17Malam itu, Jauhari menginap di rumah kontrakan Martin. Dia menempati kamar depan bersama Nirwan dan Seno. Sedangkan Muchlis dan Ridho menghuni kamar belakang. Detik terjalin menjadi menit. Jam berganti cepat, tetapi suasana tetap hening. Hanya suara binatang malam yang terdengar dari luar, selebihnya sunyi. Jauhari menonaktifkan ponselnya, lalu memasang pengisi daya. Dia meletakkan telepon seluler ke meja. Kemudian berdiri dan jalan keluar. Seusai mengecek pintu dan jendela, Jauhari memasuki kamar mandi. Dia menggosok gigi dan mencuci wajah, kemudian keluar untuk kembali ke kamar. Sekian menit terlewati, Jauhari telah berbaring telentang di kasur besar. Nirwan yang berada di sebelah kirinya, beradu dengkuran dengan Seno yang tidur di kasur bawah. Pria berhidung bangir, memejamkan mata sambil membaca doa tidur dalam hati. Perlahan sukma Jauhari melayang, hingga dia tertidur pulas. Waktu sudah bergeser ke dini hari ketika Seno terbangun. Dia memaksakan diri untuk bangkit, lalu
18Sore itu, kelompok tamu dari Malaysia akhirnya tiba di hotel tempat mereka akan menginap selama berada di Bandung. Arsyad dan Zainab yang telah menunggu sejak tadi, menyambut keluarga calon besan dengan sangat ramah. Restoran hotel yang semula hening, seketika riuh dengan obrolan beberapa kelompok berbeda. Keempat Bapak berbincang tentang kehidupan sehari-hari dan dunia politik. Sedangkan yang para lelaki muda membahas berbagai proyek yang hendak dilaksanakan secara bersama-sama.Yuanna dan para perempuan lainnya membicarakan rencana pernikahan yang akan dilaksanakan dua bulan mendatang. Sang calon pengantin tampak antusias menerangkan detail gaunnya, dan pakaian buat semua keluarga besar kedua belah pihak. "Oh, jadi bajunya sama warna?" tanya Shayana. "Ya, Ma. Hanya dibedakan sedikit, bagian bordir dan list-nya," jelas Yuanna. "Ini bagus sangat modelnya, Dek. Kakak suka," ungkap Gianina dengan logat Melayu yang kental. Dia menunjuk gambar di ipad Yuanna. "Iya, Kak. Waktu dit
19Sabtu siang, Alvaro tiba di kediaman Arsyad, dengan menumpang pada taksi. Kehadirannya yang hanya seorang diri, menyebabkan Hendri dan yang lainnya terkejut. Jauhari dan Riaz saling menyiku. Sedangkan Nawang beradu pandang dengan Nirwan, sebelum sama-sama menunduk sambil mengulum senyuman. Keempat pengawal muda itu meyakini jika Alvaro berhasil lolos dari penjagaan ajudan keluarga Pramudya. Hal itu diperkuat dengan kehebohan rekan-rekan pengawal junior, terutama yang tergabung dalam lapisan 3 sampai 10.****Grup Pengawal Muda Lapisan*Azhar : Tolong! Aku diomelin Pak Tio! Yusuf : Sudah tahu Padre itu cerdik. Masih aja santai jagainnya.Jeffrey : Akhirnya Azhar merasakan penderitaanku saat jadi ajudan Padre. Ibrahim : Aku senang! Fawwaz : Aku happy! Chairil : Aku, antara prihatin sama pengen ngakak.Qadry : Yang jadi pertanyaanku. Bang Varo bisa lolos itu, gimana caranya? Jauhari : Padre pura-pura joging. Karena itu hal yang rutin dilakukannya tiap weekend, nggak ada yang cu
20Ruangan luas di lantai tiga rumah Arsyad, malam itu terlihat ramai orang. Mereka berlatih jurus kasar olah napas, yang dilanjutkan dengan jurus halus. Alvaro dan Jauhari bolak-balik sepanjang ruangan, sembari melatih jurus halus satu sampai sepuluh. Hendri, Zein, Ubaid dan Bayu ikut berlatih di belakang Alvaro serta Jauhari. Demikian pula dengan Izra dan Emyr. Pada sisi kiri, Riaz, Martin, Azriel dan Seno tengah berlatis jurus kasar. Mereka diawasi Nirwan, Gilang, Gunther dan Kenzie. Yuanna ikut menonton latihan itu bersama Fenita, Irshava, Rini, Gwen, Rheamaza, Divia dan Freya. Mereka duduk di tikar yang digelar di ujung kanan, sembari menikmati kudapan yang disiapkan Zainab. "Bang Zainal dan Bang Adi satu, harusnya jangan cepat-cepat pulang. Aku sudah lama tidak berlatih dengan mereka," cakap Rini."Mereka sangat sibuk, Rin. Kemaren itu bisa ke sini, sekalian meeting sama Kang Hendri," sahut Gwen. "Kapan, ya? Semua anggota kelompok kita bisa ngumpul lagi kayak dulu?" tanya R
21 Jalinan waktu terus bergulir. Niat Jauhari untuk kembali ke tempat proyek akhirnya dibatalkan. Sebab dia harus menuntaskan latihan olah napas dan bersiap-siap untuk dibaiat. Sebagai gantinya, Riaz yang berangkat bersama Zein dan yang lainnya. Sedangkan Jauhari dan Nawang mendampingi Alvaro serta Hendri, yang hendak melakukan rapat dengan beberapa pengusaha PG dan PC yang berdomisili di Bandung. Nawang yang diminta menyetir mobil Hendri, berulang kali diteriaki Jauhari yang menempati kursi samping kiri. Kedua pria muda tersebut saling mencela dan beradu kaki. Tanpa peduli dipandangi para bos di kursi belakang. "Kamu kayak baru belajar nyetir, Wang. Bawa mobilnya ndut-ndutan gini," ledek Hendri. "Aku memang belum pernah nyetir mobil model gini, Kang," kilah Nawang. "Mobil ini tipenya sama dengan mobil Yanuar. Harusnya kamu sudah paham," imbuh Alvaro."Aku belum pernah pegang mobil Bang Yan. Nyetir mobil Abang pun cuma sekali," tutur Nawang. "Pinjam mobil Koko Dante. Lancarin n
22Detik berlalu menjadi menit. Suasana di dalam gudang besar mendadak menegangkan. Terutama bagi Seno yang sibuk memerhatikan sekeliling. Pria berkulit kuning langsat, berulang kali mengusap tengkuk dan punggung tangannya. Seno benar-benar khawatir jika semua makhluk astral muncul secara bersamaan, bisa dipastikan dirimya harus ikut berjuang bersama teman-temannya. Seno membeliakkan mata ketika dua sosok makhluk astral kian terlihat di bawah pohon. Disusul satu bayangan yang bergerak dari rimbunan pohon dekat container. Lamya terus memerhatikan sosok berpakaian khas laki-laki Sunda tempo dulu, yang tengah berdiri membelakangi kamera. Dia mengeluh dalam hati ketika makhluk itu berbalik dan memandangi kamera CCTV. "Dia tahu jika tengah diawasi," tutur Lamya. "Mungkin dia jurig modern," seloroh Nirwan."Kupikir juga begitu. Coba kalian lihat pakaiannya. Nggak terlalu jadul," imbuh Zein. "Maksudku, beda dengan jin yang sering kita temui di tempat proyek lain," lanjutnya. "Bang, aku
23Seunit mobil Jeep Mercedes-Benz abu-abu melesat menembus kepekatan malam. Sang sopir melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi, agar bisa segera tiba di tempat tujuan. Keempat penumpangnya tidak ada yang urun bicara. Mereka tahu jika sang sopir tengah tegang dan tidak boleh diganggu. Mendekati tempat tujuan, Hendri membelokkan mobil ke kanan. Meskipun jalan di situ tidak rata, tetapi itulah jalan pintas tercepat menuju area belakang kantor pengelola proyek KARDZ. Selama berada di sana tempo hari, Hendri sudah mempelajari jalan-jalan kecil yang biasa dilalui pekerja kasar. Gang itu menjadi satu-satunya area yang bisa dilintasi mobil, tanpa harus memutar ke bangunan utama. Sinar lampu mobil Jeep menyorot langsung ke sisi kanan halaman, di mana ada beberapa pohon besar yang menjadi penghalang pandangan, hingga tidak tembus ke bangunan gudang. Gunther yang melihat mobil mendekat, segera menyilangkan kedua tangannya, lalu menunjuk ke kiri untuk mengarahkan mobil ke tempat yang la
24Tiga unit mobil berhenti di pekarangan depan rumah Arsyad. Semua penumpangnya turun dan jalan cepat memasuki bangunan, untuk menghindari gerimis. Mereka bersalaman dengan kedua pemilik rumah, kemudian duduk berdesak-desakan pada dua set kursi yang tersedia. Sebelum akhirnya Jauhari mengajak semua juniornya duduk bersila di lantai supaya lebih tenang.Zein menerangkan peristiwa kemarin dari awal hingga akhir. Semua orang memandangi Riaz yang cengengesan, seusai Zein menjelaskan tindakan nekat Adik Zulfi tersebut, pada kuntilanak. "Oh, jadi kuntilanak itu memang penunggu gudang besar?" tanya Martin. "Di situ, dan dekat tangga menuju ruang pekerja di lantai dua, merupakan tempatnya tinggal," terang Zein. "Pantas, kalau mau ke atas, aku pasti merinding lewat tangga," ungkap Martin. "Zein, kuntilanaknya musnah, nggak?" desak Alvaro. "Ya. Langsung kebakar dia kena ajian sakti Riaz," seloroh Zein. "Kamu baca doa apa, Ri?" sela Arsyad sembari memandangi lelaki muda berkulit kecokela
51Kamis pagi menjelang siang, kediaman Arsyad dipenuhi banyak orang. Tenda besar yang menutupi seluruh halaman depan, seolah-olah tidak mampu meneduhi banyaknya tamu. Supaya rekan-rekan dan warga sekitar bisa mengikuti acara dengan khidmat, akhirnya Hendri memindahkan anggota rombongan dari Jakarta ke rumah seberang, yang juga milik orang tuanya. Arsyad juga telah memasang tenda yang sama besarnya di depan rumah bercat krem, yang menjadi tempat menginap keluarga besarnya dari Garut. Tanti dan Divia yang ditugaskan sebagai ketua bagian konsumsi, bekerja cepat menyiapkan meja prasmanan. Para istri tim PC juga turut membantu. Hingga dua meja besar siap digunakan untuk menampung berbagai hidangan.Seorang Ustaz kenamaan memberikan tausiah yang sangat menyentuh. Meskipun disampaikan dengan santai tetapi semua orang bisa memahami maksud sang ustaz. Setelahnya, Arsyad dan Zainab mempersilakan semua tamu untuk menyicipi hidangan yang disediakan di empat stand, di halaman samping kanan.
50Jalinan waktu terus berjalan. Tibalah saat yang dinantikan oleh Martin, yakni kedatangan keluarga besarnya dari berbagai wilayah di Malaysia. Martin menjemput langsung rombongan itu ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta, dengan ditemani Nirwan, Qianfan dan Wirya. Seusai bersalaman dan berbincang sesaat, seluruh anggota rombongan diajak untuk menaiki bus pariwisata sewaan, yang akan mengantarkan mereka langsung ke Bandung. Razman terkejut, ketika beberapa mobil Jeep Mercedes-Benz menyalip dari belakang. Dia akhirnya paham bila itu adalah kendaraan milik Tio, Dante, Alvaro, Yanuar, Samudra dan Marley, yang dikerahkan untuk mengawal bus itu. Setibanya di rest area, Wirya dan Qianfan turun. Selanjutnya, empat pengawal muda menaiki bus untuk mendampingi rombongan keluarga besar Ragnala. Wirya menaiki bus kedua yang berada di belakang bus yang ditempati keluarga Martin. Sedangkan Qianfan memasuki bus ketiga. Empat bus serupa jenis dan warna, meneruskan perjalanan. Nirwan menerang
49Suasana hening menyelimuti area belakang kantor proyek KARZD. Hanya bunyi binatang malam yang terdengar, selebihnya sunyi. Seorang perempuan muncul di dalam gudang kecil. Dia mengibaskan bagian bawah gaun salem yang mengeluarkan beberapa serpihan dedaunan kering. Perempuan berkepang satu jalan keluar menembus pintu. Dia terus melangkah lurus hingga tiba di bukit kecil. Dia memerhatikan sekeliling, lalu meneruskan langkah ke kiri. Bangunan-bangunan bermunculan seiring langkah perempuan bermata sipit tersebut. Beberapa orang juga turut hadir dalam pergantian alam itu. Perempuan berkulit putih, melanjutkan perjalanan, hingga sampai di tempat tujuan. Dia membunyikan lonceng kecil di dinding, lalu membuka pintu dan memasuki toko dengan aroma dupa yang menyengat. Perempuan itu berbicara singkat dengan pelayan toko, lali dia berbelok ke kanan untuk menuju lorong panjang. Pada deretan kiri, terdapat beberapa pintu yang dalam kondisi terbuka. Tanpa menghiraukan tatapan orang-orang di
48Yìchèn terkesiap, sesaat setelah mendengar penuturan Martin tentang peristiwa dini hari tadi. Yichen membuka kamus khusus, lalu mencari-cari sesuatu. Pria berambut sebahu tersebut menunjukkan gambar di bukunya pada Martin, yang langsung mengamati benda itu dengan antusias. Selain Martin, Hendri, Nirwan dan Wirya, turut melihat gambar itu. Kemudian Martin menunjukkan gambar kereta kuda pada Qianfan dan para orang tua di kursi seberang. "Aku nggak tahu, apa jenis keretanya sama. Tapi, bagian dalamnya memang mirip," tutur Martin. "Bahkan, kursi dan tirainya juga berlapis kain merah. Persis dengan gambar itu," lanjutnya. "Ini kereta kuda yang biasanya digunakan calon pengantin," timpal Qianfan. "Ya, betul, Paman," jawab Yìchèn. "Koko Mùchèn dan aku pernah memerhatikan kereta yang tengah dihias pegawai. Bentuknya juga seperti ini," sambungnya. Qianfan mengerutkan keningnya. "Mar, sempat nggak, kamu merhatiin pakaian yang dikenakan?" tanyanya. "Ehm, kayak baju bangsawan biasa, Pam
47Jalinan waktu terus bergulir. Kondisi Martin kian membaik dan dia mulai beraktivitas ringan, untuk melatih badannya supaya terus bergerak. Yuanna akan datang tiap Jumat sore bersama kedua orang tuanya, Fenita dan Moammar serta putranya. Mereka menginap di kediaman Hendri selama tiga hari, sebelum kembali ke Bandung. Selain keluarga Danantya, tim kantor HWZ juga bergantian datang untuk menjenguk Martin. Zein dan rekan-rekannya sengaja melakukan itu, sebagai bentuk dukungan mereka pada calon suami Yuanna tersebut. Seperti Jumat sore itu, tiga unit mobil MPV berhenti di depan rumah Hendri. Semua penumpang turun sambil membawa tas masing-masing. Arsyad dan Zainab memasuki rumah sambil mengucapkan salam. Keduanya terkejut kala melihat Harsaya dan Murti telah berada di sana terlebih dahulu. Kedua orang tua Hendri bertambah kaget, karena Sultan, Winarti, Frederick, Tarissa, Qianfan, Nancy, Gustavo dan Ira, juga berada di sana. Seusai bersalaman, para laki-laki tua membentuk kelompok
46Detik terjalin menjadi menit. Waktu terus berputar hingga merotasi hari dan berganti menjadi minggu. Siang itu, Hendri dan kelompoknya berpamitan pada keluarga Ragnala. Mereka hendak bertolak menuju Jakarta, dengan pengawalan ketat tim PBK. Alvaro, Wirya, Zulfi, Qianfan, Dante, dan Hasbi telah pulang beberapa hari lalu. Mereka hendak menyiapkan rumah sakit dan mengurus surat-surat perpindahan Martin ke Indonesia. Razman dan istrinya memeluk putra mereka yang berada di kursi roda. Demikian pula dengan Ginania dan sanak saudara, yang turut melepas kepergian Martin. Setelahnya, Nirwan mendorong kursi roda memasuki ruangan khusus untuk penumpang pesawat pribadi. Sultan sengaja mengirimkan pesawatnya, supaya perjalanan itu lebih nyaman buat Martin. Sekaligus melindungi Yìchèn dari pertanyaan pihak imigrasi. Razman, Sultan dan Frederick telah bekerjasama agar tidak ada masalah saat kelompok itu tiba di Indonesia. Terutama karena status Yìchèn yang izinnya adalah turis. Ketiga pengu
45Yìchèn mengamati sekeliling sungai dangkal, sambil mengucapkan kalimat perpisahan. Meskipun tidak bisa menemukan tempat tinggal keluarganya, tetapi Yìchèn meyakini bila sungai itulah yang pernah dilaluinya dulu, saat kabur dari kejaran kelompok makhluk astral penunggu hutan keramat. Yìchèn dan kelompoknya telah menyusuri sungai itu sepanjang hari kemarin. Mereka tiba di ujung sungai yang ternyata mengalir ke bawah goa. Wirya dan beberapa anggota kelompok itu sempat menyusuri tepi kiri goa, yang menuju hutan lebat. Mereka tidak berani memasuki tempat itu, karena menduga jika hutan tersebut adalah hutan keramat yang diceritakan Yìchèn. Pria berambut sebahu kembali memindai sekitar. Kemudian Yìchèn menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya sekali waktu. Dia menyadari, akan sulit menemukan jejak peninggalan keluarganya. Sebab itu, Yìchèn hanya bisa berdoa dirinya akan bisa kembali ke Guandong di masa depan, untuk kembali menyelidiki silsilah keluarganya. Yìchèn jalan mundur, l
44Matahari baru naik sepenggalah, ketika sekelompok orang turun dari dua mobil MPV hitam. Mereka memegangi fotokopi peta sederhana yang dibuat Donghai, berdasarkan peta asli di buku sejarah, yang ditemukannya di perpustakaan Kota Guandong. Mereka berbincang sesaat, sebelum memecah menjadi dua kelompok. Donghai, Yìchèn, To Mu, Harun dan Aditya menyisiri tepi kiri. Sedangkan sisanya mengecek area kanan sepanjang jalur sungai kecil yang dangkal. Setiap bertemu pohon besar ataupun tumpukan batu, orang-orang tersebut akan berhenti untuk memeriksa sekitar. Wirya dan Zulfi mengecek semua tempat itu dengan menyalurkan tenaga dalam masing-masing. Begitu pula dengan Jauhari, Yusuf, Aditya dan Harun. "W, di sini, tebal banget. Aku nggak bisa nembus," tutur Zulfi sembari memegangi batu besar berbentuk hampir bundar. Wirya menyambangi tempat itu dan meraba tepi batu. "Kita coba sama-sama," ajaknya, sebelum memasang kuda-kuda silat. Kedua pria tersebut menembakkan tenaga dalam secara bersama
43Secarik senyuman terbit di wajah Yuanna, ketika pagi itu Martin membuka matanya lebih lebar dibandingkan dengan dua hari silam. Saat Martin akhirnya siuman. Gadis yang mengikat rambutnya bentuk ekor kuda, meneruskan mengelap tangan dan leher serta dada Martin dengan handuk kecil yang basah. Martin memerhatikan kekasihnya, dan sangat ingin bisa berbincang dengan Yuanna. Namun, tenggorokannya masih sakit hingga sulit untuk mengeluarkan suara. Kala Yuanna mengusap jemarinya, Martin menahan tangan sang gadis. Keduanya saling menatap, sebelum Martin menggerak-gerakkan telunjuknya di telapak tangan kiri Yuanna. Perempuan berkulit putih tersebut, berusaha keras untuk menyatukan huruf demi huruf yang ditulis Martin dengan pelan. Kemudian Yuanna meletakkan handuk ke baskom kecil di lantai, lalu dia bangkit dan merunduk untuk memeluk kekasihnya. "Cepat pulih, Ko," bisik Yuanna, kemudian dia mendaratkan kecupan di dahi dan kedua pipi Martin. Pria berhidung bangir hanya bisa mengedipkan