31 Martin terbangun karena bunyi alarm ponselnya. Pria berkaus merah, meraba-raba ke kiri untuk menggapai ponsel dan mematikan alarm. Martin memerhatikan sekeliling, lalu meraba bajunya sampai ke paha. Dia menghela napas lega, karena semua yang dialaminya ternyata hanya mimpi. Selama beberapa menit berikutnya Martin mengingat-ingat apa yang dijalaninya dalam mimpi. Meskipun hanya bunga tidur, tetapi semuanya seolah-olah nyata. Martin meremas-remas rambutnya yang mulai memanjang. Dia menimbang-nimbang sesaat dalam hati, sebelum memutuskan untuk merahasiakan hal itu dari siapa pun. Lelaki bermata sipit tersebut enggan menerangkan mimpinya pada Razman ataupun yang lainnya. Dia juga tidak mau menceritakan hal itu pada Nirwan, yang pastinya akan menyampaikan pada Hendri dan teman-temannya. Seruan sang mama dari luar menyadarkan Martin dari lamunan. Dia menyahut, sembari bangkit duduk. Martin menurunkan kaki ke lantai, lalu berdiri dan jalan ke toilet. Sekian menit berlalu, Martin te
32Kediaman Mulyadi malam itu terlihat ramai. Hampir semua tim pengejar hantu datang, untuk menjadi saksi acara baiat ketiga ajudan muda. Berbeda dengan Jauhari tempo hari, Yusuf, Aditya dan Harun terlihat lebih tenang. Mereka mendengarkan petuah Mulyadi dengan saksama. Sebelum maju bergantian untuk menuntaskan akad. Harun maju terlebih dahulu. Dia menjabat tangan Mulyadi dan mengikuti ucapan pria tua tersebut dengan fasih. "Bapak dengar, kamu mau dinas lama di luar negeri, Run," ujar Mulyadi sembari melepaskan tangan lelaki muda yang mengenakan baju koko hijau lumut. "Ya, Pak. InsyaAllah, awal September nanti berangkat," jawab Harun. "Dinas berapa lama?" "Dua tahun." "Pesan Bapak, sebelum berkendara, jangan lupa buka pakai jurus tiga, dua, dan tutup dengan jurus empat. Fungsinya untuk melindungimu selama berkendara, sekaligus memagarimu dari pandangan jahat orang lain." "Muhun, Pak." "Jaga istri dan anakmu baik-baik. Walaupun di sana kamu tugasnya tidak sendirian, tetap saja
33Konvoi tiga mobil itu tiba di jalur proyek yang telah ramai orang. Meskipun semua penjaga keamanan sudah memasang tali seputar area, tetap saja ada pengunjung yang bandel dan menerobos tali. Hendri dan kedua sopir lainnya memarkirkan kendaraan di dekat saung terbesar. Kemudian mereka turun dan jalan menyambangi Ridho, Seno dan Muchlis, yang sedang berbincang dengan Adang. Yuanna, Sinta dan Freya kompak mengembangkan payung hitam besar. Mereka bergabung dengan tim Hendri dan turut mendengarkan percakapan itu. "Sudah dicek semua gorong-gorongnya?" tanya Hendri."Ya, Pak. Dari ujung kilometer 0, sampai titik terakhir," jelas Ridho. "Sebelum muncul itu, apa ada yang lihat ularnya keluar dari mana?" "Enggak ada. Tiba-tiba nongol di dekat tiang itu," jelas Ridho sambil menunjuk tiang lampu yang berada di tengah-tengah selokan. "H, kita perlu ngulur jarak dengan goa," bisik Zein. "Hmm, garis lurus atau melintang?" tanya Hendri dengan suara pelan. "Lurus." Zein memicingkan mata unt
34Suasana di sekitar vila yang disewa Hendri, malam itu terlihat sepi. Lokasinya yang berada di bukit dan cukup jauh dari permukiman warga, menjadikan tempat itu terasa sunyi. Vila itu merupakan milik kepala desa di mana Maman tinggal. Saat dikabarkan akan disewa oleh bos HWZ, sang kepala desa langsung memerintahkan orang untuk membersihkan tempat itu, sekaligus menambah banyak kasur lipat dan bantal. Kala kelompok Hendri mendatangi kediaman kepala desa untuk mengambil kunci, pria tua tersebut terlihat semringah. Dia makin senang ketika Hendri menerangkan akan menyewa vilanya selama seminggu. Selepas isya, Maman datang bersama putranya, Fandi, dan Jajang. Mereka membawakan ransum buat kelompok tamu, yang sudah dipesan sejak beberapa hari lalu. "Kang, airnya bersih, teu?" tanya Maman, sesaat setelah duduk bersila di samping kanan Hendri. "Bersih, Mang. Kamar mandi, dapur dan kamar tidurnya juga bersih," jawab Hendri sembari membuka kotak makanan bagiannya. "Alhamdulillah. Ternya
35Hendri mengamati bagian dalam goa, yang sudah lebih terang dibandingkan sebelumnya. Tim Barry telah bekerja cepat memasang dua lampu sorot di kanan dan kiri mulut goa. Hendri menempelkan telapak tangan kanan ke batu di tengah-tengah tempat itu, yang menjadi penutup utama jalan goa. Hendri memejamkan mata, lalu melakukan jurus empat dalam benaknya. Hal serupa juga dilakukan Zein, Ubaid dan Bayu. Mereka berdiri berderet di samping kanan Hendri. Sedangkan yang lainnya sibuk memvideokan sekeliling. "Apa cuma aku yang merasa, kalau di sini, hawanya berat sekali?" tanya Jauhari. "Memang gitu, Ri. Bahkan, lebih kuat dari kemarin sore," jawab Aditya. "Andai batu-batu itu bisa digeser, aku pengen tahu dalamnya kayak apa," papar Muchlis. "Kayaknya sulit. Karena ini reruntuhan dari atas, kata Bang Zein," balas Ridho. Tiba-tiba terdengar bunyi benda-benda jatuh. Semua orang terdiam sambil menajamkan telinga masing-masing. Kala bunyi itu terdengar kembali, mereka serentak mengarahkan pan
36Yuanna jalan mondar-mandir sepanjang gudang besar. Dia benar-benar cemas, karena hingga jam 3 sore, Hendri dan ketiga rekannya belum juga keluar dari lorong waktu. Yuanna berulang kali berdoa agar akangnya bisa segera kembali. Dia tidak bisa membayangkan reaksi kedua orang tuanya dan juga Irshava, bila Hendri menghilang. Pekikan dari luar menyebabkan Yuanna bergegas membuka pintu gudang besar. Dia membulatkan mata ketika menyaksikan Zainal dan yang lainnya, tengah menarik sinar putih dari pohon besar di dekat gudang kecil. Yuanna bergegas mendekat, begitu juga dengan Sinta yang sejak tadi berada di gudang besar. Yuanna memerhatikan sekitar, di mana wajah para lelaki itu terlihat tegang. "Dek, bantu Freya buat membuka jalan!" titah Zainal sambil melirik Yuanna sekilas, sebelum pria berkaus hitam itu kembali menarik sinar putih. Tanpa menyahut, Yuanna bergegas menyambangi Freya yang tengah berdiri di depan pohon. Yuanna memasang kuda-kuda, kemudian dia menempelkan kedua telapak
37Nirwan terkejut kala membaca nama pemanggil di layar ponselnya. Pria berambut tebal terdiam sejenak, sebelum menghela napas berat dan mengembuskannya sekali waktu. Tidak ada cara lain yang bisa dilakukan Nirwan, kecuali mengangkat panggilan dari bosnya di Indonesia. Meskipun deg-degan, tetapi Nirwan memaksakan diri untuk menyapa sang penelepon dengan ucapan salam. "Waalaikumsalam," balas Wirya. "Posisi, di mana, Wan?" tanyanya. "Di rumah sakit, Ndan," jelas Nirwan sambil melirik seorang pria di ranjang pasien. "Martin, kan, yang dirawat?" "Ehm, ya." "Jelaskan semuanya. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Aku pasang speaker, supaya semua orang di sini bisa ikut mendengarksn ceritamu." Nirwan mendengkus pelan. Kemudian dia berujar, "Koko Martin nggak bangun-bangun dari subuh, waktu aku masuk ke kamarnya buat matiin alarm hape. Aku guncang-guncang badannya, tetap nggak bangun." "Aku cek napas dan denyut nadinya, masih ada, tapi lemah. Aku segera keluar kamar untuk menerangkan itu
38Hendri mengusap-usap rambut adiknya yang tengah sesenggukan di dadanya. Hendri tidak sanggup memikirkan kats-kata untuk menghibur Yuanna, yang sedang menangisi Martin di seberang lautan. Hendri berpikir keras, sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk menelepon Arsyad dan menceritakan kondisi Martin, serta peristiwa yang dialaminya kemarin. Kendatipun terkejut, tetapi Arsyad berusaha untuk tetap tenang. Lelaki tua berkumis tidak mau Zainab jadi panik. Arsyad mendengarkan penuturan putra sulungnya dengan saksama, dan tidak menyela sedikit pun. "Menurut Bapak, gimana?" tanya Hendri, setelah berhenti mengoceh. "Bapak rasa, lebih baik kalian pulang dulu, Kang. Kita rembukkan sama-sama dengan tenang," jawab Arsyad. "Tapi, aku dan yang lainnya berencana masuk lagi ke lorong waktu." "Buat apa?" "Nyari Martin." "Bapak yakin, dia dalam kondisi baik. Jadi nggak perlu dicari. Nanti akan muncul sendiri," ungkap Arsyad. "Kalian pulang dan kita bicarakan ini sama Pak Mulyadi. Mungkin be
51Kamis pagi menjelang siang, kediaman Arsyad dipenuhi banyak orang. Tenda besar yang menutupi seluruh halaman depan, seolah-olah tidak mampu meneduhi banyaknya tamu. Supaya rekan-rekan dan warga sekitar bisa mengikuti acara dengan khidmat, akhirnya Hendri memindahkan anggota rombongan dari Jakarta ke rumah seberang, yang juga milik orang tuanya. Arsyad juga telah memasang tenda yang sama besarnya di depan rumah bercat krem, yang menjadi tempat menginap keluarga besarnya dari Garut. Tanti dan Divia yang ditugaskan sebagai ketua bagian konsumsi, bekerja cepat menyiapkan meja prasmanan. Para istri tim PC juga turut membantu. Hingga dua meja besar siap digunakan untuk menampung berbagai hidangan.Seorang Ustaz kenamaan memberikan tausiah yang sangat menyentuh. Meskipun disampaikan dengan santai tetapi semua orang bisa memahami maksud sang ustaz. Setelahnya, Arsyad dan Zainab mempersilakan semua tamu untuk menyicipi hidangan yang disediakan di empat stand, di halaman samping kanan.
50Jalinan waktu terus berjalan. Tibalah saat yang dinantikan oleh Martin, yakni kedatangan keluarga besarnya dari berbagai wilayah di Malaysia. Martin menjemput langsung rombongan itu ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta, dengan ditemani Nirwan, Qianfan dan Wirya. Seusai bersalaman dan berbincang sesaat, seluruh anggota rombongan diajak untuk menaiki bus pariwisata sewaan, yang akan mengantarkan mereka langsung ke Bandung. Razman terkejut, ketika beberapa mobil Jeep Mercedes-Benz menyalip dari belakang. Dia akhirnya paham bila itu adalah kendaraan milik Tio, Dante, Alvaro, Yanuar, Samudra dan Marley, yang dikerahkan untuk mengawal bus itu. Setibanya di rest area, Wirya dan Qianfan turun. Selanjutnya, empat pengawal muda menaiki bus untuk mendampingi rombongan keluarga besar Ragnala. Wirya menaiki bus kedua yang berada di belakang bus yang ditempati keluarga Martin. Sedangkan Qianfan memasuki bus ketiga. Empat bus serupa jenis dan warna, meneruskan perjalanan. Nirwan menerang
49Suasana hening menyelimuti area belakang kantor proyek KARZD. Hanya bunyi binatang malam yang terdengar, selebihnya sunyi. Seorang perempuan muncul di dalam gudang kecil. Dia mengibaskan bagian bawah gaun salem yang mengeluarkan beberapa serpihan dedaunan kering. Perempuan berkepang satu jalan keluar menembus pintu. Dia terus melangkah lurus hingga tiba di bukit kecil. Dia memerhatikan sekeliling, lalu meneruskan langkah ke kiri. Bangunan-bangunan bermunculan seiring langkah perempuan bermata sipit tersebut. Beberapa orang juga turut hadir dalam pergantian alam itu. Perempuan berkulit putih, melanjutkan perjalanan, hingga sampai di tempat tujuan. Dia membunyikan lonceng kecil di dinding, lalu membuka pintu dan memasuki toko dengan aroma dupa yang menyengat. Perempuan itu berbicara singkat dengan pelayan toko, lali dia berbelok ke kanan untuk menuju lorong panjang. Pada deretan kiri, terdapat beberapa pintu yang dalam kondisi terbuka. Tanpa menghiraukan tatapan orang-orang di
48Yìchèn terkesiap, sesaat setelah mendengar penuturan Martin tentang peristiwa dini hari tadi. Yichen membuka kamus khusus, lalu mencari-cari sesuatu. Pria berambut sebahu tersebut menunjukkan gambar di bukunya pada Martin, yang langsung mengamati benda itu dengan antusias. Selain Martin, Hendri, Nirwan dan Wirya, turut melihat gambar itu. Kemudian Martin menunjukkan gambar kereta kuda pada Qianfan dan para orang tua di kursi seberang. "Aku nggak tahu, apa jenis keretanya sama. Tapi, bagian dalamnya memang mirip," tutur Martin. "Bahkan, kursi dan tirainya juga berlapis kain merah. Persis dengan gambar itu," lanjutnya. "Ini kereta kuda yang biasanya digunakan calon pengantin," timpal Qianfan. "Ya, betul, Paman," jawab Yìchèn. "Koko Mùchèn dan aku pernah memerhatikan kereta yang tengah dihias pegawai. Bentuknya juga seperti ini," sambungnya. Qianfan mengerutkan keningnya. "Mar, sempat nggak, kamu merhatiin pakaian yang dikenakan?" tanyanya. "Ehm, kayak baju bangsawan biasa, Pam
47Jalinan waktu terus bergulir. Kondisi Martin kian membaik dan dia mulai beraktivitas ringan, untuk melatih badannya supaya terus bergerak. Yuanna akan datang tiap Jumat sore bersama kedua orang tuanya, Fenita dan Moammar serta putranya. Mereka menginap di kediaman Hendri selama tiga hari, sebelum kembali ke Bandung. Selain keluarga Danantya, tim kantor HWZ juga bergantian datang untuk menjenguk Martin. Zein dan rekan-rekannya sengaja melakukan itu, sebagai bentuk dukungan mereka pada calon suami Yuanna tersebut. Seperti Jumat sore itu, tiga unit mobil MPV berhenti di depan rumah Hendri. Semua penumpang turun sambil membawa tas masing-masing. Arsyad dan Zainab memasuki rumah sambil mengucapkan salam. Keduanya terkejut kala melihat Harsaya dan Murti telah berada di sana terlebih dahulu. Kedua orang tua Hendri bertambah kaget, karena Sultan, Winarti, Frederick, Tarissa, Qianfan, Nancy, Gustavo dan Ira, juga berada di sana. Seusai bersalaman, para laki-laki tua membentuk kelompok
46Detik terjalin menjadi menit. Waktu terus berputar hingga merotasi hari dan berganti menjadi minggu. Siang itu, Hendri dan kelompoknya berpamitan pada keluarga Ragnala. Mereka hendak bertolak menuju Jakarta, dengan pengawalan ketat tim PBK. Alvaro, Wirya, Zulfi, Qianfan, Dante, dan Hasbi telah pulang beberapa hari lalu. Mereka hendak menyiapkan rumah sakit dan mengurus surat-surat perpindahan Martin ke Indonesia. Razman dan istrinya memeluk putra mereka yang berada di kursi roda. Demikian pula dengan Ginania dan sanak saudara, yang turut melepas kepergian Martin. Setelahnya, Nirwan mendorong kursi roda memasuki ruangan khusus untuk penumpang pesawat pribadi. Sultan sengaja mengirimkan pesawatnya, supaya perjalanan itu lebih nyaman buat Martin. Sekaligus melindungi Yìchèn dari pertanyaan pihak imigrasi. Razman, Sultan dan Frederick telah bekerjasama agar tidak ada masalah saat kelompok itu tiba di Indonesia. Terutama karena status Yìchèn yang izinnya adalah turis. Ketiga pengu
45Yìchèn mengamati sekeliling sungai dangkal, sambil mengucapkan kalimat perpisahan. Meskipun tidak bisa menemukan tempat tinggal keluarganya, tetapi Yìchèn meyakini bila sungai itulah yang pernah dilaluinya dulu, saat kabur dari kejaran kelompok makhluk astral penunggu hutan keramat. Yìchèn dan kelompoknya telah menyusuri sungai itu sepanjang hari kemarin. Mereka tiba di ujung sungai yang ternyata mengalir ke bawah goa. Wirya dan beberapa anggota kelompok itu sempat menyusuri tepi kiri goa, yang menuju hutan lebat. Mereka tidak berani memasuki tempat itu, karena menduga jika hutan tersebut adalah hutan keramat yang diceritakan Yìchèn. Pria berambut sebahu kembali memindai sekitar. Kemudian Yìchèn menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya sekali waktu. Dia menyadari, akan sulit menemukan jejak peninggalan keluarganya. Sebab itu, Yìchèn hanya bisa berdoa dirinya akan bisa kembali ke Guandong di masa depan, untuk kembali menyelidiki silsilah keluarganya. Yìchèn jalan mundur, l
44Matahari baru naik sepenggalah, ketika sekelompok orang turun dari dua mobil MPV hitam. Mereka memegangi fotokopi peta sederhana yang dibuat Donghai, berdasarkan peta asli di buku sejarah, yang ditemukannya di perpustakaan Kota Guandong. Mereka berbincang sesaat, sebelum memecah menjadi dua kelompok. Donghai, Yìchèn, To Mu, Harun dan Aditya menyisiri tepi kiri. Sedangkan sisanya mengecek area kanan sepanjang jalur sungai kecil yang dangkal. Setiap bertemu pohon besar ataupun tumpukan batu, orang-orang tersebut akan berhenti untuk memeriksa sekitar. Wirya dan Zulfi mengecek semua tempat itu dengan menyalurkan tenaga dalam masing-masing. Begitu pula dengan Jauhari, Yusuf, Aditya dan Harun. "W, di sini, tebal banget. Aku nggak bisa nembus," tutur Zulfi sembari memegangi batu besar berbentuk hampir bundar. Wirya menyambangi tempat itu dan meraba tepi batu. "Kita coba sama-sama," ajaknya, sebelum memasang kuda-kuda silat. Kedua pria tersebut menembakkan tenaga dalam secara bersama
43Secarik senyuman terbit di wajah Yuanna, ketika pagi itu Martin membuka matanya lebih lebar dibandingkan dengan dua hari silam. Saat Martin akhirnya siuman. Gadis yang mengikat rambutnya bentuk ekor kuda, meneruskan mengelap tangan dan leher serta dada Martin dengan handuk kecil yang basah. Martin memerhatikan kekasihnya, dan sangat ingin bisa berbincang dengan Yuanna. Namun, tenggorokannya masih sakit hingga sulit untuk mengeluarkan suara. Kala Yuanna mengusap jemarinya, Martin menahan tangan sang gadis. Keduanya saling menatap, sebelum Martin menggerak-gerakkan telunjuknya di telapak tangan kiri Yuanna. Perempuan berkulit putih tersebut, berusaha keras untuk menyatukan huruf demi huruf yang ditulis Martin dengan pelan. Kemudian Yuanna meletakkan handuk ke baskom kecil di lantai, lalu dia bangkit dan merunduk untuk memeluk kekasihnya. "Cepat pulih, Ko," bisik Yuanna, kemudian dia mendaratkan kecupan di dahi dan kedua pipi Martin. Pria berhidung bangir hanya bisa mengedipkan