“Pak, tapi saya—” Starla belum tuntas dengan jawabannya ketika Radev lebih dulu memutus kata-katanya.“Please, jangan bilang kalau kamu nggak mau. Saya butuh kamu malam ini, Starla. Kamu nggak kasihan sama saya memangnya?”Bukan tidak kasihan, Starla sangat prihatin menyaksikan keadaan Radev saat ini. Lelaki itu tampak kacau, sedih, dan hancur. Masalahnya Starla tidak mungkin tidak pulang. Ia sudah membayangkan omelan yang akan diterimanya dari Mayang jika hal itu terjadi.“Maaf, Pak Radev, saya nggak bisa nemenin Bapak di sini. Saya tetap harus pulang, Pak.”Radev mengembuskan napasnya di tengkuk Starla pertanda laki-laki itu kecewa karena penolakannya.“Pulanglah, maka saya akan minum sebanyak mungkin sampai besok nggak bisa bangun dan ikut meeting.” Ancaman itu terlontar dari mulut Radev bersama pelukannya yang semakin erat di tubuh Starla. Mereka berdansa sambil berpelukan. Keduanya bicara tanpa saling bertemu mata.“Kenapa Bapak selalu mengancam saya?” tanya Starla jengkel. Seper
Tubuh ramping itu menggeliat. Matanya masih tertutup rapat. Tidurnya terasa begitu singkat. Ia merasa ingin lebih lama lagi meringkuk di bawah kehangatan selimut sambil memeluk gulingnya yang empuk. Bahkan rasanya terlalu empuk untuk ukuran bantal.Merasa ada yang janggal, Starla mencoba membuka mata. Satu demi satu objek di sekitarnya menampakkan wujud memenuhi penglihatan Starla.Namun, masalah terbesarnya saat ini adalah bukan pada benda-benda yang terlihat oleh matanya melainkan siapa yang saat ini sedang terlelap di sebelahnya. Radev.Starla tidak akan lupa bagaimana semalam lelaki itu merengek agar Starla tetap bersamanya. Kekukuhannya menggoyahkan Starla membuat Starla terpaksa menyerah hingga berakhir di pelukan laki-laki itu.Radev menepati janjinya. Tidak ada yang terjadi. Mereka tidak bercinta. Hanya tidur saling memeluk. Sejujurnya, setelah lama lupa bagaimana rasanya tidur nyenyak akibat beban dan tekanan hidupnya yang tinggi, Starla merasakannya lagi. Terdengar terlebiha
Starla mengusap mata meyakinkan bahwa dirinya tidak salah lihat. Dan setelahnya apa yang terpantul di cermin masih sama. Orang itu masih berada di belakangnya. Berdiri tepat dengan tatapan menghujam padanya.Starla memutar tubuh berhadapan langsung dengan sosok itu yang caranya memandang tetap tidak berubah.“Mbak Ajeng,” sapa Starla sopan.Ajeng menaikkan tangan, melipatnya di depan dada. Begitu kontras dengan Starla, ekspresi perempuan itu sangat tidak bersahabat.“Hebat sekali kamu!” ucapnya ketus.Starla tidak bodoh untuk mengetahui apa maksud perkataan Ajeng. Ia tahu pasti kedatangan perempuan itu berhubungan dengan meeting tadi. Di mana perusahaan memutuskan untuk memakai ide Starla dan membuang gagasan Ajeng jauh-jauh. Tapi Starla ingin mendengarnya langsung dari perempuan itu“Maksud Mbak Ajeng apa ya?” Starla menanyakannya.Ajeng maju beberapa langkah. Masih dengan sorot kebencian yang terpancar dari matanya dipandanginya Starla dari puncak kepala sampai bawah kaki. “Jangan p
Starla keluar dari ruangan Andi dengan tubuh lesu. Ancaman pria itu sedikit menguji nyalinya. Radev memang bisa menghadapi Ajeng. Namun, Starla tidak yakin apa Radev mampu membantah keinginan orangtua perempuan itu. Contohnya tadi saat Andi menyuruh membawa Ajeng ke rumah sakit Radev menurutinya.“Lo kok sendiri? Pak Boss mana?” tanya Kia saat berpapasan di lobi kantor mereka.“Dia nggak sama gue, Ki.”“Tadi bukannya kalian berangkat bareng ya?”“Iya sih, tapi dia lagi sama Ajeng.”“Ooo …” Mulut Kia membulat. Tentu saja Starla ditinggal jika sudah ada Ajeng.Sesaat kemudian Kia baru menyadari bahwa Starla tampak sedikit berbeda siang ini. Sahabat sekaligus rekan kerjanya itu tampak lesu.“Lo belum makan, La? Mau makan bareng gue?”Starla menurut saat Kia membawanya ke kantin kantor yang siang itu ramai dipenuhi oleh karyawan.“Lo mau makan apa, La?”Starla memandang tanpa minat daftar menu yang disodorkan Kia padanya. Selera makannya menguap oleh rasa sakit di perutnya akibat tendanga
“Pak Radev … apa yang Bapak lakukan?” Starla mendesis dengan suara bergetar. Sekujur tubuhnya gemetar akibat aksi lelaki itu. Sebuah perasaan asing yang Starla tidak tahu apa namanya mengalir melalui setiap pembuluh darahnya ketika perut mulusnya bersentuhan dengan five o’clock shadow milik Radev.“Saya lagi mengobati kamu. Tadi saya kan sudah bilang,” jawab pria itu dengan ringannya. Alih-alih akan melepaskan kecupannya, ia malah mengecup Starla bertambah intens.“Mengobati?” ulang Starla tak habis pikir. “Mengobati kok gini, Pak?” tanyanya bingung.Radev mendongak mempertemukan netranya dengan Starla. “Jadi menurut kamu caranya bagaimana? Begini?”“P—Pak …” Starla menggigit bibir sambil memandang ke arah pintu saat Radev memberinya kecupan yang lebih dalam dan intens. Sejujurnya, Radev berhasil menemukan titik-titik sensitif di dalam diri Starla.“Pak Radev, ini masih di kantor.” Starla mengingatkan. Ia takut jika seseorang tiba-tiba masuk ke ruangannya dan menyaksikan apa yang seda
Baru saja Starla mengiakan permintaan Radev, ibu tirinya muncul dari dalam rumah.“Kok malah bicara di luar? Disuruh masuk dong temennya,” ucap Mayang begitu ramah dengan senyum tersungging di bibirnya. Jarang-jarang Starla melihat perempuan itu tersenyum bahkan nyaris tidak pernah.“Ini bukan temen aku, Tante, ini Pak Radev, atasanku di kantor,” jawab Starla memberitahu. Starla harap Mayang tidak bertingkah aneh-aneh di depan Radev yang akan membuat Starla malu. Starla tidak tahu akan menyimpan mukanya di mana jika Mayang memarahinya tepat di depan Radev.“Oh, jadi ini bos kamu? Ayo, Nak Radev, silakan masuk dulu,” kata perempuan itu memosisikan diri sebagai orangtua Starla dan masih mengembangkan senyum lebar untuk menutupi kepalsuan di dalamnya.“Terima kasih, Tante, kebetulan saya sudah mau pulang.” Radev menolak tawaran tersebut.“Buru-buru amat? Nggak mau minum dulu? Masuk sebentar ya, Tante bikinin kopi atau teh hangat.” Mayang terus memaksa. Tadi ia menguping pembicaraaan Star
Singapura menyambut dengan cuacanya yang teduh saat Radev dan Starla tiba di sana. Dari Changi Airport keduanya langsung menuju Marina Bay Sands, tempat acara itu diselenggarakan sekaligus penginapan keduanya.Setelah check in mereka langsung ke kamar.“Pak, ini serius kita sekamar berdua?” tanya Starla ragu. Saat itu mereka masih berada di dalam lift yang akan membawa naik.“Panitia hanya menyediakan satu kamar untuk masing-masing perwakilan perusahaan,” jawab Radev menerangkan yang membuat Starla menghela napas panjang. Itu artinya ia akan tidur berdua dengan lelaki itu.Lift berhenti setelah sampai di lantai yang dituju. Radev merangkul pinggul Starla ke luar. Mereka berjalan pelan ke kamar yang jaraknya hanya beberapa meter dari alat transportasi antar lantai itu.Starla masih berdiri di sisi pintu setelah Radev membukanya. Membayangkan ia akan berdua dengan Radev membuat tubuhnya gemetar. Ini bukanlah kali pertama Starla berpergian dengan Radev. Tapi selama ini mereka selalu meng
Starla sudah duduk di sebelah Lando, sedangkan pria itu menyetir dengan pelan. Starla tidak tahu kenapa Lando juga berada di negara yang sama dengannya. Ia tidak ingin bertanya dan bicara banyak.“Kapan nyampe di sini, La?” Lando membuka obrolan, memecah sepi.“Tadi siang,” jawab Starla singkat.“Kok kamu betah amat ya kerja sama orang itu. Mau aja ikut dia ke mana-mana.” Ada rasa tidak suka dalam suara Lando.“Mau gimana lagi, Lan, memang itu sudah jadi pekerjaanku.”“Aku kasihan sama kamu. Kamu jadi nggak punya waktu untuk diri sendiri.” Lando memandang ke arah Starla sekilas untuk mengetahui ekspresinya sebelum melanjutkan perkataan. “Kamu masih muda, di umur segini harusnya kamu menikmati hidup. Aku kasihan sama kamu.”“Aku menikmati hidup kok,” sanggah Starla. “Hidupku sangat bahagia, dan aku juga sangat mencintai pekerjaanku. Jadi rasa kasihan kamu itu kayaknya salah alamat deh, Lan.”“Oh, begitu ya. Tapi aku lihat kamu tambah kurus sekarang. Muka kamu juga kayak orang tekanan b
"Pokoknya kalian wajib datang. Gue nggak mau ya nerima alasan apa pun.""Apa pun?""Ya, apa pun!" tegas suara di seberang sana penuh penekanan.“Ya udah, gue tanya Kaka dulu ya, dia mau apa nggak.”"Ya pasti mau lah. Kalau nggak mau gue pecat dia jadi adek ipar."Rachel tertawa lalu memutus panggilan."Siapa, Ra?" tanya Bjorka yang baru keluar dari kamar mandi."Rai.""Raihana?"Rachel mengiakan dengan anggukan kepala.Bjorka tidak bertanya lagi. Masih dengan mengenakan handuk dia membuka lemari mencari bajunya di sana. Biasanya Rachel yang menyediakan. Tapi karena tadi asyik teleponan dengan Rai, Rachel jadi lupa."Ka, Rai minta kita hadir di acara nikahannya." Rachel menyampaikan isi pembicaraan dengan Rai tadi.Setelah bertualang dari pelukan satu laki-laki ke laki-laki lain, akhirnya Rai memantapkan hati untuk menikah. Bukan pernikahan yang pertama memang. Dan mirisnya lagi adalah calon suami Rai berumur hampir dua kali lipat dari usianya. Saat Rachel protes, "Lo yakin mau nikah s
Prosesi pernikahan Rachel dan Bjorka akhirnya berjalan dengan lancar dan baru saja berakhir.Rachel tidak merasa lelah sedikit pun meski rangkaian acara tersebut berlangsung hampir lima belas jam lamanya. Yang ada hanya perasaan bahagia.Perlahan pikirannya mulai mereka ulang lagi adegan demi adegan yang terselenggara tadi. Mulai dari prosesi akad nikah yang mengharukan sampai acara resepsi yang mewahnya tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata.Zoia yang mulai saat ini ia panggil dengan sebutan Mama mengusahakan semuanya agar sempurna. Dia selalu memberikan yang terbaik untuk pernikahan kliennya, dan tentu saja saat pernikahan anak sendiri harus luar biasa.Seperti yang Rachel sepakati dengan Bjorka, Bjorka akan menunggunya di ballroom. Setelah mendengar komando dari MC, Rachel kemudian masuk diiringi oleh para bridesmaid. Yang menjadi bridesmaid adalah Starla, model-model Lavender Manajemen serta para sepupu Bjorka.Setelah menapakkan kaki di ballroom, wajah Rachel tertimpa lampu flas
Bagi orang-orang mungkin keputusan Bjorka untuk menikahi Rachel hanya dalam jangka waktu satu bulan setelah status mereka berpacaran adalah keputusan yang paling gila. Mungkin mereka juga menganggap Bjorka tidak berpikir panjang. Tapi demi apa pun Bjorka sudah memikirkan semua ini.Setelah jadian malam itu Bjorka mulai memikirkan untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan Rachel. Bjorka sudah mengenalnya bertahun-tahun. Ia tahu persis bagaimana sifat dan karakter Rachel. Dalam waktu satu bulan itu juga ia mulai merasakan chemistry demi chemistry di antara mereka yang tidak pernah ia temukan saat dulu bersama Nicole. Perlahan Bjorka menyadari bahwa ia lebih cocok dengan Rachel. Maka saat menyampaikan pada mamanya bahwa ia sudah punya pacar dan juga mengatakan ingin menikahi pacarnya itu mamanya terkejut oleh kenekatan Bjorka. Mungkin Bjorka memang nekat. Tapi nekat yang ini bukan tanpa alasan. Nekat yang ini juga akan ia pertanggungjawabkan.Setelah meyakinkan kedua orang tuany
Starla menatap Rachel sambil senyum-senyum sendiri menyaksikan tingkah adik iparnya itu.Saat ini Rachel sedang mematut diri di cermin sambil memindai diri dari puncak kepala hingga bawah kaki. Rachel mengenakan dress berwarna peach dan masih merasa ada yang kurang. Ini entah dress ke berapa yang ia coba sejak tadi.Malam ini Bjorka akan mengajak ke rumahnya. Dan status sebagai kekasihnya yang Rachel sandang saat ini membuatnya merasa harus memberikan yang terbaik. Rachel memang sudah ribuan kali mondar-mandir ke rumah Bjorka, namun itu sebagai sahabat. Malam ini adalah untuk pertama kalinya ia akan menginjakkan kaki di sana sebagai pacar Bjorka. Dan rasanya gugup bukan main."Gimana, Ra? Masih belum juga?" tanya Starla melihat Rachel yang masih bimbang akan mengenakan baju yang mana."Ini sih bagus, tapi agak ketat di bagian dada," jawab Rachel."Atau coba yang ini."Rachel menerima midi dress floral berwarna putih dengan motif bunga-bunga kecil berwarna biru yang Starla sodorkan la
"Please, Ka, jangan sekarang." Rachel menolak ketika Bjorka mengatakan akan membawa ke rumahnya dan mengenalkan pada orang tuanya bahwa saat ini Rachel adalah kekasihnya.Sudah satu bulan mereka berpacaran namun tidak seorang pun tahu perubahan status tersebut karena sejak awal mereka mengetahui keduanya bersahabat. Semua berjalan sebagaimana biasa."Kenapa nggak boleh?" Bjorka menatap Rachel lekat, ingin tahu apa alasannya.Tentu saja Rachel tidak siap dengan semua ini adalah karena ia khawatir respon yang akan diterimanya dari orang tua Bjorka. Selama ini mereka bisa menerima Rachel sebagai teman anak mereka. Namun hal yang sama belum tentu akan terjadi jika mereka tahu bahwa Rachel adalah kekasih putra mereka. Rachel tidak akan pernah lupa ucapan mamanya Bjorka yang pernah ia dengar dengan tidak sengaja. Dari sana sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan sikap mereka pada Rachel."Bukan nggak boleh tapi aku rasa belum saatnya," jawab Rachel mengatakan alasannya."Jadi kapan saatnya
Satu tahun kemudian.365 hari telah berlalu. Bjorka kehilangan jejak Nicole. Sejak Nicole resign Bjorka tidak tahu lagi bagaimana kabarnya. Bjorka tidak pernah mencari tahu atau menghubunginya. Karena jika keep in touch dengannya semua akan semakin sulit.Hari-hari terasa begitu berat, hampa dan sunyi. Ternyata begini rasanya patah hati. Sampai detik ini Bjorka masih memikirkan perkataan Nicole waktu itu.Pintu kamar Bjorka diketuk. Lalu kepala Papanya menyembul. Javas tampak sudah rapi dengan Polo shirt hitam dan jeans biru pudar. Walau sudah bapak-bapak tapi papanya masih muda. Papanya bahkan jarang mengenakan celana kain selain ke kantor."Nggak malmingan, Ka?""Mau malmingan sama siapa, Pa?"Javas mendekat lalu duduk di pinggir tempat tidur tempat Bjorka berbaring."Masa udah mau kepala tiga masih jomblo aja," ledek Javas padanya."Ya mau gimana, nggak ada yang mau sama aku.""Yaelah, Ka, Ka ... Baru kehilangan cewek satu kali letoynya sampai satu tahun." Papa menoyor kepala Bjorka
Radev tidak menjawab pertanyaan Rachel. Aura dingin yang menguar dari ekspresinya membuat Rachel jadi ketakutan. Dulu Radev sudah menasihatinya agar jangan terpengaruh oleh Megan. Tapi yang terjadi Megan berhasil memanfaatkan Rachel. Megan tahu Rachel adalah anak yang patuh dan penurut. Kelemahannya itu digunakan Megan untuk menekan Rachel."Dev, lo tahu dari mana?" tanya Rachel sekali lagi masih dengan ekspresi yang sama. Takut-takut seperti tadi."Nggak penting gue tahu dari mana. Yang penting adalah gue tahu.""Lo tahu dari Kaka?""Sahabat gue bukan orang munafik. Dia pandai menjaga rahasia. Dia nggak bakal koar-koar ke mana-mana sekalipun sama gue."Rachel menggigit pipi bagian dalam. Kalau memang bukan dari Bjorka lantas dari mana Radev tahu? Apa selama ini Radev mengawasi pergerakan Rachel dari jauh? "Udah berkali-kali gue kasih nasihat. Lo mesti hati-hati sama Mami. Tapi nyatanya dia berhasil menjebak lo.""Sorry, Dev, gue emang salah. Abisnya gue kasihan sama Mami. Lagian wak
Hujan gerimis mengiringi pemakaman Marvel. Langit seakan berduka dan turut menangis. Satu demi satu para pelayat sudah mulai pulang. Takut kena gerimis yang akan menjelma menjadi hujan deras.Rachel masih terpaku memandangi gundukan tanah di hadapannya. Jasad Marvel sudah terkubur jauh di dalam tanah sana namun Rachel masih belum bisa menghentikan air matanya.Saat ini hanya tinggal Rachel, Radev, Starla dan Bjorka di pemakaman tersebut. Teman-teman dari Lavender Manajemen serta rekan kerja Radev sudah pulang. Sedangkan Megan dan Rai tidak mau datang sama sekali meskipun ini adalah untuk terakhir kalinya."Ra, sudah. Kita sama-sama ikhlasin Papi biar beliau tenang di alam sana," bujuk Radev mengusap punggung Rachel."Gue masih nggak percaya kalau Papi bunuh diri, Dev. Seharusnya nggak begini. Papi mengambil jalan pintas karena ngerasa nggak ada yang mendukungnya, dia ngerasa sendiri," ratap Rachel dengan perasaan sedih yang tidak kunjung habis. Mata gadis itu merah dan bengkak akibat
Sidang akan dimulai ketika Bjorka, Nicole dan Rachel masuk ke dalam ruangan.Rachel melihat Marvel mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Tubuhnya terlihat semakin kurus dan ceking. Membuat Rachel ingin menangis melihat kondisi sang ayah. Di saat-saat begini seharusnya pria itu mendapatkan support dari orang-orang terdekatnya. Terutama istrinya. Yang terjadi, istrinya malah meninggalkannya dan meminta cerai darinya. Lalu pacaran dengan pria lain yang kaya-raya.Rachel tidak sempat berbicara dengan Marvel. Tapi mereka sempat saling mengirim tatapan. Marvel bersyukur. Semua orang meninggalkannya. Hanya putri bungsunya yang selalu setia mengunjungi dan memberi support.Sidang atas kasus penyuapan itu dimulai. Diawali oleh pembacaan susunan acara oleh panitera. Selama itu pula detak jantung Rachel tidak karuan. Semoga saja hukuman untuk papinya tidak terlalu berat.Jika diibaratkan dengan kata-kata, mungkin Rachel sudah begah oleh sidang demi sidang yang disaksikannya. Hari ini sua