Ralph mengernyit. "Cassie?" gumam Ralph tidak menyangka.
Gadis ber-jumpsuit itu benar-benar kekasih pura-puranya. Apa hubungan antara Cassie dengan sahabatnya? Mengapa James tidak pernah menceritakan bila dia sedang dekat dengan seorang perempuan? "Tuan Ralph," panggilan dari Carlo mengambil seluruh kesadaran Ralph. Dia tidak lagi memikirkannya lantas memasuki mobil dan pergi meninggalkan CS Studio. Di sisi lain, Cassie masih bersama dengan James di kafe CS Studio. Mereka duduk di meja yang sebelumnya James tempati bersama Ralph. "Kapan kau pulang ke Roma?" tanya Cassie penasaran. James menyilangkan kakinya. "Dua hari lalu. Kenapa? Kau merindukanku, kan?" James tertawa penuh percaya diri. Melihat reaksi James yang kepedean itu membuat Cassie malas. Dia memutar bola matanya dan bersedekap dada. "Rugi besar bila aku merindukanmu." Tawa James semakin keras saat mendengar jawaban Cassie. Gadis keturunan Asia itu selain cantik juga lucu dan menarik. "Jadi, bagaimana tour konsermu ke Amerika?" tanya Cassie seraya menaik turunkan alisnya untuk menggoda James. James berdecak sebal. Dia tahu Cassie sedang menggodanya. Mentang-mentang namanya James Arthur Murphy, lalu Cassie seenaknya menyamakan dirinya dengan penyanyi asal Inggris itu. "Aku bahagia menyanyikan lagu Say You Won't Let Go. Kenapa? Mau kunyanyikan untukmu?" meski kesal, tetapi James masih menanggapi gurauan Cassie hingga membuat keduanya tertawa bersama. Cassie mengenal James saat remaja, mereka tanpa sengaja bertemu di sebuah tato studio. Saat itu Cassie datang sendirian, dia meminta pembuat tato agar mendahulukan dirinya yang akan pergi menemui ibunya di Venesia. Namun, sang seniman tato tidak mengindahkan permintaannya karena Cassie tidak membuat jadwal terlebih dahulu olehnya, sehingga mau tidak mau Cassie harus mengantri. Di saat yang sama, James datang dan disambut hangat oleh seniman tato tersebut. Dia langsung dipersilakan menuju ke salah satu ruangan untuk memasang tato. Melihat itu Cassie remaja tidak terima, dia meneriaki James hingga membuat lelaki remaja itu berhenti. Mereka berdua pun beradu mulut. James tidak tinggal diam saat diteriaki oleh Cassie, dia lebih dulu membuat janji dengan seniman tato, tidak mungkin dia mengalah demi gadis remaja itu. Namun, setelah itu yang terjadi justru sebaliknya. Cassie dan James ditato bersamaan dengan seniman tato tadi. Mereka memilih tato tom and jerry dan melupakan desain tato sebelumnya yang mereka inginkan. Cassie memiliki tato Jerry di bahu kanannya, sementara James memiliki tato Tom di bahu kirinya. Sampai sekarang tato tersebut masih ada, hanya saja Cassie sering menutupinya dengan make up. "So, ada apa kau mencariku Tuan James Arthur?" tanya Cassie dengan senyum manisnya yang tidak dibuat-buat. James tersenyum tipis, kemudian menyesap expresso panasnya. Dia menambah secangkir lagi demi mengobrol dengan Cassie. "Aku berencana akan melihat karya seni di studiomu." "Tidak boleh," jawab Cassie dengan cepat. Mendengar itu James langsung mengernyit bingung. Baru saja dia akan protes pada Cassie, tapi gadis itu sudah melanjutkan ucapannya. "Kecuali kau borong daganganku." James kembali berdecak. "Iya. Asalkan kau beri aku kesempatan untuk melihat-lihat." Senyum kemenangan terbit di wajah Cassie. "Kau memang kakak terbaik!" Lalu, dia berdiri dari duduknya. "Ayo! Aku ajak Tuan James yang terhormat untuk jalan-jalan." James menunjuk Cassie dengan telapak tangannya. Lihatlah, mudah sekali 'kan untuk membujuk Cassie. Padahal seharusnya James mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh CS Studio, bahwa siapapun yang hendak melihat karya seni di CS Studio harus membuat janji terlebih dahulu. Hal itu bertujuan untuk menghindari adanya bentrok antar tamu yang dapat mengakibatkan ketidaknyamanan dalam memilih karya seni yang akan dibeli. ------ Pukul delapan malam tepat, sesuai janjinya dengan Cassie, Ralph pergi ke tempat yang telah dia pilih. Ralat, sebenarnya ini tempat yang sama dengan restoran pizza pilihan Cassie, hanya saja untuk menjaga privasinya dari banyak orang, Ralph pilih membooking satu private room. Cassie masih dengan pakaian yang sama saat dia menemui Ralph. Bahkan di jumpsuit-nya sekarang terdapat beberapa noda cat. Wajahnya lusuh karena dia kelelahan mengejar waktu antara mengantar lukisan dan menemui Ralph. Dia sangat menghargai waktu, terlebih dia mengetahui bahwa Ralph juga sangat disiplin soal waktu, sehingga dia sebisa mungkin sampai di tempat dengan waktu yang dijanjikan. "Reservasi atas nama siapa, nona?" tanya seorang pelayan di bagian depan saat Cassie baru saja memasuki restoran. "Tuan Ralph Holt," balas Cassie dengan senyum ramahnya. Sejenak pelayan tersebut memperhatikan penampilan Cassie yang lumayan kacau, tetapi setelah itu dia mengangguk dan mengantar Cassie menuju private room. "Mari saya antar." Di dalam ruangan itu hanya ada Ralph. Sebelum memasuki ruangan, Cassie sempat melihat Carlo yang berdiri menunggu di sana. Cassie hanya mengangguk dan tersenyum ramah saat membalas sapaan Carlo. Setelah mengantarnya, pelayan tadi pergi meninggalkan dirinya dan Ralph berdua di dalam ruangan. "Kau ingin makan dulu?" tanya Ralph yang kini menatap penuh pada Cassie. Cassie menggelengkan kepalanya sambil membenarkan tata rambutnya yang berantakan. "Maaf, tadi aku terburu-buru." Cassie berkata dengan hati-hati seolah takut menyinggung Ralph. "Bukan masalah." Balas Ralph ringan. "Bagaimana jika kita langsung membahas soal perjanjian itu?" sahut Cassie memberi usulan. Lalu, Ralph menyodorkan sebuah map pada Cassie. "Bacalah, itu belum ditandatangani. Apabila ada yang tidak kau setujui atau kau ingin menambahkan beberapa poin, kita bisa mendiskusikannya." Cassie menerima map tersebut, kemudian membaca isi surat yang ada di dalamnya. Pihak pertama adalah Ralph, sementara pihak kedua adalah Cassie. Surat perjanjian ini terdapat sepuluh poin di dalamnya. Diantaranya, 1. Baik pihak pertama maupun pihak kedua tidak boleh mengganggu urusan pribadi masing-masing. 2. Berkencan setiap malam minggu untuk meyakinkan orang tua bahwa mereka memang sepasang kekasih. 3. Tidak melakukan kontak fisik berlebihan. 4. Merahasiakan status mereka di muka umum, hanya orang tertentu yang mengetahuinya. dan sebagainya. Aturan tersebut harus dipatuhi dan dilaksanakan selama kontrak perjanjian masih berlangsung. Apabila ada salah satu pihak, baik pihak pertama maupun pihak kedua ada yang melanggar aturan, pihak lain (pihak pertama maupun pihak kedua) boleh menentukan hukuman. Tanpa berbasa basi, Cassie langsung membuka pena tersebut dan membubuhkan tanda tangannya di sana. Ralph menaikkan salah satu alisnya seraya bersedekap dada. "Kau tidak menyangkal apapun?" tanya Ralph heran. Cassie tidak langsung menjawab, dia mengembalikan surat perjanjian itu pada Ralph agar pria muda itu bisa menandatanganinya. "Aku tidak masalah dengan sepuluh poin itu." Balas Cassie. Menurutnya sepuluh poin tadi sudah lebih dari cukup. Yang dia butuhkan sudah tertera di sana, tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing. Selain itu, dia tidak peduli. Ralph mengambil pena dan melakukan hal yang sama dengan Cassie. Dengan lihai tangan kanannya bergerak membubuhkan tanda tangannya di atas tulisan pihak pertama. "Dengan begitu kau setuju dengan poin kedua dan terakhir." Ujar Ralph dengan tenang. Sementara itu Cassie membulatkan matanya. Dia tidak membaca surat itu dengan benar tadi. Secara tiba-tiba Cassie menarik surat itu dari Ralph hingga membuat pria muda itu terkejut. "Apa yang kau lakukan?!" pekiknya. Cassie tidak menjawab, melainkan langsung mencari dua poin yang disebutkan Ralph tadi. 'Berkencan setiap malam minggu untuk meyakinkan orang tua bahwa mereka memang sepasang kekasih.' 'Apabila terdapat situasi diluar kendali, pihak pertama maupun pihak kedua bisa boleh membatalkan seluruh perjanjian dan kontrak akan hangus.' Cassie mengernyit. "Apa maksud dari situasi diluar kendali? Dan—" "Haruskah berkencan setiap minggu?"Cassie mengernyit. "Apa maksud dari situasi diluar kendali? Dan—" "Haruskah berkencan setiap minggu?" Cassie menatap Ralph dengan perhatian penuh. Sementara itu Ralph terkekeh kecil, tawanya terdengar dipaksakan. "Tentu saja untuk menghindari kecurigaan. Kau tentu tidak mau ketahuan kita hanya kekasih kontrak, kan?" Cassie terdiam setelah mendengar jawaban Ralph. Dalam hati dia menyetujuinya. "Oke. Aku setuju." Setelah itu mereka pun memesan makanan dan makan malam bersama. Tidak ada obrolan yang menarik di sana. Baik Cassie maupun Ralph hanya diam seraya menyantap pizza. Selesai makan malam, Cassie dan Ralph berjalan bersama keluar dari restoran pizza tersebut. Di belakang mereka terdapat Carlo dan beberapa pengawal yang setia menemani Ralph kemanapun lelaki itu pergi. "Kau pernah ke air mancur Trevi?" tanya Cassie saat mereka telah berada di depan restoran. Ralph menaikkan salah satu alisnya. Bukan dia tidak tahu air mancur yang satu itu, bahkan air mancur itu tidak jauh dari
"Kita sudah sampai!" pekik Cassie gembira.Gadis itu mendongak untuk menatap Ralph, dan kedua manik mata mereka berserobok. "Cantik." Ralph berujar lirih.Tubuh Cassie menegang, tidak menyangka Ralph akan mengatakan hal itu. Apalagi dia berbicara sambil menatapnya. "Iya, air mancurnya memang cantik. Ayo kita ke sana!" ajak Cassie.Dia menggeret Ralph hingga mereka berdiri di dekat air mancur Trevi. Genggaman tangan mereka terlepas. Sekarang Cassie memandangi bangunan seperti kastil di depannya ini. Tidak ada yang berbicara. Tidak ada orang lain juga di sini selain mereka. Selama beberapa menit, hanya suara air yang terdengar."Apakah kau sering datang ke sini?" tanya Ralph memecah keheningan di antara mereka.Cassie mengalihkan perhatiannya pada Ralph, kemudian mengangguk dan tersenyum tipis. "Aku akan menyempatkan datang setelah mengantar lukisanku, atau setelah lukisanku berhasil dilelang dengan harga tinggi."Kening Ralph terlihat berkerut. "Semacam tradisi, huh?"Tawa kecil keluar
Hari terus bergulir seperti biasanya. Cassie disibukkan dengan kegiatan melukis dan mengelola CS Studio. Dia teringat dengan obrolan terakhirnya dengan James. Lelaki itu berencana akan memintanya bekerja sama dalam proyek desain interior untuk pembangunan hotel Vetle di Positano. Rencana itu tentu saja akan melibatkan banyak pihak, kemungkinan besar Cassie juga harus bekerja sama dengan perusahaan arsitektur yang menangani pembangunan hotel tersebut. Namun, sampai sekarang James belum menghubunginya lagi. Saat ini Cassie sedang melukis dengan pallet lukis di tangan kirinya dan kuas di tangan kanannya. Penampilannya sederhana, tetapi terlihat seksi. Dia mengenakan kemeja oversize dengan motif garis dan dipadukan dengan hotpants putih. Surai rambut hitamnya dicepol asal sehingga memperhatikan leher jenjangnya yang berkeringat. Kedua telinganya disumpal dengan airpods, dia suka mendengarkan lagu saat sedang melukis. Hari ini tidak ada tamu yang datang, lebih tepatnya hari ini galeri se
"Chloe? Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Raymond menyelidik.Remaja lelaki itu berjalan masuk ke kamar adik kembarnya. "Menyingkirlah," ucap Raymond dengan tegas.Karena merasa takut, Chloe pun menuruti perintah kembarannya. Layar PC menampilkan semua data terkait Cassiel Smeraldo membuat Raymond mengerutkan keningnya bingung. "Untuk apa kau mencari tahu Cassie?"Dengan gugup Chloe menggaruk tengkuknya dan menyelipkan rambut pendeknya ke belakang telinga. "Tentu saja karena aku harus memastikan calon kakak ipar berasal dari latar belakang yang baik."Raymond menyipitkan kedua matanya. "Hm ... benar juga katamu. Lalu, apa yang kau dapatkan?""Cassie berasal dari keluarga seniman. Ayahnya seorang pelukis senior. Ibunya memiliki toko roti di Venesia. Tapi keduanya bercerai saat Cassie berumur lima belas tahun. Ayahnya menikah lagi dan kembali ke Indonesia. Sementara ibunya memutuskan untuk tidak menikah lagi dan menetap di Venesia." Jelas Chloe dengan lancar, seolah dia sedang mempre
"Kalian stop pura-pura profesional. Maaf James, sepertinya aku tidak bisa berbicara formal denganmu." Ucap Cassie berterus terang.Lihat saja saat Terra mengedipkan matanya dan James tertawa. Mereka berdua memang tidak memiliki bakat akting karena terlalu mudah tertawa.Setelah Terra keluar dari ruangan, James mengalihkan perhatiannya pada Cassie. "Untuk apa terlalu formal. Lagi pula kedatanganku hanya untuk bermain dan membahas sedikit masalah hotel di Positano." Balas James santai, kemudian dia menyesap expresso-nya."Ngomong-ngomong, dimana kau membeli biji kopi ini? Rasanya tidak bisa kutemui di sini," rasa penasaran James membuncah. Dia sungguh merasa expresso CS Studio sangatlah enak.Cassie tertawa remeh. "Kenapa? Kau mau mencuri resep untuk restoran hotel dan resortmu?" tanya Cassie dengan maksud bercanda.James mengangkat dagunya dengan angkuh. "Jika bisa, kenapa tidak?"Mendengar jawaban James yang terlalu terus terang membuat Cassie mendesis lirih dan tak sengaja mengumpat.
"Ralph ...." suara Cassie terdengar lirih. Terbesit rasa khawatir di hati Ralph. "Ada apa?" Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Ralph tidak mendengar balasan dari sana. "Tolong aku ..." suara Cassie kembali terdengar setelah detik ke lima. Reflek Ralph menegakkan punggungnya dan tanpa sadar dia telah meraih kunci mobilnya. "Dimana? Kirim lokasimu," tanya Ralph yang sekarang terburu-buru keluar dari kamarnya. Dia bahkan tidak mengganti baju tidurnya. Carlo yang masih duduk di ruang tamu pun kebingungan saat melihat tuannya turun dengan pakaian tidur sambil bertelepon dan tangannya menenteng kunci mobil. Dengan segera dia ikut berdiri dan menghampiri Ralph untuk menanyakan kondisinya. Ralph melewati Carlo saat suara Cassie kembali terdengar. "Aku ..." "Aku tidak tahu ini dimana. Tadinya aku berencana akan mencari makan malam sebelum pulang, tapi mobilku diikuti, jadi aku pergi menghindarinya dan terus berjalan tanpa arah. Sekarang aku tidak tahu ada dimana dan mobilku mogok." J
"Maaf, nona. Kami kehilangan jejaknya." Ucap seseorang di telepon itu membuat seorang perempuan menggeram marah. Wajahnya yang sedang dirias dengan make up bold itu memerah karena menahan amarah. "Kau yang tidak becus, bodoh! Bisa-bisanya kau kehilangan jejak gadis sialan itu!" seru perempuan itu dengan kesal. Tangan perempuan itu mengepal hingga kuku panjangnya menekan erat telapak tangannya. "Pendapatanmu hanya kuberi limapuluh persen dari perjanjian awal," ucapnya kemudian menutup panggilan suara itu secara sepihak. Dengan penuh kekesalan perempuan itu menendang sofa di depannya. Namun, bukannya sofa itu yang berpindah, yang ada justru kakinya sakit. Dia pun semakin kesal. Bersamaan dengan itu, seseorang membuka pintu ruang makeup. "Abigail, Romeo sudah menunggumu sejak tadi." ---- Cassie tidak sadar semalam setelah dia mendengar jawaban Ralph, tiba-tiba kantuk menyerangnya. Dia tertid
Tangan kekar itu mengusap permukaan kertas dengan sebuah pensil. Ralph duduk di atas kursi dan menatap serius pada drafting table di depannya. Sesekali tangannya berhenti, tapi tatapannya tidak pernah lepas dari gambar di depannya. Tak terasa sudah tiga jam dirinya duduk di sana. Carlo mengetuk pintu ruang gambar. Ralph mendongak, kemudian berkata. "Masuklah."Carlo masuk ke ruang gambar dengan membawa tabnya. Lelaki itu memang selalu membawa tab ke mana-mana, antisipasi bila Ralph tiba-tiba menanyakan jadwal atau ada yang perlu dicatat. "Permisi, Tuan. Izin menyampaikan, Nona Cassie sudah bangun dan sedang sarapan di ruang makan." Ucap Carlo menyampaikan informasi mengenai Cassie.Gerakan tangan Ralph terhenti. Dahinya mengernyit, kemudian menatap Carlo yang juga sedang menatapnya. "Ruang makan? Kenapa dia keluar dari kamar?""Nona Cassie yang meminta makan di ruang makan, Tuan. Karena Nona tidak terbiasa makan di dalam kamar." Ungkap Carlo yang disambut anggu