Aisyah POV
"Bagaimana, Abi? Apa sudah ada kabar dari Mas Reza?"
Abi menggeleng. Tubuhku terasa semakin lemas. Bahkan aku tidak yakin apakah bisa menopang tubuh ini.
Di mana dia? Seseorang yang beberapa hari lalu menyatakan bahwa dia ingin menjadikanku sebagai kekasih halalnya. Tapi kini, di hari yang sudah ditentukan, dia pun tidak memunculkan batang hidungny. Memberi kabar pun tidak.
Aku mengingat kembali, dan aku yakin di antara kami memang tidak ada konflik apapun. Bahkan semalam dia sempat mengirim pesan yang semakin membuat aku yakin untuk menerimanya menjadi imamku.
Oh, Allah ... ada apa ini? Ke manakah Mas Reza? Teriak batinku tak kuasa menerima kenyataan pahit ini.
Aku mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja rias. Lalu mencari nama Reza di kontak nomor dan langsung menekan tombol panggilan.
Nihil. Hasilnya nihil. Padahal aku sudah meneleponnya berkali-kali. Kini air mataku sudah tidak terbendung lagi. Bahkan penghulu yang akan membimbing pernikahanku sudah tidak bisa menunggu lama karena harus menikahkan calon pengantin lain yang sudah menunggunya. Abi meminta Nailah untuk menemui penghulu yang sudah menungguku, dan mengatakan ada sedikit permasalahan yang terjadi saat ini. Sepertinya Abi sudah tidak bisa menahan amarah lagi. Beliau juga ternyata merasakan kepedihan seperti yang ku rasakan.
Oh, Allah, aku mencintainya, dan untuk itulah aku menerimanya sebagai kekasih halalku. Tapi kenapa semua menjadi seperti ini? Jalan takdir seperti apa yang akan kau berikan pada hambamu ini, teriak aku di dalam hati.
Aku mengangkat kepala yang terasa berat. Kemudian, aku beralih memeluk Abi yang sedari tadi sudah menatapku dengan tatapan sendu. Aku merasakan getaran di bahu beliau, dan aku yakin Abi pasti menangis sama sepertiku. Ummi, seandainya dia masih ada disini pasti beliau bisa menguatkanku.
Aku merasakan tubuh Abi melemas. Kulirik beliau yang sedang memegang dadanya. Aku tidak ingin terjadi apa-apa pada sosok pahlawanku, yang sudah berjuang apapun demi kebahagiaan anak-anaknya.
"Astaghfirullahal 'adzim ... Abi tidak apa-apa?" Aku panik melihat Abi yang terus memegang dada sembari mengucapkan lafadz Allah.
Oh, Allah, jangan ambil abi karena dalam keadaan seperti ini aku membutuhkannya.
Abi menggeleng pelan. "Abi bisa merasakan apa yang kamu rasakan, Nak. Anak Abi harus tegar. Ingat ada Allah, Nak."
Aku mengangguk lalu menciumi tangan beliau. Walau dalam keadaan seperti ini Abi masih bisa menguatkanku. Semua yang berada di kamar dan menyaksikan tangisku dan abi ikut meneteskan air mata. Mereka pun tidak menyangka yang awalnya hari ini akan menjadi hari bersejarah bagiku ternyata malah menjadi hari paling pahit dalam hidupku.
Aku menatap Fatimah --adikku-- yang sudah meneteskan air mata. Dia sudah menangis sesenggukan di hadapanku.
Tidak, aku tidak boleh lemah. Aku harus menguatkan Abi dan juga keluargaku. Aku berusaha tersenyum untuk menunjukkan pada mereka bahwa aku baik-baik saja.
Tapi, yang ku lakukan tidak membuahkan apa-apa. Tangisku semakin pecah tatkala wajah Reza terlintas lagi di benakku. Aku terus menangis sambil teringat dengan peristiwa demi peristiwa yang aku alami bersamanya. Ketika laki-laki itu selalu datang ke rumah singgah untuk menarik perhatianku, dan pernah mengajakku untuk berpacaran tetapi aku menolaknya dengan alasan Allah melarang yang namanya pacaran. Hingga akhirnya ketika di taman bersama anak jalanan yang ku asuh, dia mengkhitbahku. Padahal sebelumnya dia pun tidak tahu apa itu khitbah hingga aku meminta supaya Reza menemui Abi.
Ya Allah, sakit sekali. Bagaimana aku harus menghadapi semuanya. Menghadapi semua tamu yang saat ini sudah menunggu lama. Apalagi keluargaku, mereka pasti akan menanggung malu karena ini menyangkut nama baik keluarga.
Hingga ku putuskan, aku harus menemui para tamu dan meminta maaf atas kejadian yang sedang terjadi. Aku harus bangkit, aku harus kuat.
Fatimah sebenarnya melarangku, tapi aku terus meyakinkannya.
"Ya sudah kalau Mbak Aisyah memaksa. Mbak harus ditemani Mbak Nailah keluar, biar Abi aku yang jaga," tutur Fatimah sembari berpindah posisi menghadap Abi yang terkulai lemas.
Aku mengangguk. Lalu, Nailah yang baru saja datang setelah meminta maaf pada penghulu pun membopongku ke depan lengkap dengan pakaian pengantin masih melekat di tubuhku. Hanya saja khimar panjangku sudah mulai lusuh karena terkena air mata. Dengan perlahan dan berusaha sekuat mungkin supaya air mataku tidak tumpah lagi, aku pun berhasil sampai di ruang tamu dan semua tamu undangan yang datang sudah menunggu dan langsung menatapku dengan bingung.
Aku pun memberi isyarat pada Nailah supaya melepaskan tanganku. Awalnya dia menolak, tapi aku terus membujuknya hingga akhirnya Nailah pun melepas tangannya. Dia menjagaku dari belakang.
Aku menarik nafas panjang. Sambil memegangi hatiku yang terasa amat sakit. Aku berusaha mengembalikan nama baik keluargaku kembali.
"Bismillah ... dengan amat sangat saya mewakili kedua orang tua saya meminta maaf karena sudah membuat bapak dan ibu menunggu kami. Dengan rasa hormat sekali lagi saya memberitahukan bahwa--" ucapanku tidak ku teruskan karena dengan bersamaannya air mataku turun. Nailah langsung sigap memegangi tanganku. Dia menyemangatiku untuk melanjutkan ucapanku.
Aku menarik nafas panjang lagi. "Dengan rasa hormat saya ingin memberitahukan bahwa pernikahan saya hari ini batal, untuk itu ibu dan bapak diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing atau mau menikmati terlebih dahulu makanan yang sudah dipersiapkan oleh ka--kami."
Setelah mengucapkan itu, aku pun langsung terjatuh lemas. Aku tidak sadarkan diri hingga membuat semuanya panik. Nailah yang memegang kepala ku berusaha membangunkan. Hingga akhirnya aku pun dibawa ke kamar oleh Nailah dan beberapa sanak saudara.
Mas Reza, terima kasih atas luka yang kau goreskan kepada hatiku. Aku berharap supaya kamu memang benar-benar jauh dari hidupku.
Sekali lagi, terima kasih ....
Satu tahun telah berlalu. Setelah kejadian pahit yang amat sangat menyakitkan itu, Aisyah memutuskan untuk lebih fokus mengurus rumah singgah yang ia beri nama Rumah Singgah Zahira. Sesuai dengan namanya, Aisyah Nuha Zahira. Aisyah mendirikan rumah singgah ini bukan tanpa alasan, dia sangat suka dengan anak-anak sampai pada akhirnya gadis ini pun berinisiatif mendirikan rumah singgah ini.Dengan dibantu Nailah dan Fatimah --adiknya-- Aisyah bisa menghandle semua yang menyangkut dengan rumah singgah.Tentu, rumah singgah ini memang Ia peruntukkan bagi anak jalanan. Biasanya anak jalanan datang karena kemauannya sendiri ingin belajar, tapi mereka terhalang oleh biaya. Itulah mengapa Aisyah ingin sekali mendirikan rumah singgah ini sejak dulu.Bukan hanya untuk anak jalanan, bagi anak-anak yang berasal d
"Mbak mau sekarang ke pasarnya?" tanya Fatimah ketika dia melihat Aisyah sudah rapih dengan gamis hitam dan menggunakan khimar berwarna abu-abu.Aisyah mengangguk sebagai jawaban pertanyaannya Fatimah. "Abi, Aisyah harus berangkat pagi ke pasar. Karena kebetulan teman Aisyah baru membuka usahanya di sana, dan Aisyah diminta menjadi pelanggan pertamanya," izinnya pada sang abi yang kini sedang membaca koran sembari menyesap kopi.Beliau menatap Aisyah, kemudian mengangguk. "Pergilah. Kamu sudah janji tepat waktu bukan pada temanmu itu? Tepatilah janjimu karena janji merupakan salah satu hutang yang harus kamu lunasi."Begitulah Abi yang selalu menjawab dengan sedikit taburan agama di setiap ucapannya. Aisyah pun mengangguk, lalu meraih tangan abi dan menciumnya. Sebagai tanda bakti Aisyah pada Abi."Mbak, setelah dari pasar langsung ke rumah singgah, 'kan? Jangan lupa bawakan bakso untuk aku dan Mbak Nailah," ujar Fatimah disertai cengirannya."Tenang sa
"Assalamu'alaikum, Mbak," ucap salam laki-laki tersebut.Aisyah menoleh ke belakang. "Wa'alaikumussalam. Ada apa, ya?"Laki-laki itu terlihat gugup. Dia sempat terbata-bata menjawab pertanyaan Aisyah. "Anu, ini bukumu terjatuh."Aisyah pun melirik pada tangan kekar si laki-laki, dan beralih ke arah tangannya. Benar saja novel itu kini sudah berpindah tangan."Ma syaa Allah, terima kasih sudah menemukannya. Saya sendiri belum sadar kalau novel saya terjatuh," pekiknya sembari mengambil novel yang diserahkan laki-laki tersebut."Kalau begitu, saya permisi dulu. Assalamu'alaikum ...." Lanjut Aisyah. Setelah itu, ia pun berpamitan pergi. Meski begitu gadis muslimah ini sempat melihat wajah tampan laki-laki itu. Lak-laki bernama Fadli itu segera menundukkan kepala karena tidak baik jika harus menatap lama wajah yang bukan makhromnya."Wa'alaikumussalam ...." lirihnya sembari diam-diam menatap kepergian Aisyah.Entah atas
Fadli mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Pandangan mata tertuju pada jalan raya yang ada di hadapannya. Hari ini dia ada meeting penting dengan salah satu klien. Maka dari itu Fadli memilih berangkat lebih pagi supaya tidak terlambat. Di tengah perjalanan, tiba-tiba terlintas wajah wanita yang ditemuinya di pasar saat itu. Dia memang sudah sering bertemu dengan wanita cantik. Tapi ini beda. Ntah apa yang membuatnya beda, namun yang pasti di saat dirinya melihat wanita itu memberikan selembar uang kepada si pengemis kemarin, seperti ada getaran kecil terjadi di hati.Apa Fadli menyukainya? Fadli tidak mau menampik akan hal ini. Laki-laki di luaran sana pun akan mengatakan Ya jika ditanya apakah dia menyukai wanita yang cantik nan anggun
"Loh, itu Kak Yusuf!" seru salah satu dari mereka. Membuat semua yang ada di luar kini mengedarkan pandangan ke arah yang ditunjuk.Itu Yusuf dan lainnya. Tapi, siapa laki-laki dengan berkemeja rapih itu?"Assalamu'alaikum ....""Wa'alaikumussalam ...."Yusuf menyerahkan dua kantong besar berisi makanan pada Nailah dan Fatimah. Dua gadis muslimah itu pun menerima dan membawanya ke dalam. Setelah itu, Yusuf pun berjalan mendekat ke Aisyah dengan laki-laki itu terus mengikuti langkahnya.Tunggu, sepertinya wajah laki-laki ini tidak asing baginya. Aisyah tertegun, ia ingat siapa laki-laki yang bersama Yusuf dan yang lainnya. Beliau orang yang menemukan novelnya yang sempat terjatuh di pasar kemarin.Tapi, untuk apa dia kesini? Dan, bagaimana bisa Yusuf mengenalnya?Aisyah tersenyum kecil untuk menyambut laki-laki yang bernama Fadli itu."Kak Aisyah masih ingat dengan kakak baik yang memberikan kami makanan kemarin? Bel
Aisyah menatap sendu dan mengelus lembut bingkai foto di hadapannya. Dia rindu akan sosok perempuan yang sudah melahirkannya dengan pertaruhan nyawa. Dia Umi Hasnah.Dulu, ketika umi masih berada di sisi mereka setiap pagi beliaulah yang menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Jika umi sedang memasak, abi akan mengurus tanaman di luar rumah. Terkadang Aisyah dan Fatimah pun berbagi tugas. Jika Aisyah menemani abi, maka Fatimah akan membantu umi memasak. Begitu sebaliknya.Makanan favorit yang akan umi sajikan setiap pagi adalah nasi goreng. Bisa dikatakan Aisyah sekeluarga memang menyukai nasi goreng. Terlebih lagi nasi goreng buatan umi. Aisyah memang pandai memasak, hanya saja ia belum mengakui sepandai umi dalam urusan dapur. Karena hal itulah,
Alarm dari ponsel Aisyah berbunyi tepat pukul tiga pagi. Gadis ini merapikan rambut panjang nan hitamnya. Ia pun segera memakai khimar panjang menutupi dada berwarna biru laut dan berjalan keluar menuju kamar mandi guna mengambil air wudhu untuk melaksanakan aktivitas rutinnya di sepertiga malam terakhir.Selepas berwudhu, Aisyah segera kembali ke kamar. Tepat beberapa langkah sebelum masuk, Aisyah harus menghentikan langkahnya karena suara Abi Zikri yang tiba-tiba memanggilnya."Mau melaksanakan shalat, Nak?"Aisyah mengangguk sembari tersenyum. Ia pun tak sengaja melihat baju koko berwarna putih tulang milik abi yang terdapat noda. "Ada noda, Bi. InsyaAllah nanti Aisyah belikan yang baru, ya," ucapnya."Ini juga masih bagus, Nak. Masih bisa digunakan."Selalu begitu, Abi Zikri memang susah sekali untuk diajak belanja baju. Beliau baru akan membeli ketika baju ataupun barang yang dia gunakan benar-benar sudah tidak bisa digunakan lagi.Aisy
Hari ini tepat hari minggu, waktunya anak-anak yang diajar oleh Aisyah libur untuk belajar. Seperti biasa, rumah singgah tidak terlalu ramai dikunjungi oleh mereka. Karena hal itulah terkadang salah satu dari Aisyah, Nailah, maupun Fatimah memilih untuk ikut libur juga. Jika Nailah libur, maka Aisyah dan Fatimah yang menjaga. Jika Fatimah dan Aisyah libur, maka Nailah yang gantian untuk menjaga rumah singgah ditemani oleh Yusuf.Mereka tidak akan membiarkan rumah singgah dibiarkan tidak ada yang menjaga. Mengingat ada beberapa anak jalanan yang tinggal di sana juga.Namun, kali ini Aisyah dan Nailah berencana ingin mengunjungi teman SMA mereka dulu yang baru saja melahirkan. Fatimah pun yang kini menjaga rumah singgah ditemani oleh Yusuf dan anak jalanan lainnya yang berniat menemani Fatimah.Teman yang akan mereka kunjungi namanya Sari. Kebetulan juga kali ini digunakan oleh teman-teman SMA Aisyah dan Nailah untuk reuni.Sari merupakan anak yang cu