"Enak ya?" Tanya Diva memandang Alara yang menjilat es krim seraya memejamkan matanya.
Tanpa menatap Bundanya, Alara mengangguk. "Heum!"Diva tersenyum kecil, hatinya senang melihat binar bahagia terpancar kembali di mata Alara setelah pertengkaran dengan Yoyo beberapa saat lalu. Satu sisi, Diva khawatir dengan keadaan Yoyo yang tadi bersama Bu Nora. Disisi lain, Diva tidak bisa mengabaikan putrinya, Alara.Ting!Dentingan ponsel disusul getaran panjang membuat Diva tersentak. Membalikkan layar ponsel diatas meja, Diva melihat suaminya menelpon. Segera Diva menjawab panggilan dari Ghibran."Halo Mas, assalamualaikum.""Wa'alaikummussalam, kamu dimana?" Tanya Ghibran tanpa basa basi."Ini Diva lagi diluar Mas, sama Al--""Pulang." Potong Ghibran sebelum Diva menyelesaikan kalimatnya."Mas, tapi Diva,--""Saya tunggu kamu dirumah."Tanpa menunggu, Ghibran mematikan sambungan telepon. Membuat Diva lagi-lagi menghembuskan napas panjang. Baru sehari mereka menjadi suami istri, Diva dibuat jengkel oleh sikap semena-mena Ghibran. Diva tak menduga, jika sikap cuek dan ketus Ghibran masih saja terbawa hingga mereka sudah menjadi suami istri, bahkan mereka semalam sudah--haahhh sudahlah.Diva menengok Alara, putri kecilnya itu masih sibuk menjilat es krim. Di elusnya kepala Alara penuh kasih sayang, Diva kemudian berkata."Setelah ini, kita pulang ya."Alara mendongak, "Papa nyuruh kita pulang ya, Bunda?"Mau tak mau, Diva mengangguk. "Iya."Tak ingin membuat Papanya menunggu, Alara segera bangkit. Membawa tas kresek kecil di genggaman tangan."Yuk Bunda, kita pulang. Kasihan Papa pasti sudah menunggu dirumah karena kita beli bahannya terlalu lama." Ajak Alara bangkit dari kursi depan toko bahan kue dengan sisa es krim yang masih bibirnya.Diva mengangguk, menggandeng sebelah tangan Alara yang kosong. Seraya membawa mengambil paper bag besar berisi bahan-bahan kue. Menghampiri Pak Iman yang senantiasa sabar menunggu kedua majikannya."Pak Iman, kita pulang ya.""Baik Nyonya. Silakan masuk." Dengan sigap Pak Iman membuka pintu belakang mobil.Mobil dikemudikan Pak Iman dengan kecepatan sedang. Sebelah tangannya sibuk membelai rambut Alara yang dikepang dua. Entah siapa yang mengepang, mungkin Bi Iyul.Matanya mengarah ke luar jendela, mengingat kembali nada suara suaminya yang begitu dingin. Diva tidak menyangka, pria itu cepat sekali berubah. Semalam Mas Ghibran bersikap amat sangat lembut. Bahkan Diva terbuai olehnya. Begitu lembut sentuhannya, suara Mas Ghibran manis memuji dirinya.Oh, Diva melupakan satu hal. Bahkan tadi pagi, Mas Ghibran sepertinya juga badmood. Ya, bukan badmood karena kegiatan semalam. Namun, karena Diva membahas tentang Alara. Putri kecil Ghibran yang selalu di hindari oleh Papanya sendiri."Bunda..." Rengek Alara.Diva menoleh, "Ya, Sayang?""Ngantuk,"Diva tersenyum, "Tidur dulu, nanti Bunda bangunkan ketika sampai dirumah."Tanpa menolak sedikit pun, Alara merebahkan kepalanya dipangkuan Diva. Memejamkan matanya, menikmati usapan lembut di rambutnya membuat kantuk kian menjemput untuk terlelap.Diva tersenyum melihat Alara begitu nyaman tidur di pangkuannya, "Mimpi indah cantik."***"Kau mengulangi kesalahan lagi."Satu kalimat dingin terdengar begitu Diva menutup pintu kamar Alara. Setelah Pak Iman menawarkan diri untuk menggendong Alara yang masih mengantuk. Diva memperbolehkan dan mengekor dari belakang. Begitu Diva keluar, sedikit terkejut mendapati suaminya bersandar di samping pintu kamar Alara."Harus kamu ingat Diva, saya adalah suami kamu. Kemana pun kamu pergi, harus seijin saya."Menatapnya dengan tatapan tajam dan ekspresi datar. Diva menunduk sebentar, baru semalam suaminya bersikap manis sekarang sudah seperti macan yang mengamuk."Diva minta maaf, Mas." Katanya, "Diva ingin menjemput Alara di sekolah.""Ada Pak Iman yang bisa menjemput anak itu." Mas Ghibran menekan dua kata terakhir.Diva menatap suaminya nanar, "Mas, panggil namanya, Alara.""Saya tidak ingin berdebat denganmu. Tidak ada kalimat mengulangi kesalahan yang sama." Putus Mas Ghibran pada istrinya."Diva minta maaf, Mas." Ulang Diva menyesal seraya menunduk, tak berani menatap suaminya saat ini. Tatapan Mas Ghibran seolah menghunusnya tajam.Sedikit melunak, Mas Ghibran melangkah mendekat. Meraih tangan Diva, mengajak istrinya ke kamar. Diva senantiasa menunduk, saat ini Diva tidak bisa berkata.Salahnya, Diva tidak mengatakan pada Mas Ghibran jika ia pergi menjemput Alara. Belum genap sehari dirinya menjadi istri Mas Ghibran, Diva merasa rumah tangganya begitu sulit ia jalani."Saya sudah meminta Bi Iyul untuk membeli bunga sekar, nanti sore kita ke makan orang tua mu." Ucap Mas Ghibran saat kami tiba di kamar.Pandangannya sedikit terangkat, seulas senyum terbit di bibir Diva. "Terima kasih Mas, sudah mengabulkan permintaanku."Giliran Mas Ghibran yang menatap wajah sumringah istrinya, "Saya minta maaf...""... seharusnya, saya datang sebelum hari akad untuk meminta restu kedua orang tuamu."Melihat ekspresi Mas Ghibran yang mulai membaik, tidak semengerikan beberapa menit lalu membuat senyum Diva semakin merekah."Tidak apa-apa Mas, Diva sudah meminta ijin lebih dulu pada alm. Ayah dan Ibu. Menyampaikan jika Mas Ghibran berhalangan hadir. Lagi pun, satu Minggu sebelum hari akad, Mas Ghibran harus ke luar kota untuk menyelesaikan pekerjaan." Mas Ghibran merespon dengan anggukan kepala.Melirik jam dinding, "Mas Ghibran sudah makan siang?""Belum,""Mau Diva masakkan makanan?" Tawar Diva antusias.Sejenak Mas Ghibran menatap Diva lama, "Minta Bi Iyul buatkan makan siang, istirahatlah. Sore nanti kita harus ke makan orang tua mu.""Tapi Diva,--""Saya tidak ingin kamu kelelahan, jadi jangan membatah." Sanggah Mas Ghibran tak ingin istrinya kelelahan.Tanpa memaksa, Diva mengangguk, "Iya Mas, Diva bilang ke Bi Iyul dulu.""Setelah mencari Bi Iyul segera kembali, bantu saya membersihkan diri." Tegas Mas Ghibran."Iya Mas,"Diva melihat punggung suaminya menghilang di balik pintu kamar. Menghela napas panjang, Diva melangkah menuju dapur. Mencari Bi Iyul untuk membuatkan makan siang.Setelah menikah, tentu baik buruknya Mas Ghibran belum Diva ketahui. Pertemuan pertama Diva dengan Mas Ghibran adalah saat dimana Mas Ghibran datang ke sekolah. Bukan untuk menjemput putrinya, melainkan untuk meminang Diva menjadi istrinya.Kalian tahu? Bagaimana terkejutnya Diva mendengar lamaran dari orang tua muridnya. Tentu terkejut bukan? Bahkan Diva merasa tidak bisa berkata-kata.Ingatannya kembali pada saat dirinya selesai mengajar. Memasuki ruang kantor yang disambut oleh sesosok tamu asing. Kata Bu Nora, tamu tersebut ingin bertemu dengannya."Anda, ingin bertemu saya?" Tanya Diva pada pria berjas rapi di sofa ruang tamu sekolah. Dirinya duduk di hadapan pria tersebut."Anda benar Bu Diva?" Diva mengangguk membenarkan."Iya, saya Bu Diva. Apakah ada perlu dengan saya? Saya rasa, saya tidak mengenal Anda.""Apakah saya memiliki urusan dengan Anda?""Jika boleh, saya ingin membahasnya diluar sekolah." Ujar pria tersebut.Diva mengangguk mengerti, "Saya meminta ijin pada Ibu Kepala Sekolah dulu.""Silakan."Dan berakhirlah mereka di coffee shop yang tak jauh dari sekolah. Sebenarnya, Diva bertanya-tanya. Ingatannya tidak menemukan tentang pria yang kini tengah menyesap kopi di hadapannya."Sebelumnya, perkenalkan dulu. Saya Ghibran Batsya Alfarizi.""Saya Diva Arathea." Diva menyambut uluran tangan di depannya."Saya adalah orang tua dari Alara." Tambah Mas Ghibran."Alara?" Diva mencoba mengingat, "Ah, siswi TK A kecil?" Mas Ghibran mengangguk mengiyakan.Diva mengernyit heran, "Sepertinya Bapak salah mencari orang, saya bukan penanggung jawab dari kelas Alara. Jadi, jika ada keperluan terkait Alara, Bapak seharusnya menemui Bu Linda selaku penanggung jawab kelas TK kecil." Jelas Diva."Saya ada keperluan dengan Anda, Bu Diva." Kata Mas Ghibran."Keperluan dengan saya?" Diva semakin tak mengerti."Sepertinya, saya tidak perlu berbasa-basi. Tujuan saya mencari Anda, karena saya melihat putri saya menyukai Anda."Diva rasa, seluruh anak-anak di sekolah menyukai guru mereka. Jadi apa yang Ayah Alara ucapkan ini terdengar aneh."Itu adalah hal yang wajar karena semua anak-anak pasti menyukai guru,--""Saya berniat melamar Bu Diva untuk menjadi istri saya." Potong Mas Ghibran membuat Diva tak bisa mengendalikan ekspresi terkejutnya."Hah?! Is--istri?""Saya sudah menduda, dan saya juga mengetahui jika Anda saat ini belum menikah atau dekat dengan lelaki manapun. Jadi, saya ingin melamar Anda menjadi istri saya." Tegas Mas Ghibran membuat Diva kian melebarkan matanya terkejut.Bagaimana bisa seperti ini! Baru mengenal dan langsung mengajak menikah!Rasanya Diva ingin pingsan di tempat!***"Mas suka kue?" Tanya Diva pada Mas Ghibran. Mas Ghibran yang masih menyantap makan siangnya di meja makan menoleh pada istrinya. Setelah menyelesaikan kunyahan, barulah Ghibran menjawab. "Saya tidak menyukai makanan manis."Jawaban Mas Ghibran membuat bahu Diva meluruh, "Tadi Diva sama Alara mampir ke supermarket beli bahan-bahan untuk kue.""Tapi, nanti Diva bisa membuatkan Mas Ghibran kue yang tidak terlalu manis. Mungkin Mas Ghibran mau mencobanya." Bujuk Diva lembut. "Pakai uang kamu?" Bukannya menjawab, Mas Ghibran malah bertanya hal lain. "Maksudnya?""Saya lupa memberikan kamu kartu ATM, dompet saya ada di meja kamar. Nanti saya berikan. Kamu bisa memakainya untuk membeli kebutuhan rumah. Lalu, untuk kebutuhan kamu saya akan mentransfer langsung ke rekening kamu. Untuk kebutuhan dia, sudah saya siapkan kartu ATM juga. Kamu bisa memakai sesuai kebutuhan.""Dia?" Tanya Diva mengernyit, "Maksud Mas, Alara?" "Ya." "Mas bisa mengatakan namanya, bukan menyebut dengan kata 'dia'
Menjadi istri seorang Ghibran Batsya Alfarizi cukup membuat Diva mengenal kepribadian pria itu lebih jauh. Sifatnya yang dominan, keras kepala dan berpendirian tegas membuat Diva sedikit banyak mulai memahami karakter suaminya. Apalagi menyangkut putri mereka, Alara. Mas Ghibran selalu acuh dengan keberadaan putrinya yang manis. Meski begitu, Diva selalu menceritakan segala hal tentang Alara pada suaminya. Setidaknya, Diva ingin Mas Ghibran melihat Alara. Sebentar saja.Semenjak kepulangan mereka dari makam kedua orang tuanya, Mas Ghibran di sibukkan dengan pekerjaan hingga membuatnya harus pergi ke Bali. Hanya melalui sambungan telepon keduanya berkomunikasi, untuk saat ini. Cutinya pun sudah usai, Diva kembali ke rutinitasnya mengajar di Taman Kanak-kanak swasta. Apalagi Mas Ghibran tak pernah melarang apapun keinginan Diva, tentu saja Diva membalas dengan melayani suaminya sebaik mungkin. Ting! 'Malam ini, saya pulang.'Sa
Pukul setengah satu malam, Diva mendengar deru mobil memasuki pekarangan rumah. Dirinya yang sejak tadi gelisah, kini bergegas keluar menyambut suaminya pulang. Diva tidak bisa tidur setelah melihat kemarahan di raut wajah suaminya sebelum pergi. "Mas!" Mas Ghibran yang baru saja masuk terkejut melihat Diva yang datang menghampiri. Perempuan itu tidak mendengarkan perintahnya untuk segera tidur. Mas Ghibran menatap tajam ke arah Diva. "Kenapa tidak menurut dengan ucapan saya?" "Mas... Diva khawatir Mas Ghibran belum pulang." Kata Diva halus. "Sudah saya katakan untuk tidak menunggu." "Tapi Diva mau. Diva mau menunggu Mas Ghibran pulang." Bela Diva. "Sebelum pergi, Mas Ghibran belum makan sama sekali. Diva kepikiran dengan kondisi Mas Ghibran.""Diva,--""Mas Ghibran boleh marah dengan Diva, tapi jangan larang perasaan khawatir Diva untuk Mas Ghibran."Mas Ghibran terhenyak mendengarnya, segala rasa kesal sirna seketika. Diva memang perempuan yang baik dan perhatian padanya. Mesk
"Saya pamit dulu, assalamualaikum." Mas Ghibran mencium kening istrinya lembut."Wa'alaikummussalam." Diva mencium tangan suaminya sebelum pria itu memasuki mobil. Setelah adzan subuh berkumandang Mas Ghibran berangkat menuju Solo untuk mengadakan rapat bersama pemegang saham. Sebagai istri yang baik, tentu Diva sudah menyiapkan bekal dan sarapan untuk suaminya. Karena Mbok Iyul datang jam tujuh pagi, maka Diva lah yang membuatkan makanan untuk Mas Ghibran. Setelah memastikan suaminya pergi, Diva bersiap menarik gerbang, menutupnya. Namun sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di pelataran rumah, sesosok wanita paruh baya yang amat di kenalnya datang. "Mama?"Mama tersenyum, "Assalamualaikum Diva, menantu Mama." Dengan sigap Diva mencium tangan ibu mertuanya, "Mama kok tidak bilang mau kesini? Mas Ghibran baru aja pergi ke Solo, ada pekerjaan disana." "Loh pergi? Ghibran tidak kasih tau kamu? Seenaknya saja dia pergi, sikapnya masih sama saja." Heran Mama."Kasih tau apa, Ma?
"Assalamualaikum Ma, gimana hasilnya?" Mama yang melihat menantunya datang tersenyum, "Wa'alaikummussalam, masih terapi di dalam sama terapisnya." Diva mengangguk, setelah mengantar Alara dan Mama mertuanya Diva harus ke sekolah. Karena tidak mungkin membolos, apalagi mendadak. Jadi Diva mengajar sebentar sebelum akhirnya ijin untuk menemani Alara terapi. "Mama tidak menemani Alara di dalam?" Tanya Diva menatap bingung Mama mertuanya. "Mama tidak mau melihat Alara yang merengek. Mama cukup menunggunya disini." "Apakah biasanya Alara selalu seperti itu?" "Ya, Alara selalu menolak terapi. Menurut Alara, kakinya terasa sakit jika harus dipaksa menggunakan alat yang tidak dia sukai. Tapi Mama harus melakukannya, semua demi kebaikan Alara. Jika Mama masuk, maka Alara akan terus merengek dan meminta pulang.""Tapi tadi Alara tidak menolak." Ingat Diva melihat dirinya menyiapkan anaknya berdandan. Mama tersenyum lembut, "Itu karena kamu,""Diva?" Tunjuk Diva pada dirinya sendiri. Mam
Pulang terapi Alara benar-benar tertidur pulas hingga sore menjelang. Mama mertuanya sudah kembali sejak mereka tiba di rumah. Melihat ponselnya yang sejak tadi sunyi, Diva mengeceknya. Pesan darinya belum terbalaskan, biasanya Mas Ghibran selalu membalas meski hanya satu kata. Tapi, sejak tadi pagi Diva belum mendapat kabar apapun. "Mungkin Mas Ghibran benar-benar sibuk." Gumamnya. Menghela napas panjang, Diva melangkah menuju kamar Alara. Di bukanya pintu bercat cokelat dengan aksesoris bertuliskan Alara di bagian depan pintu. Di atas ranjang, Diva melihat Alara tidur dengan tenang. Seolah tak memiliki beban apapun. Perlahan, Diva duduk di tepi ranjang. Sebelah tangannya membelai halus rambut Alara. Gadis kecil ini benar-benar cantik meski memiliki keistimewaan. Sebelah kakinya yang tumbuh tak sempurna membuat jalannya terseok-seok. Alara bukan lah anak yang harus di benci, Alara adalah anak yang harus di lindungi. Hidupnya sama berharga dengan anak-anak lain di luar sana. "Beg
"Saya terima nikah dan kawinnya Diva Arathea binti alm. Minarno dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar tiga juta rupiah dibayar tunai!" "Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!" Suara kelegaan memenuhi Masjid Agung Al-Ikhlas dengan beberapa saksi pada proses akad pagi ini. Suasana haru seketika menyelimuti ketika pengantin wanita dituntun untuk mendekati lelaki yang duduk bersila di depan penghulu. Tampak lelaki tersebut menunggu dengan tenang dan sabar. Setetes air mata jatuh dari pelupuk mata pengantin wanita. Tepat pada pagi ini statusnya tak lagi sama, tanggung jawabnya sudah berbeda. Seluruh hidupnya, akan ia abdikan untuk suaminya. Merawat, melayani dan patuh pada suami adalah prioritasnya karena mulai saat ini, ia bukanlah seorang wanita single yang bebas. Namun, ia adalah wanita yang sudah bersuami.Pengantin wanita duduk bersebelahan dengan pengantin pria. Jantungnya bertalu-talu terasa sesak di dadanya. Tanpa suara, pengantin pria mengambil jemarinya yang di
Ghibran Batsya Alfarizi, pria matang berusia tiga puluh empat tahun yang menduda sejak berumur tiga puluh tahun. Empat tahun, Ghibran terbiasa mandiri dengan statusnya yang baru. Tak ada hal istimewa dari sosok Ghibran selain ia yang terkenal tegas dalam berbisnis. Kekayaan yang melimpah, tampan, dan masih menduda menjadikan Ghibran pria yang di targetkan oleh beberapa karyawan di kantornya. Namun, Ghibran hanya menganggap semua itu adalah hiburan untuknya. Selagi kinerja mereka memuaskan, Ghibran membiarkan saja. Hari ini, tepat di awal bulan Mei status yang Ghibran pegang empat tahun lalu ia lepas. Dalam balutan tuxedo hitam, kemeja putih dengan dasi kupu berwarna hitam, Ghibran begitu gagah mengucap akad dengan satu tarikan napas. Kini, Ghibran kembali memulai kehidupannya bersama seorang wanita berhijab yang di pilihkan oleh Mama dan putri kecilnya. Ghibran sendiri masa bodo siapa wanita yang akan menjadi istrinya. Lagi pula, siapa wanita yang tidak mau menikahi seorang duda b
Pulang terapi Alara benar-benar tertidur pulas hingga sore menjelang. Mama mertuanya sudah kembali sejak mereka tiba di rumah. Melihat ponselnya yang sejak tadi sunyi, Diva mengeceknya. Pesan darinya belum terbalaskan, biasanya Mas Ghibran selalu membalas meski hanya satu kata. Tapi, sejak tadi pagi Diva belum mendapat kabar apapun. "Mungkin Mas Ghibran benar-benar sibuk." Gumamnya. Menghela napas panjang, Diva melangkah menuju kamar Alara. Di bukanya pintu bercat cokelat dengan aksesoris bertuliskan Alara di bagian depan pintu. Di atas ranjang, Diva melihat Alara tidur dengan tenang. Seolah tak memiliki beban apapun. Perlahan, Diva duduk di tepi ranjang. Sebelah tangannya membelai halus rambut Alara. Gadis kecil ini benar-benar cantik meski memiliki keistimewaan. Sebelah kakinya yang tumbuh tak sempurna membuat jalannya terseok-seok. Alara bukan lah anak yang harus di benci, Alara adalah anak yang harus di lindungi. Hidupnya sama berharga dengan anak-anak lain di luar sana. "Beg
"Assalamualaikum Ma, gimana hasilnya?" Mama yang melihat menantunya datang tersenyum, "Wa'alaikummussalam, masih terapi di dalam sama terapisnya." Diva mengangguk, setelah mengantar Alara dan Mama mertuanya Diva harus ke sekolah. Karena tidak mungkin membolos, apalagi mendadak. Jadi Diva mengajar sebentar sebelum akhirnya ijin untuk menemani Alara terapi. "Mama tidak menemani Alara di dalam?" Tanya Diva menatap bingung Mama mertuanya. "Mama tidak mau melihat Alara yang merengek. Mama cukup menunggunya disini." "Apakah biasanya Alara selalu seperti itu?" "Ya, Alara selalu menolak terapi. Menurut Alara, kakinya terasa sakit jika harus dipaksa menggunakan alat yang tidak dia sukai. Tapi Mama harus melakukannya, semua demi kebaikan Alara. Jika Mama masuk, maka Alara akan terus merengek dan meminta pulang.""Tapi tadi Alara tidak menolak." Ingat Diva melihat dirinya menyiapkan anaknya berdandan. Mama tersenyum lembut, "Itu karena kamu,""Diva?" Tunjuk Diva pada dirinya sendiri. Mam
"Saya pamit dulu, assalamualaikum." Mas Ghibran mencium kening istrinya lembut."Wa'alaikummussalam." Diva mencium tangan suaminya sebelum pria itu memasuki mobil. Setelah adzan subuh berkumandang Mas Ghibran berangkat menuju Solo untuk mengadakan rapat bersama pemegang saham. Sebagai istri yang baik, tentu Diva sudah menyiapkan bekal dan sarapan untuk suaminya. Karena Mbok Iyul datang jam tujuh pagi, maka Diva lah yang membuatkan makanan untuk Mas Ghibran. Setelah memastikan suaminya pergi, Diva bersiap menarik gerbang, menutupnya. Namun sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di pelataran rumah, sesosok wanita paruh baya yang amat di kenalnya datang. "Mama?"Mama tersenyum, "Assalamualaikum Diva, menantu Mama." Dengan sigap Diva mencium tangan ibu mertuanya, "Mama kok tidak bilang mau kesini? Mas Ghibran baru aja pergi ke Solo, ada pekerjaan disana." "Loh pergi? Ghibran tidak kasih tau kamu? Seenaknya saja dia pergi, sikapnya masih sama saja." Heran Mama."Kasih tau apa, Ma?
Pukul setengah satu malam, Diva mendengar deru mobil memasuki pekarangan rumah. Dirinya yang sejak tadi gelisah, kini bergegas keluar menyambut suaminya pulang. Diva tidak bisa tidur setelah melihat kemarahan di raut wajah suaminya sebelum pergi. "Mas!" Mas Ghibran yang baru saja masuk terkejut melihat Diva yang datang menghampiri. Perempuan itu tidak mendengarkan perintahnya untuk segera tidur. Mas Ghibran menatap tajam ke arah Diva. "Kenapa tidak menurut dengan ucapan saya?" "Mas... Diva khawatir Mas Ghibran belum pulang." Kata Diva halus. "Sudah saya katakan untuk tidak menunggu." "Tapi Diva mau. Diva mau menunggu Mas Ghibran pulang." Bela Diva. "Sebelum pergi, Mas Ghibran belum makan sama sekali. Diva kepikiran dengan kondisi Mas Ghibran.""Diva,--""Mas Ghibran boleh marah dengan Diva, tapi jangan larang perasaan khawatir Diva untuk Mas Ghibran."Mas Ghibran terhenyak mendengarnya, segala rasa kesal sirna seketika. Diva memang perempuan yang baik dan perhatian padanya. Mesk
Menjadi istri seorang Ghibran Batsya Alfarizi cukup membuat Diva mengenal kepribadian pria itu lebih jauh. Sifatnya yang dominan, keras kepala dan berpendirian tegas membuat Diva sedikit banyak mulai memahami karakter suaminya. Apalagi menyangkut putri mereka, Alara. Mas Ghibran selalu acuh dengan keberadaan putrinya yang manis. Meski begitu, Diva selalu menceritakan segala hal tentang Alara pada suaminya. Setidaknya, Diva ingin Mas Ghibran melihat Alara. Sebentar saja.Semenjak kepulangan mereka dari makam kedua orang tuanya, Mas Ghibran di sibukkan dengan pekerjaan hingga membuatnya harus pergi ke Bali. Hanya melalui sambungan telepon keduanya berkomunikasi, untuk saat ini. Cutinya pun sudah usai, Diva kembali ke rutinitasnya mengajar di Taman Kanak-kanak swasta. Apalagi Mas Ghibran tak pernah melarang apapun keinginan Diva, tentu saja Diva membalas dengan melayani suaminya sebaik mungkin. Ting! 'Malam ini, saya pulang.'Sa
"Mas suka kue?" Tanya Diva pada Mas Ghibran. Mas Ghibran yang masih menyantap makan siangnya di meja makan menoleh pada istrinya. Setelah menyelesaikan kunyahan, barulah Ghibran menjawab. "Saya tidak menyukai makanan manis."Jawaban Mas Ghibran membuat bahu Diva meluruh, "Tadi Diva sama Alara mampir ke supermarket beli bahan-bahan untuk kue.""Tapi, nanti Diva bisa membuatkan Mas Ghibran kue yang tidak terlalu manis. Mungkin Mas Ghibran mau mencobanya." Bujuk Diva lembut. "Pakai uang kamu?" Bukannya menjawab, Mas Ghibran malah bertanya hal lain. "Maksudnya?""Saya lupa memberikan kamu kartu ATM, dompet saya ada di meja kamar. Nanti saya berikan. Kamu bisa memakainya untuk membeli kebutuhan rumah. Lalu, untuk kebutuhan kamu saya akan mentransfer langsung ke rekening kamu. Untuk kebutuhan dia, sudah saya siapkan kartu ATM juga. Kamu bisa memakai sesuai kebutuhan.""Dia?" Tanya Diva mengernyit, "Maksud Mas, Alara?" "Ya." "Mas bisa mengatakan namanya, bukan menyebut dengan kata 'dia'
"Enak ya?" Tanya Diva memandang Alara yang menjilat es krim seraya memejamkan matanya. Tanpa menatap Bundanya, Alara mengangguk. "Heum!" Diva tersenyum kecil, hatinya senang melihat binar bahagia terpancar kembali di mata Alara setelah pertengkaran dengan Yoyo beberapa saat lalu. Satu sisi, Diva khawatir dengan keadaan Yoyo yang tadi bersama Bu Nora. Disisi lain, Diva tidak bisa mengabaikan putrinya, Alara.Ting!Dentingan ponsel disusul getaran panjang membuat Diva tersentak. Membalikkan layar ponsel diatas meja, Diva melihat suaminya menelpon. Segera Diva menjawab panggilan dari Ghibran. "Halo Mas, assalamualaikum." "Wa'alaikummussalam, kamu dimana?" Tanya Ghibran tanpa basa basi. "Ini Diva lagi diluar Mas, sama Al--" "Pulang." Potong Ghibran sebelum Diva menyelesaikan kalimatnya. "Mas, tapi Diva,--" "Saya tunggu kamu dirumah." Tanpa menunggu, Ghibran mematikan sambungan telepon. Membuat Diva lagi-lagi menghembuskan napas panjang. Baru sehari mereka menjadi suami istri, Div
"Alara, dimana Mas?" "Sekolah," Diva mengerutkan kening heran, "Sekolah?" "Kok Mas, bolehin sekolah?" "Anak itu tidak boleh membolos," kata Ghibran."Mas,--""Diva, sudah." Ghibran menutup laptopnya. Pandangannya tertuju pada istrinya yang duduk di sebelah Ghibran. "Kemarin sudah membolos, dan hari ini ingin membolos lagi? Mau jadi apa nanti? Biarkan dia sekolah." Ghibran bangkit setelah berkata pada istrinya. Diva mengikuti dari belakang, "Mas, Alara pasti capek. Setidaknya biarkan Alara libur sekolah dua hari." "Jangan terlalu memanjakan anak itu!" "Mas,--"Ghibran mengangkat tangannya, seketika Diva berhenti berbicara. Ia melihat Ghibran yang berdiri dengan raut wajah marah. "Saya tidak ingin membahas masalah ini, Diva." Suaminya terlalu keras kepala, dan Diva tidak bisa membujuk suaminya dalam hal ini. Pria itu pergi dari kamar selepas mengatakan untuk tidak membahas putrinya sendiri. Diva berjalan pelan menuju ranjang, duduk di kasurnya. Diva meraih ponsel miliknya yan
"Saya tidak akan melarang kamu untuk bekerja. Saya membebaskan kamu melakukan semua hal yang kamu sukai. Namun, sama seperti pasangan suami istri lainnya. Saya menuntut hak dan kewajiban kamu sebagai istri saya. Dan saya juga memberikan hak dan kewajiban saya sebagai suami kamu. Tidak ada pembatas antara saya dan kamu, meskipun kita baru saja mengenal dua bulan.""Saya rasa kamu sudah mengerti dengan apa yang saya katakan." Tambah Ghibran."Mas tidak apa-apa jika Diva masih mengajar?"Sebelum menikah dengan Ghibran, Diva memang bekerja menjadi seorang guru TK yang baru bekerja satu tahun lamanya di kelas TK yang sama dengan tempat belajar Alara. Tampaknya gadis kecil itu terlalu menyendiri sehingga baru mengenal Diva yang menjadi salah satu gurunya. "Tidak masalah," jawab Ghibran. "Bahkan jika kamu ingin menjadi ibu rumah tangga yang mengurus saya saja, saya akan lebih senang." Tambah Ghibran setelah menyeruput secangkir kopinya yang mulai mendingin."Dan Alara?" Perkataan Diva mem