Hatinya berdebar, perasaannya tidak tenang. Gelisah, khawatir, dan cemas semua campur jadi satu. Pun dibalik itu semua, masih ada perasaan sungkan dan ragu. Takut jika keputusannya kali ini ternyata salah dan membuat masalah. “Masuk atau engga, ya?” Namira masih terus tidak percaya diri pada pilihannya. Padahal ia sudah sampai di hotel tempat Dewangga tinggal saat ini. Namun, kakinya berat untuk langsung melangkah ke kamar Dewangga. “Kalau ada apa-apa sama Pak Dewangga gimana, ya?” Kuku jarinya menjadi korban kegalauannya saat itu. Tidak ada yang bisa ia ajak diskusi tentang hal ini. “Sudahlah, aku harus profesional!” ucapnya lalu keluar dari mobil dan segera menuju ke lantai dimana kamar Dewangga berada.Namira menebar senyum ke beberapa petugas kebersihan hotel. Meski hatinya sedang tidak karuan, ia tetap berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan orang lain. Tombol lift sudah ia tekan sesuai dengan tujuannya. Namira hanya tinggal menunggu lift itu mengantarkannya ke lantai kam
“Dimana Pak Dewangga? Kami sudah menunggu cukup lama di tempat pertemuan. Tapi, sampai saat ini tidak ada kabar. Bahkan sekretaris Pak Dewangga saja tidak bisa dihubungi!” protes salah satu klien Dewangga yang harusnya saat itu sedang berbincang mengenai bisnis bersama Dewangga di tempat yang sudah disepakati. Sayangnya, Dewangga justru tidak ada kabar. Namira pun tidak tahu keberadaan Dewangga sekarang. Helaan Namira barusan untuk menenangkan dirinya, sebelum ia menerima komplain apapun dari klien bosnya itu. “Selamat siang, Pak. Perkenalkan saya Namira,” ucap Namira menyambut beberapa tamu yang sudah berada di ruangan Dewangga. “Siang. Anda dengan siapa?” tanya beliau. Namira tetap dengan senyum manis dan tutur lembutnya. “Saya Namira, sekretaris pribadi Bapak Dewangga,” jawab Namira tenang.“Oh Anda sekretaris Pak Dewangga? Lalu, bagaimana tanggung jawabnya ini? Kami sudah menunggu cukup lama, tapi kami dibiarkan tanpa kabar,” ujarnya kembali melampiaskan kekesalan karena Dewangga
Permasalahan hari ini cukup menguras energi dan pikiran Namira. Dari pagi hingga langit sudah menunjukkan kegelapan, Namira masih terus dihantui dengan perasaan gundah gulananya. Ia harus memikirkan cara agar Namira dan Dewangga tidak kehilangan kepercayaan dari klien. Pun Namira juga harus mencari keberadaan Dewangga. Rasa penasaran itu juga diiringi khawatir dan cemas. Tidak mungkin Namira bersikap acuh kepada bosnya sendiri. Apalagi, Dewangga selalu bersikap baik. Bahkan sangat baik kepada Namira. Seluruh perhatian yang diberikan kepada Namira begitu tulus. Hal ini yang membuat pikiran Namira hari ini begitu penuh. “Pak Dewangga, dimana sih Bapak sebenarnya? Kenapa tidak ada kabar? Kenapa tidak ada yang bisa saya hubungi?”Pertanyaan yang barusan Namira lontarkan mengiringi tangannya menutup pintu mobil dengan lesu. Energinya seperti terkuras. Namira menjadi lemas juga tidak bersemangat sejak tadi pagi. Sejak ia tahu Dewangga menghilang tanpa meninggalkan kabar apapun. “Nggak perna
“Kalau ada apa-apa yang terjadi sama kamu, jangan sungkan beritahu saya. Saya nggak mau kamu kenapa-kenapa. Ingat! Kamu adalah tanggung jawab saya.” Suara laki-laki itu begitu meneduhkan. Tidak begitu lantang, namun terdengar tegas dan berwibawa. Nada rendahnya membuat wajah ikut tersenyum. Seolah memberi isyarat jika kalimat dan suara itu berhasil menggetarkan hati juga perasaan. “Jangan sakit lagi, ya!” Senyuman kembali merekah. Kini lebih lebar lagi. Namira begitu bahagia mendengar perhatian dari seseorang yang saat ini cukup berarti di hidupnya. “Terima kasih, Pak,” ucap Namira setelah diam memahami perhatian yang diberikan oleh Dewangga, bosnya sendiri. Tangan Namira ingin meraih wajah Dewangga. Ia ingin membelai pipi kanan dan kiri milik Dewangga, sebagai tanda terima kasih atas perhatian yang telah Dewangga berikan.Namun, entah mengapa tangan Namira sulit sekali meraih wajah Dewangga. Setiap ia ingin menyentuhnya, wajah Dewangga seolah menjauh dari Namira. Lama kelamaan Dewang
Pertikaian dengan Airin berakhir. Namira dan Nimas lebih memilih menjaga mental mereka agar tidak meledakkan emosi. Namira dan Nimas meninggalkan tempat makan siang mereka yang sudah sengaja mereka pesan demi tidak lagi berdebat dengan Airin. Sang pelopor gosip di kantor. Namira masih terus dengan kesabarannya yang entah kapan akan surut juga jika Airin terus menekan Namira dengan sejumlah tuduhan. Sedangkan Nimas, selalu menggebu membela sahabatnya. Ia tidak akan terima jika Namira terus dijadikan bahan gosip murahan kepada seluruh karyawan kantor. Namun, Airin tidak akan berhenti di situ saja. Usahanya untuk mendapatkan berita terbaru selalu besar. Tidak pernah menyerah demi menyenangkan nafsunya.“Aku nggak bisa diam saja seperti ini. Aku juga tidak mau terjadi sesuatu pada Pak Dewangga. Mungkin sebaiknya aku ke hotel Pak Dewangga lagi,” kata Namira sembari membereskan barang-barangnya sebelum pergi dari kantor karena jam kerja sudah selesai. Biasanya, Namira akan lebih terlambat p
Pencarian kesekian yang masih belum membuahkan hasil. Namira belum mendapat kabar apapun dari Dewangga. Sejak hilang beberapa hari lalu, Dewangga sama sekali tidak bisa dihubungi. Kamar hotelnya kosong, nomornya tidak aktif, bahkan sahabat terdekatnya Dewangga pun menghilang. Segala yang terjadi menyulitkan Namira untuk menemukan keberadaan Dewangga. Namira cemas, pikirannya sulit untuk terus berpikir yang baik-baik saja. Pasti ada segelintir pikiran yang menggiring Namira khawatir. “Huh, harus kemana lagi aku mencari Pak Dewangga?” tanya Namira sambil berjalan masuk ke dalam lift. Namira memutuskan untuk pergi dari hotel tempat Dewangga tinggal. Sebab, tidak ada yang bisa ia temui di sana. Petugas yang bekerja pun mengatakan jika selama Dewangga pergi, tidak ada seseorang yang datang kecuali Namira. “Pak Dewangga, ada apa sih sebenarnya?”Pintu lift terbuka lebar, Namira berniat mendahului seseorang yang akan masuk ke dalam lift. Ketika ia menegakkan kepala, wajah itu tidak asing di
Perseteruan antara Namira dan Aidan belum juga usai. Aidan selalu mendesak Namira untuk mengakui jika keputusan berpisah mereka adalah kesalahan Namira. Padahal, semua berawal dari pengkhianatan Aidan. Namira tidak akan meninggalkan hubungan yang sudah ia bangun sejak lama jika Aidan masih dengan kesetiaannya. Namira juga akan berjuang demi mendapatkan restu orangtua Aidan. Semua badai yang sedang dialami hubungan Namira dan Aidan, mau Namira lewati. Ia berjuang sekeras yang ia bisa. Sayangnya, Aidan tidak melakukan hal yang sama. Aidan justru membuang kesetiaan yang menjadi tumpu dari hubungan mereka. Hubungannya sudah hancur, karena pengkhianatan yang terlihat oleh mata kepala Namira sendiri. Aidan kini telah bangkit dari kandasnya hubungannya dengan Namira. Tetapi, Namira masih belum sepenuhnya lupa. Masih ada sisa rasa yang menghantui Namira hingga saat ini.“Selamat pagi!” sapa Dewangga yang baru saja masuk ke area ruang karyawan. Semua karyawan menoleh ke arah sumber suara yang
Anggara menarik kursi yang ada di hadapan Dewangga. Sebelum Dewangga mempersilakan, Anggara sudah siap sedia menghadap bos yang sedang sibuk dengan setumpuk berkas di depannya. Belum ada obrolan sama sekali selama beberapa saat. Anggara membiarkan Dewangga menyelesaikan satu berkas yang sedang ia periksa. “Udah?” tanya Anggara singkat setelah Dewangga menutup satu berkas dan meletakkan ke tumpukan lain. Dewangga melihat ke arah Anggara dan siap untuk memulai obrolan lain. “Belum, masih banyak!” jawab Dewangga sambil menunjukkan tumpukan berkas di meja kerjanya. “Lain kali, kalau mau menghilang, selesaikan dulu kerjaannya! Hehehe.” Ledek Anggara disambut oleh gelak tawa renyah. “Diculik, bukan menghilang!” jawab Dewangga mengundang tawa yang lebih ramai di ruangan Dewangga.Tawa Dewangga dan Anggara membuat Namira sungkan untuk masuk ke dalam. Bahkan, mengetuk pintu ruangan Dewangga pun Namira memilih untuk mundur. “Ah, pasti di dalam sedang asyik ngobrol. Lebih baik aku nanti saja bic
Para pegawai Dewangga kini kembali menjalani rutinitas seperti biasanya. Meski telah dihadang oleh berbagai pekerjaan yang menumpuk di meja kerja masing-masing, suasana hati mereka tetap masih terbawa ceria. Hasil dari staycation tiba-tiba yang diadakan oleh Dewanti. Meski sedikit lancang karena tak minta persetujuan dari Dewangga, Dewanti ternyata berhasil membahagiakan pekerja di kantor Dewangga. Hati Dewanti semakin besar. Ia merasa dirinya akan memenangkan hati semua orang. “Seru banget ya, kemarin! Andai aja tiap bulan ada staycation, kita pasti bakal betah kerja di sini. Walaupun lembur, banyak kerjaan, sering kena marah, tapi kalau ada acara kayak kemarin sih gue betah,” celetuk Ailin dengan geng gosipnya itu. Nimas datang mendengar ocehan Ailin yang cukup kencang hingga bisa didengar meski belum sampai ke meja kerjanya.“Pagi, Nimas!” sapa Ailin iseng mendekati Nimas. Wajah Ailin tidak mencerminkan keceriaan sama sekali. Wajahnya lecek seperti pakaian yang masih kusut karena b
“Semua itu karena kesalahan Papa Dewangga. Beliau yang membuat perusahaan Dewangga hancur.” Anggara menceritakan bagaimana perjalanan kehidupan Dewangga sebelum hadirnya Namira. Dewangga sudah berjuang sejak lama. Namun, keringatnya tak ada yang melihat. Semua menilai bahwa Dewangga hanya mampu seperti sekarang. “Apa yang membuat hutang?” Namira bertanya terus dengan detail. Ia ingin tahu lebih dalam lagi tentang seseorang yang saat itu masih bertengger di hatinya. “Hutang,” jawab Anggara lalu menoleh ke arah Namira seolah memberi garis bawah. “Jadi...” “Iya, pertengkaran Dewangga dan Papanya bermula dari hutang perusahaan. Dewangga sudah susah payah membangun perusahaan itu, tetapi, Papanya justru menghancurkan sekejap dengan hutang yang menumpuk,” jelas Anggara lagi. “Kepergian dan Dewangga bukan tanpa alasan. Tapi, karena dengan hal itu Dewangga bisa damai dengan keadaan.”Selama ini diamnya Dewangga menyimpan banyak sekali luka. Dingin sikapnya melampiaskan segala kecewa yang seja
Akhir pekan ajaib bagi para pegawai kantor Dewangga. Untuk pertama kalinya, mereka bisa merasakan liburan bersama tanpa harus pusing dengan biaya atau pun lainnya. Mereka datang dengan outfit terbaik masing-masing. “Pasti bakalan seru banget!” celetuk Ailin dengan penampilannya yang begitu mencolok. Ailin juga geng gosipnya turun dari mobil, masuk ke villa yang sudah Dewanti sewa untuk liburan pegawai kantor calon suaminya. “Nanti fotoin gue disetiap sudut villa, ya!” pinta Ailin kepada salah satu temannya. Temannya hanya mengangguk lalu terus berjalan, karena sudah tidak sabar mengetahui isi di dalam villa. “Hai semua!” sapa Dewanti. Ia bersama Dewangga dan Anggara sudah lebih dulu sampai di villa. “Hai!” balas karyawan yang baru saja sampai di villa.Tangan Dewanti terlihat menggandeng Dewangga. Karena merasa tidak nyaman, Dewangga berusaha melepas gandengan tangan itu. Ada seseorang yang Dewangga cari, dari tatapan juga gerak tubuhnya menandakan ia sedang menanti. “Sudah datang sem
“Ada yang luka?” Namira masuk membawa setumpuk berkas. Tetapi, hal pertama yang ia tanyakan bukanlah tentang pekerjaan. Namira dan Dewangga hanya bisa saling menatap. Banyak sekali perasaan yang ingin mereka tumpahkan satu sama lain. Sayangnya, saat itu waktu dan keadaannya nya tak mendukung mereka menyuarakan isi hati masing-masing. “Ada apa, Namira?” Dewangga memulai obrolan setelah keheningan yang panjang. “Ada beberapa berkas yang harus diperiksa juga ditandangani,” jawab Namira lalu ia duduk di depan meja kerja Dewangga. Dewangga masih tidak percaya Namira masuk ke ruangannya ketika ia sedang menjadi sosok tak waras karena cinta. “Bukan itu. Tadi apa yang kamu tanya saat pertama masuk ke ruangan saya?” Dewangga ingin mendengar lagi pertanyaan dari Namira tadi. Rasanya ada secuil perhatian dari Namira untuk Dewangga.Tangan Dewangga merah. Rasa sakitnya tak ia hiraukan. Biar mengalir begitu saja. “Apa ada yang luka?” Namira mengulang sesuai permintaan Dewangga. “Sejak kapan kamu a
“Bapak sengaja mau mencelakai saya? Apa Bapak belum puas sudah melukai perasaan saya?” pertanyaan yang sungguh menggores lubuk hati. “Saya salah apa, Pak? Bapak tega sekali melakukan ini kepada saya,” sambung Namira. “Namira, tenang dulu. Saya bisa jelaskan semuanya. Kamu salah paham,” pinta Dewangga, ingin mendekat ke arah Namira tetapi Namira menolak. “Tolong tetap di situ saja,” perintah Namira untuk Dewangga yang hampir berpindah tempat ke samping Namira. “Saya tahu kejadian itu, tapi bukan berarti saya yang melakukan itu, Namira. Saya nggak mungkin tega melukai orang yang saya cintai,” jelas Dewangga yang tak mau didengar oleh Namira. “Lalu apa?” “Saya mengutus seorang menjadi mata-mata saya,” aku Dewangga semakin membuat Namira tak habis pikir.“Untuk apa?” Namira duduk, mencoba tidak membesarkan masalah yang sebenarnya menurut Namira ini adalah masalah besar. “Untuk jagain kamu,” jawab Dewangga. Suara ketukan pintu terdengar dari dalam. Namira panik. Dewangga langsung mendekat
Hubungan yang sudah diselesaikan ternyata bukan berarti berakhir. Seperti hubungan Namira dan Aidan yang kembali terjalin. Mungkin masih ada sisa rasa yang dulu mereka miliki, atau hanya sekedar ingin mengulang lembar yang tak mereka temukan pada orang lain. “Kita salah nggak sih?” tanya Namira disuatu malam ketika Namira dan Aidan sedang makan malam bersama. “Kenapa salah?” “Salah karena memulai hubungan yang pernah berakhir.” “Kalau kamu pernah dengar, hubungan lama yang dimulai lagi seperti halnya membaca novel yang sama berulang kali, menurut aku itu hanya sebuah opini. Anggapan yang belum tentu terjadi,” ungkap Aidan. “Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Yang kita bisa hanya memperbaiki hari ini untuk masa depan itu,” tambah Aidan.“Memangnya kamu setuju?” Aidan kini berbalik tanya ke Namira. “Emm.. enggak juga sih,” jawab Namira masih belum yakin akan pendapat itu. Tetapi ia juga tak yakin hubungannya akan lebih baik dari sebelumnya. “Menurutku, semua oran
Setelah malam yang menyebalkan terlewati dengan tidur, kini Namira siap kembali menyongsong pagi untuk bekerja. Pakaiannya sudah rapi. Namira selalu terlihat fashionable dalam setiap hari kerjanya. Baginya, itu adalah salah satu cara menghargai dirinya sendiri juga menambah semangat menjalani kesehariannya yang padat. “Apa ini?” katanya panik ketika menemukan sebuah kotak di depan pintu rumahnya. “Perasaan gue nggak pesan apa pun, kenapa ada paket yang datang?” Namira heran dengan kotak coklat misterius itu. “Ambil nggak ya?” tanya Namira bimbang. “Tapi kalau gue ambil terus isinya bahaya gimana?” Namira dilema. Sudah menunduk untuk mengambil paket itu, tetapi gagal karena pikirannya yang buruk muncul. “Apa mungkin dari Papa dan Mama? Kenapa nggak ada yang kabarin gue kalau mau kirim paket?” Namira terus bertanya-tanya sendiri.“Gue tinggal aja deh. Nanti gue buka pulang kerja,” ucap Namira menyingkirkan kotak coklat itu ke area pinggir pintu rumahnya. “Gue harus cari asisten rumah ta
Aidan meraih tangan Namira, ia menahan sang mantan kekasih agar tidak mendekati Dewangga. “Kenapa datang ke sini? Ada perlu apa lagi?” tanya Aidan seolah Aidan pemilik Namira saat itu. Namira tak menyangka Aidan akan bersikap demikian. Ia pun heran, mengapa tubuhnya memberi respon sesuai permintaan Aidan. Ia berhenti dari langkahnya mendekat ke arah Dewangga dan membiarkan Aidan yang mengambil alih. “Lo siapa? Gue ke sini ada perlu dengan pemilik rumah,” jawab Dewangga tetap ngotot masuk ke dalam rumah Namira. Malam itu, Namira membuka lebar pintu rumahnya, sebab, ia hanya berdua bersama Aidan di ruang tamu. Tak ingin ada pikiran yang buruk, Namira memilih untuk membuka lebar pintu rumahnya.“Namira, kenapa kamu biarkan dia datang ke sini lagi? Kenapa kamu masih terima dia?” Dewangga kecewa karena Namira menerima Aidan dengan baik. Namira hanya menghela napas. Tak memberi jawaban apa pun, padahal Dewangga menanti Namira membuka suara dan memberi penjelasan. “Tunggu!” Aidan menghadang
Dewangga turun dari mobilnya. Ia melihat Namira sedang duduk ditemani oleh Aidan. Ketika Dewangga turun, Namira berusaha menjauh dari Aidan. “Ngapain Namira sama laki-laki itu?” Dewangga kesal meski tak biasa ia utarakan langsung. Kemudian, pintu sebelah kiri mobil Dewangga terbuka. Namira melihat Dewanti turun dari sana. Dewanti terlihat sangat bahagia. “Aku kira kamu sendiri,” batin Namira. Namira langsung mengabaikan rasa tidak enaknya karena sedang berduaan dengan Aidan. Ia mendekat ke arah Aidan dan meminta Aidan untuk membantunya mengobati rasa sakit di kepalanya secara tiba-tiba. Aidan pun terkejut atas sikap Namira barusan. Tanpa basa basi atau pertanyaan lain, Aidan meraih tangan Namira untuk lebih dekat dengannya dan melihat di kepala Namira, apakah ada luka serius.“Sebelah mana yang sakit, Ra? Apa perlu kita ke dokter? Aku takut terjadi sesuatu,” kata Aidan cemas Namira mengeluh sakit pada kepalanya. “Emm, coba tolong kamu periksa,” pinta Namira. Ucapannya mengarah ke Aida