Badan Namira masih belum fit sepenuhnya. Terkadang lemas dan sakit kepala menyerang Namira tiba-tiba. Namun, karena masih banyak pekerjaan yang harus Namira kerjakan, ia belum bisa mengistirahatkan tubuhnya barang sejenak. “Saya siapkan makan siang di ruang kerja bapak atau bapak ingin makan siang di restoran?” tanya Namira memastikan keinginan bosnya untuk makan siang. “Di ruangan saya saja,” jawab Dewangga yakin. Namira mengangguk tanda mengerti. Anggara juga tidak keberatan dengan keputusan Dewangga untuk makan siang di kantor. “Baik, saya akan segera siapkan,” ucap Namira dengan tubuh yang berkeringat karena menahan demam, juga lemas yang saat itu sedang melandanya. “Terima kasih, Namira!” ujar Anggara sebelum Namira keluar dari ruangan.Lagi-lagi, Namira hanya memberi senyum tipis dan anggukan, ia tidak banyak berkomentar karena tidak ingin ada anggapan jika Namira sedang cari muka atau cari perhatian. Tangannya masih memegang daun pintu ruangan Dewangga. Jika dilihat seksama, ta
“Namira, apa kamu baik-baik saja?” tanya Dewangga yang tiba-tiba sudah berada di depan Namira. Bos Namira itu sengaja meninggalkan tamunya sejenak untuk melihat keadaan Namira. Ia terlalu gelisah dan akhirnya memutuskan untuk memantau keadaan Namira sendiri. Namira terbangun, ia kira suara Dewangga hanya dalam mimpinya. “Pak Dewangga?” Namira begitu terkejut melihat sosok Bosnya sudah berada di depannya. Ia salah tingkah, mencoba bangun dari rebahannya namun ternyata tubuhnya masih lemah. “Biarkan saja tubuh kamu rebahan. Jangan dipaksa,” ujar Dewangga sedikit gugup karena takut banyak yang kepo dengan tingkahnya. “Ada yang bisa saya kerjakan, Pak? Emm, atau makanannya kurang, ya? Atau tidak enak? Atau....” Namira terus mengeluarkan kalimat khawatir atas apa yang dikerjakan OB. “Sssst, tenang saja. Semua baik-baik saja,” jawab Dewangga bijak.“Sepertinya kamu demam tinggi. Saya antar ke rumah sakit, ya?” Dewangga memegang kening Namira. Suhu tubuhnya memang terasa sangat panas. Apalag
Suasana kantor terasa ada yang berbeda. Entah karena memang ada yang berubah atau hanya perasaan Namira saja. Sejak kejadian ia dibopong oleh Dewangga, Namira merasa dirinya seperti anak baru. Ia takut menghadapi banyak orang yang berada di kantornya. Padahal, ia salah satu karyawan yang paling senior. “Hmm, gue kayak nggak siap menghadapi hari ini,” ujar Namira lirih. Setelah ia sembuh dari demam dan rasa lemas berlebihan, ia kembali ke kantor. Banyak pekerjaan Dewangga yang tertunda pun kacau. Ia merasa bersalah pastinya, tetapi, ini semua juga bukan keinginan Namira. “Semoga hari ini berjalan dengan baik. Tidak ada mulut jahat yang sengaja membuatku merasa tidak nyaman masuk ke kantor,” ucapnya lalu memantapkan hati untuk melangkah ke dalam kantor. “Kak Namira!” panggil seseorang dari arah samping. Namira sudah tidak asing lagi dengan suara itu. Ia langsung menoleh dan berniat memberi sapaan kepada Laras. “Kak!” panggil Laras lagi sembari melambaikan tangannya karena Namira belum m
Sudah hampir menjelang makan siang, namun, Dewangga masih belum terlihat di kantor. Namira memiliki waktu luang untuk mengerjakan pekerjaan lainnya selagi Dewangga belum datang. Tetapi, hal ini juga menjadi beban pikirannya. Dimana Dewangga, sedang apa, kenapa, dan bagaimana keadaan Dewangga selalu menempel di pikiran Namira hari itu. Dari pagi hingga hampir makan siang, Namira selalu bertengkar dengan pikirannya tentang Dewangga. Ia sudah bolak balik masuk ke dalam ruangan Dewangga, memastikan semua hal yang Dewangga mau sudah disiapkan. Tetap saja, bosnya itu belum duduk di kursi kerjanya dengan gaya cool yang membuat hampir seluruh karyawan perempuannya mati kutu jika ditatap. “Untung aja hari ini nggak ada meeting pagi sama klien,” ujar Namira masih terus gelisah.Tangannya luwes berada di atas mouse, lalu, tatapannya serius menatap layar laptop di depannya. Sayangnya, pikiran Namira tidak ada di sana. Pekerjaan yang sedang ia selesaikan pun akhirnya melambat. “Kemana ya Pak Dewan
Hatinya berdebar, perasaannya tidak tenang. Gelisah, khawatir, dan cemas semua campur jadi satu. Pun dibalik itu semua, masih ada perasaan sungkan dan ragu. Takut jika keputusannya kali ini ternyata salah dan membuat masalah. “Masuk atau engga, ya?” Namira masih terus tidak percaya diri pada pilihannya. Padahal ia sudah sampai di hotel tempat Dewangga tinggal saat ini. Namun, kakinya berat untuk langsung melangkah ke kamar Dewangga. “Kalau ada apa-apa sama Pak Dewangga gimana, ya?” Kuku jarinya menjadi korban kegalauannya saat itu. Tidak ada yang bisa ia ajak diskusi tentang hal ini. “Sudahlah, aku harus profesional!” ucapnya lalu keluar dari mobil dan segera menuju ke lantai dimana kamar Dewangga berada.Namira menebar senyum ke beberapa petugas kebersihan hotel. Meski hatinya sedang tidak karuan, ia tetap berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan orang lain. Tombol lift sudah ia tekan sesuai dengan tujuannya. Namira hanya tinggal menunggu lift itu mengantarkannya ke lantai kam
“Dimana Pak Dewangga? Kami sudah menunggu cukup lama di tempat pertemuan. Tapi, sampai saat ini tidak ada kabar. Bahkan sekretaris Pak Dewangga saja tidak bisa dihubungi!” protes salah satu klien Dewangga yang harusnya saat itu sedang berbincang mengenai bisnis bersama Dewangga di tempat yang sudah disepakati. Sayangnya, Dewangga justru tidak ada kabar. Namira pun tidak tahu keberadaan Dewangga sekarang. Helaan Namira barusan untuk menenangkan dirinya, sebelum ia menerima komplain apapun dari klien bosnya itu. “Selamat siang, Pak. Perkenalkan saya Namira,” ucap Namira menyambut beberapa tamu yang sudah berada di ruangan Dewangga. “Siang. Anda dengan siapa?” tanya beliau. Namira tetap dengan senyum manis dan tutur lembutnya. “Saya Namira, sekretaris pribadi Bapak Dewangga,” jawab Namira tenang.“Oh Anda sekretaris Pak Dewangga? Lalu, bagaimana tanggung jawabnya ini? Kami sudah menunggu cukup lama, tapi kami dibiarkan tanpa kabar,” ujarnya kembali melampiaskan kekesalan karena Dewangga
Permasalahan hari ini cukup menguras energi dan pikiran Namira. Dari pagi hingga langit sudah menunjukkan kegelapan, Namira masih terus dihantui dengan perasaan gundah gulananya. Ia harus memikirkan cara agar Namira dan Dewangga tidak kehilangan kepercayaan dari klien. Pun Namira juga harus mencari keberadaan Dewangga. Rasa penasaran itu juga diiringi khawatir dan cemas. Tidak mungkin Namira bersikap acuh kepada bosnya sendiri. Apalagi, Dewangga selalu bersikap baik. Bahkan sangat baik kepada Namira. Seluruh perhatian yang diberikan kepada Namira begitu tulus. Hal ini yang membuat pikiran Namira hari ini begitu penuh. “Pak Dewangga, dimana sih Bapak sebenarnya? Kenapa tidak ada kabar? Kenapa tidak ada yang bisa saya hubungi?”Pertanyaan yang barusan Namira lontarkan mengiringi tangannya menutup pintu mobil dengan lesu. Energinya seperti terkuras. Namira menjadi lemas juga tidak bersemangat sejak tadi pagi. Sejak ia tahu Dewangga menghilang tanpa meninggalkan kabar apapun. “Nggak perna
“Kalau ada apa-apa yang terjadi sama kamu, jangan sungkan beritahu saya. Saya nggak mau kamu kenapa-kenapa. Ingat! Kamu adalah tanggung jawab saya.” Suara laki-laki itu begitu meneduhkan. Tidak begitu lantang, namun terdengar tegas dan berwibawa. Nada rendahnya membuat wajah ikut tersenyum. Seolah memberi isyarat jika kalimat dan suara itu berhasil menggetarkan hati juga perasaan. “Jangan sakit lagi, ya!” Senyuman kembali merekah. Kini lebih lebar lagi. Namira begitu bahagia mendengar perhatian dari seseorang yang saat ini cukup berarti di hidupnya. “Terima kasih, Pak,” ucap Namira setelah diam memahami perhatian yang diberikan oleh Dewangga, bosnya sendiri. Tangan Namira ingin meraih wajah Dewangga. Ia ingin membelai pipi kanan dan kiri milik Dewangga, sebagai tanda terima kasih atas perhatian yang telah Dewangga berikan.Namun, entah mengapa tangan Namira sulit sekali meraih wajah Dewangga. Setiap ia ingin menyentuhnya, wajah Dewangga seolah menjauh dari Namira. Lama kelamaan Dewang