Di salah satu gedung pencakar langit, Ralph duduk di kursi kebesarannya dan disibukkan dengan berbagai dokumen penting yang bertumpuk di atas mejanya. Terus menerus dia membuka dokumen, membacanya, lalu membubuhkan tanda tangan di sana. Bagi sebagian orang mungkin kegiatan itu terlihat monoton dan tidak membutuhkan otak, tetapi pada kenyataannya Ralph harus benar-benar memeriksa dan memastikan dokumen yang ditanda tangani olehnya tidak akan merugikan perusahaan.
Terhitung sudah lima tahun sejak dia lulus menjadi sarjana arsitektur, dia sudah berkiprah dan menjabat sebagai CEO Paradiso Architecture Corp. Muda, kaya dan berbakat adalah tiga kata yang dapat menggambarkan Ralph. Semenjak PA Corp dikendalikan olehnya, perusahaan ini telah berkembang jauh lebih pesat dari sebelumnya. Hingga sekarang PA Corp telah menduduki peringkat pertama perusahaan terbaik di Eropa. Suara ketukan pintu mengambil atensi Ralph dari dokumennya. "Masuk," ucap Ralph dengan suara baritonnya yang berat dan dingin. Carlo masuk ke dalam ruangan Ralph sambil membawakan secangkir kopi hitam di tangannya. "Tuan, hari ini ada pertemuan dengan perusahaan Vetle Hotels & Resorts." "Terkait kerjasama terakhir kali?" tanya Ralph tanpa menoleh pada Carlo. "Benar, Tuan. Ada beberapa hal yang akan dibicarakan juga oleh Tuan James Murphy. Dengar-dengar Vetle Hotels & Resorts akan mengundang beberapa vendor untuk rencana pembangunan hotel di Venesia." Lanjut Carlo dengan suara tenang. Ralph mengernyit. "Pembangunan hotel? James tidak membicarakan ini padaku." Carlo mengangguk membenarkan. "Tuan James Murphy baru merencanakan pembangunan ini beberapa hari lalu." Ralph mengangkat bahunya acuh. Seperti biasa, James Murphy yang dia kenal selalu begitu. Langkahnya terlihat tergesa-gesa tapi sebenarnya penuh perhitungan. Sahabatnya itu cukup cerdas. "Di mana kita akan menemuinya?" tanya Ralph yang kini kembali fokus pada dokumennya. "Kafe CS Studio." Jawab Carlo. Dahi Ralph berkerut. Saat dia akan bertanya lagi, tiba-tiba saja sebuah panggilan suara masuk ke ponselnya. Keningnya semakin berkerut ketika melihat nama kekasih pura-puranya yang terpampang di layar ponsel. Tanpa berlama-lama, dia mengangkat panggilan suara itu dan menyuruh Carlo keluar dari ruangannya. "Halo," suara Cassie mengalun lembut dari seberang sana. Ralph berdeham untuk menjawab. "Apakah kau memiliki waktu luang, Tuan? Kita masih belum membuat surat perjanjian terkait kontrak kekasih pura-pura." Ralph terdiam. Benar juga, kemarin semuanya terlalu terburu-buru hingga mereka lupa tidak membuat surat perjanjian. "Pukul delapan di apartemenmu." Balas Ralph setelah terdiam beberapa saat. Di seberang sana Cassie melebarkan matanya setelah mendengar Ralph menyebutkan apartemennya. Apa-apaan lelaki itu, tidak mungkin dia membawa pria asing memasuki ranah pribadinya apalagi di jam malam seperti itu. Ya ... kalau yang semalam itu dia tidak mengetahui jika Ralph tahu apartemennya, bahkan lantai apartemen yang dia tinggali. "Tidak. Aku tidak setuju dengan tempatnya." Sanggah Cassie dengan cepat. Ralph memutar bola matanya. "Kau yang pilih." "Malam ini aku akan mengantarkan lukisan ke jalan Dataria, di daerah sana ada restoran pizza yang enak. Nanti aku kirim alamatnya." Ucap Cassie. "Tidak bisa." Giliran Ralph yang menyangkal. "Kenapa?" "Kau mau membicarakan surat perjanjian ini di tengah ramainya manusia?" Cassie meneguk ludahnya. Benar juga, mereka bukan membuat janji untuk makan malam, tetapi untuk membuat surat perjanjian. Dia pun mendesah pasrah. "Kau saja kalau begitu yang memilih tempat. Tetapi pukul delapan aku masih di jalan Dataria. Kuharap kau tidak memilih tempat yang jauh dari tempat itu." "Oke." Setelah selesai bertelepon dengan Cassie, Ralph berangkat dengan Carlo dan pengawalnya menuju Kafe CS Studio. Kafe ini berada di lantai dasar CS Studio dan memang sengaja dibangun oleh Cassie satu gedung dengan studionya lantaran dia sangat menyukai kopi. Ralph tidak menyangka James akan memilih tempat ini untuk pertemuan resmi mereka bukan sebagai sahabat melainkan sebagai perwakilan PA Corp dan Vetle Hotels & Resorts. "Hai, mate," sapa James Murphy saat melihat kedatangan Ralph. Dia memilih duduk di sudut kafe bersebelahan dengan kaca. "Kenapa kau memilih di sini?" Ralph mengabaikan sapaan James dan langsung menanyakan tempat duduk yang dipilih James. Pasalnya mereka biasanya akan memilih tempat yang cukup tertutup agar terhindar dari kamera paparazzi. "Tenanglah, mate. Ini kaca satu arah," jawab James dengan santai. "Duduklah. Kau ingin pesan apa? Biar aku yang pesan." James berkata dengan lugas. Ralph pun menuruti ucapan James. "Ada apa saja?" tanya Ralph. Dia memang tidak mengerti menu yang ada di kafe ini, karena dia tidak pernah mendatangi kafe seperti ini. "Tidak perlu khawatir. Kopi di sini lengkap. Tetapi kupikir kau pasti akan memesan doppio." Balas James yang langsung berlalu pergi memesankan doppio untuk Ralph, karena kafe ini bukan sejenis kafe luxury yang memiliki banyak waiters dan bisa memesan melalui meja sendiri. "Kau harus mencicipi doppio di kafe ini. Menurutku kopi di sini adalah masterpiece." Ucap James setelah kembali. "Berlebihan." Balas Ralph dengan tenang. James menunjuk Ralph. "Kau ...." "Rasakan saja nanti bila kau tidak percaya padaku." Lanjutnya. "Jadi, bagaimana proyek pembangunan di Positano?" Ralph mulai membicarakan proyek kerjasama mereka. "Aku puas sekali dengan desain bangunan yang kau buat. Tapi sejujurnya untuk desain interior aku masih membutuhkan beberapa bantuan." Jawab James dengan jujur. "Bagian mana yang kau perlukan?" tanya Ralph. "Aku perlu memberikan sentuhan artistik di bagian front office. Rencananya di bagian itu aku juga akan membuat semacam museum terbuka." Bersamaan dengan selesainya James berbicara, seorang pelayan mengantarkan pesanan Ralph. "Terima kasih," ucap Ralph dan James bersamaan. "Apa saja yang akan kau rencanakan? Aku bisa membantumu setelah memahami konsep yang kau inginkan." Mereka terus membicarakan proyek mereka hingga dua jam lamanya. Tak terasa doppio Ralph sudah habis, begitu pula dengan expresso milik James. Setelah pembicaraan mereka selesai, Ralph bergegas pergi karena akan menghadiri rapat di kantornya. Namun, saat dia baru akan keluar dari gedung CS Studio, terdengar suara perempuan yang sangat familiar di telinganya. "Ya Tuhan, James Arthur! Kenapa kau tidak mengatakan bila akan datang? Aku harusnya menemuimu sejak tadi!" James Arthur? Itu nama lengkap James tanpa marganya. Seseorang itu memanggil James tanpa nama belakang artinya mereka cukup dekat bukan? Karena dilanda rasa penasaran, Ralph menolehkan kepalanya sebelum masuk ke dalam mobil. Terlihat sosok perempuan yang sedang memeluk tubuh James. Dia mengenakan jumpsuit dan rambut hitamnya dikepang satu. Ralph mengernyit. "Cassie?"Ralph mengernyit. "Cassie?" gumam Ralph tidak menyangka.Gadis ber-jumpsuit itu benar-benar kekasih pura-puranya. Apa hubungan antara Cassie dengan sahabatnya? Mengapa James tidak pernah menceritakan bila dia sedang dekat dengan seorang perempuan?"Tuan Ralph," panggilan dari Carlo mengambil seluruh kesadaran Ralph. Dia tidak lagi memikirkannya lantas memasuki mobil dan pergi meninggalkan CS Studio.Di sisi lain, Cassie masih bersama dengan James di kafe CS Studio. Mereka duduk di meja yang sebelumnya James tempati bersama Ralph. "Kapan kau pulang ke Roma?" tanya Cassie penasaran.James menyilangkan kakinya. "Dua hari lalu. Kenapa? Kau merindukanku, kan?" James tertawa penuh percaya diri.Melihat reaksi James yang kepedean itu membuat Cassie malas. Dia memutar bola matanya dan bersedekap dada. "Rugi besar bila aku merindukanmu."Tawa James semakin keras saat mendengar jawaban Cassie. Gadis keturunan Asia itu selain cantik juga lucu dan menarik."Jadi, bagaimana tour konsermu ke Amerik
Cassie mengernyit. "Apa maksud dari situasi diluar kendali? Dan—" "Haruskah berkencan setiap minggu?" Cassie menatap Ralph dengan perhatian penuh. Sementara itu Ralph terkekeh kecil, tawanya terdengar dipaksakan. "Tentu saja untuk menghindari kecurigaan. Kau tentu tidak mau ketahuan kita hanya kekasih kontrak, kan?" Cassie terdiam setelah mendengar jawaban Ralph. Dalam hati dia menyetujuinya. "Oke. Aku setuju." Setelah itu mereka pun memesan makanan dan makan malam bersama. Tidak ada obrolan yang menarik di sana. Baik Cassie maupun Ralph hanya diam seraya menyantap pizza. Selesai makan malam, Cassie dan Ralph berjalan bersama keluar dari restoran pizza tersebut. Di belakang mereka terdapat Carlo dan beberapa pengawal yang setia menemani Ralph kemanapun lelaki itu pergi. "Kau pernah ke air mancur Trevi?" tanya Cassie saat mereka telah berada di depan restoran. Ralph menaikkan salah satu alisnya. Bukan dia tidak tahu air mancur yang satu itu, bahkan air mancur itu tidak jauh dari
"Kita sudah sampai!" pekik Cassie gembira.Gadis itu mendongak untuk menatap Ralph, dan kedua manik mata mereka berserobok. "Cantik." Ralph berujar lirih.Tubuh Cassie menegang, tidak menyangka Ralph akan mengatakan hal itu. Apalagi dia berbicara sambil menatapnya. "Iya, air mancurnya memang cantik. Ayo kita ke sana!" ajak Cassie.Dia menggeret Ralph hingga mereka berdiri di dekat air mancur Trevi. Genggaman tangan mereka terlepas. Sekarang Cassie memandangi bangunan seperti kastil di depannya ini. Tidak ada yang berbicara. Tidak ada orang lain juga di sini selain mereka. Selama beberapa menit, hanya suara air yang terdengar."Apakah kau sering datang ke sini?" tanya Ralph memecah keheningan di antara mereka.Cassie mengalihkan perhatiannya pada Ralph, kemudian mengangguk dan tersenyum tipis. "Aku akan menyempatkan datang setelah mengantar lukisanku, atau setelah lukisanku berhasil dilelang dengan harga tinggi."Kening Ralph terlihat berkerut. "Semacam tradisi, huh?"Tawa kecil keluar
Hari terus bergulir seperti biasanya. Cassie disibukkan dengan kegiatan melukis dan mengelola CS Studio. Dia teringat dengan obrolan terakhirnya dengan James. Lelaki itu berencana akan memintanya bekerja sama dalam proyek desain interior untuk pembangunan hotel Vetle di Positano. Rencana itu tentu saja akan melibatkan banyak pihak, kemungkinan besar Cassie juga harus bekerja sama dengan perusahaan arsitektur yang menangani pembangunan hotel tersebut. Namun, sampai sekarang James belum menghubunginya lagi. Saat ini Cassie sedang melukis dengan pallet lukis di tangan kirinya dan kuas di tangan kanannya. Penampilannya sederhana, tetapi terlihat seksi. Dia mengenakan kemeja oversize dengan motif garis dan dipadukan dengan hotpants putih. Surai rambut hitamnya dicepol asal sehingga memperhatikan leher jenjangnya yang berkeringat. Kedua telinganya disumpal dengan airpods, dia suka mendengarkan lagu saat sedang melukis. Hari ini tidak ada tamu yang datang, lebih tepatnya hari ini galeri se
"Chloe? Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Raymond menyelidik.Remaja lelaki itu berjalan masuk ke kamar adik kembarnya. "Menyingkirlah," ucap Raymond dengan tegas.Karena merasa takut, Chloe pun menuruti perintah kembarannya. Layar PC menampilkan semua data terkait Cassiel Smeraldo membuat Raymond mengerutkan keningnya bingung. "Untuk apa kau mencari tahu Cassie?"Dengan gugup Chloe menggaruk tengkuknya dan menyelipkan rambut pendeknya ke belakang telinga. "Tentu saja karena aku harus memastikan calon kakak ipar berasal dari latar belakang yang baik."Raymond menyipitkan kedua matanya. "Hm ... benar juga katamu. Lalu, apa yang kau dapatkan?""Cassie berasal dari keluarga seniman. Ayahnya seorang pelukis senior. Ibunya memiliki toko roti di Venesia. Tapi keduanya bercerai saat Cassie berumur lima belas tahun. Ayahnya menikah lagi dan kembali ke Indonesia. Sementara ibunya memutuskan untuk tidak menikah lagi dan menetap di Venesia." Jelas Chloe dengan lancar, seolah dia sedang mempre
"Kalian stop pura-pura profesional. Maaf James, sepertinya aku tidak bisa berbicara formal denganmu." Ucap Cassie berterus terang.Lihat saja saat Terra mengedipkan matanya dan James tertawa. Mereka berdua memang tidak memiliki bakat akting karena terlalu mudah tertawa.Setelah Terra keluar dari ruangan, James mengalihkan perhatiannya pada Cassie. "Untuk apa terlalu formal. Lagi pula kedatanganku hanya untuk bermain dan membahas sedikit masalah hotel di Positano." Balas James santai, kemudian dia menyesap expresso-nya."Ngomong-ngomong, dimana kau membeli biji kopi ini? Rasanya tidak bisa kutemui di sini," rasa penasaran James membuncah. Dia sungguh merasa expresso CS Studio sangatlah enak.Cassie tertawa remeh. "Kenapa? Kau mau mencuri resep untuk restoran hotel dan resortmu?" tanya Cassie dengan maksud bercanda.James mengangkat dagunya dengan angkuh. "Jika bisa, kenapa tidak?"Mendengar jawaban James yang terlalu terus terang membuat Cassie mendesis lirih dan tak sengaja mengumpat.
"Ralph ...." suara Cassie terdengar lirih. Terbesit rasa khawatir di hati Ralph. "Ada apa?" Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Ralph tidak mendengar balasan dari sana. "Tolong aku ..." suara Cassie kembali terdengar setelah detik ke lima. Reflek Ralph menegakkan punggungnya dan tanpa sadar dia telah meraih kunci mobilnya. "Dimana? Kirim lokasimu," tanya Ralph yang sekarang terburu-buru keluar dari kamarnya. Dia bahkan tidak mengganti baju tidurnya. Carlo yang masih duduk di ruang tamu pun kebingungan saat melihat tuannya turun dengan pakaian tidur sambil bertelepon dan tangannya menenteng kunci mobil. Dengan segera dia ikut berdiri dan menghampiri Ralph untuk menanyakan kondisinya. Ralph melewati Carlo saat suara Cassie kembali terdengar. "Aku ..." "Aku tidak tahu ini dimana. Tadinya aku berencana akan mencari makan malam sebelum pulang, tapi mobilku diikuti, jadi aku pergi menghindarinya dan terus berjalan tanpa arah. Sekarang aku tidak tahu ada dimana dan mobilku mogok." J
"Maaf, nona. Kami kehilangan jejaknya." Ucap seseorang di telepon itu membuat seorang perempuan menggeram marah. Wajahnya yang sedang dirias dengan make up bold itu memerah karena menahan amarah. "Kau yang tidak becus, bodoh! Bisa-bisanya kau kehilangan jejak gadis sialan itu!" seru perempuan itu dengan kesal. Tangan perempuan itu mengepal hingga kuku panjangnya menekan erat telapak tangannya. "Pendapatanmu hanya kuberi limapuluh persen dari perjanjian awal," ucapnya kemudian menutup panggilan suara itu secara sepihak. Dengan penuh kekesalan perempuan itu menendang sofa di depannya. Namun, bukannya sofa itu yang berpindah, yang ada justru kakinya sakit. Dia pun semakin kesal. Bersamaan dengan itu, seseorang membuka pintu ruang makeup. "Abigail, Romeo sudah menunggumu sejak tadi." ---- Cassie tidak sadar semalam setelah dia mendengar jawaban Ralph, tiba-tiba kantuk menyerangnya. Dia tertid