“Dimana Pak Dewangga? Kami sudah menunggu cukup lama di tempat pertemuan. Tapi, sampai saat ini tidak ada kabar. Bahkan sekretaris Pak Dewangga saja tidak bisa dihubungi!” protes salah satu klien Dewangga yang harusnya saat itu sedang berbincang mengenai bisnis bersama Dewangga di tempat yang sudah disepakati. Sayangnya, Dewangga justru tidak ada kabar. Namira pun tidak tahu keberadaan Dewangga sekarang. Helaan Namira barusan untuk menenangkan dirinya, sebelum ia menerima komplain apapun dari klien bosnya itu. “Selamat siang, Pak. Perkenalkan saya Namira,” ucap Namira menyambut beberapa tamu yang sudah berada di ruangan Dewangga. “Siang. Anda dengan siapa?” tanya beliau. Namira tetap dengan senyum manis dan tutur lembutnya. “Saya Namira, sekretaris pribadi Bapak Dewangga,” jawab Namira tenang.“Oh Anda sekretaris Pak Dewangga? Lalu, bagaimana tanggung jawabnya ini? Kami sudah menunggu cukup lama, tapi kami dibiarkan tanpa kabar,” ujarnya kembali melampiaskan kekesalan karena Dewangga
Permasalahan hari ini cukup menguras energi dan pikiran Namira. Dari pagi hingga langit sudah menunjukkan kegelapan, Namira masih terus dihantui dengan perasaan gundah gulananya. Ia harus memikirkan cara agar Namira dan Dewangga tidak kehilangan kepercayaan dari klien. Pun Namira juga harus mencari keberadaan Dewangga. Rasa penasaran itu juga diiringi khawatir dan cemas. Tidak mungkin Namira bersikap acuh kepada bosnya sendiri. Apalagi, Dewangga selalu bersikap baik. Bahkan sangat baik kepada Namira. Seluruh perhatian yang diberikan kepada Namira begitu tulus. Hal ini yang membuat pikiran Namira hari ini begitu penuh. “Pak Dewangga, dimana sih Bapak sebenarnya? Kenapa tidak ada kabar? Kenapa tidak ada yang bisa saya hubungi?”Pertanyaan yang barusan Namira lontarkan mengiringi tangannya menutup pintu mobil dengan lesu. Energinya seperti terkuras. Namira menjadi lemas juga tidak bersemangat sejak tadi pagi. Sejak ia tahu Dewangga menghilang tanpa meninggalkan kabar apapun. “Nggak perna
“Kalau ada apa-apa yang terjadi sama kamu, jangan sungkan beritahu saya. Saya nggak mau kamu kenapa-kenapa. Ingat! Kamu adalah tanggung jawab saya.” Suara laki-laki itu begitu meneduhkan. Tidak begitu lantang, namun terdengar tegas dan berwibawa. Nada rendahnya membuat wajah ikut tersenyum. Seolah memberi isyarat jika kalimat dan suara itu berhasil menggetarkan hati juga perasaan. “Jangan sakit lagi, ya!” Senyuman kembali merekah. Kini lebih lebar lagi. Namira begitu bahagia mendengar perhatian dari seseorang yang saat ini cukup berarti di hidupnya. “Terima kasih, Pak,” ucap Namira setelah diam memahami perhatian yang diberikan oleh Dewangga, bosnya sendiri. Tangan Namira ingin meraih wajah Dewangga. Ia ingin membelai pipi kanan dan kiri milik Dewangga, sebagai tanda terima kasih atas perhatian yang telah Dewangga berikan.Namun, entah mengapa tangan Namira sulit sekali meraih wajah Dewangga. Setiap ia ingin menyentuhnya, wajah Dewangga seolah menjauh dari Namira. Lama kelamaan Dewang
Pertikaian dengan Airin berakhir. Namira dan Nimas lebih memilih menjaga mental mereka agar tidak meledakkan emosi. Namira dan Nimas meninggalkan tempat makan siang mereka yang sudah sengaja mereka pesan demi tidak lagi berdebat dengan Airin. Sang pelopor gosip di kantor. Namira masih terus dengan kesabarannya yang entah kapan akan surut juga jika Airin terus menekan Namira dengan sejumlah tuduhan. Sedangkan Nimas, selalu menggebu membela sahabatnya. Ia tidak akan terima jika Namira terus dijadikan bahan gosip murahan kepada seluruh karyawan kantor. Namun, Airin tidak akan berhenti di situ saja. Usahanya untuk mendapatkan berita terbaru selalu besar. Tidak pernah menyerah demi menyenangkan nafsunya.“Aku nggak bisa diam saja seperti ini. Aku juga tidak mau terjadi sesuatu pada Pak Dewangga. Mungkin sebaiknya aku ke hotel Pak Dewangga lagi,” kata Namira sembari membereskan barang-barangnya sebelum pergi dari kantor karena jam kerja sudah selesai. Biasanya, Namira akan lebih terlambat p
Pencarian kesekian yang masih belum membuahkan hasil. Namira belum mendapat kabar apapun dari Dewangga. Sejak hilang beberapa hari lalu, Dewangga sama sekali tidak bisa dihubungi. Kamar hotelnya kosong, nomornya tidak aktif, bahkan sahabat terdekatnya Dewangga pun menghilang. Segala yang terjadi menyulitkan Namira untuk menemukan keberadaan Dewangga. Namira cemas, pikirannya sulit untuk terus berpikir yang baik-baik saja. Pasti ada segelintir pikiran yang menggiring Namira khawatir. “Huh, harus kemana lagi aku mencari Pak Dewangga?” tanya Namira sambil berjalan masuk ke dalam lift. Namira memutuskan untuk pergi dari hotel tempat Dewangga tinggal. Sebab, tidak ada yang bisa ia temui di sana. Petugas yang bekerja pun mengatakan jika selama Dewangga pergi, tidak ada seseorang yang datang kecuali Namira. “Pak Dewangga, ada apa sih sebenarnya?”Pintu lift terbuka lebar, Namira berniat mendahului seseorang yang akan masuk ke dalam lift. Ketika ia menegakkan kepala, wajah itu tidak asing di
Perseteruan antara Namira dan Aidan belum juga usai. Aidan selalu mendesak Namira untuk mengakui jika keputusan berpisah mereka adalah kesalahan Namira. Padahal, semua berawal dari pengkhianatan Aidan. Namira tidak akan meninggalkan hubungan yang sudah ia bangun sejak lama jika Aidan masih dengan kesetiaannya. Namira juga akan berjuang demi mendapatkan restu orangtua Aidan. Semua badai yang sedang dialami hubungan Namira dan Aidan, mau Namira lewati. Ia berjuang sekeras yang ia bisa. Sayangnya, Aidan tidak melakukan hal yang sama. Aidan justru membuang kesetiaan yang menjadi tumpu dari hubungan mereka. Hubungannya sudah hancur, karena pengkhianatan yang terlihat oleh mata kepala Namira sendiri. Aidan kini telah bangkit dari kandasnya hubungannya dengan Namira. Tetapi, Namira masih belum sepenuhnya lupa. Masih ada sisa rasa yang menghantui Namira hingga saat ini.“Selamat pagi!” sapa Dewangga yang baru saja masuk ke area ruang karyawan. Semua karyawan menoleh ke arah sumber suara yang
Anggara menarik kursi yang ada di hadapan Dewangga. Sebelum Dewangga mempersilakan, Anggara sudah siap sedia menghadap bos yang sedang sibuk dengan setumpuk berkas di depannya. Belum ada obrolan sama sekali selama beberapa saat. Anggara membiarkan Dewangga menyelesaikan satu berkas yang sedang ia periksa. “Udah?” tanya Anggara singkat setelah Dewangga menutup satu berkas dan meletakkan ke tumpukan lain. Dewangga melihat ke arah Anggara dan siap untuk memulai obrolan lain. “Belum, masih banyak!” jawab Dewangga sambil menunjukkan tumpukan berkas di meja kerjanya. “Lain kali, kalau mau menghilang, selesaikan dulu kerjaannya! Hehehe.” Ledek Anggara disambut oleh gelak tawa renyah. “Diculik, bukan menghilang!” jawab Dewangga mengundang tawa yang lebih ramai di ruangan Dewangga.Tawa Dewangga dan Anggara membuat Namira sungkan untuk masuk ke dalam. Bahkan, mengetuk pintu ruangan Dewangga pun Namira memilih untuk mundur. “Ah, pasti di dalam sedang asyik ngobrol. Lebih baik aku nanti saja bic
“Selamat siang, semua!” Sapa Dewanti yang baru saja datang dan berhasil masuk ke ruangan Dewangga. Dewangga cukup terkejut dengan kedatangannya. Namira dan Anggara juga tidak menyangka Dewanti akan datang saat itu juga. “Siang!” jawab Anggara tidak ingin membuat Dewanti sedih karena tidak ada yang membalas sapaannya. “Udah pada makan siang? Aku bawa banyak makanan!” kata Dewanti sembari menunjukkan tentengannya. “Wahh! Pasti enak sekali!” seru Anggara yang sejak tadi mengajak Dewanti ngobrol lebih dulu. “Ayo kita makan!” ajak Dewanti tanpa melihat situasi yang di ruangan Dewangga. Padahal Dewangga baru saja ingin mengadakan rapat intern bersama Namira. “Dewangga, ayo makan! Ini sudah waktunya makan siang!” ajak Dewanti. Perhatian Anggara dan Namira memusat ke Dewanti. “Siapa dia? Sepertinya gue udah pernah bertemu dengannya sebelum ini. Tapi dimana, ya? Dan siapa dia?” batin Namira yang terus bersuara dalam hati. Ia mengingat tentang Dewanti. Tatapannya seperti tidak asing. “Hai, kamu