Pandangannya mulai gelap. Kepala pun terasa berat. Entah terlalu banyak beban pekerjaan atau ada hal lain. Tangan Namira langsung meraih meja di ruangan Dewangga. Ia pejamkan matanya sejenak, menunggu semua membaik. Beberapa detik, Namira menundukkan kepala, mencengkeram erat ujung meja yang ternyata sedikit memberi luka di bagian telapak tangannya. Namira masih berusaha berdiri. Meski kedua kakinya mulai gemetar, tak kuat lagi menopang tubuhnya yang masih tegar di ruangan Dewangga. “Awww,” keluh Namira sendirian. Di ruangan kerja Dewangga sudah tidak ada siapapun. Semua orang yang tadi datang sedang sibuk atas perintah yang Namira berikan. Beberapa detik kemudian, tangannya mulai terlepas, tubuhnya hampir saja tergeletak di lantai.“Namira!” tangan Dewangga meraih tubuh Namira yang hampir terbaring di lantai ruang kerjanya. “Kamu kenapa?” suara Dewangga terdengar samar. Namira belum bisa penuh membuka matanya. “Namira,” Dewangga merenggut badan Namira dan mengangkat ke sofa. Namira s
Dewangga tidak membiarkan Namira bangun dari sandarannya. Ia tahu, sekretarisnya sedang butuh istirahat. Maka, ia akan membiarkan terus berbaring di sofa ruang kerjanya. Semua yang terjadi pada Namira hari ini juga salah satu kesalahannya. Dewangga menyadari dan menyesali. “Hai! Kenapa nggak kasih kabar dulu kalau sudah sampai?” sapa Dewangga kepada tamunya. Tamu Dewangga merasa sedikit canggung karena keberadaan Namira. Sementara itu, Airin masih ingin terus di sana dan melihat apa saja yang akan terjadi di dalam ruangan Dewangga. “Airin, terima kasih sudah mengantarkan tamu saya ke sini. Sekarang, kamu bisa kembali bekerja!” ujar Dewangga mengusir Airin secara halus. Wajah Airin langsung berubah 180 derajat. Ia kesal dan merasa tidak dianggap.“Huh! Liat saja, ya. Nanti berita ini akan kesebar sampai pelosok kantor!” gumam Airin melampiaskan kekesalannya karena diusir oleh Dewangga. “Terima kasih!” ucap tamu Dewangga kepada Airin. Dengan terpaksa Airin pun keluar dan meninggalkan De
Badan Namira masih belum fit sepenuhnya. Terkadang lemas dan sakit kepala menyerang Namira tiba-tiba. Namun, karena masih banyak pekerjaan yang harus Namira kerjakan, ia belum bisa mengistirahatkan tubuhnya barang sejenak. “Saya siapkan makan siang di ruang kerja bapak atau bapak ingin makan siang di restoran?” tanya Namira memastikan keinginan bosnya untuk makan siang. “Di ruangan saya saja,” jawab Dewangga yakin. Namira mengangguk tanda mengerti. Anggara juga tidak keberatan dengan keputusan Dewangga untuk makan siang di kantor. “Baik, saya akan segera siapkan,” ucap Namira dengan tubuh yang berkeringat karena menahan demam, juga lemas yang saat itu sedang melandanya. “Terima kasih, Namira!” ujar Anggara sebelum Namira keluar dari ruangan.Lagi-lagi, Namira hanya memberi senyum tipis dan anggukan, ia tidak banyak berkomentar karena tidak ingin ada anggapan jika Namira sedang cari muka atau cari perhatian. Tangannya masih memegang daun pintu ruangan Dewangga. Jika dilihat seksama, ta
“Namira, apa kamu baik-baik saja?” tanya Dewangga yang tiba-tiba sudah berada di depan Namira. Bos Namira itu sengaja meninggalkan tamunya sejenak untuk melihat keadaan Namira. Ia terlalu gelisah dan akhirnya memutuskan untuk memantau keadaan Namira sendiri. Namira terbangun, ia kira suara Dewangga hanya dalam mimpinya. “Pak Dewangga?” Namira begitu terkejut melihat sosok Bosnya sudah berada di depannya. Ia salah tingkah, mencoba bangun dari rebahannya namun ternyata tubuhnya masih lemah. “Biarkan saja tubuh kamu rebahan. Jangan dipaksa,” ujar Dewangga sedikit gugup karena takut banyak yang kepo dengan tingkahnya. “Ada yang bisa saya kerjakan, Pak? Emm, atau makanannya kurang, ya? Atau tidak enak? Atau....” Namira terus mengeluarkan kalimat khawatir atas apa yang dikerjakan OB. “Sssst, tenang saja. Semua baik-baik saja,” jawab Dewangga bijak.“Sepertinya kamu demam tinggi. Saya antar ke rumah sakit, ya?” Dewangga memegang kening Namira. Suhu tubuhnya memang terasa sangat panas. Apalag
Suasana kantor terasa ada yang berbeda. Entah karena memang ada yang berubah atau hanya perasaan Namira saja. Sejak kejadian ia dibopong oleh Dewangga, Namira merasa dirinya seperti anak baru. Ia takut menghadapi banyak orang yang berada di kantornya. Padahal, ia salah satu karyawan yang paling senior. “Hmm, gue kayak nggak siap menghadapi hari ini,” ujar Namira lirih. Setelah ia sembuh dari demam dan rasa lemas berlebihan, ia kembali ke kantor. Banyak pekerjaan Dewangga yang tertunda pun kacau. Ia merasa bersalah pastinya, tetapi, ini semua juga bukan keinginan Namira. “Semoga hari ini berjalan dengan baik. Tidak ada mulut jahat yang sengaja membuatku merasa tidak nyaman masuk ke kantor,” ucapnya lalu memantapkan hati untuk melangkah ke dalam kantor. “Kak Namira!” panggil seseorang dari arah samping. Namira sudah tidak asing lagi dengan suara itu. Ia langsung menoleh dan berniat memberi sapaan kepada Laras. “Kak!” panggil Laras lagi sembari melambaikan tangannya karena Namira belum m
Sudah hampir menjelang makan siang, namun, Dewangga masih belum terlihat di kantor. Namira memiliki waktu luang untuk mengerjakan pekerjaan lainnya selagi Dewangga belum datang. Tetapi, hal ini juga menjadi beban pikirannya. Dimana Dewangga, sedang apa, kenapa, dan bagaimana keadaan Dewangga selalu menempel di pikiran Namira hari itu. Dari pagi hingga hampir makan siang, Namira selalu bertengkar dengan pikirannya tentang Dewangga. Ia sudah bolak balik masuk ke dalam ruangan Dewangga, memastikan semua hal yang Dewangga mau sudah disiapkan. Tetap saja, bosnya itu belum duduk di kursi kerjanya dengan gaya cool yang membuat hampir seluruh karyawan perempuannya mati kutu jika ditatap. “Untung aja hari ini nggak ada meeting pagi sama klien,” ujar Namira masih terus gelisah.Tangannya luwes berada di atas mouse, lalu, tatapannya serius menatap layar laptop di depannya. Sayangnya, pikiran Namira tidak ada di sana. Pekerjaan yang sedang ia selesaikan pun akhirnya melambat. “Kemana ya Pak Dewan
Hatinya berdebar, perasaannya tidak tenang. Gelisah, khawatir, dan cemas semua campur jadi satu. Pun dibalik itu semua, masih ada perasaan sungkan dan ragu. Takut jika keputusannya kali ini ternyata salah dan membuat masalah. “Masuk atau engga, ya?” Namira masih terus tidak percaya diri pada pilihannya. Padahal ia sudah sampai di hotel tempat Dewangga tinggal saat ini. Namun, kakinya berat untuk langsung melangkah ke kamar Dewangga. “Kalau ada apa-apa sama Pak Dewangga gimana, ya?” Kuku jarinya menjadi korban kegalauannya saat itu. Tidak ada yang bisa ia ajak diskusi tentang hal ini. “Sudahlah, aku harus profesional!” ucapnya lalu keluar dari mobil dan segera menuju ke lantai dimana kamar Dewangga berada.Namira menebar senyum ke beberapa petugas kebersihan hotel. Meski hatinya sedang tidak karuan, ia tetap berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan orang lain. Tombol lift sudah ia tekan sesuai dengan tujuannya. Namira hanya tinggal menunggu lift itu mengantarkannya ke lantai kam
“Dimana Pak Dewangga? Kami sudah menunggu cukup lama di tempat pertemuan. Tapi, sampai saat ini tidak ada kabar. Bahkan sekretaris Pak Dewangga saja tidak bisa dihubungi!” protes salah satu klien Dewangga yang harusnya saat itu sedang berbincang mengenai bisnis bersama Dewangga di tempat yang sudah disepakati. Sayangnya, Dewangga justru tidak ada kabar. Namira pun tidak tahu keberadaan Dewangga sekarang. Helaan Namira barusan untuk menenangkan dirinya, sebelum ia menerima komplain apapun dari klien bosnya itu. “Selamat siang, Pak. Perkenalkan saya Namira,” ucap Namira menyambut beberapa tamu yang sudah berada di ruangan Dewangga. “Siang. Anda dengan siapa?” tanya beliau. Namira tetap dengan senyum manis dan tutur lembutnya. “Saya Namira, sekretaris pribadi Bapak Dewangga,” jawab Namira tenang.“Oh Anda sekretaris Pak Dewangga? Lalu, bagaimana tanggung jawabnya ini? Kami sudah menunggu cukup lama, tapi kami dibiarkan tanpa kabar,” ujarnya kembali melampiaskan kekesalan karena Dewangga
Para pegawai Dewangga kini kembali menjalani rutinitas seperti biasanya. Meski telah dihadang oleh berbagai pekerjaan yang menumpuk di meja kerja masing-masing, suasana hati mereka tetap masih terbawa ceria. Hasil dari staycation tiba-tiba yang diadakan oleh Dewanti. Meski sedikit lancang karena tak minta persetujuan dari Dewangga, Dewanti ternyata berhasil membahagiakan pekerja di kantor Dewangga. Hati Dewanti semakin besar. Ia merasa dirinya akan memenangkan hati semua orang. “Seru banget ya, kemarin! Andai aja tiap bulan ada staycation, kita pasti bakal betah kerja di sini. Walaupun lembur, banyak kerjaan, sering kena marah, tapi kalau ada acara kayak kemarin sih gue betah,” celetuk Ailin dengan geng gosipnya itu. Nimas datang mendengar ocehan Ailin yang cukup kencang hingga bisa didengar meski belum sampai ke meja kerjanya.“Pagi, Nimas!” sapa Ailin iseng mendekati Nimas. Wajah Ailin tidak mencerminkan keceriaan sama sekali. Wajahnya lecek seperti pakaian yang masih kusut karena b
“Semua itu karena kesalahan Papa Dewangga. Beliau yang membuat perusahaan Dewangga hancur.” Anggara menceritakan bagaimana perjalanan kehidupan Dewangga sebelum hadirnya Namira. Dewangga sudah berjuang sejak lama. Namun, keringatnya tak ada yang melihat. Semua menilai bahwa Dewangga hanya mampu seperti sekarang. “Apa yang membuat hutang?” Namira bertanya terus dengan detail. Ia ingin tahu lebih dalam lagi tentang seseorang yang saat itu masih bertengger di hatinya. “Hutang,” jawab Anggara lalu menoleh ke arah Namira seolah memberi garis bawah. “Jadi...” “Iya, pertengkaran Dewangga dan Papanya bermula dari hutang perusahaan. Dewangga sudah susah payah membangun perusahaan itu, tetapi, Papanya justru menghancurkan sekejap dengan hutang yang menumpuk,” jelas Anggara lagi. “Kepergian dan Dewangga bukan tanpa alasan. Tapi, karena dengan hal itu Dewangga bisa damai dengan keadaan.”Selama ini diamnya Dewangga menyimpan banyak sekali luka. Dingin sikapnya melampiaskan segala kecewa yang seja
Akhir pekan ajaib bagi para pegawai kantor Dewangga. Untuk pertama kalinya, mereka bisa merasakan liburan bersama tanpa harus pusing dengan biaya atau pun lainnya. Mereka datang dengan outfit terbaik masing-masing. “Pasti bakalan seru banget!” celetuk Ailin dengan penampilannya yang begitu mencolok. Ailin juga geng gosipnya turun dari mobil, masuk ke villa yang sudah Dewanti sewa untuk liburan pegawai kantor calon suaminya. “Nanti fotoin gue disetiap sudut villa, ya!” pinta Ailin kepada salah satu temannya. Temannya hanya mengangguk lalu terus berjalan, karena sudah tidak sabar mengetahui isi di dalam villa. “Hai semua!” sapa Dewanti. Ia bersama Dewangga dan Anggara sudah lebih dulu sampai di villa. “Hai!” balas karyawan yang baru saja sampai di villa.Tangan Dewanti terlihat menggandeng Dewangga. Karena merasa tidak nyaman, Dewangga berusaha melepas gandengan tangan itu. Ada seseorang yang Dewangga cari, dari tatapan juga gerak tubuhnya menandakan ia sedang menanti. “Sudah datang sem
“Ada yang luka?” Namira masuk membawa setumpuk berkas. Tetapi, hal pertama yang ia tanyakan bukanlah tentang pekerjaan. Namira dan Dewangga hanya bisa saling menatap. Banyak sekali perasaan yang ingin mereka tumpahkan satu sama lain. Sayangnya, saat itu waktu dan keadaannya nya tak mendukung mereka menyuarakan isi hati masing-masing. “Ada apa, Namira?” Dewangga memulai obrolan setelah keheningan yang panjang. “Ada beberapa berkas yang harus diperiksa juga ditandangani,” jawab Namira lalu ia duduk di depan meja kerja Dewangga. Dewangga masih tidak percaya Namira masuk ke ruangannya ketika ia sedang menjadi sosok tak waras karena cinta. “Bukan itu. Tadi apa yang kamu tanya saat pertama masuk ke ruangan saya?” Dewangga ingin mendengar lagi pertanyaan dari Namira tadi. Rasanya ada secuil perhatian dari Namira untuk Dewangga.Tangan Dewangga merah. Rasa sakitnya tak ia hiraukan. Biar mengalir begitu saja. “Apa ada yang luka?” Namira mengulang sesuai permintaan Dewangga. “Sejak kapan kamu a
“Bapak sengaja mau mencelakai saya? Apa Bapak belum puas sudah melukai perasaan saya?” pertanyaan yang sungguh menggores lubuk hati. “Saya salah apa, Pak? Bapak tega sekali melakukan ini kepada saya,” sambung Namira. “Namira, tenang dulu. Saya bisa jelaskan semuanya. Kamu salah paham,” pinta Dewangga, ingin mendekat ke arah Namira tetapi Namira menolak. “Tolong tetap di situ saja,” perintah Namira untuk Dewangga yang hampir berpindah tempat ke samping Namira. “Saya tahu kejadian itu, tapi bukan berarti saya yang melakukan itu, Namira. Saya nggak mungkin tega melukai orang yang saya cintai,” jelas Dewangga yang tak mau didengar oleh Namira. “Lalu apa?” “Saya mengutus seorang menjadi mata-mata saya,” aku Dewangga semakin membuat Namira tak habis pikir.“Untuk apa?” Namira duduk, mencoba tidak membesarkan masalah yang sebenarnya menurut Namira ini adalah masalah besar. “Untuk jagain kamu,” jawab Dewangga. Suara ketukan pintu terdengar dari dalam. Namira panik. Dewangga langsung mendekat
Hubungan yang sudah diselesaikan ternyata bukan berarti berakhir. Seperti hubungan Namira dan Aidan yang kembali terjalin. Mungkin masih ada sisa rasa yang dulu mereka miliki, atau hanya sekedar ingin mengulang lembar yang tak mereka temukan pada orang lain. “Kita salah nggak sih?” tanya Namira disuatu malam ketika Namira dan Aidan sedang makan malam bersama. “Kenapa salah?” “Salah karena memulai hubungan yang pernah berakhir.” “Kalau kamu pernah dengar, hubungan lama yang dimulai lagi seperti halnya membaca novel yang sama berulang kali, menurut aku itu hanya sebuah opini. Anggapan yang belum tentu terjadi,” ungkap Aidan. “Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Yang kita bisa hanya memperbaiki hari ini untuk masa depan itu,” tambah Aidan.“Memangnya kamu setuju?” Aidan kini berbalik tanya ke Namira. “Emm.. enggak juga sih,” jawab Namira masih belum yakin akan pendapat itu. Tetapi ia juga tak yakin hubungannya akan lebih baik dari sebelumnya. “Menurutku, semua oran
Setelah malam yang menyebalkan terlewati dengan tidur, kini Namira siap kembali menyongsong pagi untuk bekerja. Pakaiannya sudah rapi. Namira selalu terlihat fashionable dalam setiap hari kerjanya. Baginya, itu adalah salah satu cara menghargai dirinya sendiri juga menambah semangat menjalani kesehariannya yang padat. “Apa ini?” katanya panik ketika menemukan sebuah kotak di depan pintu rumahnya. “Perasaan gue nggak pesan apa pun, kenapa ada paket yang datang?” Namira heran dengan kotak coklat misterius itu. “Ambil nggak ya?” tanya Namira bimbang. “Tapi kalau gue ambil terus isinya bahaya gimana?” Namira dilema. Sudah menunduk untuk mengambil paket itu, tetapi gagal karena pikirannya yang buruk muncul. “Apa mungkin dari Papa dan Mama? Kenapa nggak ada yang kabarin gue kalau mau kirim paket?” Namira terus bertanya-tanya sendiri.“Gue tinggal aja deh. Nanti gue buka pulang kerja,” ucap Namira menyingkirkan kotak coklat itu ke area pinggir pintu rumahnya. “Gue harus cari asisten rumah ta
Aidan meraih tangan Namira, ia menahan sang mantan kekasih agar tidak mendekati Dewangga. “Kenapa datang ke sini? Ada perlu apa lagi?” tanya Aidan seolah Aidan pemilik Namira saat itu. Namira tak menyangka Aidan akan bersikap demikian. Ia pun heran, mengapa tubuhnya memberi respon sesuai permintaan Aidan. Ia berhenti dari langkahnya mendekat ke arah Dewangga dan membiarkan Aidan yang mengambil alih. “Lo siapa? Gue ke sini ada perlu dengan pemilik rumah,” jawab Dewangga tetap ngotot masuk ke dalam rumah Namira. Malam itu, Namira membuka lebar pintu rumahnya, sebab, ia hanya berdua bersama Aidan di ruang tamu. Tak ingin ada pikiran yang buruk, Namira memilih untuk membuka lebar pintu rumahnya.“Namira, kenapa kamu biarkan dia datang ke sini lagi? Kenapa kamu masih terima dia?” Dewangga kecewa karena Namira menerima Aidan dengan baik. Namira hanya menghela napas. Tak memberi jawaban apa pun, padahal Dewangga menanti Namira membuka suara dan memberi penjelasan. “Tunggu!” Aidan menghadang
Dewangga turun dari mobilnya. Ia melihat Namira sedang duduk ditemani oleh Aidan. Ketika Dewangga turun, Namira berusaha menjauh dari Aidan. “Ngapain Namira sama laki-laki itu?” Dewangga kesal meski tak biasa ia utarakan langsung. Kemudian, pintu sebelah kiri mobil Dewangga terbuka. Namira melihat Dewanti turun dari sana. Dewanti terlihat sangat bahagia. “Aku kira kamu sendiri,” batin Namira. Namira langsung mengabaikan rasa tidak enaknya karena sedang berduaan dengan Aidan. Ia mendekat ke arah Aidan dan meminta Aidan untuk membantunya mengobati rasa sakit di kepalanya secara tiba-tiba. Aidan pun terkejut atas sikap Namira barusan. Tanpa basa basi atau pertanyaan lain, Aidan meraih tangan Namira untuk lebih dekat dengannya dan melihat di kepala Namira, apakah ada luka serius.“Sebelah mana yang sakit, Ra? Apa perlu kita ke dokter? Aku takut terjadi sesuatu,” kata Aidan cemas Namira mengeluh sakit pada kepalanya. “Emm, coba tolong kamu periksa,” pinta Namira. Ucapannya mengarah ke Aida