juga tidak capek. Alara mau disini menemani Bunda.""Alara duduk ya sama Bunda." Tanpa menunggu balasan dari Alara, Diva mengangkat tubuh mungil untuk duduk di kursi pelaminan.Melihat tamu undangan yang sibuk menikmati hidangan, mau tak mau Diva harus turun mengambil makanan untuk Alara dan dirinya. Sejak tadi perutnya belum terisi makanan, hanya teh hangat dan sepotong roti. Itu pun sejak pagi tadi sebelum akad."Alara tunggu disini dulu ya sayang, Bunda mau ambil makanan untuk Alara sama Bunda."Alara mengangguk, Diva bangkit dari duduknya. Belum sempat Diva beranjak turun, sepiring nasi dengan segelas air terulur di depannya.Diva mengernyit heran, lalu menatap siapa gerangan yang memberikan makanan untuknya."Mas?""Makan."Diva menerima makanan tersebut dengan senyum di bibirnya, ternyata suaminya begitu perhatian. Semoga rumah tangganya di penuhi kebahagiaan dan keceriaan.Setelah piring tersebut pindah di tangan Diva, pria itu kembali turun dan menemui para tamu undangan."Terima kasih Mas." Ujar Diva meski suaminya tak mendengar ucapan terima kasihnya."Sayang, kita makan ya. Papa udah ngambilin makanan untuk kita.""Heum!" Alara begitu bersemangat menerima suapan dari Diva.Hingga tak terasa, nasi dalam piring tersebut habis. Padahal Diva baru memakan satu suapan. Namun, tak apa. Baginya, Alara lebih membutuhkan asupan energi dari pada tubuhnya."Pintarnya putri Bunda, nasinya sudah habis. Ternyata Alara lapar ya."Alara tergelak, "Makanannya enak!"Mau tak mau senyum Diva kembali terbit, tak masalah bila ia harus menahan lapar. Tapi, Alara harus sehat dan sembuh seperti anak lainnya.Tanpa Diva sadari, tatapan tajam seorang pria mengamati keduanya lekat. Dirinya bermaksud mengambilkan nasi untuk istrinya, bukan anak kecil itu. Dan nasi tersebut, habis oleh anak kecil yang kini menunjukkan senyum bahagia. Bahkan istrinya itu hanya makan satu suapan, setelahnya anak kecil itu yang menghabiskan makanannya.Menghembuskan napas lelah, pria itu kembali menyalami para tamu undangan. Turunnya dari kursi pelaminan, agar istrinya bisa istirahat sejenak. Pria itu tahu, bila istrinya kelelahan. Maka ia yang akan menemani para tamu undangan sementara istrinya sedang beristirahat.***Acara telah selesai pukul delapan malam, Diva menghempaskan tubuh lelahnya di atas kasur. Sebelumnya, terdapat taburan bunga mawar membentuk hati memenuhi kasur. Diva yang melihatnya, segera menyingkirkan taburan bunga tersebut dan tidur di atas kasur yang telah bersih.Kamar ini, sangat mewah. Diva tidak tahu berapa budget yang di keluarkan oleh suaminya untuk menyewa gedung resepsi dengan beberapa kamar untuk anggota keluarga yang menginap. Dirinya pula tidak tahu berapa kekayaan yang dimiliki oleh suaminya.Betapa Diva tidak tahu banyak hal mengenai suaminya.Pintu kamar terbuka, membuat Diva segera bangkit tiduran. Pria itu datang dengan membuka jasnya, melepas beberapa kancing kemejanya yang terasa sesak."Eh, Mas!"Panggilan itu membuat pria itu menoleh pada sosok wanita yang kini telah menjadi istrinya. Dengan acuh, ia melangkah ke kamar mandi.Diva menghembuskan napas lelah, betapa dinginnya sang suami. Jika komunikasi sangat buruk, bagaimana hubungan rumah tangga mereka berjalan dengan baik?Diva duduk di atas ranjang, menunggu suaminya selesai mandi. Ia mengambil ponselnya di atas meja, melihat beberapa notifikasi yang mengucapkan selamat atas pernikahannya. Diva hanya melihat tanpa berniat membalas. Rata-rata teman kuliahnya yang dekat dengannya yang memberikan ucapan, selebihnya tidak ada.Suara pintu kamar mandi yang terbuka, mengalihkan perhatian Diva. Segera ia bangkit dan menghampiri suaminya."Mas, mau Diva siapkan bajunya?" Sejak tadi Diva memang ingin mengambilkan pakaian untuk suaminya, namun ia masih tidak berani. Alhasil, Diva lebih baik menunggu dan berharap persetujuan dari sang suami."Boleh."Dengan tersenyum, Diva mengambil pakaian suaminya yang masih berada di koper."Ini Mas.""Hm."Diva berusaha tersenyum, meski rasanya komunikasi antara ia dan suaminya masih kaku dan irit."Kalau begitu, Diva mandi dulu ya, Mas.""Ya."Diva segera mengambil baju di dalam kopernya, ia akan berganti di kamar mandi. Baju pengantin ini membuat Diva terasa sesak, apalagi di bagian dadanya yang terasa sempit. Meskipun gaun pengantin Diva memakai hijab, tapi tetap saja rasanya pakaian ini terlalu terbuka. Dan ia merasa kurang nyaman.Selepas mandi, Diva mendapati kamar mereka kosong. Tidak terlihat dimana suaminya. Kelopak bunga mawar yang tadinya berada di lantai, kini telah bersih. Entah kemana perginya, yang pasti suaminya lah yang membuang.Lagi pula, untuk apa di atas kasur terdapat kelopak bunga mawar? Membuat tubuhnya terasa gatal saja."Alara sama Nenek dulu ya, Sayang.""Tapi Alara mau sama Bunda."Samar-samar, Diva mendengar suara Alara yang berada di luar kamarnya. Ia mengambil hijab instan, dan memakainya. Berjalan menuju pintu kamar, untuk melihat apa yang sedang terjadi."Alara?" Sapa Diva pertama kali."Bunda!" Dengan sesenggukan, Alara mengulurkan tangannya meminta gendong.Diva tak kuasa menolak, ia memindahkan tubuh mungil Alara ke dalam pelukannya."Alara kenapa menangis?" Diva menghapus air mata yang mengalir deras di pipi Alara."Mau sama Bunda. Tapi kata Nenek tidak boleh sama Bunda.""Diva," panggil Mama Ratih-mama mertua Diva.Diva menatap Mama Ratih, "Alara ingin tidur dengan kalian. Mama melarang, karena ini waktu berdua bagi pengantin baru. Mama tidak mau, Alara merusak malam pengantin kalian." Papar Mama Ratih.Diva terdiam mendengarnya, malam pengantin? Bisakah Diva sebut begitu, karena nyatanya hubungannya dengan sang suami tidak terlalu baik. Suaminya masih terlihat dingin padanya, bagaimana bisa Diva mengharapkan sesuatu yang lebih?"Alara mau sama Bunda." Alara terus saja berkata dengan sesenggukan."Tidak apa Mama Ratih, Alara tidak akan merusak apapun. Biar Alara tidur sama Diva."Mendengar hal tersebut, pria itu menatap istrinya tak setuju. Tatapannya tajam menghunus istrinya yang sesuka hati memanjakan anak kecil itu."Mama sungguh tidak enak." Mama Ratih menatap Alara, "Alara tidur sama Nenek ya?"Dengan mata berkaca, Alara menjawab, "Mau sama Bunda.""Iya sayang, Alara tidur sama Bunda ya." Diva mengelus rambut hitam Alara. Alara mengalungkan tangannya di leher Diva, enggan melepas pelukannya.Mama Ratih mengangguk, "Baiklah kalau begitu, tapi nanti kalau Alara sudah terlelap, kamu pindahin ke kamar Mama ya, Va."Diva mengangguk, "Iya Ma.""Mama kembali ke kamar dulu."Diva merasakan tatapan suaminya terarah padanya, ia menolehkan pandangan dan ternyata suaminya memandang dirinya begitu intens."Mas, Alara--""Saya keluar dulu, kunci pintunya. Saya bawa kartu akses." Ujarnya lantas berlalu keluar dari kamar.Diva menghela napas, menuruti perintah suaminya. Dengan menggendong tubuh mungil Alara, ia menidurkan di atas kasur. Menyelimuti tubuh mungil itu, dan ikut menyusul tidur bersama Alara.***Ghibran Batsya Alfarizi, pria matang berusia tiga puluh empat tahun yang menduda sejak berumur tiga puluh tahun. Empat tahun, Ghibran terbiasa mandiri dengan statusnya yang baru. Tak ada hal istimewa dari sosok Ghibran selain ia yang terkenal tegas dalam berbisnis. Kekayaan yang melimpah, tampan, dan masih menduda menjadikan Ghibran pria yang di targetkan oleh beberapa karyawan di kantornya. Namun, Ghibran hanya menganggap semua itu adalah hiburan untuknya. Selagi kinerja mereka memuaskan, Ghibran membiarkan saja. Hari ini, tepat di awal bulan Mei status yang Ghibran pegang empat tahun lalu ia lepas. Dalam balutan tuxedo hitam, kemeja putih dengan dasi kupu berwarna hitam, Ghibran begitu gagah mengucap akad dengan satu tarikan napas. Kini, Ghibran kembali memulai kehidupannya bersama seorang wanita berhijab yang di pilihkan oleh Mama dan putri kecilnya. Ghibran sendiri masa bodo siapa wanita yang akan menjadi istrinya. Lagi pula, siapa wanita yang tidak mau menikahi seorang duda b
"Saya tidak akan melarang kamu untuk bekerja. Saya membebaskan kamu melakukan semua hal yang kamu sukai. Namun, sama seperti pasangan suami istri lainnya. Saya menuntut hak dan kewajiban kamu sebagai istri saya. Dan saya juga memberikan hak dan kewajiban saya sebagai suami kamu. Tidak ada pembatas antara saya dan kamu, meskipun kita baru saja mengenal dua bulan.""Saya rasa kamu sudah mengerti dengan apa yang saya katakan." Tambah Ghibran."Mas tidak apa-apa jika Diva masih mengajar?"Sebelum menikah dengan Ghibran, Diva memang bekerja menjadi seorang guru TK yang baru bekerja satu tahun lamanya di kelas TK yang sama dengan tempat belajar Alara. Tampaknya gadis kecil itu terlalu menyendiri sehingga baru mengenal Diva yang menjadi salah satu gurunya. "Tidak masalah," jawab Ghibran. "Bahkan jika kamu ingin menjadi ibu rumah tangga yang mengurus saya saja, saya akan lebih senang." Tambah Ghibran setelah menyeruput secangkir kopinya yang mulai mendingin."Dan Alara?" Perkataan Diva mem
"Alara, dimana Mas?" "Sekolah," Diva mengerutkan kening heran, "Sekolah?" "Kok Mas, bolehin sekolah?" "Anak itu tidak boleh membolos," kata Ghibran."Mas,--""Diva, sudah." Ghibran menutup laptopnya. Pandangannya tertuju pada istrinya yang duduk di sebelah Ghibran. "Kemarin sudah membolos, dan hari ini ingin membolos lagi? Mau jadi apa nanti? Biarkan dia sekolah." Ghibran bangkit setelah berkata pada istrinya. Diva mengikuti dari belakang, "Mas, Alara pasti capek. Setidaknya biarkan Alara libur sekolah dua hari." "Jangan terlalu memanjakan anak itu!" "Mas,--"Ghibran mengangkat tangannya, seketika Diva berhenti berbicara. Ia melihat Ghibran yang berdiri dengan raut wajah marah. "Saya tidak ingin membahas masalah ini, Diva." Suaminya terlalu keras kepala, dan Diva tidak bisa membujuk suaminya dalam hal ini. Pria itu pergi dari kamar selepas mengatakan untuk tidak membahas putrinya sendiri. Diva berjalan pelan menuju ranjang, duduk di kasurnya. Diva meraih ponsel miliknya yan
"Enak ya?" Tanya Diva memandang Alara yang menjilat es krim seraya memejamkan matanya. Tanpa menatap Bundanya, Alara mengangguk. "Heum!" Diva tersenyum kecil, hatinya senang melihat binar bahagia terpancar kembali di mata Alara setelah pertengkaran dengan Yoyo beberapa saat lalu. Satu sisi, Diva khawatir dengan keadaan Yoyo yang tadi bersama Bu Nora. Disisi lain, Diva tidak bisa mengabaikan putrinya, Alara.Ting!Dentingan ponsel disusul getaran panjang membuat Diva tersentak. Membalikkan layar ponsel diatas meja, Diva melihat suaminya menelpon. Segera Diva menjawab panggilan dari Ghibran. "Halo Mas, assalamualaikum." "Wa'alaikummussalam, kamu dimana?" Tanya Ghibran tanpa basa basi. "Ini Diva lagi diluar Mas, sama Al--" "Pulang." Potong Ghibran sebelum Diva menyelesaikan kalimatnya. "Mas, tapi Diva,--" "Saya tunggu kamu dirumah." Tanpa menunggu, Ghibran mematikan sambungan telepon. Membuat Diva lagi-lagi menghembuskan napas panjang. Baru sehari mereka menjadi suami istri, Div
"Mas suka kue?" Tanya Diva pada Mas Ghibran. Mas Ghibran yang masih menyantap makan siangnya di meja makan menoleh pada istrinya. Setelah menyelesaikan kunyahan, barulah Ghibran menjawab. "Saya tidak menyukai makanan manis."Jawaban Mas Ghibran membuat bahu Diva meluruh, "Tadi Diva sama Alara mampir ke supermarket beli bahan-bahan untuk kue.""Tapi, nanti Diva bisa membuatkan Mas Ghibran kue yang tidak terlalu manis. Mungkin Mas Ghibran mau mencobanya." Bujuk Diva lembut. "Pakai uang kamu?" Bukannya menjawab, Mas Ghibran malah bertanya hal lain. "Maksudnya?""Saya lupa memberikan kamu kartu ATM, dompet saya ada di meja kamar. Nanti saya berikan. Kamu bisa memakainya untuk membeli kebutuhan rumah. Lalu, untuk kebutuhan kamu saya akan mentransfer langsung ke rekening kamu. Untuk kebutuhan dia, sudah saya siapkan kartu ATM juga. Kamu bisa memakai sesuai kebutuhan.""Dia?" Tanya Diva mengernyit, "Maksud Mas, Alara?" "Ya." "Mas bisa mengatakan namanya, bukan menyebut dengan kata 'dia'
Menjadi istri seorang Ghibran Batsya Alfarizi cukup membuat Diva mengenal kepribadian pria itu lebih jauh. Sifatnya yang dominan, keras kepala dan berpendirian tegas membuat Diva sedikit banyak mulai memahami karakter suaminya. Apalagi menyangkut putri mereka, Alara. Mas Ghibran selalu acuh dengan keberadaan putrinya yang manis. Meski begitu, Diva selalu menceritakan segala hal tentang Alara pada suaminya. Setidaknya, Diva ingin Mas Ghibran melihat Alara. Sebentar saja.Semenjak kepulangan mereka dari makam kedua orang tuanya, Mas Ghibran di sibukkan dengan pekerjaan hingga membuatnya harus pergi ke Bali. Hanya melalui sambungan telepon keduanya berkomunikasi, untuk saat ini. Cutinya pun sudah usai, Diva kembali ke rutinitasnya mengajar di Taman Kanak-kanak swasta. Apalagi Mas Ghibran tak pernah melarang apapun keinginan Diva, tentu saja Diva membalas dengan melayani suaminya sebaik mungkin. Ting! 'Malam ini, saya pulang.'Sa
Pukul setengah satu malam, Diva mendengar deru mobil memasuki pekarangan rumah. Dirinya yang sejak tadi gelisah, kini bergegas keluar menyambut suaminya pulang. Diva tidak bisa tidur setelah melihat kemarahan di raut wajah suaminya sebelum pergi. "Mas!" Mas Ghibran yang baru saja masuk terkejut melihat Diva yang datang menghampiri. Perempuan itu tidak mendengarkan perintahnya untuk segera tidur. Mas Ghibran menatap tajam ke arah Diva. "Kenapa tidak menurut dengan ucapan saya?" "Mas... Diva khawatir Mas Ghibran belum pulang." Kata Diva halus. "Sudah saya katakan untuk tidak menunggu." "Tapi Diva mau. Diva mau menunggu Mas Ghibran pulang." Bela Diva. "Sebelum pergi, Mas Ghibran belum makan sama sekali. Diva kepikiran dengan kondisi Mas Ghibran.""Diva,--""Mas Ghibran boleh marah dengan Diva, tapi jangan larang perasaan khawatir Diva untuk Mas Ghibran."Mas Ghibran terhenyak mendengarnya, segala rasa kesal sirna seketika. Diva memang perempuan yang baik dan perhatian padanya. Mesk
"Saya pamit dulu, assalamualaikum." Mas Ghibran mencium kening istrinya lembut."Wa'alaikummussalam." Diva mencium tangan suaminya sebelum pria itu memasuki mobil. Setelah adzan subuh berkumandang Mas Ghibran berangkat menuju Solo untuk mengadakan rapat bersama pemegang saham. Sebagai istri yang baik, tentu Diva sudah menyiapkan bekal dan sarapan untuk suaminya. Karena Mbok Iyul datang jam tujuh pagi, maka Diva lah yang membuatkan makanan untuk Mas Ghibran. Setelah memastikan suaminya pergi, Diva bersiap menarik gerbang, menutupnya. Namun sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di pelataran rumah, sesosok wanita paruh baya yang amat di kenalnya datang. "Mama?"Mama tersenyum, "Assalamualaikum Diva, menantu Mama." Dengan sigap Diva mencium tangan ibu mertuanya, "Mama kok tidak bilang mau kesini? Mas Ghibran baru aja pergi ke Solo, ada pekerjaan disana." "Loh pergi? Ghibran tidak kasih tau kamu? Seenaknya saja dia pergi, sikapnya masih sama saja." Heran Mama."Kasih tau apa, Ma?
Pulang terapi Alara benar-benar tertidur pulas hingga sore menjelang. Mama mertuanya sudah kembali sejak mereka tiba di rumah. Melihat ponselnya yang sejak tadi sunyi, Diva mengeceknya. Pesan darinya belum terbalaskan, biasanya Mas Ghibran selalu membalas meski hanya satu kata. Tapi, sejak tadi pagi Diva belum mendapat kabar apapun. "Mungkin Mas Ghibran benar-benar sibuk." Gumamnya. Menghela napas panjang, Diva melangkah menuju kamar Alara. Di bukanya pintu bercat cokelat dengan aksesoris bertuliskan Alara di bagian depan pintu. Di atas ranjang, Diva melihat Alara tidur dengan tenang. Seolah tak memiliki beban apapun. Perlahan, Diva duduk di tepi ranjang. Sebelah tangannya membelai halus rambut Alara. Gadis kecil ini benar-benar cantik meski memiliki keistimewaan. Sebelah kakinya yang tumbuh tak sempurna membuat jalannya terseok-seok. Alara bukan lah anak yang harus di benci, Alara adalah anak yang harus di lindungi. Hidupnya sama berharga dengan anak-anak lain di luar sana. "Beg
"Assalamualaikum Ma, gimana hasilnya?" Mama yang melihat menantunya datang tersenyum, "Wa'alaikummussalam, masih terapi di dalam sama terapisnya." Diva mengangguk, setelah mengantar Alara dan Mama mertuanya Diva harus ke sekolah. Karena tidak mungkin membolos, apalagi mendadak. Jadi Diva mengajar sebentar sebelum akhirnya ijin untuk menemani Alara terapi. "Mama tidak menemani Alara di dalam?" Tanya Diva menatap bingung Mama mertuanya. "Mama tidak mau melihat Alara yang merengek. Mama cukup menunggunya disini." "Apakah biasanya Alara selalu seperti itu?" "Ya, Alara selalu menolak terapi. Menurut Alara, kakinya terasa sakit jika harus dipaksa menggunakan alat yang tidak dia sukai. Tapi Mama harus melakukannya, semua demi kebaikan Alara. Jika Mama masuk, maka Alara akan terus merengek dan meminta pulang.""Tapi tadi Alara tidak menolak." Ingat Diva melihat dirinya menyiapkan anaknya berdandan. Mama tersenyum lembut, "Itu karena kamu,""Diva?" Tunjuk Diva pada dirinya sendiri. Mam
"Saya pamit dulu, assalamualaikum." Mas Ghibran mencium kening istrinya lembut."Wa'alaikummussalam." Diva mencium tangan suaminya sebelum pria itu memasuki mobil. Setelah adzan subuh berkumandang Mas Ghibran berangkat menuju Solo untuk mengadakan rapat bersama pemegang saham. Sebagai istri yang baik, tentu Diva sudah menyiapkan bekal dan sarapan untuk suaminya. Karena Mbok Iyul datang jam tujuh pagi, maka Diva lah yang membuatkan makanan untuk Mas Ghibran. Setelah memastikan suaminya pergi, Diva bersiap menarik gerbang, menutupnya. Namun sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di pelataran rumah, sesosok wanita paruh baya yang amat di kenalnya datang. "Mama?"Mama tersenyum, "Assalamualaikum Diva, menantu Mama." Dengan sigap Diva mencium tangan ibu mertuanya, "Mama kok tidak bilang mau kesini? Mas Ghibran baru aja pergi ke Solo, ada pekerjaan disana." "Loh pergi? Ghibran tidak kasih tau kamu? Seenaknya saja dia pergi, sikapnya masih sama saja." Heran Mama."Kasih tau apa, Ma?
Pukul setengah satu malam, Diva mendengar deru mobil memasuki pekarangan rumah. Dirinya yang sejak tadi gelisah, kini bergegas keluar menyambut suaminya pulang. Diva tidak bisa tidur setelah melihat kemarahan di raut wajah suaminya sebelum pergi. "Mas!" Mas Ghibran yang baru saja masuk terkejut melihat Diva yang datang menghampiri. Perempuan itu tidak mendengarkan perintahnya untuk segera tidur. Mas Ghibran menatap tajam ke arah Diva. "Kenapa tidak menurut dengan ucapan saya?" "Mas... Diva khawatir Mas Ghibran belum pulang." Kata Diva halus. "Sudah saya katakan untuk tidak menunggu." "Tapi Diva mau. Diva mau menunggu Mas Ghibran pulang." Bela Diva. "Sebelum pergi, Mas Ghibran belum makan sama sekali. Diva kepikiran dengan kondisi Mas Ghibran.""Diva,--""Mas Ghibran boleh marah dengan Diva, tapi jangan larang perasaan khawatir Diva untuk Mas Ghibran."Mas Ghibran terhenyak mendengarnya, segala rasa kesal sirna seketika. Diva memang perempuan yang baik dan perhatian padanya. Mesk
Menjadi istri seorang Ghibran Batsya Alfarizi cukup membuat Diva mengenal kepribadian pria itu lebih jauh. Sifatnya yang dominan, keras kepala dan berpendirian tegas membuat Diva sedikit banyak mulai memahami karakter suaminya. Apalagi menyangkut putri mereka, Alara. Mas Ghibran selalu acuh dengan keberadaan putrinya yang manis. Meski begitu, Diva selalu menceritakan segala hal tentang Alara pada suaminya. Setidaknya, Diva ingin Mas Ghibran melihat Alara. Sebentar saja.Semenjak kepulangan mereka dari makam kedua orang tuanya, Mas Ghibran di sibukkan dengan pekerjaan hingga membuatnya harus pergi ke Bali. Hanya melalui sambungan telepon keduanya berkomunikasi, untuk saat ini. Cutinya pun sudah usai, Diva kembali ke rutinitasnya mengajar di Taman Kanak-kanak swasta. Apalagi Mas Ghibran tak pernah melarang apapun keinginan Diva, tentu saja Diva membalas dengan melayani suaminya sebaik mungkin. Ting! 'Malam ini, saya pulang.'Sa
"Mas suka kue?" Tanya Diva pada Mas Ghibran. Mas Ghibran yang masih menyantap makan siangnya di meja makan menoleh pada istrinya. Setelah menyelesaikan kunyahan, barulah Ghibran menjawab. "Saya tidak menyukai makanan manis."Jawaban Mas Ghibran membuat bahu Diva meluruh, "Tadi Diva sama Alara mampir ke supermarket beli bahan-bahan untuk kue.""Tapi, nanti Diva bisa membuatkan Mas Ghibran kue yang tidak terlalu manis. Mungkin Mas Ghibran mau mencobanya." Bujuk Diva lembut. "Pakai uang kamu?" Bukannya menjawab, Mas Ghibran malah bertanya hal lain. "Maksudnya?""Saya lupa memberikan kamu kartu ATM, dompet saya ada di meja kamar. Nanti saya berikan. Kamu bisa memakainya untuk membeli kebutuhan rumah. Lalu, untuk kebutuhan kamu saya akan mentransfer langsung ke rekening kamu. Untuk kebutuhan dia, sudah saya siapkan kartu ATM juga. Kamu bisa memakai sesuai kebutuhan.""Dia?" Tanya Diva mengernyit, "Maksud Mas, Alara?" "Ya." "Mas bisa mengatakan namanya, bukan menyebut dengan kata 'dia'
"Enak ya?" Tanya Diva memandang Alara yang menjilat es krim seraya memejamkan matanya. Tanpa menatap Bundanya, Alara mengangguk. "Heum!" Diva tersenyum kecil, hatinya senang melihat binar bahagia terpancar kembali di mata Alara setelah pertengkaran dengan Yoyo beberapa saat lalu. Satu sisi, Diva khawatir dengan keadaan Yoyo yang tadi bersama Bu Nora. Disisi lain, Diva tidak bisa mengabaikan putrinya, Alara.Ting!Dentingan ponsel disusul getaran panjang membuat Diva tersentak. Membalikkan layar ponsel diatas meja, Diva melihat suaminya menelpon. Segera Diva menjawab panggilan dari Ghibran. "Halo Mas, assalamualaikum." "Wa'alaikummussalam, kamu dimana?" Tanya Ghibran tanpa basa basi. "Ini Diva lagi diluar Mas, sama Al--" "Pulang." Potong Ghibran sebelum Diva menyelesaikan kalimatnya. "Mas, tapi Diva,--" "Saya tunggu kamu dirumah." Tanpa menunggu, Ghibran mematikan sambungan telepon. Membuat Diva lagi-lagi menghembuskan napas panjang. Baru sehari mereka menjadi suami istri, Div
"Alara, dimana Mas?" "Sekolah," Diva mengerutkan kening heran, "Sekolah?" "Kok Mas, bolehin sekolah?" "Anak itu tidak boleh membolos," kata Ghibran."Mas,--""Diva, sudah." Ghibran menutup laptopnya. Pandangannya tertuju pada istrinya yang duduk di sebelah Ghibran. "Kemarin sudah membolos, dan hari ini ingin membolos lagi? Mau jadi apa nanti? Biarkan dia sekolah." Ghibran bangkit setelah berkata pada istrinya. Diva mengikuti dari belakang, "Mas, Alara pasti capek. Setidaknya biarkan Alara libur sekolah dua hari." "Jangan terlalu memanjakan anak itu!" "Mas,--"Ghibran mengangkat tangannya, seketika Diva berhenti berbicara. Ia melihat Ghibran yang berdiri dengan raut wajah marah. "Saya tidak ingin membahas masalah ini, Diva." Suaminya terlalu keras kepala, dan Diva tidak bisa membujuk suaminya dalam hal ini. Pria itu pergi dari kamar selepas mengatakan untuk tidak membahas putrinya sendiri. Diva berjalan pelan menuju ranjang, duduk di kasurnya. Diva meraih ponsel miliknya yan
"Saya tidak akan melarang kamu untuk bekerja. Saya membebaskan kamu melakukan semua hal yang kamu sukai. Namun, sama seperti pasangan suami istri lainnya. Saya menuntut hak dan kewajiban kamu sebagai istri saya. Dan saya juga memberikan hak dan kewajiban saya sebagai suami kamu. Tidak ada pembatas antara saya dan kamu, meskipun kita baru saja mengenal dua bulan.""Saya rasa kamu sudah mengerti dengan apa yang saya katakan." Tambah Ghibran."Mas tidak apa-apa jika Diva masih mengajar?"Sebelum menikah dengan Ghibran, Diva memang bekerja menjadi seorang guru TK yang baru bekerja satu tahun lamanya di kelas TK yang sama dengan tempat belajar Alara. Tampaknya gadis kecil itu terlalu menyendiri sehingga baru mengenal Diva yang menjadi salah satu gurunya. "Tidak masalah," jawab Ghibran. "Bahkan jika kamu ingin menjadi ibu rumah tangga yang mengurus saya saja, saya akan lebih senang." Tambah Ghibran setelah menyeruput secangkir kopinya yang mulai mendingin."Dan Alara?" Perkataan Diva mem