"Mas suka kue?" Tanya Diva pada Mas Ghibran.
Mas Ghibran yang masih menyantap makan siangnya di meja makan menoleh pada istrinya. Setelah menyelesaikan kunyahan, barulah Ghibran menjawab."Saya tidak menyukai makanan manis."Jawaban Mas Ghibran membuat bahu Diva meluruh, "Tadi Diva sama Alara mampir ke supermarket beli bahan-bahan untuk kue.""Tapi, nanti Diva bisa membuatkan Mas Ghibran kue yang tidak terlalu manis. Mungkin Mas Ghibran mau mencobanya." Bujuk Diva lembut."Pakai uang kamu?" Bukannya menjawab, Mas Ghibran malah bertanya hal lain."Maksudnya?""Saya lupa memberikan kamu kartu ATM, dompet saya ada di meja kamar. Nanti saya berikan. Kamu bisa memakainya untuk membeli kebutuhan rumah. Lalu, untuk kebutuhan kamu saya akan mentransfer langsung ke rekening kamu. Untuk kebutuhan dia, sudah saya siapkan kartu ATM juga. Kamu bisa memakai sesuai kebutuhan.""Dia?" Tanya Diva mengernyit, "Maksud Mas, Alara?""Ya.""Mas bisa mengatakan namanya, bukan menyebut dengan kata 'dia'. Alara adalah anak Mas.""Saya ambil kartu ATM untuk kamu dulu." Tanpa Diva duga, Mas Ghibran bangkit dari kursi.Pria itu berjalan menuju kamar, meninggalkan Diva yang masih menatap suaminya dengan tatapan sendu. Setiap kali Diva membahas terkait Alara, suaminya selalu menghindar. Kerap kali acuh, bahkan marah hanya karena Alara.Menghela napas panjang, Diva bertekad akan membuat keluarga ini harmonis. Ya, Diva akan berjuang untuk rumah tangganya. Diva akan membuat impian Alara menjadi kenyataan. Memiliki keluarga bahagia dan ceria.Senyum yang tadi luntur, kini kembali terbit. Diva tidak boleh menyerah, ia hanya belum menemukan cara untuk menyatukan Mas Ghibran dan Alara. Maka dari itu, Diva akan berjuang sekuat tenaga.Menyelesaikan makannya, Diva bangkit membersihkan meja makan. Mengambil piring bekas Mas Ghibran untuk ia bawa ke wastafel. Di sela mencuci ternyata Bu Iyul datang.Wanita paruh baya itu terkejut melihat Diva mencuci piring."Ibu Diva, jangan dicuci! Biar saya saja." Bergegas Bi Iyul datang, berniat mengambil alih pekerjaan Diva.Namun, Diva menolak, "Tidak apa Bi, lagi pula sudah mau selesai.""Nanti kalau Pak Ghibran melihat, saya bisa di marahi." Panik Bi Iyul."Biar Diva yang bicara dengan Mas Ghibran Bi," balas Diva menenangkan."Lebih baik, Bi Iyul membantu Diva membereskan meja makan. Simpan kan makanan untuk Alara ya, Bi. Soalnya Diva tidak tega membangunkan Alara yang masih tidur. Jika nanti Alara bangun, biar Diva panaskan.""Baik Bu Diva, Bi Iyul simpan di lemari atas.""Terima kasih Bi.""Sama-sama Bu."Pekerjaannya selesai, bersamaan dengan kedatangan Mas Ghibran. Pria itu menghampiri Diva yang masih membelakanginya."Diva..." Panggilnya dengan nada pelan."Ya, Mas?" Diva berbalik."Jika sudah selesai, saya tunggu di teras belakang."Diva mengangguk, "Sudah kok Mas, bareng Mas Ghibran aja." Mas Ghibran mengangguk, kemudian berjalan bersama menuju teras kebun belakang.Keduanya duduk di kursi kayu, dengan meja bundar sebagai pembatas. Mas Ghibran menyodorkan sesuatu pada Diva."Ini, kartu ATM untuk kebutuhan rumah. Gunakan ini untuk membeli bahan makanan, perabot atau kebutuhan rumah lainnya." Diva menerimanya."Untuk gaji Bi Iyul dan Pak Iman, itu menjadi urusan saya, jadi kamu tidak perlu menggunakan uang yang berada di kartu ATM ini untuk membayar gaji mereka." Diva mengangguk mendengarkan."Ini untuk kebutuhannya. Entah sekolah, baju, mainan atau apapun yang dibutuhkan. Kamu bisa menggunakan kartu ini. Disini, semua tabungan serta jatah bulanannya ada.""Untuk pin ATM, sudah saya chat ke nomor kamu. Bisa kamu cek sendiri.""Iya Mas,""Jangan lupa untuk mengirimkan nomor rekening kamu. Setiap bulan saya akan memberikan jatah bulanan kamu langsung di ATM kamu. Itu untuk kebutuhan kamu sendiri, bisa untuk membeli baju, perhiasan, atau apapun yang kamu inginkan.""Terima kasih Mas Ghibran." Ucap Diva tersenyum tulus. Meski Mas Ghibran selalu menghindari topik Alara, namun Mas Ghibran bertanggung jawab penuh pada Alara."Em, Mas Ghibran masih tetap mengijinkan Diva untuk mengajar kan?" Tanya Diva memastikan sekali lagi."Saya tidak melarang kamu mengajar. Jika kamu senang melakukannya, tidak masalah. Tapi, tetap saya menuntut hak dan kewajiban kamu sebagai istri saya.""Iya Mas, Diva paham. Diva hanya takut jika Mas Ghibran tidak memperbolehkan Diva bekerja.""Tidak masalah." Diva mengangguk senang mendengarnya."Jika ada sesuatu, bilang pada saya. Saya akan berusaha memenuhi kebutuhan kamu sebagai istri saya." Tambah Mas Ghibran."Sebenarnya Diva mau,--" ucapan Diva terhenti karena ponsel Mas Ghibran yang berbunyi nyaring."Sebentar." Pamit Mas Ghibran pergi menerima panggilan.Dari belakang, Diva bisa melihat punggung suaminya yang tegap. Posturnya yang proposional membuat Mas Ghibran menawan meski dari belakang. Parasnya yang tampan membuat pesona seorang Ghibran Batsya Alfarizi begitu nyaman di pandang."Saya ada urusan di kantor. Sebelum sore, saya usahakan pulang." Ucap Mas Ghibran berbalik mendekati istrinya."Mendadak sekali Mas? Diva kira, Mas sudah meminta cuti.""Memang, tapi ada masalah. Dan harus segera saya selesaikan."Diva mengangguk maklum, "Iya Mas, jangan lupa nanti sore ke makan Ayah dan Ibu.""Iya, saya sudah berjanji.""Saya pamit dulu, kamu istirahat saja di kamar. Assalamualaikum." Mas Ghibran menyempatkan mengecup kening Diva sebentar sebelum pergi ke kantor."Wa'alaikummussalam," jawab Diva mematung. Menyentuh kening yang baru saja di kecup singkat oleh suaminya."Mas Ghibran itu kayak es krim, dingin tapi manis." Diva terkekeh geli membayangkan sikap Mas Ghibran padanya selama ini.***Mas Ghibran menepati janjinya pada Diva. Setelah menyelesaikan urusannya di kantor, pria itu pulang dan meminta Diva bersiap. Tentu saja, Diva bersemangat untuk bersiap tak lupa mengajak Alara ikut bersamanya.Dan disini lah mereka sekarang, diantara kedua makam dengan nisan putih. Sembari menaburkan bunga sekar yang telah Diva bawa."Assalamualaikum Ayah, Ibu..."Diva mengusap nisan ibunya, "Ibu, lihat siapa yang Diva bawa? Ini adalah Mas Ghibran, suami Diva."Mas Ghibran ikut bersimpuh bersama istrinya, "Assalamualaikum Ayah dan Ibu mertua, saya Ghibran. Suami dari Diva, saya meminta maaf sebelumnya karena baru sempat datang sekaligus meminta restu meski saya sudah melangsungkan pernikahan."Diva menoleh pada suaminya, "Ayah dan Ibu pasti mengerti dengan keadaan Mas Ghibran.""Oh iya Ayah, Ibu... Perkenalkan, ini Alara. Anak Diva."Alara menatap Bundanya dengan tatapan bingung, Diva mengelus rambut halus Alara. "Ini orang tua Bunda, yang sekarang sudah menjadi Kakek dan Nenek Alara.""Kakek? Nenek?" Diva mengangguk."Halo Kakek! Halo Nenek! Ini Alara!" Ucap Alara bersemangat.Diva tersenyum melihatnya, "Ayah, Ibu... Diva memohon, restui dan lindungi keluarga Diva dari atas sana. Semoga Allah senantiasa memberikan kenikmatan dan menempatkan Ayah Ibu disisi terbaik Allah.""Aamiin. Kita beri Al-Fatihah bersama."Mas Ghibran memimpin doa, memanjatkan pujian untuk kekasih Allah serta mendoakan kebaikan untuk kedua orang tua Diva yang sudah tiada."Kita pulang."Mas Ghibran mengajak Diva untuk bangkit dari makam. Di lihatnya mendung gelap menyelimuti. Mas Ghibran takut mereka akan kehujanan, lagi pun sebentar lagi adzan Magrib berkumandang."Iya Mas," Diva menoleh pada Alara. Gadis manis itu senantiasa ceria."Kita pulang yuk, Sayang." Alara mengangguk patuh.Sebelum benar-benar meninggalkan makam kedua orang tuanya, Diva menoleh sesaat."Ayah, Ibu... Diva, Mas Ghibran dan Alara pamit ya. Nanti Diva usahakan untuk datang menengok Ayah dan Ibu."***Jangan lupa tinggalkan jejak sebagai tanda suka😘
Menjadi istri seorang Ghibran Batsya Alfarizi cukup membuat Diva mengenal kepribadian pria itu lebih jauh. Sifatnya yang dominan, keras kepala dan berpendirian tegas membuat Diva sedikit banyak mulai memahami karakter suaminya. Apalagi menyangkut putri mereka, Alara. Mas Ghibran selalu acuh dengan keberadaan putrinya yang manis. Meski begitu, Diva selalu menceritakan segala hal tentang Alara pada suaminya. Setidaknya, Diva ingin Mas Ghibran melihat Alara. Sebentar saja.Semenjak kepulangan mereka dari makam kedua orang tuanya, Mas Ghibran di sibukkan dengan pekerjaan hingga membuatnya harus pergi ke Bali. Hanya melalui sambungan telepon keduanya berkomunikasi, untuk saat ini. Cutinya pun sudah usai, Diva kembali ke rutinitasnya mengajar di Taman Kanak-kanak swasta. Apalagi Mas Ghibran tak pernah melarang apapun keinginan Diva, tentu saja Diva membalas dengan melayani suaminya sebaik mungkin. Ting! 'Malam ini, saya pulang.'Sa
Pukul setengah satu malam, Diva mendengar deru mobil memasuki pekarangan rumah. Dirinya yang sejak tadi gelisah, kini bergegas keluar menyambut suaminya pulang. Diva tidak bisa tidur setelah melihat kemarahan di raut wajah suaminya sebelum pergi. "Mas!" Mas Ghibran yang baru saja masuk terkejut melihat Diva yang datang menghampiri. Perempuan itu tidak mendengarkan perintahnya untuk segera tidur. Mas Ghibran menatap tajam ke arah Diva. "Kenapa tidak menurut dengan ucapan saya?" "Mas... Diva khawatir Mas Ghibran belum pulang." Kata Diva halus. "Sudah saya katakan untuk tidak menunggu." "Tapi Diva mau. Diva mau menunggu Mas Ghibran pulang." Bela Diva. "Sebelum pergi, Mas Ghibran belum makan sama sekali. Diva kepikiran dengan kondisi Mas Ghibran.""Diva,--""Mas Ghibran boleh marah dengan Diva, tapi jangan larang perasaan khawatir Diva untuk Mas Ghibran."Mas Ghibran terhenyak mendengarnya, segala rasa kesal sirna seketika. Diva memang perempuan yang baik dan perhatian padanya. Mesk
"Saya pamit dulu, assalamualaikum." Mas Ghibran mencium kening istrinya lembut."Wa'alaikummussalam." Diva mencium tangan suaminya sebelum pria itu memasuki mobil. Setelah adzan subuh berkumandang Mas Ghibran berangkat menuju Solo untuk mengadakan rapat bersama pemegang saham. Sebagai istri yang baik, tentu Diva sudah menyiapkan bekal dan sarapan untuk suaminya. Karena Mbok Iyul datang jam tujuh pagi, maka Diva lah yang membuatkan makanan untuk Mas Ghibran. Setelah memastikan suaminya pergi, Diva bersiap menarik gerbang, menutupnya. Namun sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di pelataran rumah, sesosok wanita paruh baya yang amat di kenalnya datang. "Mama?"Mama tersenyum, "Assalamualaikum Diva, menantu Mama." Dengan sigap Diva mencium tangan ibu mertuanya, "Mama kok tidak bilang mau kesini? Mas Ghibran baru aja pergi ke Solo, ada pekerjaan disana." "Loh pergi? Ghibran tidak kasih tau kamu? Seenaknya saja dia pergi, sikapnya masih sama saja." Heran Mama."Kasih tau apa, Ma?
"Assalamualaikum Ma, gimana hasilnya?" Mama yang melihat menantunya datang tersenyum, "Wa'alaikummussalam, masih terapi di dalam sama terapisnya." Diva mengangguk, setelah mengantar Alara dan Mama mertuanya Diva harus ke sekolah. Karena tidak mungkin membolos, apalagi mendadak. Jadi Diva mengajar sebentar sebelum akhirnya ijin untuk menemani Alara terapi. "Mama tidak menemani Alara di dalam?" Tanya Diva menatap bingung Mama mertuanya. "Mama tidak mau melihat Alara yang merengek. Mama cukup menunggunya disini." "Apakah biasanya Alara selalu seperti itu?" "Ya, Alara selalu menolak terapi. Menurut Alara, kakinya terasa sakit jika harus dipaksa menggunakan alat yang tidak dia sukai. Tapi Mama harus melakukannya, semua demi kebaikan Alara. Jika Mama masuk, maka Alara akan terus merengek dan meminta pulang.""Tapi tadi Alara tidak menolak." Ingat Diva melihat dirinya menyiapkan anaknya berdandan. Mama tersenyum lembut, "Itu karena kamu,""Diva?" Tunjuk Diva pada dirinya sendiri. Mam
Pulang terapi Alara benar-benar tertidur pulas hingga sore menjelang. Mama mertuanya sudah kembali sejak mereka tiba di rumah. Melihat ponselnya yang sejak tadi sunyi, Diva mengeceknya. Pesan darinya belum terbalaskan, biasanya Mas Ghibran selalu membalas meski hanya satu kata. Tapi, sejak tadi pagi Diva belum mendapat kabar apapun. "Mungkin Mas Ghibran benar-benar sibuk." Gumamnya. Menghela napas panjang, Diva melangkah menuju kamar Alara. Di bukanya pintu bercat cokelat dengan aksesoris bertuliskan Alara di bagian depan pintu. Di atas ranjang, Diva melihat Alara tidur dengan tenang. Seolah tak memiliki beban apapun. Perlahan, Diva duduk di tepi ranjang. Sebelah tangannya membelai halus rambut Alara. Gadis kecil ini benar-benar cantik meski memiliki keistimewaan. Sebelah kakinya yang tumbuh tak sempurna membuat jalannya terseok-seok. Alara bukan lah anak yang harus di benci, Alara adalah anak yang harus di lindungi. Hidupnya sama berharga dengan anak-anak lain di luar sana. "Beg
"Saya terima nikah dan kawinnya Diva Arathea binti alm. Minarno dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar tiga juta rupiah dibayar tunai!" "Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!" Suara kelegaan memenuhi Masjid Agung Al-Ikhlas dengan beberapa saksi pada proses akad pagi ini. Suasana haru seketika menyelimuti ketika pengantin wanita dituntun untuk mendekati lelaki yang duduk bersila di depan penghulu. Tampak lelaki tersebut menunggu dengan tenang dan sabar. Setetes air mata jatuh dari pelupuk mata pengantin wanita. Tepat pada pagi ini statusnya tak lagi sama, tanggung jawabnya sudah berbeda. Seluruh hidupnya, akan ia abdikan untuk suaminya. Merawat, melayani dan patuh pada suami adalah prioritasnya karena mulai saat ini, ia bukanlah seorang wanita single yang bebas. Namun, ia adalah wanita yang sudah bersuami.Pengantin wanita duduk bersebelahan dengan pengantin pria. Jantungnya bertalu-talu terasa sesak di dadanya. Tanpa suara, pengantin pria mengambil jemarinya yang di
Ghibran Batsya Alfarizi, pria matang berusia tiga puluh empat tahun yang menduda sejak berumur tiga puluh tahun. Empat tahun, Ghibran terbiasa mandiri dengan statusnya yang baru. Tak ada hal istimewa dari sosok Ghibran selain ia yang terkenal tegas dalam berbisnis. Kekayaan yang melimpah, tampan, dan masih menduda menjadikan Ghibran pria yang di targetkan oleh beberapa karyawan di kantornya. Namun, Ghibran hanya menganggap semua itu adalah hiburan untuknya. Selagi kinerja mereka memuaskan, Ghibran membiarkan saja. Hari ini, tepat di awal bulan Mei status yang Ghibran pegang empat tahun lalu ia lepas. Dalam balutan tuxedo hitam, kemeja putih dengan dasi kupu berwarna hitam, Ghibran begitu gagah mengucap akad dengan satu tarikan napas. Kini, Ghibran kembali memulai kehidupannya bersama seorang wanita berhijab yang di pilihkan oleh Mama dan putri kecilnya. Ghibran sendiri masa bodo siapa wanita yang akan menjadi istrinya. Lagi pula, siapa wanita yang tidak mau menikahi seorang duda b
"Saya tidak akan melarang kamu untuk bekerja. Saya membebaskan kamu melakukan semua hal yang kamu sukai. Namun, sama seperti pasangan suami istri lainnya. Saya menuntut hak dan kewajiban kamu sebagai istri saya. Dan saya juga memberikan hak dan kewajiban saya sebagai suami kamu. Tidak ada pembatas antara saya dan kamu, meskipun kita baru saja mengenal dua bulan.""Saya rasa kamu sudah mengerti dengan apa yang saya katakan." Tambah Ghibran."Mas tidak apa-apa jika Diva masih mengajar?"Sebelum menikah dengan Ghibran, Diva memang bekerja menjadi seorang guru TK yang baru bekerja satu tahun lamanya di kelas TK yang sama dengan tempat belajar Alara. Tampaknya gadis kecil itu terlalu menyendiri sehingga baru mengenal Diva yang menjadi salah satu gurunya. "Tidak masalah," jawab Ghibran. "Bahkan jika kamu ingin menjadi ibu rumah tangga yang mengurus saya saja, saya akan lebih senang." Tambah Ghibran setelah menyeruput secangkir kopinya yang mulai mendingin."Dan Alara?" Perkataan Diva mem
Pulang terapi Alara benar-benar tertidur pulas hingga sore menjelang. Mama mertuanya sudah kembali sejak mereka tiba di rumah. Melihat ponselnya yang sejak tadi sunyi, Diva mengeceknya. Pesan darinya belum terbalaskan, biasanya Mas Ghibran selalu membalas meski hanya satu kata. Tapi, sejak tadi pagi Diva belum mendapat kabar apapun. "Mungkin Mas Ghibran benar-benar sibuk." Gumamnya. Menghela napas panjang, Diva melangkah menuju kamar Alara. Di bukanya pintu bercat cokelat dengan aksesoris bertuliskan Alara di bagian depan pintu. Di atas ranjang, Diva melihat Alara tidur dengan tenang. Seolah tak memiliki beban apapun. Perlahan, Diva duduk di tepi ranjang. Sebelah tangannya membelai halus rambut Alara. Gadis kecil ini benar-benar cantik meski memiliki keistimewaan. Sebelah kakinya yang tumbuh tak sempurna membuat jalannya terseok-seok. Alara bukan lah anak yang harus di benci, Alara adalah anak yang harus di lindungi. Hidupnya sama berharga dengan anak-anak lain di luar sana. "Beg
"Assalamualaikum Ma, gimana hasilnya?" Mama yang melihat menantunya datang tersenyum, "Wa'alaikummussalam, masih terapi di dalam sama terapisnya." Diva mengangguk, setelah mengantar Alara dan Mama mertuanya Diva harus ke sekolah. Karena tidak mungkin membolos, apalagi mendadak. Jadi Diva mengajar sebentar sebelum akhirnya ijin untuk menemani Alara terapi. "Mama tidak menemani Alara di dalam?" Tanya Diva menatap bingung Mama mertuanya. "Mama tidak mau melihat Alara yang merengek. Mama cukup menunggunya disini." "Apakah biasanya Alara selalu seperti itu?" "Ya, Alara selalu menolak terapi. Menurut Alara, kakinya terasa sakit jika harus dipaksa menggunakan alat yang tidak dia sukai. Tapi Mama harus melakukannya, semua demi kebaikan Alara. Jika Mama masuk, maka Alara akan terus merengek dan meminta pulang.""Tapi tadi Alara tidak menolak." Ingat Diva melihat dirinya menyiapkan anaknya berdandan. Mama tersenyum lembut, "Itu karena kamu,""Diva?" Tunjuk Diva pada dirinya sendiri. Mam
"Saya pamit dulu, assalamualaikum." Mas Ghibran mencium kening istrinya lembut."Wa'alaikummussalam." Diva mencium tangan suaminya sebelum pria itu memasuki mobil. Setelah adzan subuh berkumandang Mas Ghibran berangkat menuju Solo untuk mengadakan rapat bersama pemegang saham. Sebagai istri yang baik, tentu Diva sudah menyiapkan bekal dan sarapan untuk suaminya. Karena Mbok Iyul datang jam tujuh pagi, maka Diva lah yang membuatkan makanan untuk Mas Ghibran. Setelah memastikan suaminya pergi, Diva bersiap menarik gerbang, menutupnya. Namun sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di pelataran rumah, sesosok wanita paruh baya yang amat di kenalnya datang. "Mama?"Mama tersenyum, "Assalamualaikum Diva, menantu Mama." Dengan sigap Diva mencium tangan ibu mertuanya, "Mama kok tidak bilang mau kesini? Mas Ghibran baru aja pergi ke Solo, ada pekerjaan disana." "Loh pergi? Ghibran tidak kasih tau kamu? Seenaknya saja dia pergi, sikapnya masih sama saja." Heran Mama."Kasih tau apa, Ma?
Pukul setengah satu malam, Diva mendengar deru mobil memasuki pekarangan rumah. Dirinya yang sejak tadi gelisah, kini bergegas keluar menyambut suaminya pulang. Diva tidak bisa tidur setelah melihat kemarahan di raut wajah suaminya sebelum pergi. "Mas!" Mas Ghibran yang baru saja masuk terkejut melihat Diva yang datang menghampiri. Perempuan itu tidak mendengarkan perintahnya untuk segera tidur. Mas Ghibran menatap tajam ke arah Diva. "Kenapa tidak menurut dengan ucapan saya?" "Mas... Diva khawatir Mas Ghibran belum pulang." Kata Diva halus. "Sudah saya katakan untuk tidak menunggu." "Tapi Diva mau. Diva mau menunggu Mas Ghibran pulang." Bela Diva. "Sebelum pergi, Mas Ghibran belum makan sama sekali. Diva kepikiran dengan kondisi Mas Ghibran.""Diva,--""Mas Ghibran boleh marah dengan Diva, tapi jangan larang perasaan khawatir Diva untuk Mas Ghibran."Mas Ghibran terhenyak mendengarnya, segala rasa kesal sirna seketika. Diva memang perempuan yang baik dan perhatian padanya. Mesk
Menjadi istri seorang Ghibran Batsya Alfarizi cukup membuat Diva mengenal kepribadian pria itu lebih jauh. Sifatnya yang dominan, keras kepala dan berpendirian tegas membuat Diva sedikit banyak mulai memahami karakter suaminya. Apalagi menyangkut putri mereka, Alara. Mas Ghibran selalu acuh dengan keberadaan putrinya yang manis. Meski begitu, Diva selalu menceritakan segala hal tentang Alara pada suaminya. Setidaknya, Diva ingin Mas Ghibran melihat Alara. Sebentar saja.Semenjak kepulangan mereka dari makam kedua orang tuanya, Mas Ghibran di sibukkan dengan pekerjaan hingga membuatnya harus pergi ke Bali. Hanya melalui sambungan telepon keduanya berkomunikasi, untuk saat ini. Cutinya pun sudah usai, Diva kembali ke rutinitasnya mengajar di Taman Kanak-kanak swasta. Apalagi Mas Ghibran tak pernah melarang apapun keinginan Diva, tentu saja Diva membalas dengan melayani suaminya sebaik mungkin. Ting! 'Malam ini, saya pulang.'Sa
"Mas suka kue?" Tanya Diva pada Mas Ghibran. Mas Ghibran yang masih menyantap makan siangnya di meja makan menoleh pada istrinya. Setelah menyelesaikan kunyahan, barulah Ghibran menjawab. "Saya tidak menyukai makanan manis."Jawaban Mas Ghibran membuat bahu Diva meluruh, "Tadi Diva sama Alara mampir ke supermarket beli bahan-bahan untuk kue.""Tapi, nanti Diva bisa membuatkan Mas Ghibran kue yang tidak terlalu manis. Mungkin Mas Ghibran mau mencobanya." Bujuk Diva lembut. "Pakai uang kamu?" Bukannya menjawab, Mas Ghibran malah bertanya hal lain. "Maksudnya?""Saya lupa memberikan kamu kartu ATM, dompet saya ada di meja kamar. Nanti saya berikan. Kamu bisa memakainya untuk membeli kebutuhan rumah. Lalu, untuk kebutuhan kamu saya akan mentransfer langsung ke rekening kamu. Untuk kebutuhan dia, sudah saya siapkan kartu ATM juga. Kamu bisa memakai sesuai kebutuhan.""Dia?" Tanya Diva mengernyit, "Maksud Mas, Alara?" "Ya." "Mas bisa mengatakan namanya, bukan menyebut dengan kata 'dia'
"Enak ya?" Tanya Diva memandang Alara yang menjilat es krim seraya memejamkan matanya. Tanpa menatap Bundanya, Alara mengangguk. "Heum!" Diva tersenyum kecil, hatinya senang melihat binar bahagia terpancar kembali di mata Alara setelah pertengkaran dengan Yoyo beberapa saat lalu. Satu sisi, Diva khawatir dengan keadaan Yoyo yang tadi bersama Bu Nora. Disisi lain, Diva tidak bisa mengabaikan putrinya, Alara.Ting!Dentingan ponsel disusul getaran panjang membuat Diva tersentak. Membalikkan layar ponsel diatas meja, Diva melihat suaminya menelpon. Segera Diva menjawab panggilan dari Ghibran. "Halo Mas, assalamualaikum." "Wa'alaikummussalam, kamu dimana?" Tanya Ghibran tanpa basa basi. "Ini Diva lagi diluar Mas, sama Al--" "Pulang." Potong Ghibran sebelum Diva menyelesaikan kalimatnya. "Mas, tapi Diva,--" "Saya tunggu kamu dirumah." Tanpa menunggu, Ghibran mematikan sambungan telepon. Membuat Diva lagi-lagi menghembuskan napas panjang. Baru sehari mereka menjadi suami istri, Div
"Alara, dimana Mas?" "Sekolah," Diva mengerutkan kening heran, "Sekolah?" "Kok Mas, bolehin sekolah?" "Anak itu tidak boleh membolos," kata Ghibran."Mas,--""Diva, sudah." Ghibran menutup laptopnya. Pandangannya tertuju pada istrinya yang duduk di sebelah Ghibran. "Kemarin sudah membolos, dan hari ini ingin membolos lagi? Mau jadi apa nanti? Biarkan dia sekolah." Ghibran bangkit setelah berkata pada istrinya. Diva mengikuti dari belakang, "Mas, Alara pasti capek. Setidaknya biarkan Alara libur sekolah dua hari." "Jangan terlalu memanjakan anak itu!" "Mas,--"Ghibran mengangkat tangannya, seketika Diva berhenti berbicara. Ia melihat Ghibran yang berdiri dengan raut wajah marah. "Saya tidak ingin membahas masalah ini, Diva." Suaminya terlalu keras kepala, dan Diva tidak bisa membujuk suaminya dalam hal ini. Pria itu pergi dari kamar selepas mengatakan untuk tidak membahas putrinya sendiri. Diva berjalan pelan menuju ranjang, duduk di kasurnya. Diva meraih ponsel miliknya yan
"Saya tidak akan melarang kamu untuk bekerja. Saya membebaskan kamu melakukan semua hal yang kamu sukai. Namun, sama seperti pasangan suami istri lainnya. Saya menuntut hak dan kewajiban kamu sebagai istri saya. Dan saya juga memberikan hak dan kewajiban saya sebagai suami kamu. Tidak ada pembatas antara saya dan kamu, meskipun kita baru saja mengenal dua bulan.""Saya rasa kamu sudah mengerti dengan apa yang saya katakan." Tambah Ghibran."Mas tidak apa-apa jika Diva masih mengajar?"Sebelum menikah dengan Ghibran, Diva memang bekerja menjadi seorang guru TK yang baru bekerja satu tahun lamanya di kelas TK yang sama dengan tempat belajar Alara. Tampaknya gadis kecil itu terlalu menyendiri sehingga baru mengenal Diva yang menjadi salah satu gurunya. "Tidak masalah," jawab Ghibran. "Bahkan jika kamu ingin menjadi ibu rumah tangga yang mengurus saya saja, saya akan lebih senang." Tambah Ghibran setelah menyeruput secangkir kopinya yang mulai mendingin."Dan Alara?" Perkataan Diva mem