Aku pun heran sampai 100 persen lebih bunganya. Inilah kebodohan Kang Ikbal dan Ibu yang percaya meminjam uang dengan jaminan surat berharga kami. Akhirnya tagihannya sungguh di luar nalar kami.Itu sama saja harga jual keduanya dan kalaupun dijual, aku takkan dapat apa-apa dari sana. "Ya sudah, Pak. Saya hanya ingin tau tagihannya. Oya, kalau sertifikat rumahnya saja berapa yang harus saya tebus?""Nggak bisa rumah saja atau mobil saja, Teh. Ini harus tebus keduanya," kata Pak Ujang. Jawabannya saklek tak bisa diubah. Aku jadi kecewa berat dengan semua yang terjadi.Saat pulang, berharap kebahagiaan yang kudapat. Malah kesedihan yang ada. Suami dan Ibu mertua yang berkhianat dan mata duitan."Baikah. Kami pulang dulu.""Tunggu! Jangan lupa ya, akhir bulan ini dilunasi! Jika tidak, akan kami sita semuanya!" ancam Pak Ujang.Ternyata Ibu sedang kesakitan. Perutnya katanya sakit. Mungkin karena makan yang terlalu banyak, atau bisa jadi karena ibu kaget dengan ancaman Pak Ujang. "Ibu k
Sekarang ini, uangku lebih berharga daripada kamu, Kang. Kamu sudah menyakiti hati ini. Rasanya tak ada harapan lagi untuk aku menjadikanmu sebagai pangeranku.Aku sudah bangun dari mimpi. Semua sudah terbuka, termasuk mataku ini."Apa? Aku nggak egois. Aku realistis saja. Kamu yang menanam, kamu pula yang menuai. Jangan malah jadikan aku sebagai orang yang harus bertanggungjawab atas apa yang kamu tanam, Kang."Kang Ikbal terdiam di skak mat olehku. Kemudian ia pergi tanpa bicara sedikitpun. Aku tak peduli lagi dengan kelakuannya. Silahkan akang mau berbuat apapun, Kang.***Ibu belum menyadari kalau brangkasnya sudah tak ada di tempat. Aku masih belum menemukan nomor kombinasi untuk membukanya. Semoga rezeki untuk bisa membuka brankasnya nanti.Kali ini Ibu tak mau mengantar anak-anak. Ibu marah karena aku tak menuruti keinginannya dan Kang Ikbal untuk membayar utang mereka. Aku tak mau mereka keenakan. Biar saja rumah dan mobil kami disita."Ya sudah, Bu. Aku yang antar anak-anak s
Kubereskan semua, kubawa yang penting saja. Segera kuraih sapu yang kubawa, agar berpura-pura menyapu. Ketika keluar, Kang Ikbal sudah di depan kamar Ibu."Kamu sedang apa di kamar Ibu, Alma?" tanya Kang Ikbal."Akang nggak liat? Aku lagi nyapu," jawabku."Nyapu? Ngapain nyapu jam segini? Harusnya tadi pagi," katanya."Kang Ikbal ngapain pulang jam segini?Harusnya dari kemarin Akang udah pulang. Akang tega, malah pergi ninggalin aku gitu aja," ucapku."Kamu yang egois, Alma. Tak mau membantu keuangan keluarga. Padahal kamu akan dapat pahala bila bersedekah," katanya sok bawa-bawa sedekah.Aku tau memang sedekah terbaik seorang suami itu pada istri dah anak-anaknya. Jika Istri punya penghasilan pun, jika dipakai oleh suami itu namanya sedekah. Namun, sudah cukup semua telah kulakukan. Lebih baik sedekah pada yang lain daripada pada Kang Ikbal yang jelas-jelas sudah menghabiskan uang yang kuberi dan ia pun mengkhianatiku."Kamu yang egois. Pengen dibantu terus, padahal yang bantu bisni
Tenang saja, Bu. Mulai hari ini aku akan keluar dari rumah yang sudah menjadi rumahku sejak kecil. Aku berusaha mempertahankannya dengan merenovasinya, tapi ternyata bukan milikku. Aku harus ikhlas melepas rumah ini, sama seperti aku ikhlas melepaskan Kang Ikbal untuk Susi.Biarlah saja, wanita yang baik tentunya untuk laki-laki yang baik, demikian pula sebaliknya.[Alma, kenapa nggak dibalas? Padahal kami sudah membacanya. Tolonglah Alma. Selama ini Ibu sudah menjaga anak-anakmu dan suamimu kan?]Ibu kembali mengingatkanku akan jasanya. Aku tau dia sudah menjaga, tapi juga membuat mereka menderita. Anakku senang saat ku datang, karena mereka bebas dari penderitaan.Suami? Kurasa Ibu tak pernah menasehati Kang Ikbal dikala Kang Ikbal ingin menikahi Susi. Seharusnya Ibu bisa menasehatinya dan mengingatkan Kang Ikbal kalau ia masih terikat pernikahan denganku.[Terima kasih Ibu sudah menjaga mereka. Tapi aku tak bisa membalas semua pengorbanan Ibu. Maaf ya Bu.]Setelah itu mobil jemputa
Gegas aku mengambil ponsel dan mengambil posisi foto yang pas. Akan kuabadikan kedatangan laki-laki itu. Ia datang terburu-buru. Parkir mobil di badan jalan, walau di pinggir. Kemudian turun dan memasuki rumah Susi.Kusempatkan memoto dan merekam seadanya."Ma, ayo makan!" ajak Hanif."Yuk!" Aku mengikuti Hanif ke meja makan. Bi Ikah sudah menyiapkan makan untuk kami."Wah, terima kasih ya, Bi, sudah memberikan makan siang menjelang sore untuk kami.""Sama-sama Neng Alma. Semoga Neng Alma dan anak-anak bisa betah di sini." "Iya, Bi. Pasti itu."Seusai makan, anak-anak kembali ke kamarnya. Aku dan Bi Ikah ngobrol sama-sama."Neng Alma, tadi Bibi liat kalau Neng Susi ada di rumah depan. Memangnya Neng Susi rumahnya di situ?" tanya Bi Ikah."Iya, Bi. Susi memang tinggal di situ. Aku sengaja pindah ke sini, supaya deket sama dia. Dan taukah Bi, siapa suaminya?" Sengaja kulebarkan mata ini.Tau dong, Neng. Masa nggak tau sih?" katanya."Iya, Bi. Bibi benar waktu itu. Ia adalah Kang Ikbal,
"Yang penting ulet. Jika ada kerikil di jalan, jadikan tantangan, agar tantangan itu menjadi jalan untuk menjadi besar," katanya. Sungguh, kata-kata Kang Rahman begitu memotivasiku.Sepertinya aku cocok ngobrol bareng seperti ini dengannya. Namun ternyata sudah malam. "Kang, udah malem. Nggak kerasa ya ngobrol ngalor-ngidul, eh dah malem aja," ucapku."Iya, Teh Alma. Makasih banget ya, Akang udah dikasih kesempatan kenal lebih dekat keluargamu.""Sama-sama, Kang. Terima kasih juga silaturahimnya!" Aku mengantar sampai pintu saja. Ketika kulihat di rumah depan, motor sport Kang Ikbal datang. Mobil laki-laki tadi sudah tak ada, aku kecolongan. Tadinya mau memperhatikan kapan ia keluar dari rumah Susi, tapi tak terperhatikan."Aku pulang ya, Teh!""Iya, Kang. Hati-hati di jalan!" Kang Ikbal yang baru turun dari motor sportnya menengok ke belakang. Mungkin ia mendengar suaraku, jadi ia mencari sumber suara. Aku masuk ke dalam, bersembunyi di balik jendela. Terlihat Kang Ikbal keluar g
Dalam waktu singkat, Kang Rahman datang membawakan mobil untukku. Ia sendiri yang duduk di kemudi.Aku tau karena ketika mobilnya datang, aku sedang mengamati rumah depan. Kang Ikbal memang datang ke rumah itu dua hari ini. Itu berarti ia memang sering pulang ke sini, karena sejak ia ada di rumah pun dulu, sering pergi ke luar.Segera aku menyambut Kang Rahman di ruang tamu."Teh Alma, ini kunci mobilnya. Dicoba dulu aja, insya Allah masih baik semuanya, baik bodinya atau mesinnya," katanya."Alhamdulillah, terima kasih. Nanti aku bayar sesuai harga second di pasaran ya!""Iya, terserah Teh Alma saja. Oke saya duluan, masih ada yang harus saya kerjakan," katanya. Tanpa sadar, aku mengantarnya ke depan gerbang.Kang Rahman bersama ojeg, untuk membawanya pulang. Saat aku sedang melambaikan tangan pada Kang Rahman, Kang Ikbal dan Susi keluar dari rumahnya. Aku melihat mereka dari celah gerbang rumahnya.Buru-buru aku masuk, dan mengintip dari jendela kamarku. Kang Ikbal mengecup dahi Sus
"Halo, Alma! Pulang kamu! Dasar menantu tak punya adab! Pergi dari rumah nggak bilang-bilang, trus kamu bawa barang-barang bagus di rumah ini. Kamu juga mencuri perhiasan Ibu. Kembalikan Alma!"Dengan serta merta Ibu marah terhadapku. Ia seperti anaknya tadi pagi. Bisanya marah dan menyalahkanku tanpa berintrospeksi diri. Siapa yang memulai perang? Siapa yang memulai dzolim?"Maaf, Alma dan anak-anak tak bisa tinggal di rumah yang sudah dijadikan tebusan utang kalian. Aku tak mau membayar semuanya. Yang ada uangku habis buat menebus semua itu, kalian bisa saja kembali memperdayaku. Satu lagi, soal brankas. Aku tau itu uang anak-anakku yang kutransfer setiap bulan, Bu. Ibu sangat serakah, aku juga berikan jatah Ibu. Tapi Ibu malah mengambil jatah anak-anakku juga. Belum lagi Kang Ikbal yang ternyata sudah menikah lagi dengan Susi."Kubalas dengan jawaban yang panjang agar ia tau diri. Semua tak mungkin terjadi tanpa alasan. Aku melakukannya karena sudah tak tahan dengan perlakuan merek