Cassie memutar kepalanya ke samping. "Bantuan apa yang akan kau tawarkan?" tanya Cassie dengan ragu-ragu. Sejujurnya dia memang tidak yakin dan tidak ingin berurusan dengan lelaki yang dia temui di bar ini, tapi dia penasaran dengan tawaran itu.
"Menjadi kekasih pura-pura." Ralph menjawab dengan santai. Tangan kirinya masuk ke dalam saku celana pendeknya, sedangkan tangan kanannya masih memegangi tali Rex.Dalam diam kedua mata Cassie bergerak memindai tubuh Ralph dari atas ke bawah, seolah mempertanyakan apakah Ralph pantas menjadi kekasih pura-puranya? Ehm, salah. Sepertinya lebih pada, apakah Cassie pantas menjadi kekasih pura-pura Ralph?Lihatlah, hari ini untuk mengajak Rex jalan-jalan saja Ralph memakai kaos polo berwarna putih dan celana pendek berwarna khaki. Jangan lupakan kepalanya yang ditutupi dengan topi berwarna senada dengan bajunya. Ralph nampak mahal dan keren."Bagaimana?" tanya Ralph setelah menunggu jawaban yang cukup lama dari Cassie.Mendengar pertanyaan itu, Cassie berdeham. "Bagaiman apanya? Kau belum memberikan alasan kenapa aku harus menerima tawaranmu, bukan? Aku yakin, kau tidak serta merta memberikan tawaran itu tanpa melakukan suatu hal yang menguntungkan.""Katakan, apa yang harus aku lakukan sebelum itu," lanjut Cassie. Kepalanya mendongak, sedikit terlihat seperti wanita angkuh.Di sisi lain, Ralph tidak percaya dengan apa yang dia dengar dari perempuan itu. Awalnya dia pikir Cassie adalah perempuan yang akan dengan mudah dibodohi olehnya, sehingga perbincangan ini akan berjalan lancar. Namun, ternyata Cassie adalah sejenis alpha woman yang susah ditaklukan. Bahkan dia mengerti ke mana perginya arah pembicaraannya.Ralph berdecih lirih. "Tak kusangka kau adalah perempuan yang cukup cerdas. Baiklah, aku ingin kita membuat kesepakatan."Salah satu alis Cassie terangkat, dia menatap heran pada Ralph. Tetapi dia juga tidak berniat memotong ucapan Ralph sebelum pria itu selesai berbicara."Aku butuh bantuanmu untuk menjadi kekasih pura-puraku. Keluargaku memaksa agar aku dapat pulang untuk makan malam bersama dan membawa kekasihku. Jadi, aku butuh bantuanmu malam ini.""Selain itu juga, aku dapat membantumu dalam mengatasi masalah kencan buta itu. Kau boleh mengaku pada ibumu bila kau telah memiliki kekasih. Aku akan mengambil peran untuk itu." Ujar Ralph meyakinkan Cassie.Beberapa detik gadis berpakaian sporty itu terdiam untuk menimbang semuanya. Sebenarnya dia mulai menyetujui penawaran Ralph, tetapi dia tetap harus berhati-hati dengan laki-laki yang tidak dikenalnya ini, kan?"Darimana kau tahu masalahku?" tanya Cassie."Samuel, tentu saja." Balas Ralph datar.Bersamaan dengan itu, sebuah notifikasi masuk di smart watch-nya. Itu adalah sebuah pesan dari ibunya.Madre : nanti malam jangan lupa menemui James Murphy di Iridescenza Restaurant.Cassie menghela napasnya. Banyak yang harus dia pikirkan. Pekerjaannya sudah cukup membuatnya lelah, jangan sampai karena kencan buta itu akan membuatnya semakin lelah. Sepertinya ide Ralph tidak buruk juga untuknya."Baiklah. Aku akan menyetujuinya, tetapi bagaimana jika semua kepalsuan ini terbongkar? Bukankah kita harus menyiapkan strategi untuk hal terburuknya?"Seringaian muncul di wajah Ralph. Sejenak membuat Cassie merasa merinding di sekujur tubuhnya, padahal suasana sore ini cukup teduh dan segar, bukan dingin seperti sehabis hujan."Tentu saja, kita harus membuat kesepakatan untuk itu." Jawab Ralph masih dengan smirk di wajahnya."Apa isi kesepakatan itu?"Ralph baru akan menjawab saat seorang anak kecil melewati mereka dengan mengendarai scooter. Dengan sigap, Ralph langsung menarik lengan Cassie agar tidak tertabrak. "Maaf Paman, Bibi. Aku harus lewat." Seru anak itu."Kau tidak apa-apa?" tanya Ralph dengan kerutan di dahinya. Cassie hanya mengerjapkan kedua matanya, kemudian mengangguk.Setelah tersadar, Ralph langsung melepaskan tangannya dari lengan Cassie. Ia juga tidak mengerti dengan dirinya sendiri, biasanya dia tidak akan mempedulikan orang di sekitarnya."Baiklah. Aku setuju." Ucap Cassie pada akhirnya tanpa menyadari mereka belum membuat kesepakatan yang dimaksud.Lalu, Ralph merogoh saku celananya untuk mengambil sebuah kartu nama di sana. Dia memberikan kartu nama itu pada Cassie. "Ini kartu namaku dan ada nomor teleponku di baliknya.""Aku akan menjemputmu nanti tepat pukul tujuh. Jangan terlambat." Ralph melanjutkan ucapannya, sebelum dia beranjak pergi meninggalkan Cassie di sana yang hanya bisa melongo melihat kepergian Ralph.Kemudian dia menunduk, sekadar ingin mengetahui siapakah nama lelaki menyebalkan itu.Ralph Oliver HoltKedua mata Cassie sontak membola. Holt? Keluarga Holt? Salah satu keluarga pebisnis yang cukup terkenal di negeri ini?Sialan, sepertinya dia telah salah mengambil keputusan. Jika seperti ini, dia sama saja menggali kuburan sendiri. Pasalnya dengar-dengar keluarga old money yang satu itu sangat menjaga relasi dan kehormatan keluarga royal sejenis mereka. Sedangkan dia? Cassie hanyalah seorang seniman yang bukan berasal dari keluarga kaya raya. Dia bahkan tidak memiliki marga.Bila Cassie dikenalkan sebagai kekasih dari salah satu keturunan keluarga Holt, bukankah itu akan memalukan keluarga tersebut? Apakah Ralph tidak akan malu membawanya nanti?"Madre, Padre ..." ucap Cassie dengan lirih. Dia mengigit bibir bawahnya dengan raut cemas.Tapi tunggu sebentar, tadi sebelum Ralph pergi, dia mengatakan Cassie harus siap pukul berapa? Tujuh?Cassie reflek memeriksa jam tangannya. Pukul setengah enam sore. Itu artinya dia hanya memiliki waktu satu setengah jam lagi untuk menghadiri acara makan malam dengan keluarga Holt."Ralph Oliver Holt sialan!!" pekik Cassie dengan keras hingga tanpa sadar membuat Cotton terkejut dalam gendongannya.Bel apartemen berbunyi ketika Cassie baru saja selesai memasang kedua antingnya. Dia bergegas pergi untuk melihat siapa yang bertamu malam-malam.Sebelum membuka pintu apartemen, dia melirik pada jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Mungkinkah itu Ralph yang datang menjemputnya? Tetapi lelaki itu bahkan tidak mengetahui tempat tinggalnya.Cassie mengintip dari lubang pintu untuk melihat seseorang di depan sana. Seorang pria muda memakai tuxedo berwarna hitam berdiri di depan pintu apartemennya. Cassie tidak salah mengenali, itu memang Ralph.Gadis bergaun itu segera membuka pintu apartemennya. Kedua matanya langsung berserobok dengan sepasang mata berwarna biru laut milik pria di depannya ini. "Hai," sapa Cassie ringan. Sementara itu, Ralph hanya membalas dengan dehaman.Diam-diam Ralph memperhatikan penampilan Cassie malam ini. Gadis itu tampak cantik dengan gaun hitamnya. Rambut bergelombangnya dibiarkan tergerai di punggungnya. Riasan yan
Kedua pasangan itu berjalan bergandengan menuju sebuah ruangan yang terdapat di dalam mansion keluarga Holt. Mereka tampak serasi dengan pakaian berwarna hitam. Sesekali rambut bergelombang milik sang gadis terombang ambing seiring dengan langkahnya yang tegas dan percaya diri. "Selamat malam, Dad, Mom." Sapa Ralph saat mereka telah tiba di ruang makan. Cassie semakin mengeratkan genggaman tangannya, sementara tangan kanan Ralph mengusap permukaan tangan Cassie untuk menenangkan. Perilaku dua insan itu tidak luput dari semua pandangan manusia yang berada di dalam ruang makan. Charles Holt, selaku kepala keluarga Holt duduk di tengah menghadap pada pintu ruang makan. Dia tersenyum saat melihat putra sulungnya benar-benar menepati ucapannya. Ralph membawa seorang gadis malam ini dan yang lebih mengejutkan lagi adalah gadis yang dibawanya tidak setipe dengan para gadis sebelumnya. "Selamat malam, Kiddo. Silakan duduk," ujar Charles sembari m
Pagi ini Cassie sudah berada di studio lukisnya sendirian. Beberapa teman pelukis lain yang tergabung dalam studio lukisnya belum datang. Sembari menunggu, dia memakan sarapannya terlebih dahulu. Tadi sebelum berangkat Cassie sempat membuat sandwich. Dia duduk di sebuah sofa single, kemudian memakan sandwich-nya dengan tenang. Pikirannya tiba-tiba melayang pada kejadian semalam. Iya, dimana dia ikut makan malam bersama keluarga Holt. Entah harus dia syukuri atau tidak, tetapi dia senang diterima oleh keluarga Holt. Ngomong-ngomong soal itu, setelah mengantarnya pulang semalam, Ralph tidak menghubunginya lagi. Dunianya nampak kembali tenang seperti sedia kala. Dia merasa seperti seorang cinderella yang datang di pesta dansa. Tidak sadar jika sedari tadi dia melamun, teman Cassie—Terra Amore yang baru datang merasa heran, tidak biasanya Cassie melamun sambil makan. "Selamat pagi, nona Roosevelt." Sapanya dengan suara dibuat seformal mungkin. Sapaan itu menarik Cassie yang tenggelam
Di salah satu gedung pencakar langit, Ralph duduk di kursi kebesarannya dan disibukkan dengan berbagai dokumen penting yang bertumpuk di atas mejanya. Terus menerus dia membuka dokumen, membacanya, lalu membubuhkan tanda tangan di sana. Bagi sebagian orang mungkin kegiatan itu terlihat monoton dan tidak membutuhkan otak, tetapi pada kenyataannya Ralph harus benar-benar memeriksa dan memastikan dokumen yang ditanda tangani olehnya tidak akan merugikan perusahaan.Terhitung sudah lima tahun sejak dia lulus menjadi sarjana arsitektur, dia sudah berkiprah dan menjabat sebagai CEO Paradiso Architecture Corp. Muda, kaya dan berbakat adalah tiga kata yang dapat menggambarkan Ralph. Semenjak PA Corp dikendalikan olehnya, perusahaan ini telah berkembang jauh lebih pesat dari sebelumnya. Hingga sekarang PA Corp telah menduduki peringkat pertama perusahaan terbaik di Eropa.Suara ketukan pintu mengambil atensi Ralph dari dokumennya. "Masuk," ucap Ralph dengan suara baritonnya yang berat dan ding
Ralph mengernyit. "Cassie?" gumam Ralph tidak menyangka.Gadis ber-jumpsuit itu benar-benar kekasih pura-puranya. Apa hubungan antara Cassie dengan sahabatnya? Mengapa James tidak pernah menceritakan bila dia sedang dekat dengan seorang perempuan?"Tuan Ralph," panggilan dari Carlo mengambil seluruh kesadaran Ralph. Dia tidak lagi memikirkannya lantas memasuki mobil dan pergi meninggalkan CS Studio.Di sisi lain, Cassie masih bersama dengan James di kafe CS Studio. Mereka duduk di meja yang sebelumnya James tempati bersama Ralph. "Kapan kau pulang ke Roma?" tanya Cassie penasaran.James menyilangkan kakinya. "Dua hari lalu. Kenapa? Kau merindukanku, kan?" James tertawa penuh percaya diri.Melihat reaksi James yang kepedean itu membuat Cassie malas. Dia memutar bola matanya dan bersedekap dada. "Rugi besar bila aku merindukanmu."Tawa James semakin keras saat mendengar jawaban Cassie. Gadis keturunan Asia itu selain cantik juga lucu dan menarik."Jadi, bagaimana tour konsermu ke Amerik
Cassie mengernyit. "Apa maksud dari situasi diluar kendali? Dan—" "Haruskah berkencan setiap minggu?" Cassie menatap Ralph dengan perhatian penuh. Sementara itu Ralph terkekeh kecil, tawanya terdengar dipaksakan. "Tentu saja untuk menghindari kecurigaan. Kau tentu tidak mau ketahuan kita hanya kekasih kontrak, kan?" Cassie terdiam setelah mendengar jawaban Ralph. Dalam hati dia menyetujuinya. "Oke. Aku setuju." Setelah itu mereka pun memesan makanan dan makan malam bersama. Tidak ada obrolan yang menarik di sana. Baik Cassie maupun Ralph hanya diam seraya menyantap pizza. Selesai makan malam, Cassie dan Ralph berjalan bersama keluar dari restoran pizza tersebut. Di belakang mereka terdapat Carlo dan beberapa pengawal yang setia menemani Ralph kemanapun lelaki itu pergi. "Kau pernah ke air mancur Trevi?" tanya Cassie saat mereka telah berada di depan restoran. Ralph menaikkan salah satu alisnya. Bukan dia tidak tahu air mancur yang satu itu, bahkan air mancur itu tidak jauh dari
"Kita sudah sampai!" pekik Cassie gembira.Gadis itu mendongak untuk menatap Ralph, dan kedua manik mata mereka berserobok. "Cantik." Ralph berujar lirih.Tubuh Cassie menegang, tidak menyangka Ralph akan mengatakan hal itu. Apalagi dia berbicara sambil menatapnya. "Iya, air mancurnya memang cantik. Ayo kita ke sana!" ajak Cassie.Dia menggeret Ralph hingga mereka berdiri di dekat air mancur Trevi. Genggaman tangan mereka terlepas. Sekarang Cassie memandangi bangunan seperti kastil di depannya ini. Tidak ada yang berbicara. Tidak ada orang lain juga di sini selain mereka. Selama beberapa menit, hanya suara air yang terdengar."Apakah kau sering datang ke sini?" tanya Ralph memecah keheningan di antara mereka.Cassie mengalihkan perhatiannya pada Ralph, kemudian mengangguk dan tersenyum tipis. "Aku akan menyempatkan datang setelah mengantar lukisanku, atau setelah lukisanku berhasil dilelang dengan harga tinggi."Kening Ralph terlihat berkerut. "Semacam tradisi, huh?"Tawa kecil keluar
Hari terus bergulir seperti biasanya. Cassie disibukkan dengan kegiatan melukis dan mengelola CS Studio. Dia teringat dengan obrolan terakhirnya dengan James. Lelaki itu berencana akan memintanya bekerja sama dalam proyek desain interior untuk pembangunan hotel Vetle di Positano. Rencana itu tentu saja akan melibatkan banyak pihak, kemungkinan besar Cassie juga harus bekerja sama dengan perusahaan arsitektur yang menangani pembangunan hotel tersebut. Namun, sampai sekarang James belum menghubunginya lagi. Saat ini Cassie sedang melukis dengan pallet lukis di tangan kirinya dan kuas di tangan kanannya. Penampilannya sederhana, tetapi terlihat seksi. Dia mengenakan kemeja oversize dengan motif garis dan dipadukan dengan hotpants putih. Surai rambut hitamnya dicepol asal sehingga memperhatikan leher jenjangnya yang berkeringat. Kedua telinganya disumpal dengan airpods, dia suka mendengarkan lagu saat sedang melukis. Hari ini tidak ada tamu yang datang, lebih tepatnya hari ini galeri se
Sinar mentari yang menyelinap melalui tirai kamar membuat Ralph mengerang rendah. Dia masih butuh mengistirahatkan tubuhnya, energinya terkuras habis semalam karena mengurus masalah James dan Grace.Cassie melihat Ralph yang hanya berbalik badan dan kembali tertidur. Ia pun berinisiatif untuk menutup tirai kamar hotel dengan gordennya. Lalu, ia kembali ke meja kerja dan melanjutkan aktivitasnya, apalagi jika bukan revisi desain.Fokusnya tidak lagi terpecah. Ia harus segera menyelesaikan revisiannya, karena sore nanti ia harus membawa Ralph pergi ke rumahnya. Ia belum membicarakan hal itu dengan Ralph, tapi Cassie yakin kekasihnya akan mengiyakan.Ketika jemarinya sedang sibuk dengan mouse, tiba-tiba sepasang tangan memeluknya dari belakang. Aroma musky bercampur woody mengenai penciuman Cassie. Tak perlu menoleh, Cassie sudah hafal itu adalah Ralph."Selamat pagi," sapa Ralph dengan nada rendah.Cassie mengusap tangan itu dengan lembut dan tersenyum hangat. Kepalanya menoleh ke atas,
Jemari Grace bergerak, perlahan kelopak matanya terbuka. Dilihatnya langit-langit ruangan yang berwarna putih, juga sedikit aroma obat-obatan khas rumah sakit yang mulai dirasakan oleh indra penciumannya. Matanya berkedip, kemudian menoleh pada sebuah sofa panjang yang ada di sebelah ranjang pasien. Seorang lelaki tertidur dengan tangan kiri menutupi kedua matanya, napasnya terlihat naik turun secara teratur. Tentu saja Grace mengenali sosok tersebut, Arthur. Karena tak ingin mengganggu, Grace berinisiatif memencet bel, agar perawat segera mendatangi kamarnya. Setidaknya harus ada orang yang mengetahui dirinya telah siuman. Benar saja, tak membutuhkan waktu yang lama untuk seorang perawat mendatanginya. Grace tersenyum dan mengangguk saat perawat tersebut meminta izin untuk memeriksanya. "Silakan." Katanya. "Untuk saat ini kondisi Nona sudah stabil, namun Nona masih dalam masa observasi dokter. Nanti dokter akan datang
Lima menit yang lalu, Ralph sudah pergi ke rumah sakit. Lelaki itu tidak pergi begitu saja, ia mencium kening Cassie terlebih dahulu, dan bertanya apakah dirinya diperbolehkan pergi ke rumah sakit malam ini juga?"Aku akan pergi, jika kau mengizinkan." Kata Ralph sembari mengusap puncak kepala Cassie dengan lembut.Cassie mengangguk. "Pergilah. Sepertinya mereka membutuhkanmu. Tapi kau tetap hutang cerita padaku."Ralph terkekeh mendengarnya. "Iya, aku akan menceritakannya nanti. Tunggu aku, ya ... ah tidak, maksudku, lebih baik kau melanjutkan tidurmu saja. Maafkan aku yang membuatmu terbangun. Saat ada kabar nanti, aku akan segera menghubungimu lagi." Jelas Ralph panjang lebar.Cassie mengangguk lagi. "Ya, pergilah. Hati-hati di jalan, jangan mengebut."Sebuah kecupan mendarat di kening Cassie. "Tentu saja. Aku pergi bersama Carlo, kau tak perlu khawatir. Jika ada hal mendesak segera hubungi Jovan, ia selalu siap sedia 24/7."Cassie tersenyum bila mengingatnya. Ia percaya, Ralph tid
James berlarian menggendong Grace dari depan IGD, para perawat yang melihat kehadiran mereka segera bertindak mengambil bed mobile atau tempat tidur pasien yang dapat digeser."Selamat malam, Tuan. Apa yang terjadi?" seorang dokter IGD menghampiri James setelah berhasil meletakkan tubuh Grace di atas bed mobile."Dia minum alkohol seharian hingga melewati batas wajarnya. Kurasa dia juga tidak memakan apapun hari ini. Aku baru menemukannya dan sudah memberikan obat pengar. Mohon bantuanmu," pinta James yang raut memohon.Dokter tersebut mengangguk. "Baiklah, kau bisa menunggu di sana. Aku akan memeriksa kondisinya lebih dulu.""Dokter! Ada darah yang keluar dari rahimnya!" seru seorang perawat pada dokter IGD.Sontak saja kedua lelaki itu menoleh bersama. James dapat melihat darah merah yang kental keluar membasahi kaki Grace.Dahi James mengernyit. Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah Grace memiliki sebuah penyakit serius yang tak ia ketahui? Atau apa? Sekarang apa yang harus ia lakuka
"Apakah semuanya aman, Bambolotta?" suara lembut dari seberang sana cukup membuat rasa penat Cassie berkurang.Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas ranjang, masih dengan pakaian yang sama. Ia hanya menanggalkan sepatu hak tinggi dari kedua kakinya."Ya, kurasa." Balas Cassie seraya memijat pelipisnya."Tapi suaramu tidak menunjukkan hal yang sama, Bambolotta. Apakah ada sesuatu yang kau tutupi dariku?" tanya Iris sedikit khawatir.Cassie menggeleng ringan. "Tidak, aku hanya butuh beristirahat karena desain yang kubawa akan direvisi kembali.""Ah, begitu rupanya. Ya, kau memang perlu istirahat putriku. Madre akan pulang besok, mari bertemu di rumah." Ujar Iris yang merasa iba.Cassie mengangguk, kembali melupakan bahwa mereka sedang berbicara melalui telepon."Oh, iya. Kenapa aku bisa melupakannya?" Iris tiba-tiba berseru dan berbicara pada dirinya sendiri.Sementara itu Cassie melenguh kecil, dia sedikit terkejut dengan seruan ibunya. "Ada apa, Madre? Kau mengagetkanku.""Besok janga
"Kalian tidak mungkin saling tertarik satu sama lain, kan?" tiba-tiba saja suara James menginterupsi hingga memutuskan kontak mata antara Cassie dan Ralph. Mendengar itu Cassie langsung tergagap. Entah mengapa ia merasa lidahnya kelu, padahal tadinya ia sangat lancar menjelaskan desain yang dibawanya. Jantungnya juga bereaksi lain, berdegup kencang jauh berbeda dari sebelumnya. "Aku? Kau mungkin sedang bercanda, Tuan James. Mana mungkin aku berani mengencani Tuan Muda Holt." Balas Cassie dengan segera. Ralph menyunggingkan senyuman miringnya. Dalam hal menghindari pertanyaan, Cassie memang jagonya. Tetapi sepertinya gadis itu melupakan satu hal, James Arthur merupakan pembaca mimik wajah yang handal. James terlihat mengernyit setelah mendengar jawaban Cassie. "Oh ya? Tetapi sepertinya aku tidak mengatakan kau berniat mengencani Tuan Holt. Kupikir kau hanya tertarik padanya, karena dia sangat ahli dalam bidang arsitektur
Setelah meminta izin pada Ralph, Cassie pergi menemui James untuk bertemu dengan kolega yang dimaksud oleh sahabatnya itu. Mereka bertemu langsung di lobby hotel Vetle Venesia, tempat Ralph dan Cassie menginap, sekaligus hotel milik keluarga Murphy. "Hi, James Arthur! What's up!" sapa Cassie pada James yang sedang berbicara dengan salah satu pegawai hotel. James menoleh setelah mendengar sapaan Cassie. Dilihatnya sosok perempuan yang berjalan anggun dengan blouse hitam lengan tiga per empat yang dipadukan loose pants berwarna krem. "Hai, aku baik. Bagaimana denganmu Nona Smeraldo?" James balik bertanya, kemudian mereka tertawa bersama. "Seperti yang kau lihat," balas Cassie seraya memeragakan gerakan melompat meski dirinya memakai heels. "Oh tidak, jangan lakukan itu, Cassie. Aku lebih menyayangkan heels Cristian Louboutin yang kau beli di musim dingin tahun lalu itu." Ungkap James yang menatap miris pada sepatu hak tinggi milik Cassie. "Tidak, ini aman. Tapi kau jahat, ka
"Cassiel?" suara Ralph yang memanggilnya, menyadarkan Cassie pada kenyataan. "Ya?" Cassie mendongak dan lagi-lagi tatapan mereka bertemu. "Ingin mencobanya denganku?" tanya Ralph sungguh-sungguh. Cassie memilin jemarinya, rasa gugup dan ragu masih menyelimuti hati dan pikirannya. "Mencoba apa?" "Menjadi kekasih sungguhan." Ucap Ralph penuh keberanian. Manik matanya tak lepas memandangi Cassie. "Bagaimana jika ..." Cassie menggantung kalimatnya, sedangkan Ralph masih setia menunggu lanjutannya. Entah mengapa, melihat Ralph yang begitu tulus membuat Cassie tak ingin melukai hati pria muda itu. Perasaan ini jelas berbeda dengan perasaannya pada James. Inikah perasaan yang dimiliki oleh ibunya? Yang menjadi buta akan segala hal buruk yang dilakukan oleh ayahnya? Yang menjadi tuli akan cacian semua orang yang ditujukan padanya? Yang selalu siap untuk berkorban dan setia kepada pasangannya. "Apakah ada hal ata
"Jadi, kita mau pergi kemana?" tanya Cassie sembari menatap Ralph dari samping. Lelaki bermarga Holt itu hanya berdeham rendah seraya mengetikkan sesuatu di ponselnya. Hal itu berlangsung beberapa saat, sampai Cassie hampir kesal menunggunya. Ketika Cassie akan membuka suaranya, Ralph sudah lebih dulu berbicara. "Hari ini kau tour guide-nya, nona." "Bagaimana, nona? Tempat apa yang akan kita kunjungi pertama?" Jovan ikut bertanya setelah Ralph selesai berbicara. Cassie mengambil napas, kemudian tersenyum. "Baiklah, akan kuperkenalkan kalian pada kampung halamanku." "Karena waktu sudah siang, kita pergi ke Grand Canal terlebih dahulu." Lanjut Cassie. Mobil Rolls Royce Phantom itu terus melaju di jalanan kota Venesia menuju sebuah destinasi wisata yang menjadi incaran utama para turis. Grand Canal adalah terusan perairan yang berada di kota Venesia. Grand Canal terkenal di seluruh dunia karena istana-istana berusia berabad-abad yang berdiri di kedua sisi air. Sebagian besar beras